ILMU USHUL FIQH

BAB I
ILMU USHUL FIQH

A. Pengertian Ushul Fiqh
Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil hukum). Atau dapat diartikan sebagai kaidah-kaidah yang merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya perbuatan yang diperoleh dengan mengumpulkan dalil secara terinci.

B. Hubungan Fiqh dengan Ushul Fiqh
1. Ulumul Hadits dibutuhkan untuk mengeluarkan hukum dan perbuatan-perbuatan manusia yang dikehendaki oleh fiqh.
2. Ilmu fiqh merupakan produk dari Ushul Fiqh, semakin maju Ushul Fiqh maka ilmu fiqh juga akan semakin maju.

C. Ruang Lingkup Pembahasan Ushul Fiqh
Arti Ushul Fiqh tidak terlepas dari “asal” dari arti “furu”. Asal artinya sumber, dasar atau sesuatu yang menjadi dasar oleh sesuatu yang lain. Dan furu merupakan sesuatu yang dileakkan di atas asal tadi.
Asal menurut istilah dipakaikan kepada pengertian berikut:
1. Kaidah kulliyah (peraturan umum), melaksanakan semua peraturan yang ditetapkan syara’, kecuali bila dalam keadaan terpaksa, contohnya seperti orang yang memakan bangkai karena terpaksa tidak ada makanan lainnya, padahal menurut syara’ bangkai haram hukumnya.
2. Rajih (terkuat), asal pada perkataan seseorang benar menurut orang yang mendengar.
3. Mustashhab, yaitu menetapkan hukum sesuatu atas hukum yang telah ada, seperti yakin berwudhu ragu dalam berhadats tetap seorang itu dalam keadaan suci.
4. Maqis ‘alaih (tempat mengqiaskan).
5. Dalil (alasan) yaitu asal hukum.
Sumber-sumber Fiqh Islam
1. Al-Qur’an
2. Sunnah
Untuk kedua sumber hukum Islam ini para fuqaha atau para ahli hukum tidak ada perbedaan. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum Islam.
3. Qiyas
Artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illatnya. Atau mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya.
Rukun-rukun qiyas:
a. Asal, yaitu dasar atau titik tolak di mana suatu masalah itu dapat disamakan (musyabbah bih)
b. Furu’, yaitu suatu masalah yang akan diqiaskan disamakan dengan asal tadi disebut mustabbah.
c. Illat, yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya suatu hukum.
d. Hukum, yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furu’ bila sudah ada ketetapan hukumnya pada asal, disebut buah/hasil.
Macam-macam qiyas:
a. Qiyas aula, yaitu illat yang terdapat pada qiyas (furu’) lebih aula daripada illat yang ada pada tempat mengqiaskan.
b. Qiyas musawy, yaitu illat yang terdapat pada diqiyaskan (furu’) sama dengan illat yang ada pada tempat mengqiyaskan (asal), karena itu hukum keduanya sama. Seperti mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya, karena illatnya sama-sama menghabiskan.
c. Qiyas dalalah, yaitu illat yang ada pada qiyas menjadi dalil (alasan) bagi hukum tetapi tidak diwajibkan baginya (furu’). Seperti mengqiyaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah mencapai nisabnya, tetapi bagi anak-anak tidak diwajibkan mengeluarkan zakat.
d. Qiyas syabah, yaitu menjadikan yang diqiyaskan (furu’) dikembalikan kepada antara dua asal yang lebih banyak persamaan antara keduanya.
e. Qiyas adwan, yaitu diqiyaskan (furu’) terhimpun pada hukum yang ada pada tempat mengqiyaskan, seperti mengqiyaskan memakai perak bagi laki-laki kepada memakai emas, menurut ulama hukumnya haram.
4. Ijma’
Menurut bahasa artinya cita-cita, rencana, atau kesepakatan. Sedangkan menurut syara’, ijma; adalah suatu kesepakatan bagi mujtahid di antara umat Nabi Muhammad Saw. sesudah beliau meninggal dalam suatu masalah yang dihadapi.
Macam-macam ijma’:
a. Ijma’ qath’iy, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah tanpa ada bantahan di antara mereka.
b. Ijma’ sukuthiy, yaitu suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum suatu masalah, kesepakatan dengan menerima tantangan di antara mereka atau tenang saja salah seorang di antara mereka dalam mengambil keputusan.

D. Peranan dan Kedudukan Ushul Fiqh
Peranan Ushul Fiqh ialah sebagai kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengistinbathkan hukum dan dalil-dalil yang terinci dan kuat. Dan sebagai sarana dalam menciptakan lahirnya ketentuan fiqhiyah.
Kedudukan Ushul Fiqh ialah sebagai dasar dari fiqh Islam, artinya Ushul Fiqh itu merupakan sumber-sumber atau dalil-dalil dan bagaimana cara menunjukkan dalil-dalil tersebut kepada hukum syara’ secara garis besar.
Jadi peranan dan kedudukan fiqh dan ushul adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan dalam sasarannya menerapkan hukum Islam terhadap orang-orang mukallaf.
Mantuq dan Mafhum
Mantuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafadz atau lafadz itu sendiri. Sedangkan mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz, tetapi bukan dari ucapan lafadz itu sendiri.
Misalnya dalam QS. Al-Isra’ ayat 23, di dalamnya ada ayat mantuq dan mafhum. Mantuqnya pada lafadz itu sendiri “jangan kamu katakan kepada dua orang tuamua perkataan keji” sedangkan mafhum yang tidak disebutkan untuk memukul dan menyiksanya juga dilarang.
Pembagian mantuq
1. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin dita’wilkan lagi.
2. Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendaki kepada penta’wilan.
Pembagian mafhum:
1. Mafhum muwafaqah
Ialah pengertian yang dipahami sebagai sesuatu menurut ucapan lafadz yang disebutkan. Macam mafhum muwafaqah ada dua, yaitu fahwal khithab dan lahnal khithab.

2. Mafhum mukhalafah
Ialah pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbath (menetapkan) maupun nafi’ (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafadz yang diucapkan.
Contohnya, pemahaman tentang QS. Jum’ah ayat 9, yaitu dalam ayat ini bahwa boleh jual beli di hari Jum’at sebelum adzan dan sesudah mengerjakan sembahyang.
Syarat-syarat mafhum mukhalafah:
a. Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah.
b. Yang disebabkn (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
c. Yang disebutkan (mantuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan.
d. Yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti kepada yang lain.
Macam-macam mafhum mukhalafah:
a. Mafhum shifat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada salah satu sifatnya. Contohnya dalam QS. An-Nisa’ ayat 92:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (النساء: 92)
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa’: 92).
b. Mafhum ‘illat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada salah satu sifatnya. Contoh pengharamakan khamr karena memabukkan.
c. Mafhum ‘adat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu kepada bilangan yang tertentu. Contohnya dalam QS. An-Nur ayat 4:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور: 4)
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur: 4).
d. Mafhum ghayah, yaitu lafadz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan, hingaan), hingga lafadz ghayah ini adakalanya dengan “ilaa” atau dengan “hatta”. Seperti dalam QS. Al-Maidah ayat 6 atau QS. Al-Baqarah ayat 22:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (المائدة: 6)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al-Maidah: 6).
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة: 222)
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (QS. Al-Baqarah: 222).
e. Mafhum had, yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ‘adat di antara adat-adatnya. Seperti dalam QS. Al-An’am ayat 145:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (الأنعام: 145)
Artinya: “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi –karena sesungguhnya semua itu kotor– atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-An’am: 145).
f. Mafhum laqab, yaitu menggantungkan hukum kepada isim alama atau isim fa’ilmu.

Qaidah-qaidah Istimbath Hukum
A. Amar
Arti amar menurut bahasa adalah suruhan, perintah dan perbuatan. Sedang menurut istilah ialah tuntutan memperbuat dari atasan kepada bawahan, dalam hal ini ada beberapa kaidah istimbath hukum:
1. Amar menunjukkan kepada wajib
2. Amar menunjukkan kepada sunnah
3. Amar tidak menunjukkan untuk berulang-ulang
4. Amar tidak menunjukkan untuk bersegera
5. Amar dengan sesuatu wasilah-wasilahnya
6. Amar menurut masanya.
7. Ganti dengan perintah baru
8. Martabat amar
9. Amar sesudah larangan memfaedahkan akan boleh.

B. Nahi
Nahi artinya larangan, cegahan. Sedangkan menurut istilah agama ialah tuntutan meninggalkan dari atasan kepada bawahan. Dalam persoalan ini terdapat beberapa ketentuan yang berhubungan dengan bentuk larangan:

1. Asal pada larangan ialah untuk haram. Seperti dalam firman Allah SWT. QS. An-Nisa’ ayat 43:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (النساء: 43)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun”. (QS. An-Nisa’: 43).
2. Larangan dari sesuatu merupakan suruhan bagi lawannya
3. Larangan yang mutlak menghendaki berkekalan dalam sepanjang masa.
4. Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadah.
5. Larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam ber’aqad (mu’amalat).

C. ‘Am
‘Am suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja. Seperti kata arrijal, maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.
Pembagian ‘am:
1. Umum syumuliy, yaitu lafadz yang digunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi, seperti dalam QS. An-Nisa’ ayat 1:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (النساء: 1)
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An-Nisa’: 1).
2. Umum Badaliy, yaitu suatu lafadz yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku untuk sebagian afrad (pribadi), seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 183:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (ابقرة: 183)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183).

Lafadz-lafadz umum:
1. Kullun, jami’un, kaffatun dan ma’syara
2. Man, maa dan aina pada majaz
3. Man, maa, aina dan mata untuk istifham (pertanyaan)
4. Ayyu
5. Nakirah sesudah nafi
6. Isim maushul
7. Idhafah
8. Alif lam harfiyah

D. Khas
Khas artinya lafadz yang tidak meliputi mengatakannya sekaligus terhadap dua sesuatu atau beberapa hal tanpa menghendaki kepada batasan.

E. Takhshish dan Mukhashshish
Takhshish adalah mengeluarkan sebagian lafadz yang berada dalam lingkungan umum menurut hingaan yang tidak ditentukan. Sedangkan Mukhashshish ialah suatu dalil )alasan) yang menjadi dasar untuk adanya pengeluaran tersebut.
Pembagian Mukhashshish:
1. Mukhashshish Muttashil, yaitu yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi pengertiannya selalu berhubungan dengan lafadz sebelumnya.
2. Mukhashshish Munfashl, yaitu lafadz yang dapat berdiri sendiri tanpa dihubungi oleh kalimat yang pertama. Seperti masa iddah perempuan yang dithalaq adalah tiga kali suci (Al-Baqarah: 228), ditakhsishkan ‘iddah perempuan yang ditalaq dalam keadaan haml adalah sampai dengan melahirkan (Ath-Thalaq: 4).
Macam-macam Mukhashshish muttasil adalah istisna’, syarat dan sifat. Macam-macam Mukhashshish munfasil ialah:
1. Takhsish Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh QS. Al-Baqarah: 228 dengan At-Thalaq: 4:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (البقرة: 228)
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah: 228).
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا (الطلاق: 4)
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. (QS. At-Thalaq: 4).

2. Takhsish Al-Qur’an dengan sunnah
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
لايرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم
3. Takhsish sunnah dengan Al-Qur’an
لابقبل الله صلاة احدكم احدث حت يتوضاء
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
4. Takhsish sunnah dengan sunnah
فيما سقت السماء العسر
ليس فيما دون خمسة اسق صدقة
5. Takhsish sunnah dengan qiyas
لى الوجد الجل عرضه وعقوبته
Hadits ini ditakhsish oleh qiyas aulawy yang diambil dari pengertian ayat:
وَلاَتقل لهم اف

F. Mutlaq dan Muqayyad
Muthlaq ialah lafadz-lafadz yang menunjukkan kepada pengertian dengan tidak ada ikatan (batas) yang tersendiri berupa perkataan. Seperti yang disebutkan QS. Al-Mujadalah ayat 3:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (المجادلة: 3)
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadalah: 3).
Muqayyad ialah suatu lafadz yang menunjukkan atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan. Seperti dalam firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 92:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (النساء: 92)
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa’: 92).
Muradif dan Musytarak
Mudharif ialah lafadznya banyak sedang artinya sama. Adapun musytarak ialah satu lafadz yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-arti tersebut berbeda-beda. Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ …(البقرة: 228)
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang diceraikan itu menunggu tiga kali quru’…”. (QS. Al-Baqarah: 228).
Ta’wil
Ta’wil ialah memindahkan sesuatu perkataan dari makna yang terang (zhahir) kepada makna yang tidak terang (lemah, marjuh) karena ada sesuatu dalil yang menyebabkan makna yang kedua tersebut harus dipakai. Contoh firman Allah QS. Adz-Dzariyat ayat 47:
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ…(الذارية: 47)
Artinya: “Dan langit yang telah Kami bangun dengan tangan…”. (QS. Adz-Dzariyat: 47).
Lawan ta’wil adalah dhahir yang artinya sesuatu lafadz yang mempunyai dua makna yang salah satu mempunyai makna yang lebih jelas. Syarat-syarat ta’wil:
1. Adanya dalil yang menjelaskan bahwa maksud atau yang dikehendaki masih dalam muatan lafadz itu.
2. Bahwa ta’wil itu sesuai dengan bahasa, biasa digunakan oleh shahibusyar’i. Maka dengan demikian kalau ta’wil itu keluar dari dua hal tersebut dianggap tidak sah.

BAB II
HUKUM SYARAT: HUKUM TAKLIFI DAN WADH’I

A. Hukum Takhlifi
Hukum takhlifi mengandung tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu perbuatan atau memberikan kebebasan untuk memilih antara perbuatan atau tidak memperbuat. Hukum takhlifi diisyaratkan dapat dikerjakan dan mungkin dikerjakan oleh mukallaf. Karena itu hukum takhlifi tidak ada yang bertentangan dengan manusia. Hukum ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
1. Wajib
Menurut syara’ yaitu apa yang dituntuti oleh syara’ kepada mukallaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras, atau suatu perbuatan kalau dikerjakan akan mendapat pahala kalau ditinggalkan akan mendapatkan dosa.
2. Sunnah (Mandub)
Sunnah adalah sesuatu yang dituntut oleh syara’ memperbuatnya dari mukallaf namun tuntutannya tidak begitu keras, atau dengan kata lain diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya.
3. Haram
Haram adalah apa yang dituntut oleh syara’ untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras, atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya dan jika diperbuat akan mendapatkan siksa dan jika ditinggalkan mendapatkan pahala.

4. Makruh
Makruh yaitu apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras, atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang memperbuatnya namun tidak disiksa bila dikerjakan.
5. Mubah
Mubah yaitu apa yang diberikan kebebasan pada mukallaf untuk memilih antara memperbuat atau meninggalkannya.

B. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i yaitu hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang (mani’) terhadap sesuatu.
1. Sebab
Seab yaitu apa yang dijadikan syara’ sebagai tanda atas musabab dan dihubungkan adanya sebab dengan adanya musabab dan tidak adanya musabab karena tidak adanya sebab. Karena itu sebab tidak ada musabab pun tidak ada, dan kalau sebab tidak ada musabab pun tidak ada.
الحكم يرد مع العلة وجود او عداما
2. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah apa yang tergantung adnaya hukum dengan adanya syarat dan dengan tidak ada syarat maka hukum tidak ada. Syarat-syarat dalam perbuatan hukum kadang-kadang ditetapkan syara’ yang dinamakan syara’ dan kadang-kadang ditetapkan oleh mukallaf sendiri dinamakan syarat ja’li.
3. Mani’
Mani’ adalah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau batal sebab hukum sekalipun menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi karena adanya mani’ (mencegah) berlakunya hukum atasnya, atau dengan kata lain apabila terdapat hukum tidak akan ada atau sebab menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.
Mani’ kadang-kadang menjadi penghalang berlaku hukum syara’, seperti adanya hutang menjadi mani’ wajib mengeluarkan zakat, karena yang ada pada tangan pemilik bukan muliknya tetapi milik orang lain, sedang memenuhi hak orang lain lebih utama dari membantu fakir miskin agar orang yang berhutang bebas dari tanggung jawabnya. Hutang inilah yang menghapuskan syarat yang menjadi pelengkap sebab hukum syara’ sehingga dianggap tidak memenuhi syarat wajib zakat bukan karena adnaya mani’.
4. Rukhshah dan ‘Azimah
Rukhshah adalah hukum syara’ yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan. ‘Azimah adalah hukum yang disyari’atkan Allah semenjak semula bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu.
Sebab-sebab adanya rukhshah:
a. Adanya sakit
b. Bepergian
c. Masaqqah
d. Dharurat
e. Al-hajat
f. Mukrih
5. Sah dan batal
Lafal sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan perbuatan itu akan mendatangkan pahala di akhirat. Sebaliknya lafal batal dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia dan akhirat tidak mendapat pahala.
Menurut ulama bahwa setiap perbuatan apakah ibadah maupun mu’amalah tujuannya adalah untuk kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Dalam hal ini termasuk semua macam perjanjian mengandung dua tujuan pokok yaitu memenuhi tuntutan syara’ dan untuk mencapai dan mewujudkan kemaslahatan hidup.
6. Asas Hukum
a. Hifdzud Nasel
b. Hifdzu Aqli
c. Hifdzu Maal
d. Hifdzu Nafsi

BAB III
SUMBER-SUMBER FIQH/HUKUM ISLAM
YANG DISEPAKATI DAN YANG TIDAK DISEPAKATI

A. Sumber-sumber Fiqh/Hukum Islam yang Disepakati
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an yaitu kalamullah yang diturunkan oleh ruhul amin kepada Muhammad Saw. dalam bahasa Arab dan pengertiannya benar, agar menjadi hujjah bagi Rasul bahwa ia adalah Rasulullah menjadi dustur bagi orang yang mengikuti petunjuknya, menjadi ibadah bagi orang yang membacanya. Berdasarkan turunnya, wahyu dapat dibagi menjadi dua:
a. Wahyu yang turun di Makkah disebut Makiyah, berisi soal-soal kepercayaan (hablumminallah)
b. Wahyu yang turun di Madinah, disebut Madaniyah berisi soal-soal mengatur perhubungan sesama manusia yang berisi hukum-hukum dan syari’at-syari’at, akhlak (hablumminannas).
Isi pokok Al-Qur’an ada 3 macam, yaitu:
a. Rukun iman yaitu hal-hal yang tetap berlaku sesuatu yang telah mempunyai aturan tertentu.
b. Rukun Islam
c. Munakahat (perkawinan), mu’amalat (hukum pergaulan dalam masyarakat), jinayat (pidana), aqdiyah (hukum mengenai mendirikan pengadilan), khilafah (hukum mengenai pemerintahan), ath’imah (makanan dan minuman), jihad (peperangan).
2. Hadits/Sunnah
Hadits/sunnah menurut bahasa berarti jalan, peraturan, sikap dalam bertindak dan bentuk kehidupan. Sunnah dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Sunnah qauliyah (perkataan) yang disinonimkan dengan hadits
b. Sunnah fi’liyah, ialah segala yang pernah diperbuat oleh Rasul kemudian diikuti oleh kaum muslimin dalam melaksanakan ibadah shalat dan haji.
c. Sunnah taqririyah, ialah merupakan pengakuan ini baik dengan cara diam-diam atau dengan terus terang.
3. Ijma’
Ijma’ yaitu persetujuan pendapat dari para mujtahid atau kesepakatan dari para mujtahid pada suatu masa atas suatu hukum syara’. Macam-macam ijma’:
a. Ijma’ sukuti, yaitu sekelompok mujtahid berpendapat atau melakukan sesuatu sedangkan yang lain tidak memberi komentar atau tanggapan atau perlawanan.
b. Ijma’ jami’i yaitu semua orang atau mujtahid memberi komentar atau pendapat yang semuanya sama.
4. Qiyas
Qiyas yaitu menyamakan suatu hukum yang belum ada hukumnya pada suatu yang sudah ada hukumnya. Yang sudah ada ketentuannya karena adanya kesamaan-kesamaan.
Macam-macam qiyas:
a. Qiyas aula/aulawy, yaitu qiyas karena terdapat illat yang mewajibkan adanya hukum sedang yang disamakan itu hukumnya lebih berat daripada yang dibuat menyamakan.
b. Qiyas musawy, yaitu adanya illat mengharuskan adanya hukum maqis alaih atau maqisnya sama.
c. Qiyas dalalah, yaitu adanya sebab yang menunjukkan hukum tetapi tidak mengharuskan adanya hukum.
d. Qiyas shibhi, yaitu menyamakan maqis dan maqis alaih karena adanya persamaan-persamaan.
Rukun-rukun qiyas:
a. Dasar untuk mengqiyaskan (maqis)
b. Al-far’u (maqis alaih yang disamakan)
c. Al-illat (sebab)
d. Hukum (yang dijadikan kepastian).

B. Sumber-sumber Fiqh/Hukum Islam yang Tidak Disepakati
Yang dimaksud dengan sumber hukum Islam yang tidak disepakati (ikhtilaf) ialah sesuatu yang terjadi dalam penentuan mencari alasan atau dalil oleh para mujtahid. Hal ini karena tidak didapati dalam Al-Qur’an, sunnah, ijma’ maupun qiyas. Adapun macamnya adalah sebagai berikut:
1. Istihsan
Yaitu mencari kebaikan atau menganggap sesuatu lebih baik. sedangkan menurut istilah diartikan berpaling pada suatu masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat.
2. Istishab
Yaitu membawa atau menemani. Sedangkan menurut istilah berlangsungnya hukum yang telah ada semenjak masa lalu berdasarkan apa yang telah ada itu. Jadi istishab adalah menetapkan sesuatu keadaan sebelumnya, sehingga yang baru merubahnya.
3. Maslahah mursalah
Yaitu tiap-tiap maslahah yang tidak dikaitkan dengan nash pada hukum syara’ yang menjadikan kita menghormati atau menolaknya. Sedangkan jika diharai akan mendatangkan manfaat atau menolak kemudharatan.

Para ulama menerima maslahah mursalah ini dengan syarat sebagai berikut:
a. Maslahah hakiki, terang mendatangkan atau menolak kejahatan.
b. Maslahah bersift umum, tidak pribadi
c. Tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
4. Urf (adat istiadat)
Urf (adat) menurut bahasa adalah kebiasaan yang berlaku dalam perkataan, perbuatan atau meninggalkannya karena telah menjadi kebiasaan umum. Sedangkan menurut istilah berarti sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh yabiaty yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash dan syara’.
Urf ini terbagi menjadi dua aspek:
a. Urf qauli, yaitu mempergunakan sesuatu kalimat untuk sesuatu arti yang terbatas.
b. Urf amali, yaitu kebiasaan yang berupa amal atau pekerjaan, seperti antara tukang dan pekerja, jual beli secara mukallaf.
5. Saddudz dzara’i
Yaitu sesuatu yang dengannya akan menyebabkan kepada perbuatan terlarang dengan illat mengandung kerusakan.

BAB IV
IJTIHAD, TAKLID DAN ITBA’

A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari dalil-dalilnya.
Menurut ahli Ushul Fiqh ijtihad berarti mencurahkan segenap kesanggupan mujtahid dalam mendapatkan syara’ amali dengan satu metode. Pengertian demikian didasarkan pada kenyataan yang dihadapi kaum muslimin sejak masa Nabi.
Di masa Nabi, orang mengharapkan informasi ketentuan agama dari wahyu, baik dari Al-Qur’an maupun al-Sunnah. Jika tidak, maka Al-Qur’an memberikan arahan agar kaum muslimin melakukan istinbath, yaitu memahami dari penjelasan Rasul dan Ulil Amri. (An-Nisa’: 83).
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلاً (النساء: 83)
Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (QS. An-Nisa’: 83).
Syari’at Islam merupakan syari’at yang mengandung berbagai keistimewaan, antara lain bersifat umum, abadi, meliputi segala bidang dan merupakan rahmat bagi seluruh alam. Al-Qur’an merupakan dasar hukum.
Atas dasar itulah Allah memberikan hak kepada orang-orang yang memiliki kemampuan melakukan ijtihad bila terdapat masalah-masalah yang tidak shahih atau ditetapkan bila terdapat masalah-masalah yang tidak shahih atau ditetapkan secara tidak jelas dan tidak pasti (qath’i) di dalam Al-Qur’an.

B. Penggunaan Istilah Ijtihad
Kata ijtihad digunakan para fuqaha untuk beberapa persoalan rumit dan sulit yang membutuhkan banyak energi. Ijtihad tidak dipergunakan untuk melakukan yang ringan-ringan.
Beberapa ulama ahli Ushul Fiqh menyebutkan:
1. Menurut Imam Al-Syaukani, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbath (mengambil kesimpulan hukum).
2. Menurut Al-Imam Amidi mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni sampai dirinya merasa tidak mampu mencari tambahan kemampuannya itu.
Kata-kata tidak mampu mencari tambahan kemampuannya menurut Imam Ghazali berlaku bagi kata ijtihad yang sempurna.

C. Dasar Ijtihad
Dasar hukum diperbolehkannya melakukan ijtihad antara lain firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah: 149:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ … (البقرة: 149)
Artinya: “Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram…”. (QS. Al-Baqarah: 149).
Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Masjidil Haram, apabila akan shalat dapat mencari dan menentukan arah kiblat melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada.
Baik yang mendudukkan “ijtihad” sebagai dalil maupun sebagai pemahaman terhadap dalil, penggunaan ijtihad ini didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 59:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (النساء: 59)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa’: 59).

Menurut hadits Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari:
Artinya: “Jika seorang hakim menetapkan hukum, kemudian ia berijtihad lagi benar ijtihadnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila ia menghukumi dengan ijtihad kemudian ijtihadnya itu salah baginya mendapatkan satu pahala”. (HR. Bukhari).

D. Kedudukan Ijtihad
Dalam hal kedudukan ijtihad ini di kalangan ahli Ushul Fiqh memang ada perbedaan pendapat, sebagian besar menjadikan ijtihad itu sebagai dalil, sedang sebagian yang lain menjadikan menjadi dalil dalam keadaan sangat dihajatkan pada waktu tidak didapati ayat Al-Qur’an atau as-Sunnah. Sebagian ahli Ushul Fiqh lagi, ijtihad itu merupakan metode pemahaman terhadap sumber pokok (dalil) yakni Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kawasan ijtihad adalah hukum-hukum yang dalilnya dhanni bukan yang qath’i. Kita tidak boleh berijtihad dalam hukum yang qath’i yang telah ditetapkan dalilnya oleh Al-Qur’an.
Agar ijtihad berhasil secara optimal ada beberapa syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid:
1. Seorang mujtahid hendaknya memiliki kemampuan dan seperangkat ilmu untuk berijtihad yang telah ditetapkan dalam Ushul Fiqh.
2. Dia seorang yang adil, terpercaya dan berperilaku baik.
3. Mereka yang mengaku bisa berijtihad, tetapi tidak mempunyai ilmu tentang nash-nash Al-Qur’an dan hadits serta melecehkan Ushul Fiqh, maka pendapatnya harus ditolak.

E. Ruang Lingkup Ijtihad
Imam Al-Ghazali berpendapat ijtihad dilakukan pada setiap hukum yang tidak ada dasarnya yang pasti (qath’i). Hal ini sebagaimana firman Allah SWT.:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا (الأحزاب: 36)
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al-Ahzab: 36).
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (النساء: 115)
Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa’: 115).

F. Jenis-jenis Ijtihad
1. Individu, yaitu dilakukan secara sendiri
2. Kolektifitas, yaitu dilakukan secara kelompok.

Ijtihad Kolektif (Al-Ijtihad Al-Ijma’i)
Ijtihad kolektif adalah sesuatu yang penting karena adanya tuntutan zaman, problem-problem yang terkait dan perselisihan berbagai madzhab. Tentang permasalahan ini, Dr. Wahbah Az-Zuhayl, Dekan Fakultas Syari’at Damaskus, mengatakan: “Saat ini, ada kebutuhan mendesak terhadap apa yang disebut dengan ijtihad kolektif. Ijtihad ini dilakukan melalui metode musyawarah ilmiah di antara para tokoh ulama dari berbagai negara dan dari berbagai madzhab Islam di dalam suatu lembaga ilmiah ataupun muktamar fiqh. Tujuannya adalah untuk menelitu berbagai problematika modernitas dan berbagai hal yang dibutuhkan oleh umat, sehingga mereka bersepakat terhadap hal-hal yang dipandang dapat menghasilkan kemaslahatan”.
Atas dasar itu, akan tampak di dalam kenyataan, bahwa ijtihad merupakan gerakan pemikiran tentang hukum-hukum agama yang disyari’atkan demi kemaslahatan umat.
Nabi Muhammad memberikan petunjuk di seputar masalah ijtihad kolektif ini dengan jalan mengumpulkan seluruh ulama dan saling tukar pendapat di antara mereka. Diriwayatkan dari Malik bin Anas, dari Yahya bin Sa’id al-Anshari, dari Sa’ad bin Al-Musayyab, dan dari Ali bin Abi Thalib yang berkata, “Ya Rasulullah, kami menghadapi perkara yang tidak ada hukumnya di dalam sunnah”. Rasul menjawab, “Ber-ijma’lah tentang persoalan itu di kalangan orang-orang berilmu atau mereka yang taat beribadah dari kalangan kaum mukmin. Bermusyawarahlah di antara kalian tentang urusan itu dan janganlah memutuskannya berdasarkan pendapat seseorang saja”.
Demikian pula cara Khulafaur Rasyidin, sebab di tengah-tengah mereka, terdapat majelis syura’ umum di samping majelis syura’ khusus. Mereka adalah para tokoh yang sering mengemukakan pendapat, sehingga mereka bermusyawarah di dalam perkara-perkara penting.
Cara bermusyawarah secara ilmiah dan pengambilan hukum dari dalil-dalil yang ada bersandar pada dua hal: Ushul Fiqh dan kaidah-kaidah fiqh universal. Kaidah-kaidah fiqh ditegaskan di atas pemahaman terhadap berbagai tujuan syari’at, tujuan-tujuan syari’at ditegakkan di atas tinjauan terhadap berbagai kemaslahatan, dan kemaslahatan dipandang dari segi syari’at bukan dengan hawa nafsu manusia.
Namun harus diingat bahwa kesepakatan bersama dalam suatu masalah jangan sampai membatasi seseorang yang mampu berijtihad secara individual untuk mengeluarkan pendapatnya, bila ternyata hasilnya berbeda dengan apa yang telah disepakati. Harus pula diwaspadai agar jangan sampai terjadi kekacauan dan kebingungan masyarakat karena banyaknya pendapat produk “ijtihad” yang tidak bertanggung jawab.

G. Ittiba’
Ittiba’ ialah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan tersebut. Ittiba; dalam agama diperintahkan. Firman Allah SWT. QS. An-Nahl: 53:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ. بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ
Artinya: “Tanyakan kepada ahli dzikir (orang-orang pandai) jika kamu tidak mengetahui”.

H. Taqlid
Taqlid secara bahasa berarti menggantungkan. Sedangkan menurut istilah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya.
قبول قول القائل وانت لا تعلم من أين قاله
Dalam aspek fiqh taqlid itu dianggap tercela dan terlarang. Hal ini sebagaimana firman Allah QS. Al-Baqarah: 120, Al-Maidah: 10, At-Taubah: 232 dan Al-Isra’: 36. Menanggapi ayat dalam surat At-Taubah ini para sahabat bertanya kepada Nabi, Ya Rasulullah apakah mereka mengikuti ruhba atau ahbar. Nabi menjawab tidak, tetapi para ruhba dan ahbar mengharamkan dan menghalalkan sesuatu mereka mengikutinya.
Para imam madzhab itu mencela hal ini sebagaimana ungkapan mereka berikut ini:
1. Imam Abu Hanifah
ان كان قولى يخالف كتبار الله وخير الرسول فأتركوا قولى
2. Imam Malik bin Anas
انما أنا بشر أقطئ ةأصيب فانظروا
3. Imam Ahmad bin Hanbal
إن كان رائ يوافق الكتاب واسنة محمد وابه وما لم يوافق الكتاب والسنة فأتركوه
4. Imam Syafi’i
لا تقلدنى ولا تقلد مالك ولا الثور ولا الا وراغى وخذ من حيث اخذوا
اذا صح الحديث صهر مذهبى.

BAB V
MUTHLAQ DAN MUQAYYAD

A. Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah sifat yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan tidak dibatasi oleh sesuatu hal yang lain. Maksudnya ialah lafal tersebut masih dalam keadaan yang asli bebas belum terpengaruhi oleh hal-hal yang lain.
Contoh: surat An-Nisa’ ayat 43:
…وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ…(النساء: 43)
Artinya: “…Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu…”. (QS. An-Nisa’: 115).
Dari lafadz Aidikum dijelaskan bahwa mengusap tangan dengan debu tidaklah dibatasi dengan sifat, artinya tidak diterangkan sampai di mana, apakah semuanya diusap atau sebagiannya. Yang jelas sudah pasti dapat tayamum harus mengusap tangan dengan debu. Jadi lafal Aidikum artinya tanganmu ini tidak dibatasi sampai dengan di mana yang harus diusap, mana saja asal tangan. Muqayyad adalah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya, dengan dibatasi oleh sesuatu hal yang dari batasan-batasan tertentu.

Contoh surat Al-Maidah ayat 6:
… وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ… (المائدة: 6)
Artinya: “…Maka basuhlah mukamu dengan tanganmu sampai siku-siku…”. (QS. Al-Maidah: 6).
Ayat ini menerangkan soal wudhu, ialah harus membasuh muka dan tangan sampai siku-siku.

B. Hubungan Muthlaq dengan Muqayyad
Apabila ada suatu lafal, disatukan tempat berbentuk muthlaq sedang di tempat lain berbentuk muqayyad, maka ada empat kemungkinan dari ketentuannya:
1. Antara dua ayat itu ada persamaan dari segi hukum dan sebab timbulnya hukum. Contohnya surat Al-Maidah ayat 3 ditegaskan: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…”. Kata ad-dam (darah) dalam ayat tersebut adalah lafal muthlaq karena tanpa membedakan apakah darah itu telah mengalir dari daging atau yang tidak mengalir, seperti sisa-sisa darah yang terdapat dalam daging. Sedangkan dalam ayat lain lafal ad-dam dikemukakan dengan batasan sifat (muqayyad) seperti dalam surat Al-An’am ayat 145. Kata dam (darah) yang diharamkan dalam ayat itu adalah lafal muqayyad karena dibatasi dengan masfuh (mengalir). Hukum yang ditunjukkan dua ayat itu adalah sama, yaitu haramnya darah, dan sebab mengapa darah diharamkan juga sama, yaitu memberi mudharat. Oleh karena sama hukum dan sebabnya.
2. Antara dua ayat itu mempunyai kesamaan dari segi hukum tetapi berbeda daru segi sebab timbulnya hukum. Contohnya surat Al-Mujadalah 1yat 3 ketika menjelaskan kafarat zihar, Allah SWT. berfirman: “…fatahrir raqabah (maka wajib [atasnya] memerdekakan seorang hamba sahaya)…”. Sedang dalam kafaratnya pembunuhan tersalah firman Allah SWT. dalam surat An-Nisa’ ayat 91: “… Fatahriru raqabah mu’minah… (maka [hendaklah] ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman)”. Lafal raqabah (hamba sahaya) pada ayat pertama adalah muthlaq, sedangkan ayat kedua adalah muqayyad (dibatasi) dengan sifat beriman. Masing-masing mempunyai sebab yang berbeda dengan yang lain. Pada ayat pertama sebab kewajiban membayar kafarat adalah zihar dan pada ayat kedua sebabnya adalah pembunuhan tersalah. Tetapi hukumnya adalah sama, yaitu kewajiban memerdekakan budak (hamba sahaya).
3. Dua ayat itu sebabnya sama tetapi bentuk hukumnya berbeda. Contohnya surat Al-Maidah ayat 6, ketika menjelaskan cara bertayamum ditegaskan: “…sapulah mukamu dan tanganmu (aidikum) dengan tanah itu…”. Dalam ayat ini menyapu tangan disebut secara muthlaq tanpa mensyaratkan sampai ke siku, dan dalam ayat yang sama ketika menjelaskan rukun-rukun wudhu ditegaskan: “… maka basuhlah [aidikum ila al-marafiq] (tanganmu sampai dengan siku)…”. Lafal aidi (tangan) pada masalah wudhu disebut muwayyad dengan membatasinya sampai ke siku. Yang menjadi sebab wajib wudhu dan wajib tayamum adalah sama, yaitu suci dari hadats, tetapi bentuk hukumnya berbeda di mana pada tayamum tangan disapu, bukan dibasuh seperti rukun wudhu.
4. Dua ayat itu berbeda hukum dan sebabnya. Misalnya, sanksi hukum mencuri adalah potong tangan (QS. 5: 38) tanpa ada ketentuan sampai di mana harus dipotong. Sedangkan kata aidi (tangan) pada ayat wudhu diisyaratkan sampai ke siku. Sebabnya berbeda di mana yang satu sebabnya mencuri dan yang lain untuk mengilangkan hadats. Hukumnya juga berbeda, diaman yang satu potong tangan dan yang lain membasuhnya. Oleh karena berbeda dari berbagai sisinya, maka ayat tersebut dipahami secara tersendiri.

C. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Menurut Dr. Zukuyuddin Tsa’ban, mujmal adalah lafal yang belum jelas maknanya yang tidak dapat menunjukkan arti yang sesungguhnya apabila tidak ada keterangan lain yang menentukannya. Maksudnya ialah lafal yang belum jelas artinya, belum jelas maksudnya yang masih membutuhkan bayan atau penjelasan dari lainnya.
Contohnya surat Al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ … (البقرة: 228)
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat…”. (QS. Al-Baqarah: 228).
Lafal quru’ dalam ayat ini, masih mujmal, belum jelas mungkin bisa diartikan suci dan mungkin bisa diartikan haidh, oleh karena itu harus ada dalil lain yang menjelaskannya.
Mubayyan adalah kebalikan dari mujmal, yaitu lafal yang telah mempunyai arti yang jelas dan terang. Artinya lafal tadi sudah jelas dalilnya tidak membutuhkan kepada bayan (penjelasan).

Contohnya surat Al-Baqarah ayat 20:
…إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (البقرة: 20)
Artinya: “…Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 20).
Di dalam ayat di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud ayat ini ialah, bahwa Allah lah yang dipercayai umat Islam yang berhak disembah dan dimintai pertolongan, selain Allah tidak ada dan tidak boleh. Jadi jelas bahwa Allah Maha Kuasa tidak membutuhkan bayan (penjelasan) lagi.

BAB VI
NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QUR’AN

A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah firman Allah SWT. yang menjadi mukjizat, ketentuan-ketentuan yang berlaku universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, berlaku dalam segala zaman. Sebab keautentikannya dan keasliannya senantiasa dijamin oleh Sang Pencipta dan Dzat yang menurunkan Al-Qur’an itu sendiri. Namun secara faktual seringkali muncul pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an terjadi perubahan-perubahan yang seringkali disebut dengan nasikh dan mansukh yang mengganti disebut nasikh sedangkan yang diganti disebut mansukh.
Oleh karena itu penulis mencoba menelusuri mulai pengertian, jenis-jenis nasikh dan mansukh. Serta pendapat para ulama baik yang menerima maupun yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an.

B. Pengertian
Nasikh secara bahasa berasal dari kata nasakha – yansikhu – naskhan yang mempunyai arti membatalkan, menghilangkan, merendahkan dan memalingkan. Sedangkan secara terminologi dalam ulama Ushul Fiqh adalah:
النَّسْخُ رَفْعُ اْلحُكْمِ الشَّرْعِيِّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ
“Nasikh ialah menghilangkan atau menghapus hukum syara’ dengan dasar syar’i yang terakhir”. (Abd. Hamid Hakim, As-Sulam, hal. 32).
Sehubungan nasikh dan mansukh secara umum bisa dibenarkan oleh akal dan tidak ada perbedaan di kalangan ulama Ushul Fiqh, kecuali perbedaan itu terjadi pada nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an. Sebab hukum itu diadakan untuk kebaikan manusia sedangkan manusia itu terus berubah, sesuai dengan zaman. Dengan demikian nasikh dan mansukh itu tidak terjadi sesuatu yang bersifat universal, seperti masalah akidah tidak akan terjadi nasikh dan mansukh, karena akidah itu ajaran Allah SWT. kepada manusia yang bersifat abadi.
Sebagaimana firman Allah SWT.:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى… (الشورى: 13)
Artinya: “Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa…”. (QS. Asy-Syura: 13). (Lihat M. Abu Zahra, Ushul Fiqh, hal. 187).

C. Macam-macam Nasikh dan Mansukh
Para ulama membagi nasikh dan mansukh itu secara umum sebagai berikut:
1. Tulisannya hilang sedangkan hukumnya masih ada.
Contoh laki-laki dan perempuan yang sudah tua melakukan zina maka keduanya harus dirajam selama-lamanya.
Menurut Umar bin Khattab ra. bahwa beliau pernah membaca ayat tersebut tetapi ayat tersebut tulisannya sudah hilang tetapi hukum untuk itu masih berlaku hal ini sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i:

Artinya: “Nabi Muhammad Saw. telah melakukan hukum rajam kepada dua orang mukhshan”.
Yang dimaksud dengan dua mukhshan di sini adalah dua orang tua yang melakukan zina.
2. Hukumnya ada sedangkan bacaannya sudah tidak ada. Contoh firman Allah SWT. sebagai berikut:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ … (البقرة: 240)
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia dari kamu dan mereka meninggalkan isteri sebagai wasiat terhadap isteri-isteri mereka agar tidak berbuat senang-senang dan keluar rumah sampai setahun”. (QS. Al-Baqarah: 240)
Menurut sebagaimana ulama (yang mengakui adanya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an) bahwa ayat tersebut telah dimansukh dengan ayat 234 dari surat Al-Baqarah.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا… (البقرة: 240)
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia dari kamu sedang mereka meninggalkan isteri hendaknya sang isteri menahan dirinya (tidak senang-senang dan tidak keluar rumah) selama empat bulan sepuluh hari”. (QS. Al-Baqarah: 234)
3. Bacaan dan ketetapan hukumnya dimansukh bersama-sama
Contoh: Hadits Imam Muslim dari Aisyah:

Artinya: “Anak yang satu susuan itu haram dinikahi jika telah menyusu sepuluh kali”.
Hadits ini telah dimansukh dengan hadits yang sama yaitu diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah yang artinya: “Anak yang satu susuan itu haram dinikahi jika telah menyusu lima kali susuan”.

D. Syarat-syarat Terjadinya Nasikh Mansukh Secara Umum
Abdul Hamid Hakim dalam kitabnya As-Sulam halaman 32 memberikan syarat-syarat terjadinya nasikh mansukh sebagai berikut:
1. Nasikh dan mansukh itu terjadi jika berhubungan dengan hukum, tidak berhubungan dengan keimanan atau akidah. Sebab keimanan atau akidah ini bersifat paten.
2. Nasikh mansukh itu terjadi dengan dibatasi waktu tertentu.
3. Bahwa nasikh itu harus terpisah baik tempat maupun waktu dengan yang dimansukh.
4. Bahwa dalil yang terdapat dalam nasikh itu harus lebih kuat daripada dalil yang tidaklah dalam mansukh. Seperti hadits mutawatir dengan hadits ahad, hadits shahih dengan hadits dhaif, tidak terjadi sebaliknya. Hadits ahad menasikh kepada hadits mutawatir dan hadits dhaif menasikh hadits shahih.
Di samping itu menurut Abdul Hamid Hakim dalam kitab as-Sulam memberikan syarat-syarat nasakh dan mansukh sebagai berikut:
a. Nasikh harus terpisah dari mansukh
b. Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh.
c. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’
d. Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu
e. Mansukh harus hukum-hukum syara’.

E. Pendapat Para Ulama Tafsir Hadits Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an
Para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat masalah nasikh mansukh dalam hadits sebab secara faktual itu terjadi, namun mereka berbeda pendapat terjadinya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an, untuk itu penulis akan menyampaikan pendapat-pendapat para ulama yang setuju maupun yang tidak setuju terhadap nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an serta argumen mereka masing-masing.
1. Pendapat yang setuju adanya nasikh dan mansukh
Argumen yang mereka gunakan itu ada dua, baik berupa naqli maupun aqli:
a. Dasar naqli
مَا نَنْسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (البقرة: 106)
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”. (QS. Al-Baqarah: 106)
Ayat ini sering dijadikan dasar adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an, karena memang dalam ayat ini Allah SWT. menyebut lafadz nasakha yang secara tekstual.
b. Dasar aqli
Bahwa secara faktual nasikh mansukh itu terjadi, seperti nasikh mansukh terjadi pada surat Al-Baqarah ayat 240 dengan ayat 234 dan lain-lain sebagaimana contoh-contoh tersebut di atas.
Pendapat ini mayoritas diikuti oleh ulama fiqh dalam ulama Ushul Fiqh seperti Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan lain-lain.
2. Alasan ulama yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an
Mereka yang menolakpun juga menggunakan dua dasar, yaitu dasr naqli dan dasar aqli.
a. Dasar naqli
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Hijr ayat 9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (الحجر: 9)
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (dari perubahan-perubahan)”. (QS. Al-Hijr: 9)
Firman Allah SWT. dalam surat Al-Kahfi ayat 27:
وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا (الكهف: 27)
Artinya: “Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhan-mu (Al Qur’an). Tidak ada (seorangpun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya”. (QS. Al-Kahfi: 27)
b. Dasar aqli
Bahwa tidak satu pun Al-Qur’an maupun hadits yang menjelaskan tentang adanya nasikh dan mansukh ini. Terjadinya nasikh dan mansukh (ayat ini dimansukh oleh ayat yang lain) itu hanya ijtihadi tidak secara qath’i yang menjelaskan tentang hal itu, bahwa ayat Al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT. yang diturunkan kepada manusia untuk kepentingan manusia itu dalam segala masa dan tempat, berlakunya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, semua Al-Qur’an baik tulisan maupun redaksinya semaunya adalah mutawatir serta setiap lafadz, surat adalah merupakan mukjizat baik makna maupun redaksinya. Oleh karena itu mereka mengatakan bahwa nasikh dan mansukh itu menyalahi asalnya.
Dengan demikian selama mungkin untuk bisa diinterpretasi yang lain (thariqatul jam’i) maka inilah yang harus ditempuh, seperti kasus terjadi dalam surat Al-Baqarah ayat 240 dan ayat 234. Maka pengertian untuk ayat 240 itu bersifat hak, artinya boleh diambil hak itu dan juga boleh tidak diambil. Sedangkan dalam ayat 234 itu bersifat kewajiban. Demikian juga pengertian yang terdapat dalam surat Al-Baqarah 107 pengertiannya bukan Allah SWT. mengganti hukum yang dalam Al-Qur’an tetapi Allah SWT. mendatangkan Nabi yang lebih baik atau yang sepadan dengan nabi-nabi sebelumnya. Jadi bukan terkait dengan hukum tetapi terkait dengan pergantian antara nabi satu dengan nabi yang lainnya.
Pendapat ini adalah pendapat ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, dan lain-lain.

BAB VII
KONTRADIKSI DALIL-DALIL SYARA’
DAN CARA PENYELESAIANNYA

A. Definisi At-Ta’arudh
Kata “at-Ta’arudh” (التعارض) secara etimologis ialah kata yang terbentuk dari kata dasar “aradha” (عرض) yang arti bahasanya adalah menghalangi, mencegah, membandingi.
Secara terminologi “at-Ta’arudh” menurut definisi ulama/shli ushul adalah (تقابل الامراين على وجه يمفع كل منهما مقتض) “Berbandingannya dua dalil (perkara), di mana masing-masing pernyataan saling bertentangan”.
Sedangkan (الادلة) adalah bentuk plurat (jama’) dari kata “dalil” (الدليل). Menurut ahlu ushul, yang disebut dalil ialah suatu yang dapat menghantarkan pada apa yang dicari yang bersifat pasti dan yakin atau praduga. Jika yang menghantarkan itu bersifat pasti (qath’i), maka itu disebut (الدليل) (dalil/petunjuk). Namun apabila sesuatu yang menghantarkan itu bersifat praduga (dzanni), maka itu disebut (الامارة) (amarah/tanda).

B. Syarat-syarat At-Ta’arudh
Untuk mengetahui apakah dalil itu At-Ta’arudh atau tidak kita harus mengetahui terlebih dahulu syarat-syarat dan ijma (kesepakatan) para ahli ushul tentang At-Ta’arudh. Agar kita tidak terlalu mudah mengatakan dalil ini At-Ta’arudh dengan dalil yang lainnya.
Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling bertentangan, seperti halal dengan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan.
2. Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama.
3. Masa atau waktu berlakunya hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Apabila sama atau waktunya berbeda, maka tidak berlaku At-Ta’arudh.
4. Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan sama
5. Kedua dalil yang saling bertentangan sama kedudukannya, baik dari segi asalnya maupun petunjuk dalilnya.
Menurut Abd. Hamid Hakim, ada 13 syarat nash itu dianggap bertentangan, yaitu:
1. Tema sama
2. Kandungan/muatannya sama
3. Waktunya sama
4. Tempat sama
5. Hubungan sama
6. Syaratnya sama
7. Pekerjaan sama
8. Bagian-bagian sama
9. Alatnya sama
10. Illatnya sama
11. Sasarannya sama
12. Keadaannya sama
13. Tanggungannya sama
At-Ta’arudh ini terjadi jika:
1. Yaitu sama-sama qath’i sukuti, Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadits mutawatir dengan mutawatir, maka tidak bisa bertentangan yaitu ayat dengan hadits.
2. Kehendak dasar/dalil itu sama, maka tidak akan terjadi At-Ta’arudh yaitu hadits ahad dengan hadits mutawatir.
3. Tidak akan terjadi, At-Ta’arudh jika hukumnya sama, sementara waktu dan tempat berbeda.
Selain mengetahui syari’ah yang tersebut di atas, kita juga harus mengetahui kaidah ijma’ ahli ushul tentang At-Ta’arudh, yaitu:
1. Pertentangan tidak terjadi pada dalil-dalil qath’i dengan dalil-dalil dzanni. Karena dalil qath’i menunjukkan kepastian dan yakin, sedangkan dalil dzanni menunjukkan praduga atau keraguan.
2. Pertentangan itu tidak dapat terjadi antara dua dalil qath’i, baik dalil-dalil tersebut berbentuk naqli maupun aqli.
3. Pertentangan boleh terjadi antara dua dalil dzanni dalam pandangan dan pemikiran seorang mujtahid.

C. Contoh Dalil-dalil Seakan-akan Bertentangan
1. Tentang bacaan Al-Fatihan di dalam shalat
QS. Al-Muzammil: 20.
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْءَانِ
“(Karena itu) bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an”
QS. Al-A’raf: 204
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”.
2. Tentang iddah wanita yang ditinggal mati suami.
QS. Al-Baqarah: 234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah ia) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari”.
QS. Ath-Thalaq: 4
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.

3. Tentang pembunuhan terhadap orang murtad
Sabda Rasulullah Saw.:
“Barang siapa mengganti (berpindah) agama, maka bunuhlah (dia)” (HR. Bukhari, Turmudzi, dan lain-lain).
Dengan larangan membunuh anak-anak dan wanita.
“(Rasulullah Saw.) melarang membunuh wanita-wanita dan anak-anak”.
4. Tentang perintah Allah mengikuti Nabi Saw.
QS. Al-Ahzab: 21
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…”.
QS. Al-Hasyr: 7
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul padamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
5. Tentang batal tidaknya shalat karena menyentuh alat kelamin.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah telah bersabda: “Baraqng siapa yang menjulurkan tangannya pada alat kelaminnya tanpa penghalang, maka ia wajib wudhu” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban).
Dengan hadits riwayat Turmudzi, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majjah, Ahmad dan daraquthni:
“Rasulullah Saw. (pernah) ditanya tentang (hukumnya) menyentuh alat kelamin, kemudian beliau menjawab: “ia tiada lain kecuali bagian anggota tubuhmu”.

D. Pentarjihan Dalil-dalil At-Ta’arudh
Secara etimologis, kata “at-tarjih” (الترجيح) adalah bentuk masdar dari “rajjaha” (رجح) artinya mengunggulkan sesuatu dengan lebih condong padanya dan memenangkannya.
Secara terminologi tarjih adalah “menguatkan salah satu dalil atas lainnya agar dapat diketahui mana dalil yang lebih kuat diamalkan dan menggugurkan dalil lainnya”.
Pertama QS. Al-Muzammil: 20 dengan QS. Al-A’raf: 204.
Ayat pertama sifat ‘amnya menunjukkan adnaya kewajiban membaca bagi ma’mum. Sedangkan ayat ekdua menggugurkan kewajiban membaca bagi ma’mum, karena ayat tersebut hanya mewajibkan untuk mendengar dan memperhatikan. Menurut mayoritas ahli tafsir, kedua ayat turun berkenaan dengan masalah shalat. Karena kedua ayat bertentangan maka harus mencari dalil lain yang kedudukannya lebih rendah sebagai dasar beramal.
Hadits Rasulullah Saw.: “Tidak ada shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah)” (HR. Jamaah).
Dan hadits dari Jabir ra.
“Barang siapa shalat berjamaah, maka bacaan imam juga bacaannya”. (HR. Tabrani).
Pentarjihan
Agar ayat dan hadits-hadits mengenai hal ini tidak saling bertentangan. Bila shalat berjamaah, dan imam membaca dengan keras, ma’mum tidak membaca, karena ma’mum berkewajiban untuk mendengarkan, serta ia merupakan kesempurnaan berma’mum. Tapi bila imam membaca dengan sir, maka berlaku hukum wajibnya membaca Al-Fatihah.
Kedua, QS. Al-Baqarah: 234 dengan QS. Ath-Thalaq: 4.
Kedua ayat di atas kelihatan bertentangan, mengenai iddah wanita yang ditinggal mati suami. Ada dua cara untuk mentarjih ayat tersebut sehingga tidak bertentangan:
1. Dipandang dari sudut ‘am dan khususnya ayat
QS. Al-Baqarah: 234 berlaku secara ‘am (umum), sedangkan QS. Ath-Thalaq: 4 berlaku khusus. Yaitu ayat pertama menyatakan iddahnya wanita yang ditinggal mati suami secara umum, sedangkan ayat kedua berlaku khusus yang berlaku bagi wanita yang dicerai dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai ia melahirkan.

2. Sebagian ulama berpendapat, bahwa kedua ayat tersebut dapat diamalkan sekaligus. Mereka berpendapat bahwa iddahnya wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil adalah smapai ia melahirkan, sedangkan wanita yang ditinggal mati suami serta tidak hamil berlaku iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Ketiga, hadits tentang perintah membunuh orang yang murtad.
Kedua hadits tersebut tidak bisa kita anggap bertentangan karena asbabun nuzul hadits berbeda. Hadits pertama mengenai orang yang murtad, sedangkan hadits kedua muncul berkenaan dengan kode etik perang dalam Islam. Oleh karena itu, hadits pertama berlaku secara umum. Apakah ia wanita atau anak-anak selama ia murtad dari agama Islam berlaku hukum bunuh.
Keempat, QS. Al-Ahzab: 21 dengan QS. Al-hasyr: 7
Kedua ayat ini sekilas terlihat bertentangan. Ayat pertama mewajibkan mengikuti segala perbuatan Nabi, di satu sisi kita diperintahkan untuk mengikuti atau menjalankan segala perintah nabi dan menjauhi segala yang beliau larang. Oleh karena itu, tidak semua perbuatan Nabi itu harus diikuti, tetapi menurut ahli fiqh perbuatan Nabi tersebut bisa diikuti jika ada petunjuk untuk meniru perbuatan Nabi. Sedangkan perbuatan Nabi yang tidak didasarkan pada watak atau tabi’at kemanusiaannya merupakan perundang-undangan (syari’at).

Kelima, hadits mengenai menyentuh alat kelamin.
Dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua kelompok, dalam penggunaan kaidah “apabila ada dua hadits yang saling bertentangan, harus menggugurkan salah satu dalil atau mendasarkan hukum asalnya (bara’ah ashliyah).
1. Kelompok pertama, berpendapat bahwa menyentuh kemaluan adalah membatalkan wudhu. Ini dianut mayoritas ulama. Mereka berpendapat bahwa hadits yang menggugurkan ketentuan hukum berdasarkan hukum asalnya lebih diunggulkan. Dan Bukhari berkomentar: dalam masalah ini, pendapat inilah yang benar.
2. Kelompok kedua yang mengatakan tidak batal menyentuh kemaluan, banyak dipegangi/dijadikan dalil oleh madzhab Hanafi, serta didukung i sebagian ulama ushul seperti ar-Razi dan al-Baidhawi.
Ar-Razi dan pengikutnya berpendapat bahwa hadits kedua lebih unggul dengan demikian hadits pertama. Karena harus kedua menetapkan suatu hukum berdasarkan hukum asalnya. Hukum asal datang lebih akhir, maka tentu tidak berguna. Dengan datangnya hadits kedua berarti hadits yang pertama tidak dibutuhkan lagi, karena pada waktu kita mengetahui ketentuan hukum itu berdasarkan dalil lain, yaitu bara’ah ashliyah atau istishab.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Asjmuni. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Ahmad Abd. Ushul Fiqh. Surabaya: Garoeda Buana Indah, 1994.
Al-Qardhawi. Membumikan Syari’at Islam. Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.
Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996.
Umam, Khairul dan A. Achyar Aminuddin. Ushul Fiqh II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.
Wahab, Abdul Khalaf. Ushul Fiqh. Beirut: 1990.
Wahid, Abdurrahman. Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan buku Ushul Fiqh ini. Buku ini dapat dijadikan sebagai buku penunjang bagi mahasiswa IAIN, STAIN, dan PTAIS dalam mata kuliah Ushul Fiqh pada semua Jurusan/Fakultas.
Materi buku ini mengacu pada silabi Kurikulum Nasional terbaru yang dikeluarkan Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI.
Dengan selesainya buku ini, kami berharap agar para mahasiswa dapat memahami secara mendalam dan mudah tentang hal-hal yang berhubungan dengan Ushul Fiqh yang menjadi kerangka dasar dalam memahami fiqh.
Kami menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan dan kehilafan. Oleh karena itu tegur sapa dalam rangka kesempurnaan buku ini, sangat kami harapkan.

Kediri, Februari 2006

Penulis

UNTUK FAKULTAS TARBIYAH
SESUAI DENGAN SILABI TAHUN 2004

Oleh :
Drs. MUAMAL

Tahun 2006