ILMU JARH WAT-TA’DIL (Mencecat dan mengadilkan rawi)

ILMU JARH WAT-TA’DIL
(Mencecat dan mengadilkan rawi)

A. TA’RIF

Lafadz “jarh” menurut para muhadditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencatat keadilan dan kehafalannya.
Ilmu Jarhi wat-Ta’dil adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi.
Dr. Ajjaj al-Khatib menta’rifkannya sebagai berikut :
هو العلم الذى يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول رو أيتهم أوردها
Artinya : Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi segi diterima atau ditolak periwayatannya.

B. FAEDAH ILMU JARH WAT-TA’DIL

Faedah ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya pernyataannya akan diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist dipenuhi.

Macam-macam keaiban rawi :
1. Bid’ah (melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan syari’at).
2. Mukhalafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqoh).
3. Ghalat ( banyak kekeliruan dalam periwayatan).
4. Jahalatu’l-Hal (tidak dikenal identitasnya).
5. Da’wa’l-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak bersambung).

Jalan-Jalan untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi dan masalah-masalahnya.
Keadilan rawi dapat diketahui dengan salah satu dari kedua ketetapan berikut :
Pertama, dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil (bisy-syurah). Seperti : Anas bin Malik, Sufyan ats-Tyasaury, Syu’bah bin al-Hajjaj, Asy-Syafi’iy, Ahmad dsb.
Kedua, dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai seorang rawi yang adil oleh para orang yang adil, ini dapat dilakukan :
a. seorang rawi yang adil
b. setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan orang yang merdeka maupun budak.

Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui 2 jalan :
a. berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaiban (fasik atau pendusta).
b. Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat.

1. Syarat-syarat bagi orang yang menta’dilkan dan men-tarjih-kan

Bagi orang yang men-ta’dil-kan (mu’adil) dan orang yang men-jarh-kan (jarih) diperlukan syarat-syarat. Yakni :
1. Berilmu pengetahuan.
2. Taqwa.
3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan ma’siat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-makruhat).
4. Jujur.
5. Menjauhi fanatic golongan.
6. Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk mentarjihkan.
2. dapatkah pen-ta’dil-an dan pentarjihan seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya.
I. Men-ta’dil-kan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, diterima. Adapun mentajrihkan tidak diterima.
II. Untuk ta’dil harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarahkan tidak.
III. Untuk kedua-duanya harus dsebutkan sebab-sebabnya.
IV. Untuk kedua-duanya tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya.

Pendapat yang pertama adalah pendapat yang banyak dianut oleh para muhadditsin, semisal : Bukhory, Muslim, Abu Dawud, dll.

3. Jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi-rawi.

1. Minimal 2 orang.
2. Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan soal syahadah.
3. Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun soal syahadah.

4. Perlawanan antara jarh dan ta’dil
Apabila terdapat ta’arudl antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian yang lain men-tajrih-kan dalam hal ini ada 4 pendapat.

1. Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adil-nya lebih banyak dari pada jarhnya. Sebab bagi jarh mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’adil.
2. Ta’dil harus didahulukan daripada jarh, sebab si Jarh dalam meng-aib-kan si rawi kurang tepat.
3. Bila jumlah mu’adilnya lebih banyak dari pada jumlah jarh, maka yang didahulukan adalah ta’dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan.
4. masih tetap dalam keta’arudlan-nya selama belum ditemukan yang me-rajih-kannya.

5. Susunan lafadz-lafadz untuk menta’dilkan dan menjarhkan rawi.
Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam Nawawy, lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut al-Hafidz ad-Dzahaby dan al-Iraqy menjadi 5 tingkatan, dan Ibnu Hajar menyusunnya menjaid 6 tingkatan.

Pertama : segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alut-tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian yang sejenis. Misalnya :
أو ثق الناس Orang yang paling Tsiqoh
أثبت الناس حفظا و عدالة Orang yang paling mantap hafalan dan lidahnya
إليه المنتهى فى الثبت Orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya
ثقة فوق الثقه Orang yang Tsiqoh melebihi orang yang tsiqoh

Kedua : Memperkuat ketsiqohan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjuk keadilan dan kedlabitannya. Misal :
ثبت ثبت Orang yang teguh (lagi) teguh
ثقت ثقه Orang yang Tsiqoh (lagi) tsiqoh
حجة حجة Orang yang ahli (lagi) petah lidahnya
ثبت ثقة Orang yang teguh (lagi) Tsiqoh
حافظ حجة Orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya
ظابط متقن Orang yang kuat ingatannya (lagi) meyakinkan ilmunya

Ketiga : Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat ingatan, Misalnya,
ثبت Orang yang Teguh (hati dan lidahnya)
متقن Orang yang meyakinkan ilmunya
ثقت Orang yang Tsiqoh
حافظ Orang yang hafidz (kuat hafalannya)
حجة Orang yang petah lidahnya

Keempat : Menunjuk keadilan dan kedlabitan, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqoh), Misalnya :
صدوق Orang yang sangat jujur
مأمون Orang yang dapat memegang amanah
لا بأسبه Orang yang tidak cacat

Kelima : Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedlabitan. Misalnya :
محله الصدق Orang yang berstatus jujur
جيد الحديث Orang yang baik hadistnya
حسن الحديث Orang yang bagus hadistnya
مقرب الحديث Orang yang hadistnya berdekatan dengan hadist lain orang lain tsiqoh.

Keenam : Menunjukkan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yaitu diikuti lafadz Insya Allah, atau lafadz tersebut di-tasghir-kan (pengecilan arti), atau lafadz itu dikaitkan dengan sesuatu pengharapan. Misalnya :
فلان ارجو بأن لا بأس به Orang yang diharap Tsiqohnya
فلان صويله Orang yang sedikit kesalehannya
فلان مقبول حديثه Orang yang diterima hadistnya.

Tingkatan dan lafadz-lafadz untuk mentajrih rawi-rawi
Pertama : menunjukkan tentang keterlaluan si rawi tentang cacatnya. Misalnya :
أوضعا لناس Orang yang paling dusta
اكذب الناس Orang yang paling bohong
إليه المنتهى فى الوضع Orang yang paling top kebohongannya

Kedua : Menunjukkan kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz berbentuk shighat mubaghoh. Misalnya :
كذاب Orang yang pembohong
وضاع Orang yang pendusta
دجال Orang yang penipu

Ketiga : Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong, atau yang lainnya. Misalnya :
فلان متهم با لكذب Orang yang dituduh bohong
أومتهم بالوضع Orang yang dituduh dusta
فلان فيه النظر Orang yang perlu diteliti
فلان سقط Orang yang gugur
فلان ذاهب الحديث Orang yang tidak hadistnya telah hilang
فلان متروك الحديث Orang yang ditinggalkan hadistnya

Keempat : Menunjuk kepada kesangatan lemahnya. Misalnya :
مطرح الحديث Orang yang dilempar hadistnya
فلان ضعيف Orang yang lemah
فلان مردودا لحديث Orang yang ditolak hadistnya

Kelima : Menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya, misalnya :
ضعيف لا يحتج به Orang yang tidak dapat dibuat hujah hadistnya
فلان مجهول Orang yang tidak dikenal identitasnya
فلان منكر الحديث Orang yang mungkar hadistnya
فلان مضطرب الحديث Orang yang kacau hadistnya
فلان و أه Orang yang banyak menduga-duga
Keenam : menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya :
ضعف حديثه Orang yang didlaifkan hadistnya
فلان مقال فيه Orang yang diperbincangkan
فلان فيه خلف Orang yang disingkiri
فلان لين Orang yang lunak
فلان ليس با الحجة Orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadistnya
فلان ليسبا القوى Orang yang tidak kuat

C. KITAB-KITAB ILMU JARH WAT-TA’DIL
1. Ma’rifatur rijal. Karya Yahya Ibni Ma’in.
2. Ad-Dlu’afa’. Karya Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhory
3. At-Tsiqat. Karya Abu Hatim bin Hibban al-Butsy
4. Al-Jarhu wat Ta’dil karya Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy
5. Mizanul I’tidal karya Imam Syamsudin Muhammad adz-Dzahaby
6. Lisanul-Mizan karya al-Hafidz ibnu Hajar al-Asqalany

KITAB HADIST ENAM DAN KATEGORINYA
(NAMA-NAMA KITAB HADIST DAN KATEGORINYA)

A. KITAB-KITAB INDUK YANG ENAM (KUTUB AS-SITTAH)
Berkat keuletan dan keseriusan para Ulama’ pada masa tersebut, maka bermunculanlah kitab-kitab hadist yang hanya memuat hadist-hadist shohih. Kitab-kiab tersebut pada perkembangannya kemudian disebut dengan Kutub al-Sittah (Kitab Induk yang Enam) (Ranuwijaya, 1988 : 71)
Ulama pertama yang berhasil menyusun kjitab tersebut ialah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah, yang terkenal dengan Imam Bukhori (194-252 H) dengan kitabnya al-Jami’ ash-Shohih. Kemudian Abu al-Husain ibnu al-Hajjaj al-Qusyairy yang dikenal dengan Imam Muslim (204-261 H), dengan kitabnya al-Jami’ ash-Shahih.
Usaha yang sama dilakukan pula oleh Abu Daud Sulaiman bin Asy’ari bin Ishak as-Sijistani (202-275 H), Abu Isa Muhammad bin Isa bn Surah at-Tirmidzi (200-279 H), Abu Abdu ar-Rahman bin Suaid Ibnu Bahr an-Nasa’I (215-312 H), dan Abu Abdillah Ibnu Yazid Ibnu Majjah (207-273 H.) (Mudasir, 1999 : 109-110). Hasil karya keempat Ulama’ ini dikenal dengan kitab “SUNAN” yang menurut para Ulama’, kwalitasnya dibawah karya Bukhori dan Muslim (Suparta, 2002 : 903).
Secara lengkap kitab-kitab yang enam diatas dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Al-Jami’ Ash-Shahih susunan Imam al-Bukhori
2. Al-Jami’ Ash-Shahih susunan Imam Muslim
3. As-Sunan susunan Abu Daud
4. As-Sunan susunan at-Tirmidzi
5. As-Sunan susunan an-Nasa’i
6. As-Sunan susunan Ibnu Majjah
Menurut sebagian ulama’ urutan di atas menunjukkan urutan kualitas masing-masing, namun sebagian lainnya, tidak selalu baku, sebab ada yang mempersoalkan apakah urutan pertama itu kaya al-Bukhori atau al-Muslim. Begitu juga halnya dengan urutan yang lainnya. (Ranuwijaya, 1988 : 71)
Lima urutan pertama di atas oleh ulama’ mutaakhirin disebut al-Ushul Khamsah atau al-Kutub Khamsah. Sebagian ulama’ mutaakharin, yaitu Abu Fadli bin Thahir menggolongkan pula ke dalamnya sebuah kitab induk lagi, sehingga terkenallah di dalam masyarakat al-Kutubus-Sittah (Kitab Enam). Beliau memasukkan sunan Ibnu Majjah menjadi induk yang keenam. (Shiddiqie, 1997 : 83). Pendapat ini diikuti oleh Abdul Ghani al-Masduqi, al-Mizzi, kemudian al-Hafidz Ibnu Hajar dan al-Khazraj.
Sebagian lain yakni Razin dan Ibnu al-’Atsir memandang bahwa kitab al-Muwatha’ Imam Malik lebih pantas menduduki keenam (akan tetapi bagi kelompok yang tidak sependapat, tidak memasukkan al-Muwatha’ ini sebagai kitab hadist, tetapi kitab fiqih), bukan sunan Ibnu Majjah. Ada juga ulama’ yang lain yang memasukkan al-Sunan atau al-Musnad susunan al-Darimy sebagai kitab yang keenam, juga kitab al-Muntaqa susunan al-Jurud. (Suparta, 2002 : 252)
Keenam kitab yang terdiri dari dua kitab shahih dan empat kitab sunan yang dimaksud di atas adalah :

1. Imam Bukhori (194-256 H / 810-870 M)
a. Riwayat Singkatnya
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah, adalah ulama’ hadist yang sangat masyhur, kelahiran Bukhara suatu kota di Uzbekistan, yang merupakan simpang jalan antara Rusia, Persia, Hindia dan Tiongkok. Beliau lebih dikenal dengan Bukhori (putra daerah Bukhara), beliau di lahirkan setelah sholat Jum’at, tanggal 13 Syawal 194 H ( 21 Juli 810 M).(Saputra, 2002 : 237). Imam Bukhori wafat pada hari jum’at malam sabtu selesai sholat Isya’ tepat Idul Fitri 1 Syawal 256 H (31 Agustus 870 M). (Saputra, 2002 : 240).
b. Kitab Shahih al-Bukhori
Ishaq Ibnu Ruwaih salah seorang guru Imam al-Bukhori pernah berwasiat kepadanya, “Hendaklah engkau menyusun sebuah kitab yang khusus berisi sunah rasul yang shahih”. Wasiat keinginan gurunya inilah yang mendorong dan mengilhami Imam Bukhori untuk menyusun sebuah kitab yang berbeda dari kitab-kitab yang disusun oleh ulama’ sebelumnya. Untuk kitab susunannya ia beri judul, “al-Jami’ al-Musnad al-Mukhtashar min umuri Rasulillaahi saw. Wasunanih wa ayyaamih (Syuhbah, 1996 : 57, dalam Abror, 2003 : 198).
Dengan usaha kerasnya dalam mengumpulkan dan meneliti hadist guna memastikan keshahihannya, akhirnya tersusunlah sebuah kitab hadist sebagaimana yang kita kenal saat ini. Usaha ini tergambar dalam sebuah pernyataannya, “aku menyusun kitab-Jami’ al-Musnad al-Mukhtashar min umuri Rasulillaahi saw. Wasunanih wa ayyaamih adalah hasil seleksi dari 600.000 buah hadist selama 16 tahun. (Syuhbah, 1996 : 58, dalam Abror, 2003 : 199)
Kitab Hadist karya al-Bukhori disusun dengan memakai sistematika membagi beberapa judul tertentu dengan istilah kitab berjumlah 97 kitab dibagi menjadi beberapa sub judul dengan istilah bab berjumlah 4550 bab. Menurut Hasbi asy-Syidiqy babnya berjumlah 3521 (Shiddiqy, 1981 : 208-211). Dimulai dengan bab bad’u al-wahy kemudian disusul kitab al-iman, kitab al-ilmu, kitab al-wad’u dan seterusnya dengan jumlah hadist keseluruhan 7275 buah hadist termasuk yang terulang atau sebanyak 4000 hadist tanpa pengulangan (menurut perhitungan Ibnu Salah, dikutib oleh Abdul Muhsin Ibnu Hammad al-‘Abad). Perlu untuk diketahui, ada sejumlah kitab yang tidak memuat bab, ada pula sejumlah bab yang berisi banyak hadist tetapi ada pula sejumlah bab yang hanya berisi beberapa hadist saja, bahkan ada pula yang hanya berisi ayat-ayat al-Qur’an tanpa disertai hadist, bahkan ada pula yang kosong tanpa isi. (Syuhbah, 1996 : 66, dalam Abror, 2003 : 200)

2. Imam Muslim (204-261 H./ 820-875 M.)
a. Riwayat Singkatnya
Nama lengkap Imam Muslim adalah Abu al-Husain ibnu al-Hajjaj al-Qusyairy. Beliau dinisbatkan kepada Naisabury, karena beliau adalah putera kelahiran Naisabur pada tahun 204 H (875 M). Yakni kota kecil di Iran bagian timur laut.
Beliau juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya Qusyai ibnu Ka’ab ibnu Rabi’ah ibnu Sha’sha’ah suatu keluarga bangsawan yang besar (Suparta, 2002 : 240). Imam Muslim wafat pada hari Ahad bulan Rajab 261 H (875 M). Dan dikebumikan pada hari Senin di Naisabur (Suparta, 2002 : 241).
b. Kitab Shahih Muslim
Judul aslinya : al-Musnan al-Shahih al-Mukhtashar min al-Sunan bi Naqli al-’Adli’an Rasul Allah. Para ulama’ menyebut kitab shahih ini sebagai kitab yang belum pernah didapati sebelum dan sesudahnya dari segi tertib susunannya, sistematis isinya, tidak bertukar-tukar dan tidak berlebih dan tidak berkurang sanadnya. Secara global kitab ini tidak ada bandingannya di dalam ketelitian menggunakan isnad. (Suparta, 2002 : 241)
Untuk mengetahui isi dan sistematika Shahih Muslim secara rinci di bawah ini dikemukakan tabelnya. Informasi yang disajikan dalam tabel adalah tentang nama-nama kitab (dalam pengertian bagian), jumlah bab, dan hadist dalam tiap-tiap bab (Nurhadi, 2003 : 214)

No Nama Kitab Jumlah
Bab Hadist
1 مقدمة 8 85
2 الإيمان 97 280
3 الطهارة 34 111
4 الحيض 33 126
5 الصلاة 52 285
6 المساجدومو اضع الصلاة 56 316
7 *صلاة المسافرين وقصرها 56 312
8 الجمعة 19 73
9 العيدين 5 22
10 الاستقاء 5 17
11 الكسوف 5 29
12 الجنائز 37 108
13 الزكاة 56 177
14 الصيام 40 222
15 الاعتكاف 4 10
16 الحج 97 522
17 النكاح 24 110
* Dalam kitab (bagian) ini terdapat bab فضائلا ل القرآن وما يتعلق به
18 الرضاع 19 32
19 الطلاق 9 134
20 اللعان 1 20
21 العتق 7 26
22 البيوع 21 123
23 المساقة 31 143
24 الفرائض 5 21
25 الهبات 4 32
26 الوصية 6 22
27 النذر 5 13
28 الايمان 13 59
29 القسامة و المحاربين والقصاص و الديات 11 29
30 الحدود 11 46
31 الأقضية 11 21
32 اللقطة 6 19
33 الجهاد و السير 51 150
34 الامارة 56 185
35 الصيد و الذبائح ومايؤكل من الحيوان 12 60
36 الأضاحى 8 45
37 الأشربة 35 188
38 اللباس و الزينة 35 127
39 الآداب 10 45
40 السلام 41 155
41 قتل الحيات وغيرها 4 26
42 الألفاظ من الأدب و غيرها 5 21
43 الشعر 1 10
44 الرؤي 4 23
45 الفضائل 36 174
46 فضائل الصحابة رضىالله تعال عنهم 60 232
47 البروالصلة و الأداب 51 166
48 القدر 8 34
49 العلم 6 16
50 *الذكر و الدعاء و التوبة و الإستغفار 27 101
51 التوبة 11 60
52 صفة المنافقين و احكامهم 1 83
53 صفة القيامة و الجنة و النار 19 76
54 الجنة و صفة تعيمها و اهلها 18 101
55 الفتن واشراط الساعة 28 143
56 الزهدو الرفائق 20 75
57 التفسير 8 34
* Pada akhir kitab ini terdapat kitabالرقوق akan tetapi tidak dibuat satu nomor tersendiri.
Kitab ini disusun dalam rentang waktu yang sangat leluasa, susunannya sangat sistematis dan pengulangan hadistnya relative sedikit. Namun demikian, dalam kitab inipun terdapat beberapa hadist yang dikritik. Kritik yang muncul terutama bukan aspek sanadnya tetapi tertuju pada matannya, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pemahaman atau pemaknaan (Nurhadi, 2003 : 223)

3. Imam Abu Dawud (202-275 H./ 817-889 M)
a. Riwayat Singkatnya
Nama lengkapnya : Imam Abu Dawud Sulaiman Ibnu al-Asy’ats Ibnu Ishaq al-Sijistany. Bliau dinisbatkan kepada tempat kelahirannya, yaitu Sisjistan ( terletak antara Iran dan Afghanistan). Beliau dilahirkan di kota tersebut pada tahun 202 H / 817 M. (Suparta, 2002 : 243). Abu Dawud meninggal pada hari Jum’at 15 Syawal 278 H./ 889 M di Bashra (Suparta, 2002 : 246)
b. Sunan Abu Dawud
Abu Dawud menyusun kitab yang khusus memuat sunnah dan hadist hukum. Dalam kitab ini beliau tidak hanya memuat hadist shahih saja sebagaimana Bukhari dan Muslim, tetapi juga memasukkan hadist hasan dan dla’if, maka beliau menjelaskan kelemahan dari hadist tersebut.
Sunan Abu Dawud ini (pemberian judul Sunan, biasanya bahwa buku tersebut diberi judul berpatokan pada subyek umum, seperti Thaharah, Shalat, zakat dsb. Yang berkaitan dengan petunjuk dan praktek Nabi dan opini sahabat biasanya tidak dicantumkan dalam sunan tersebut. Oleh sebab itu. Kitab-kitab sunan tidak memuat hadist-hadist yang berkaitan dengan masalah moralitas, sejarah, zuhud, dsb) merupakan karyanya yang terbesar. Beliau mengaku telah mendengar hadist Rasulullah SAW. sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu beliau seleksi dan ditulis dalam kitab sunannya sebanyak 4800 buah. Beliau cukup puas dengan satu atau dua hadist dalam setiap bab. Beliau menulis menulis surat kepada ulama’ Mekkah. “Saya tidak menulis/ membukukan lebih dari satu atau dua hadist shahih dalam setiap bab walaupun masih ditemukan sejumlah hadist shahih lainnya yang juga berkaitan dengan masalah yang sama. Kalau semua hadist diambil sana-sini maka jumlahnya akan menjadi banyak, dan saya lihat hal itu akan menyulitkan. Satu atau dua hadist akan terasa lebih memudahkan.” Beliau juga pernah mengatakan, ”Saya tidak meletakkan sebuah hadist yang telah disepakati oleh orang banyak yang telah ditinggalkannya. Saya jelaskan dalam kitab tersebut nilainya shahih, semi shahih (yushibhu), mendekati shahih (yuqarrabuhu), dan jika dalam kitab saya tersebut terdapat hadist yang wahnun syadidun (sangat lemah) saya jelaskan.”
”Adapun yang kami beri penjelasan sedikitpun, maka hadist tersebut bernilai shahih dan sebagian dari hadist yang shahih ini ada yang lebih shahih dari pada yang lain.” Tetapi terhadap hadist-hadist yang terlewatkan tidak diberi catatan, para ulama’ memasukkan ke dalam kategori hadist yang lemah. Kenapa Abu Dawud membukukan sejumlah hadist lemah dalam sunannya ? Menurut Abu Dawud sebuah hadist yang lemah, jika tidak terlalu lemah, adalam lebih baik bila dibandingkan dengan pendapat para Ulama’ itu sendiri. Oleh karena itu, beliau tetap membukukan hadist lemah tersebut sebagai ganti opini hukum dari pada ulama’ terdahulu (Suparta, 2002 : 244-245)
Imam Ghazali memandang cukup, bahwa kitab Sunan Abu Dawud ini dibuat pegangan bagi para mujtahid (Suparta, 2002 : 246)
Abu Dawud membagi sunannya dalam beberapa kitab dan setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, diantaranya ada tiga kitab yang tidak terbagi ke dalam bab-bab, sedangkan jumlah babnya sebanyak 1871. Syarah atas Sunan Abu Dawud :
a. Samsul Haq Azimabadi, menulis Syarah awm al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud,
b. Khalil Ahmad Anshari (w. 1346 H) menulis kitab Syarah Tahdzib Abi Dawud yang diedit oleh Ahmad Syakir dengan teman-temannya sebanyak 8 jilid (Suparta, 2002 : 246)

4. Imam al-Tirmidzi (200-276 H./ 824-892 M)
a. Riwayat Hidupnya
Imam Al-Tirmidzi nama lengkapnya Abu Muhammad Isa bin Isa bin Tussah bin Musa bin Dhahran al-Salami al-Tirmid (Ahmad Muhammad Syaker, karena air beliau mengalami kebutaan di masa tuanya). Beliau adalah seorang muhaddits yang dilahirkan di kota Turmudz, sebuah kota kecil di pinggir utara sungai Amuderiya, sebelah utara Iran. Beliau dilahirkan di kota tersebut pada bulan Dzulhijjah 200 H./ 824 M. Muhammad Musthafa ‘Azhami dan Musthafa al-Siba’I menulis kelahiran al-Tirmidzi tahun 209 H. (Suparta, 2002 : 246). Setelah melakukan perjalanan panjang untuk belajar dan berdiskusi serta mengarang, sebagai seorang tuna netra Imam Turmudzi wafat di Tirmidz pada malam Senin tanggal 13 Rajab 279 H./ 829 M, (Suparta, 2002 : 247)
b. Karya beliau yang terkenal adalah Al-Jami’ atau Sunan Al-Tirmidzi
Penulisan kitab ini diselesaikan pada tanggal 10 Dzulhijjah 270 H. Disebut kitab al-Jami’ karena kitab ini memuat hadist-hadist yang berkaitan dengan siyar (hokum internasional), adab (perilaku social), tafsir, aqidah (keyakinan), fitan, ahkam (hokum dengan berbagai jenisnya), al-Asyrath wa al-Manaqib (biografi Nabi dan para sahabat tertentu). (Suparta, 2002 : 247)
Secara sistematik kitab al-Jami’ al-Shahih (Sunan al-Turmudzi) secara garis besar dapat dilihat dari masing-masing juznya sebagai berikut. (Sutarmadji, 1998 : 218-221).
Juz kesatu dibagi menjadi 2 bab, yakni bab al-Thaharah dan bab al-Shalah. Dari bab ini dibagi menjadi sub-sub bab :
1. Bab al-Thaharah terdiri dari 112 bab dan 148 hadist
2. Bab al-Shalah terdiri dari 62 bab dan 89 hadist.
Juz kedua dibagi menjadi bab Shalah sebagi lanjutan dari juz kesatu, terdiri dari atas 156 bab dan 195 hadist :
1. Bab Witir terdiri atas 22 bab dan 35 hadist.
2. Bab al-Jum’ah terdiri atas 29 bab dan 41 hadist
3. Bab ‘Idain terdiri atas 9 bab dan 12 hadist
4. Bab al-Safar terdiri atas 44 bab dan 72 hadist.
Juz pertama dan kedua ini di-tahqih dan di-ta’liq oleh Ahmad Muhammad Syakir. Ahmad Muhammad Syakir membagi juz menjadi abwab, yang disamakan dengan kitab yang pentahqih dan penta’liq berikutnya. Dari abwab itu dibagi menjadi semacam sub abwab, tetapi tidak diberi nama judulnya, hanya sejumlah hadist yang ada relevannya dikelompokkan, sesudah abwab barulah dibagi menjadi bab diberi judul, sedangkan sub abwab tidak menggunakan judul.
Juz ketiga di-tahqih dan di-ta’liq oleh Muhammad Fu’ad Abd. Al-Baqi’. oleh Muhammad Fu’ad Abd. Al-Baqi’ juz dibagi menjadi menjadi kitab, dirinci lagi menjadi bab. Dalam juz ini dibagi menjadi sembilan kitab meliputi :
1. Kitab Zakat, terdiri atas 38 bab dan 73 hadist.
2. Kitab Shiyam, terdiri atas 83 bab dan 126 hadist.
3. Kitab Hajj, terdiri atas 116 bab dan 15 hadist.
4. Kitab Janazah, terdiri atas 76 bab dan 144 hadist.
5. Kitab Nikah, terdiri atas 43 bab dan 65 hadist.
6. Kitab Radha’, terdiri atas 19 bab dan 26 hadist.
7. Kitab Thalaq dan Li’an, terdiri atas 23 bab dan 30 hadist.
8. Kitab Buyu’, terdiri atas 76 bab dan 58 hadist.
9. Kitab Shiyam, terdiri atas 42 bab dan 58 hadist.
Juz keempat di-tahqih dan di-ta’liq oleh Ibrahim ‘Adwah ‘Aud. Juz keempat ini terdiri dari :
1. Kitab al-Diyat, terdiri atas 23 bab dan 36 hadist.
2. Kitab al-Hudud, terdiri atas 30 bab dan 40 hadist.
3. Kitab al-Shaid, terdiri atas 7 bab dan 7 hadist.
4. Kitab al-Zabaih, terdiri atas 1 bab dan 1 hadist.
5. Kitab al-Ahkam dan al-Wa’id, terdiri atas 6 bab dan 10 hadist.
6. Kitab Al-Dhahi, terdiri atas 24 bab dan 30 hadist.
7. Kitab al-Siyar, terdiri atas 48 bab dan 70 hadist.
8. Kitab Keutamaan Jihad, terdiri atas 26 bab dan 50 hadist.
9. Kitab al-Jihad, terdiri atas 39 bab dan 49 hadist.
10. Kitab al-Libas, terdiri atas 45 bab dan 67 hadist.
11. Kitab al-At’imah, terdiri atas 48 bab dan 72 hadist.
12. Kitab al-Asyribah, terdiri atas 21 bab dan 34 hadist.
13. Kitab Birr wa al-Shilah, terdiri atas 87 bab dan 138 hadist.
14. Kitab al-Thib, terdiri atas 35 bab dan 33 hadist.
15. Kitab al-Fara’idh, terdiri atas 23 bab dan 25 hadist.
16. Kitab al-Washaya, terdiri atas 7 bab dan 8 hadist.
17. Kitab al-Wala’ wa al-Hibbah, terdiri atas 7 bab dan 7 hadist.
18. Kitab al-Fitan, terdiri atas 79 bab dan 111 hadist.
19. Kitab al-Ru’ya, terdiri atas 10 bab dan 16 hadist.
20. Kitab al-Syahadah, terdiri atas 4 bab dan 7 hadist.
21. Kitab al-Zuhud, terdiri atas 64 bab dan 110 hadist.
22. Kitab Sifat al-Qiyamah, al-Raqa’iq dan al-Wara’ terdiri atas 60 bab dan 110 hadist.
23. Kitab Sifat al-Jannah, terdiri atas 27 bab dan 45 hadist.
24. Kitab Jahannam, terdiri atas 38 bab dan 73 hadist.
Juz kelima terdiri dari 10 pembahasan, ditambah satu bahasan tentang ila’ dan di-tahliq oleh Ibrahim ‘Adwah ‘Aud, yaitu :
1. Kitab al-Imam, terdiri atas 18 bab dan 31 hadist.
2. Kitab al-‘Ilm, terdiri atas 19 bab dan 31 hadist.
3. Kitab Isti’zan, terdiri atas 34 bab dan 43 hadist.
4. Kitab al-Adab, terdiri atas 75 bab dan 115 hadist.
5. Kitab al-Nisa’, terdiri atas 7 bab dan 11 hadist.
6. Fadla’il al-Qur’an, terdiri atas 25 bab dan 41 hadist.
7. Kitab al-Qira’at, terdiri atas 13 bab dan 18 hadist.
8. Kitab Tafsir al-Qur’an, terdiri atas 95 bab dan 158 hadist.
9. Kitab al-Da’waat, terdiri atas 133 bab dan 189 hadist.
10. Kitab al-Manaqib, terdiri atas 75 bab dan 133 hadist.
11. Kitab al-‘Ila’, dijelaskan panjang lebar pada beberapa sub-bab.
Kitab al-Jami’ al-Shalih atau Sunan Tirmidzi ditulis al-Tirmidzi pada abad ke-3 H, yakni periode “penyempurnaan dan pemilahan”. Kitab al-Tirmidzi ini memuat seluruh hadist kecuali sangat dhaif dan munkar. Satu spesifikasi kitab al-Tirmidzi adalah adanya penjelasan tentang kwalitas dan keadaan hadistnya. Melalui Kitab al-Jami’ al-Shalih ini pula al-Tirmidzi memperkenalkan istilah hadist hasan, yang sebelumnya hanya dikenal istilah hadist shahih dan dha’if. Kriteria itu dengan konsisten diaplikasikan al-Tirmidzi dalam kitabnya tersebut. (Suryadi, 2003 : 259)

5. Imam Nasa’I (215-303 H./ 835 M)
a.Riwayat Hidupnya
Nama lengkapnya adalah Imam Ahmad ibnu Syu’aib ibnu Ali ibnu Sinan ibnu Bahr ibnu al-Khurasani al-Nasa’i. Nama beliau dinisbatkan kepada kota tempat beliau dilahirkan. Beliau lahir pada tahun 215 H. di kota Nasa’I yang masih termasuk wilayah Khurasan (Suparta, 2002 : 247-248), Beliau wafat pada hari Senin 13 Shafar 303 H./ 915 M di al-Ramlah. Menurut satu pendapat beliau meninggal di Makkah, yakni saat beliau mendapat cobaan di Damsyik beliau meminta supaya di bawa ke Makkah, sampai beliau wafat dan kemudian dimakamkan disuatu tempat antara Shafa dan Marwa. (Suparta, 2002 : 249)
b. Kitab Sunan Nasa’i
Imam Nasa’I sangat selektif dalam menetapkan sebuah criteria seorang rawi, beliau berhasil menyusun sebuah kitab yang cukup berharga dan sangat “besar” diberi nama Sunan al-Kubra. Karena di dalamnya beliau mengadakan pemisahan antara hadist dha’if, hasan dan shahih, maka beliau akhirnya mengarang sebuah kitab diberi nama al-Mujtaba’ yang merupakan hasil seleksi dari kitab al-Kubra, dan isinya hanya terdiri dari hadist shahih saja. Kitab al-Mujtaba’ inilah yang akhirnya kita kenal dengan sekarang dengan nama Sunan al-Nasa’i. (Afdawaiza’, 2003 : 273)
Adapun sistematika penyusunannya dengan lengkap dapat disebutkan sebagai berikut : (Afdawaiza’, 2003 : 274)

No Nama Kitab Juz Hlm. No Nama kitab Juz Hlm
1 Al-Muqaddimah I 3 4 Al-Haidl I 147
2 Al-Thaharah I 12 5 Al-Ghusl wa al-Tayamum I 162
3 Al-Miyah I 141 6 Al-Shalah I 178
7 Al-Mawaqif I 198 24 Al-Nikah VI 44
8 Al-Adzan II 3 25 Al-Thalaq VI 112
9 Al-Masajid II 26 26 Al-Khail VI 178
10 Al-Qiblah II 47 27 Al-Ahbas VI 190
11 Al-Imamah II 58 28 Al-Washaya VI 198
12 Al-Jum’ah III 71 29 al-Nahl VI 216
13 Tafsir al-Shalah fi al-Safar III 95 30 Al-Hibah VI 226
14 al-Kusuf III 101 31 Al-Ruqaba’ VI 228
15 Al-Istisqa’ III 125 32 Al-‘Umra VI 228
16 Shalat al-Kusuf III 136 33 Al-Aiman wa al-Nudzur wa al-Muzara’ah VII 3
17 Shalat al-‘Idain III 146 34 ‘Asyrah al-Nisa’ VII 58
18 Qiyam al-Lail wa tathawu’ al-Nahr III 161 35 Tahrir al-Dam VII 70
19 Al-Janaiz IV 3 36 Qism al-Faj VII 117
20 Al-Shiyam IV 97 37 Al-Ba’iah VII 124
21 Al-Zakah V 3 38 Al-Aqiqah VIII 145
22 Manasik al-Hajj V 83 39 Al-Far’a wa al-‘Athirah VII 147
23 Al-Jihad VI 3 40 Al-Shaid wa al-Zaba’ ibnu Hajr al-Asqalani VII 158
41 Al-Dahaya VII 186 44 Qath’u al-Sariq VIII 57
42 Al-Buyu’ VII 212 45 Al-Aiman wa al-Syara’ VIII 86
43 Al-Qasamah VIII 3 46 – – –

Kitab hadist Sunan al-Nasa’I ditulis dengan menggunakan metode al-Sunan yaitu metode penulisan hadist yang sistematikanya mengikuti bab-bab yang ada dalam kitab fiqih (Afdawazi’a, 2003 : 227)

6. Imam Ibnu Majjah (209-272 H./ 824-887 M)
a. Riwayat Hidupnya
Ibnu Majjah adalah nama nenek moyangnya yang berasal dari kota Qazwain, salah satu kota di Iran. Nama lengkap imam ahli hadist yang terkenal dengan sebutan neneknya ialah Abu Abdillah ibnu Yazid ibnu Majjah. Beliau lahir pada tahun 207 H./ 824 M (Suparta, 2002 : 249)
Ibnu Majjah wafat pada hari Senin, 21 Ramadhan 273 H./ 887 M. (Suparta, 2002 : 251)
b. Sunan Ibnu Majjah
Sunan ini merupakan salah satu sunan yang empat. Dalam sunan ini banyak terdapat hadist dhaif, bahkan tidak sedikit hadist yang mungkar. Kitab Ibnu Majjah berisi 4341 buah hadist, dan sebanyak 3002 telah dibukukan oleh pengarang kitab Al-Ushul al-Sittah lainnya, baik seluruhnya ataupun sebagian. Jadi 1339 hadist diriwayatkan oleh Ibnu Majjah sendiri dengan rincian se bagai berikut :
1) 428 buah hadist adalah hadist shahih.
2) 199 buah hadist adalah hadist hasan.
3) 613 buah hadist adalah hadist lemah isnad.
4) 99 buah adalah hadist mungkar dan makdzub.
Bila al-Tirmidzi dan Abu dawud meriwayatkan hadist lemah selalu diberi keterangan/ catatan dalam kitab mereka, lain halnya dengan Ibnu Majjah, beliau tidak memberikan komentar apapun. Bahkan untuk hadist yang dustapun, beliau hanya mengambil sikap diam (Suparta, 2002 : 250)
Kitab Sunan ini disusun secara baik dan indah menurut sistematika fiqih. Beliau memulai sunan ini dengan bab mengikuti Sunnah Rasullullah SAW. Dalam bab ini beliau membahas hadist yang menunjukkan segi keutamaan, kewajiban, untuk mengikutinya dan mengamalkannya.
Terlepas setuju atau tidak setuju, yang jelas derajat sunan Ibnu Majjah lebih rendah dari Kutub al-Khomsah dan merupakan kitab sunan yang paling banyak mengandung hadist dhaif. Oleh sebab itu, sebaiknya tidak menjadikan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah sebagai dalil, kecuali setelah mengkajinya terlebih dahulu. Bila ternyata hadist tersebut shahih atau hasan, maka boleh dijadikan pegangan, jika dhaif hadist tersebut tidak boleh dijadikan pegangan.
Sunan Ibnu majjah ini mempunyai sisi kelebihan yaitu tidak banyak mengalami pengulangan dan ia terbaik dari penyusunan judul per judul dan sub judul. Hal ini diakui banyak ulama’. (Suparta, 2002 : 251)

C. PENUTUP
Kitab Hadist yang enam terdiri dari dua (2) shahih dan 4 (empat) sunan. Yaitu :
1) al-Jami’ al-Shahih susunan Imam al-Bukhori
2) al-Jami’ al-Shahih susunan Imam Muslim
3) Al-Sunan susunan Abu Dawud
4) Al-Sunan susunan Al-Tirmidzi
5) Al-Sunan susunan an-Nasa’i
Kelima kitab di atas, biasanya disebut dengan Al-Kutub al-Khomsah dan kemudian ada sebagian ulama’ memasukkan kitab hadist yang keenam, sehingga menjadi al-Kutub al-Sittah. Untuk kitab yang keenam ini para Ulama’ berbeda pendapat.
Abdul Fadli ibnu Thahir yang mengelompokkan Sunan Ibnu Majjah menjadi kitab pokok yang enam ini, yang diikuti oleh Abdul Ghani al-Muqsidi, al-Mizzi, kemudian al-Hafidl Ibnu Hajar dan al-Khazra’I, sedangkan Razin dan Ibnu al-‘Atsir memandang bahwa kitab al-Muwatha’ Imam Malik lebih pantas menduduki pokok keenam, bukan sunan Ibnu Majjah. Ada juga Ulama’ lain yang memasukkan al-Sunan atau Musnad susunan al-Darimy sebagai kitab yang keenam, juga kitab susunan al-Jarud (Suparta, 2003 : 251-252)