INFEKSI SALURAN NAFAS BAWAH AKUT

Infeksi saluran nafas bawah akut adalah masalah kesehatan masyarakat yang persisten dan menyeluruh. Infeksi saluran nafas bawah akut menimbulkan wabah di seluruh dunia yang lebih besar daripada infeksi virus immunodefisiensi, malaria, kanker, atau serangan jantung. Di Amerika Serikat, infeksi saluran nafas bawah akut menyebabkan lebih banyak angka kesakitan dan kematian dibandingkan infeksi yang lain, dan ada sedikit perubahan dalam angka kematian yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas selama lebih 5 dekade.

Hasil atau prognosis dari infeksi saluran nafas bawah akut bergantung pada virulensi organisme dan respon inflamasi paru. Ketika sejumlah kecil mikroba virulensi rendah tersimpan atau mengendap di paru, pertahanan efektif dapat ditingkatkan oleh sistem pertahanan imun bawaan seperti bersihan mukosiliar, protein anti mikroba di permukaan cairan saluran nafas dan makrofag alveolar. Sebaliknya, beberapa atau kebanyakan mikroba virulen menimbulkan respon inflamasi. Meskipun respon ini berperan dalam membangkitkan imunitas bawaan dan kepentingannya untuk membersihkan paru-paru dari mikroba, respon ini juga berperan langsung terhadap cedera paru dan fungsi abnormal paru. Artikel ini membicarakan mengenai pemahaman terbaru kami tentang respon inlamasi pada paru-paru yang terinfeksi, menekankan pada kemajuan terbaru dan adanya celah dalam ilmu pengetahuan mengenai hal ini. Banyak informasi beasal dari percobaan-percobaan terhadap hewan, studi terhadap manusia dan data yang berasal dari pasien juga disertakan apabila sesuai dan cukup tersedia.

a. Inflamasi dan imunitas bawaan
Inflamasi akut menampilkan akumulasi dari netrofil dan eksudat plasma di luar pembuluh darah. Di kapiler paru-paru yang tidak terinfeksi, isi darah ini normalnya dipisahkan dari udara di alveolus oleh kurang dari 1µm, penghalang yang paling tipis antara darah dan lingkungan luar. Terperangkapnya netrofil di kapiler ini sebagai hasil desakan geometri dan biofisikal, sehingga menambah kuantitas per volume darah kira-kira 50 kali dibandingkan dengan pembuluh darah lain, pembentukan sejumlah netrofil yang siap berespon ketika diperlukan.
Selama infeksi paru, netrofil bermigrasi keluar dari kapiler paru dan masuk ke dalam rongga udara alveolar. Elie Metchnikoff, penemu fagositosis menganggap netrofil (atau mikrofag sebutan olehnya) menjadi sel pertahanan yang luar biasa melawan mikroorganisme. Setelah fagositosis, netrofil membunuh mukroba yang diingesti dengan senyawa oksigen reaktif (cth: hipoklorit), protein anti mikroba (cth: permeabilitas bakterisid yang diinduksi oleh protein dan laktoferin), dan enzim penghancur (cth: elastase) (gbr 1). Suatu jalur tambahan penghancuran bakteri telah diidentifikasi –perangkap netrofil ekstraselular (NET). Netrofil extrude (NETs) yang tersusun atas jaringan kromatin yang berisi protein anti mikroba, dan NETs ini menjerat dan membunuh bakteri ekstraselular. Masih ditentukan apakan NETs berguna dalam mekanisme pertahanan inang melawan mikroba yang motil di cairan yang tidak berstruktur dan bergerak yang mengisi rongga udara paru yang terinfeksi.
Isi protein plasma pada interstisium dan rongga udara paru yang terinfeksi ditentukan oleh aksi kombinasi aliran besar periselular dan transpor transelular oleh sel endotel dan epitel. Banyak protein plasma termasuk antibodi alami, protein komplemen, C-reaktif protein (yang berasal dari serum pasien dengan pneumonia), dan pentraxin 3 adalah penting sebagai pertahanan melawan mikroba di paru-paru. Mereka melakukan fungsi opsonisasi, bakteriostatik dan mikrobisidal selama infeksi. Defisit dalam jumlah netrofil (netropenia) dan defek pada kualitas (seperti pada penyakit granulomatous kronik) berperan dalam menentukan pasien untuk mendapatkan infeksi opurtunistik paru, begitu juga dengan defisiensi komplemen dan immunoglobulin. Karena netrofil dan protein plasma memperantarai fungsi imun bawaan dan diperlukan untuk mencegah infeksi paru, inflamasi akut biasa dianggap sebagai respon imin bawaan yang penting dalam paru.

b. Proses terjadinya inflamasi akut pada paru yang terinfeksi
b.1. Molekul yang mendeteksi mikroba
Mikroba pasti dideteksi oleh sel inang untuk memulai proses inflamasi pada paru yang terinfeksi. Identifikasi penyerbuan mikroba bergantung pada satu set reseptor yang bermacam-macam yang disebut resptor-reseptor pengenal pola, yang melekat pada cairan molekular yang umumnya terdapat pada mikroba. Penemuan kelompok baru reseptor pengenal pola, seperti reseptor yang menyerupai jembatan, pengikat nukleotida, dan protein yang berbasis oligomerisasi dan penarikan caspase berbasis helicase, telah melengkapi penelitian tentang biologi imunitas bawaan. Tabel 1 mendaftar beberapa reseptor pengenal pola dengan hubungan langsung terhadap imunitas bawaan pada paru-paru atau terhadap infeksi pernafasan.
Untuk beberapa mikroba, ada variasi molekul yang bisa mengaktifkan banyak reseptor pengenal pola yang berbeda. Barangkali karena alasan ini defisiensi reseptor pengenal pola pada individu menghasilkan mode fenotip yang lebih banyak selama percobaan yang menginduksi infeksi saluran nafas bawah akut daripada defisiensi protein adapter aliran bawah dengan sinyal dari banyak reseptor pengenal pola. Jalur sinyal intraselular dicetuskan oleh berbagai reseptor pengenal pola yang berkumpul pada pusat sinyal, seperti faktor-faktor transkripsi pada faktor inti ĸB (NF-ĸB) dan golongan faktor regulasi interferon. Faktor-faktor ini menggabungkan sinyal dari berbagai stimulus (berhubungan dengan reseptor pengenal pola) dan respon-respon pencetus. NF-ĸB memperantarai transkripsi molekul adhesi, chemokin, colony stimulating factor dan sitokin-sitokin lain yang diperlukan untuk respon inflamasi. Pada tikus dengan perangsangan oleh bakteri di paru, NF-ĸB rel A (juga dikenal sebagai p65) diperlukan untuk membangkitkan produksi molekul adhesi dan chemokin dan juga untuk memulai berkumpulnya netrofil dan pertahanan inang. Faktor regulasi interferon memperantarai ekspresi dari interferon tipe 1 dan interferon yang dibangkitkan oleh gen antivirus. Faktor regulasi interferon 3 mempengaruhi infeksi virus parainfluenza di paru tikus. Tapi gen dan fungsi imun yang diperlukannya atau faktor regulasi interferon yang lain selama infeksi paru masih tidak diketahui.

b.2. Sel – sel sentinel di paru-paru
Populasi sel myeloid dengan fungsi khusus seperti sel sentinel, makrofag alveolar dan sel dendritik, terletak dalam paru-paru. Sel-sel ini terutama dilengkapi dengan reseptor pengenal pola, dan secara alami dikondisikan untuk melawan mikroba yang berasal dari udara luar.
Makrofag alveolar adalah sel yang mobil yang berpatroli di permukaan luminal alveoli. Makrofag alveolar juga dikenal sebagai dust sel karena kemampuannya untuk menghilangkan dan mencerna zat-zat inert yang terhirup. Mereka juga menghasilkan tanda peringatan ketika paru diinfeksi, tetapi penghambatan sinyal ini hingga waktu yang tepat adalah sangat penting. Suatu mekanisme penghambatan yang mungkin memerlukan ujung globular dari protein A dan D surfaktan, yang mengikat reseptor makrofag alveolar dan menekan aktivitas inflamasi pada paru-paru yang terinfeksi. Selama infeksi, ujung globular ini melekat pada zat-zat patogen, dan adanya ujung kolagen oligomerisasi (suatu hasil pengelompokan protein surfaktan pada permukaan zat patogen) mengaktifasi makrofag alveolar yang sebelumnya diam. Hal ini masuk akal bahwa aktivitas inflamasi dari makrofag alveolar secara konstitutif ditekan oleh Transforming growth factor (TGFβ) yang dihasilkan oleh integrin sel epitel. Produk mikroba mengawali sinyal yang memperkuat supresi ini, dengan demikian mengaktivasi fungsi inflamasi makrofag alveolar.
Sel dendritik tersebar diseluruh saluran nafas. Pada jalan nafas bagian konduksi, sel dendritik intra epitel tersebar hingga ke cairan di lumen saluran nafas, dimana mereka memakan zat-zat dari material yang disapu oleh transport mukosiliari dari alveolus menuju glottis. Sebagai respon adanya mikroba di paru-paru, maka lebih banyak sel dendritik bermigrasi ke paru-paru melalui jaringan dan juga melalui aliran kelenjar limfe. Sel dendritik adalah tipe sel yang mempresentasikan antigen dan merupakan pusat respon imun yang didapat. Sel dendritik juga memiliki fungsi penting dalam imunitas bawaan, reseptor pengenal pola yang mereka miliki membuat mereka secara khusus cocok untuk mendeteksi virus dan ketika terangsang mereka mulai menghasilkan interferon tipe 1 dengan level yang sangat tinggi. Penurunan jumlah sel dendritik atau terputusnya sinyal dari interferon 1 menembah kemungkinan terjadinya infeksi virus di paru.
Makrofag alveolar dan sel dendritik memiliki kemampuan yang terbatas untuk membunuh mikroba tetapi mereka sangat penting untuk mengenali mikroba dan mengirim informasi ini ke sel-sel lain seperti sel epitel dan limfosit. Sel-sel ini kemudian mengumpulkan efektor imunitas bawaan yaitu netrofil.

b.3. Efektor-efektor imunitas bawaan
Rekrutmen netrofil dicetuskan oleh sel-sel paru. Cetusan molekul adhesi pada sel paru mengakibatkan penarikan dan sinyal informasi terhadap netrofil. Chemokin dari sel-sel paru menyebabkan kemotaksis dan mempengaruhi arah pergerakan netrofil. Colony stimulating factor (CSF) menyebabkan produksi netrofil dan pelepasannya dari jaringan haematopoeitik.
Sawar epitel diantara isi rongga udara paru (termasuk mikroba) dan pengendapan zat-zat menyebabkan hambatan transfer informasi terhadap rekrutmen netrofil. Pada tikus transgenik penghambatan terhadap aktivasi NF-ĸB ditunjukkan secara eklusif dalam sel epitel paru, Penghambatan aktivasi NF-ĸB mengurangi ekspresi sitokin dan juga chemokin netrofil. Defek pada ekspresi gen sel epitel mengganggu proses rekrutment netrofil dan pembunuhan bakteri dalam paru-paru.
Dengan meningkatnya pengetahuan terhadap peranan sel epitel dalam inflamasi paru, usaha-usaha sedang dilakukan untuk menjelaskan jalur aktivasi sel epitel pada paru yang terinfeksi. Sel epitel paru bisa diaktivasi secara langsung oleh beberapa mikroba, seperti Staph aureus, Pseudomonas aeruginosa, tetapi mikroba lain seperti Pneumococci (Penyebab terbanyak pneumonia komunitas), sulit atau tidak bisa dikenali oleh sel epitel. Selama pneumonia pneumococus, sinyal alarm dibangkitkan oleh sel sentinel myeloid terutama TNF-α dan interleukin-1 (1α dan 1β), penting untuk aktivasi epitel dan menimbulkan respon inflamasi. Blok terhadap sinyal dari TNF-α atau interleukin 1 menghasilkan efek-efek yang ringan jika dibandingkan dengan blok terhadap kedua jalur tersebut secara simultan, menimbulkan anggapan bahwa sitokin-sitokin ini memiliki fungsi yang tumpang tindih selama infeksi saluran nafas akut. Pertahanan inang yang diperantarai netrofil melawan pneumocici pada paru-paru memerlukan sinyal-sinyal tersebut.
Sel-sel epitelial juga bisa diaktivasi oleh sitokin limfosit (gbr 2). Interleukin 17 mengaktivasi sel epitel untuk melepaskan chemokin dan CSF dan ini penting untuk sistem pertahanan inang yang diperantarai netrofil selama infeksi Kleibsella pneumonia. Selama infeksi tersebut, interleukin 17 diproduksi oleh sel T dan produksinya distimulasi oleh sinyal lain dari interleukin 23 makrofag. Suatu sub populasi dari beberapa sel T natural killer di paru juga bisa membangkitkan interleuki 17 untuk merangsang sel epitel dan mendatangkan rekrutmen netrofil, dan interleukin 17 yang dihasilkan sel-sel ini tidak bergantung pada interleukin 23. Sel T yang mensekresi interleukin 17 juga melepaskan interleukin 22, yang berfungsi seperti interleukin 17 dalam mengaktivasi sel-sel epitel. Jika, kapan dan bagaimana interleukin 22 mempebgaruhi respon imun bawaan selama infeksi paru adalah pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Netrofil bukanlah titik akhir dalam jalur komunikasi ini, tapi menyampaikan informasi penting yang mengarahkan respon imun, Netrofil membangkitkan sinyal proinflamasi seperti TNF-α, interleukin 1 dan chemokin, chemerin (yang menarik dan mengaktivasi sel dendritik) dan perangsang limfosit β yang mengatur pemilihan, daya tahan dan pertumbuhan sel β. Netrofil adalah sumber sel T yang mengaktivasi sitokin interleukin 12 pada paru-paru dan interleukin 12 memperkuat interferon γ untuk membantu pertahanan inang yang diperantarai netrofil selama pneumonia. Netrofil berkemampuan melepaskan reseptor pengenal pola ekstraselular pentraxin 3, dan inang dengan pertahanan tubuh yang lemah misalnya tikus dengan defisiensi petraxin 3 bisa ditingkatkan dengan pemberian larutan pentraxin 3 atau melalui transfer netrofil dari tikus lain tapi yang tidak mengalami defisiensi pentraxin3. Jadi respon imun bawaan yang didapat maupun bawaan melawan mikroba pada paru diatur oleh sinyal-sinyal yang berasal dari netrofil
c. Inflamsi dan Cedera paru akut
Inflamsi berbahaya bagi imunitas bawaan dan pertahanan tubuh inang, tapi inflamasi juga bisa mencederai paru-paru. Pengumpulan cairan plasma ekstravaskular, sebagian pada udem paru non kardiogenik, adalah pertanda cedera paru-paru akut. Hasil produksi netrofil yang dibangkitkan untuk membunuh mikroba seperti golongan oksigen reaktif dan protease juga membunuh sel inang dan merusak jaringan inang. Resiko-resiko inflamasi sebenarnya telah didemontrasikan pada model yaitu tikus transgenik dimana aktivasi NF-ĸB pada sel epitel paru cukup untuk menyebabkan rekrutmen netrofil, edema paru, hipoksemia arterial dan kematian meskipun tidak ada infeksi atau rangsangan eksogen apapun. Jadi, respon imun bawaan diperlukan untuk menjaga paru dari mikroba tapi juga bisa menyebabkan cedera dan berperan pada patofisiologi infeksi. Barangkali oleh karena hal ini, infeksi paru merupakan penyebab terbanyak dari sindrom distres pernapasan akut.
Penghambatan sinyal inflamasi bisa bersifat melindungi selama infeksi paru. Sebagai contoh, penghentian sinyal TNF-α dan interleukin 1 sekaligus (tapi tidak salah satunya saja) mengurangi edema paru dan berkurangnya komplians paru yang sering ditemukan pada tikus dengan pneumonia E. Coli. Reseptor pencetus yang terdapt pada sel Myeloid 1 (TREM-1) yang berfungsi pada jalur umpan balik positif untuk memperkuat TNF-α, interleukin 1 dan inflamasi, hal ini sangat berhubungan erat dengan pasien pneumonia yang pengukuran TREM-1 yang terlarut dalam cairan lavase bronkhoalveolar telah dikemukakan sebagai tes diagnostik. Penghambatan TREM-1 mengurangi TNF, interleukin 1 dan tampilan patofisiologi pada tikus dengan pneumonia P.aeruginosa. Kortikosteroid bisa efektif sebagai penghambat non spesifik inflamasi. Pada uji coba klinis, infus kortikosteroid pada pasien dengan pneumonia komuniti berat, 23 pasien yang mendapt kortikosteroid mengalami cedera paru yang lebih sedikit dan angka harapan hidup yang lebih tinggi daripada 23 pasien yang mendapat plasebo. Hasil dari uji coba ini masih provokatif tapi harus dipandang dengan hati-hati hingga studi lebih lanjut dilengkapi. Adanya celah dalam ilmu pengetahuan masih substantial. Hal ini belum pernah terjadi pada pasien yang mana infeksi mungkin bermanfaat daripada terapi antiinflamasi. Pada keseluruhannya, studi ini menyatakan bahwa terapi dengan bertarget inflamasi mungkin bermanfaat dalam mengatasi infeksi paru berat tertentu dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk masalah ini.
Virus influenza patogenitas tinggi sperti virus avian influenza A (H5N1) dan virus yang menimbulkan pandemic pada 1918, menimbulkan respon inflamasi yang kuat pada manusia dan hewan coba. Adanya kesamaan pada respon yang berlebihan menyokong ide bahwa apa yang disebut dengan badai sitokin memperantarai patofisiologi selama infeksi ini, tapi bukti langsung yang mendukung konsep ini masih kurang. Berkurangnya jumlah netrofil akan meningkatkan pertumbuhan virus dan mempercepat kematian pada tikus yang terinfeksi virus influenza A H5N1, memberi kesan bahwa sedikitnya infeksi pada percobaan ini, netrofil melakukan lebih banyak manfaat daripada kerugian yang ditimbulkannnya. Penghentian sinyal sitokin pada tikus dengan infeksi virus influenza A H5N1 ada sedikit atau sama sekali tidak ada efek. Anggapan bahwa sitokin terlalu jauh diteliti adalah tidak terlalu penting terhadap patofisiologi infeksi virus influenza A H5N1. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menerangkan apakah, dan jika begitu mediator inflamasi mana yangmempengaruhi patofisiologi infeksi virus influenza patogenitas tinggi dan apakah penghentian sitokin atau jalur sinyal aliran atas atau bawah dari sitokin bisa melindungi inang dari cedera inflamasi selama infeksi seperti ini.
d. Regulasi Inflamasi akut pada paru yang terinfeksi
Tubuh memerlukan mekanisme-mekanisme untuk memelihara inflamasi akut tetap terjaga. Belum banyak diketahui tentang mekanisme regulasi ini bila dibandingkan dengan pengetahuan tentang mekanisme pencetusan dan penguatan inflamasi. Beberapa contoh bagaimana mekanisme regulasi mempengaruhi hasil dari infeksi paru dibahas disini.
Strategi penghentian seperti ini adalah untuk membatasi aktifitas NF-ĸB. Protein p50 NF-ĸB memiliki banyak fungsi seperti mengekang transkripsi gen dengan tempat perlekatan NF-ĸB di promotornya. Selama pneumonia bakterial pada tikus, defisiensi p50 meningkatkan ekspresi sitokin dan mencetuskan cedera paru. Jadi, p50 fungsi normalnya adlah untuk mencegah pertambahan sitokin dan cedera inflamasi selama pneumonia.
Mekanisme lain berhubungan dengan adanya sinyal yang berasal dari reseptor pengenal pola. Reseptor interleukin 1 yang berhubungan dengan kinase (IRAK)-molekul yang menyerupai (IRAK-M) menghambat IRAK yang memperantarai pensinyalan dari reseptor pengenal pola dan sitokin yang mengaktivasi NF-ĸB. Sepsis mencetuskan IRAK-M pada makrofag alveolar tikus, dan protein ini mengurangi ekspresi sitokin dan membahayakan pertahanan paru inang. IRAK-M mungkin berperan dalam terjadinya sepsis pada pasien oleh karena nosokomial pneumonia. Molekul regulasi yang lain menghambat pensinyalan reseptor pengenal pola secara tidak langsung. Sebagai contoh, karbonmonoksida yang dihasilkan oleh heme oksigenase-1 menghambat pensinyalan reseptor pengenal pola transmembran. Defisiensi heme oksigenasi-1, meningkatkan inflamasi dan cedera yang diinduksi oleh bakteri dan virus influenza pada paru-paru tikus. Pencegahan cedera mungkin dapat dilakukan dengan antiinflamasi dana aktivitas perlindungan jaringan terhadap heme oksigenase-1.
Tranduser sinyal dan aktivator transkripsi 3 (STAT 3) juga memiliki efek anti inflamasi dan perlindungan jaringan. Mutasi pada STAT 3 menyebabkan sindrom hiper Ig E yang ditandai dengan infeksi paru yang berat dan berulang. Faktor transkripsi ini diaktivasi oleh makrofag dan sel epitel selama inflamasi paru akut.. Makrofag STAT 3 memperantarai respon anti inflamasi yang diinduksi oleh sitokin interleukin 10 yang menurunkan pertahanan inang tapi membatasi cedera paru selama pneumonia. Sel epitel STAT 3 penting dalam mencegah cedera paru selama infeksi. Sinyal-sinyal yang mengaktifkan sel epitel STAT 3 masih belum pasti, tapi tidak mungkin melibatkan interleukin 10. Aktivasi STAT 3 pada paru selama infeksi E. Coli sebagian bergantung pada interleukin 6, yang penting untuk mengatasi pneumonia akibat bakteri.
Prostaglandin 1 (prostasiklin) dikeluarkan selama infeksi pernafasan oleh sinsitial virus dan mempunyai efek protektif yang mungkin diperantarai oleh efek anti inflamasi sel dendritik. Sebagai tambahan untuk terjadinya aktivitas anti inflamasi, lipid-lipid lain seperti lipoxin, resolvin, protektin membantu jaringan inflamasi kembali sehat. Selama dan setelah pneumonia, perubahan arsitektur lobus paru dari konsolidasi komplit ke keadaan normal dapat dinilai. Sayangnya, tidak banyak penelitian yang melaporkan mekanisme-mekanisme yang mendasari proses resolusi selama infeksi paru, jadi dugaan adanya peranan lipid saat ini harus didasarkan pada ramalan saja.
e. Respon mikroba terhadap inflamasi
Infeksi saluran nafas bawah akut bisa disebabkan oleh monomikroba atau polimikroba, dengan virulensi yang berbeda-beda mulai dari yang komensal hingga yang patogenitas tinggi. Mikroba-mikroba ini memiliki mekanisme untuk meniadakan efek banyak efektor dan proses pengiriman sinyal seperti yang telah dijelaskan di atas. Subversi mikroba pada jalur individual mungkin merupakan suatu tekanan selektif yang mengarahkan inang mamalia untuk mengalami jalur multipel, pararel kadang-kadang terlihat berlebih-lebihan untuk imunitas bawaan denagn aktivasi epitel. Strategi beberapa mikroba secara khusus berhubungan dengan infeksi paru dan jalur imunitas bawaan seperti yang dijelaskan diatas adalah topik utama yang dijadikan contoh. Meniadakan mekanisme efektor imunitas bawaan jelas menguntungkan bagi mikroba meskipun NETs telah ditemukan baru-baru ini, tindakan balasan dari mikroba telah diketahui. Sebagai contoh, NETs yang dilepaskan oleh netrofil gagal menangkap dan membunuh pneumococci. Suatu DNase pneumococcal membelah NETs dan bakteria bebas. Selama infeksi DNase ini adalh suatu faktor virulensi yang memberikan suatu keuntungan kompetitif bagi bakteri untuk melawan bakteri golongan mutasi DNase di paru-paru tikus yang menghasilkan peningkatan mortalitas akibat pneumonia pada tikus tersebut. Mencegah inang dalam mendeteksi patogen adalah strategi lain yang sering digunakan oleh mikroba. Sebagai contoh asam retinoat (gen I yang dapat diinduksi oleh pola intraselular) reseptor pengenalan untuk RNA virus dilekati oleh protein virus influenza yang mencegah pensinyalan aliran bawah, aktifasi faktor regulasi interferon dan ekspresi dari interferon tipe 1. Penghapusan protein ini melemahkan infeksi viru influenza menambah jumlah interferon tipe 1 di paru-paru dan mengurangi mortalitas. Banyak pathogen menghentikan jalur pensinyalan proinflamasi dan memperkuat jalur pensinyalan anti inflamasi.
Patogen paru tidak hanya mengganggu dalam pensinyalan sistem imun inang, mereka juga mendengar percakapan imun dan menggunakan informasi ini untuk membimbing mereka dalam memberi respon yang sesuai. Sebagai contoh P.aeruginosa memiliki reseptor yang dapat mengenali interferon γ, dan apabila ada interferon γ reseptor ini akan mencetuskan ekpresi gen yang menyebabkan pembentukan biofilm. Biofilm tersebut memungkinkan bakteri lebih kebal terhadap imunitas bawaan dan antibiotik, kemungkinan ini adalah respon adaptif selama infeksi. Sebagai tambahan P.aeruginosa dan bakteri ayng lain berespon terhadap TNF-α dan sitokin yang lain dengan meningkatkan laju pertmbuhan. Pada tikus yang netropenia, kemampuam TNF-α untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri memperburuk infeksi paru. Jadi, patogen mengetahui pensinyalan imun bawaan dan berespon dengan jalan mengalahkan pertahanan inang dan memfasilitasi infeksi.
f. Variasi genetik dalam jalur inflamasi
Mekanisme untuk membangkitkan dan mengatur inflamasi akut telah dijelaskan di atas, untuk menentukan hasil dari percobaan infeksi paru yang diinduksi pada hewan coba. Adanya kekurangan dan polimorfisme pada gen manusia sebagai faktor-faktor yang terlibat dalam mekanisme ini telah dihubungkan dengan infeksi paru dan segala akibatnya seperti infeksi yang invasif dan menyeluruh atau cedera paru akut. Meskipun ada pembatasan pada asosiasi genotip-fenotip menjamin perimbangan ini. Data-data tersebut mengindikasikan bahwa pengetahuan tentang imunitas bawaan dan infeksi paru yang didapat dari percobaan terhadap hewan bias diaplikasikan pada manusia. Variasi genetik pada mediator-mediator imunitas bawaan mempengaruhi hasil keluaran dari paparan saluran nafas bawah manusia terhadap mikroba. Alasan lain mengapa studi mengenai genotip dan fenotip manusia penting adalah bahwa hal-hal tersebut terjadi di alam daripada di lingkungan laboratorium. Infeksi melibatkan persimpangan antara inang dan mikroba dalam komplek dan ekosistem dinamik yang tidak sesuai dengan penelitian di laboratorium.Sebagai contoh, pasien dengan defisiensi IRAK-4 (dengan sinyal berasal dari banyak reseptor pengenal pola) dapat lebih rentan terhadap mikroba spektrum sempit, meliputi rentang umur yang sempit, dan dengan variasi populasi yang lebih banyak daripada percobaan invitro dengan sel manusia atau percobaan invivo dengan sel ikus. Pasien dengan immunodefisiensi cenderung dating dengan suatu grup infeksi (Cth: Pasien dengan penyakit granulomatous kronik khususnya rentan terhadap 5 mikroba. Variasi genom dan lingkungan menghasilkan rentang kerentanan diantara pasien dengan immunodefisiensi yang sama. Di masa depan analisis poligenik mungkin bisa menunjukkan polimorfisme kombinasi pada gen yang multipel mempengaruhi infeksi paru secara lebih dramatis daripada variasi monogenic, karena jalur pararel adalah umum pada imunitas bawaan. Suatu tema yang mendesak bahwa kerentanan genetik terhadap infeksi adalah lebih sering dari yang dikira sekarang. Kerentanan tersebu mungkin saja poligenik dengan penetrasi inkomplit terbatas pada fenotip klinis yang dijelaskan secara singkat.

g. Kesimpulan
Respon imun bawaan terhadap mikroba di pari menentukan hasil keluaran dari infeksi, adanya respon yang kurang bisa menyebabkan infeksi yang mengancam nyawa, tapi respon yang berlebihan bisa mengarah pada cedera inflamasi yang juga mengamcam nyawa. Penelitian lebih lanjut akan menolong mengidentifikasi populasi-populasi yang kemungkinan besar mendapatkan infeksi paru berat dan akan memandu dalam pengembangan intervensi terapetik dan propilaksis.