Kontribusi Sektor Perekonomian dalam Pembangunan Wilayah
Kontribusi adalah sumbangan atau peranan yang diberikan oleh masing-masing sektor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Indikator kontribusi ini dapat dipergunakan untuk menganalisis sektor mana yang paling menyumbang atau berperan terhadap PDB. Kontribusi sektor terhadap PDB dihitung terutama sebagai indikator perubahan struktur ekonomi Indonesia (Kadariah, 1990).
Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi wilayah, Azis (1994) menyatakan pembangunan ekonomi wilayah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakatnya dan dengan sumberdaya-sumberdaya yang ada harus mampu menaksir sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian wilayah. Kriteria utama keberhasilan pembangunan wilayah adalah peran dan kontribusi sektoral dalam bentuk PDRB maupun perkapita dalam perekonomian wilayah.
Peranan Sektor Perekonomian dalam Pembangunan Wilayah
Januar (2005) menyatakan bahwa kajian mengenai peranan sektor-sektor perekonomian termasuk pertanian, secara mendalam perlu dilakukan sebagai dasar dalam penyusunan strategi yang lebih baik pada pelaksanaan tahapan pembangunan berikutnya. Selama ini kajian peran sektor perekonomian dalam proses pembangunan terbatas pada perubahan struktur produksi dan penyerapan tenaga kerja. Kajian yang dapat melihat secara komprehensif peran tersebut, yaitu kajian tentang keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda.
Struktur perekonomian sebenarnya tercipta karena sektor-sektor terkait erat satu sama lain. Benturan yang terjadi di satu sektor dapat diredam dengan mudah melalui proses penyesuaian cepat dan murah. Bantuan tersebut dapat disebar ke berbagai sektor perekonomian. Dengan perkataan lain, pengembangan keterkaitan antarsektor sangat bermanfaat untuk menciptakan struktur perekonomian yang kokoh dan dinamis. Keterkaitan input-output merupakan landasan utama yang menimbulkan hubungan yang saling membutuhkan antara sektor yang satu dengan sektor yang lain (Nusbantoro, 2003).
Rangkaian keterkaitan antarsektor tersebut merupakan penarikan kegiatan-kegiatan secara timbal balik (mutual atraction). Tetapi, Wibowo dan Soetriono (2004) menyatakan jarang penarikan timbal balik tersebut mempunyai kekuatan yang sama dari kedua arah. Rangkaian kegiatan yang mengarah ke belakang (backward linkage), berarti penarikan kegiatan secara timbal balik dalam melengkapi suatu kegiatan yang berorientasikan kepada pengembangan pasar (market oriented activity) timbul oleh adanya suatu kegiatan penjualan tertentu. Selanjutnya, rangkaian kegiatan yang mengarah ke muka (forward linkage), dapat berarti suatu dorongan perubahan yang kuat dipindahkan kepada kegiatan lainnya jauh ke muka dalam suatu urutan operasi perubahan. Sumber daya kegiatan yang mengarah ke muka harus sensitif (mempunyai derajat kepekaan yang tinggi) terhadap harga dan penawaran input-inputnya secara wilayah.
Dalam konteks regional (wilayah), menurut Wibowo dan Januar (1998) kualifikasi dampak (impact multiplier) pembangunan wilayah menjadi masalah yang harus dianalisis dan diperhitungkan secara seksama, jika diinginkan resultan pembangunan (pertanian) dapat lebih mendorong keterkaitan dengan ekonomi pedesaan khususnya masalah-masalah output, pendapatan dan tenaga kerja. Masalah yang berkaitan dengan upaya menangkap pengaruh multiplier (dampak pengganda) menyangkut kemampuan organisasi kelembagaan masyarakat efektif, dapat ditumbuhkembangkan untuk mengurangi akibat-akibat sampingan negatif dari hasil pembangunan. Bila upaya-upaya tersebut tidak mampu ditumbuhkembangkan, maka dikhawatirkan wilayah tidak mempunyai kemampuan untuk menangkap manfaat yang timbul dari pembangunan (uncoupling). Jika hal ini berlangsung secara terus-menerus pada gilirannya terjadilah kebocoran manfaat wilayah, biasanya akan diikuti oleh mengalirnya tingkat produktif ke luar wilayah.