Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Kekerasan Terhadap Perempuan
Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik terbuka (overt) ataupun tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (devensive), yang disetai dengan penggunaan kekuatan kepada orang lain. Menurut Jack D. Douglas Frances Chaput Waksler ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi:[1]
- Kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian;
- Kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dapat dilakukan langsung, seperti perilaku mengancam;
- Kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu, seperti imbalan; dan
- Kekerasan defensive, kekerasan dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri.
Fenomena yang memprihatinkan di Indonesia adalah bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang sudah diangkat sebagai isu global, cukup lama tidak mendapat perhatian di Indonesia. Menguak kausa dari ketidak pedulian masyarakat terhadap masalah ini memerlukan pembahasan tersendiri, akan tetapi cukuplah bila dikatakan bahwa struktur sosial, persepsi masyarakat tentang perempuan (yang sering menjadi korban) dan tindak kekerasan terhadap perempuan, serta nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis dan karenanya sulit mengakui akan adanya masalah dalam rumah tangga apapun resikonya, merupakan hal pokok yang mendasarinya.
Menurut Hasbianto bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk penganiayaan secara fisik maupun emosional/psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan dalam kehidupan rumah tangga.[2]
Pada Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekekerasan terhadap Perempuan, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampokan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.[3]
Mas’udi menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah suatu bentuk ketidakadilan gender atau suatu konsekwensi dari adanya relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki sebagai bentukan nilai dari norma-norma sosial. Dalam persfektif gender, kondisi ini dikaitkan dengan adanya suatu kultur patriarki yang sejak awal sejarah membentuk peradaban manusia yaitu suatu kultur yang menganggap bahwa laki-laki adalah superior terhadap perempuan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan kehidupan bernegara.[4]
Kekerasan dalam Rumah Tangga (domestic violence) hanyalah salah satu bentuk saja dalam fenomena kekerasan yang dialami sebagai perempuan, bukan hanya di Indonesia tetapi diseluruh dunia. Walaupun korban kekerasan dalam rumah tangga memang tidak terbatas pada perempuan saja (dewasa maupun anak-anak), akan tetapi data menunjukkan bahwa perempuanlah yang paling sering mengalaminya di banding dengan laki-laki. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan sebagian dari salah satu dampak adanya diskriminasi terhadap perempuan.
Kekhususan domestic violence dibandingkan dengan kekerasan terhadap perempuan, karena adanya hubungan yang berkenaan kekuasaan (power relation ship) antara korban dan pelaku. Beban yang dialami perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga sangatlah tinggi karena hubungan kekuasaan selalu mengandung unsur kepercayaan dan juga unsur dipendensi sampai dengan tingkat tertentu. Selain merasa adanya tendensi pemilik kekuasaan tersebut, korban juga mengalami ketakutan, keengganan, dan juga malu melaporkan kepada yang berwajib.
[1] Thomas Santoso, 2002, Teori Kekerasan, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 9.
[2] Hasbianto, 1998, “Di Balik Keharmonisan Rumah Tangga, Kekerasan Terhadap Istri”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kekerasan Terhadap Istri Februari 1998 di Yogyakarta, hlm. 2.
[3] Abdul Wahid, etc., 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Bandung: Refika Aditama, hlm. 32,
[4] Zohra Andi Baso, 2002, Kekerasan Terhadap Perempuan Menghadang Langkah Perempuan, Yogyakarta: PSKK UGM Foundation, hlm. 5.