Sebuah teks, kata Aart Van Zoest, tak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi. Menurut Jorge Larring istilah konsep ideologi yang ramai dibicarakan selama ini mempunyai dua pengertian yang brtolak belakang. Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia (world view) yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Sedangkan secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Bila kesadaran palsu ini mengakar terhadap suatu peristiwa yang melibatkan kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial/budaya.
Kekerasan yang dilakukan media, pada dasarnya merupakan praktek dari teori kekerasan oleh John Galtung. Galtung mengatakan kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa, sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada dibawah realisasi potensialnya. Kekerasan simbolik terjadi manakala konstruksi realitas media berbeda dengan realitas yang ada di masyarakat. Praktek kekerasan simbolik dalam menanamkan ideologi yang melalui penggunaan misinterpretasi. Bila representase dimaknai sebagaimana seseorang, kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Maka yang terjadi adalah dua hal; kelompok itu digambarkan semestinya atau diburukkan.
Representase sangat memungkinkan terjadinya misinterpretasi; ketidak benaran penggambaran atau kesalahan penggambaran. Kekerasan simbolik yang dibangun melalui misinterpretasi dapat ditemukan dan biasanya sering dipakai oleh media dalam empat hal; eksklusi, pengucilan, marjinalisasi, dan delegitimasi.
Eksklusi, berhubungan dengan bagaimana seseorangatau suatu kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Dalam hal ini seseorang atau sekelompok orang tidak diperkenankan untuk bicara. Ia tidak di anggap atau dianggap asing/aneh, bukan bagian dari kelompok. Penggambaran yang terjadi adalah dari diri kita, bukan dari mereka dan tidak ada kebutuhan untuk mendengarkan mereka. Wacana media mengenai komunisme adalah contoh bagus. Orang-orang komunis atau yang dianggap komunis dikeluarkan dari debat mengenai komunisme, mereka tidak diberi tempat. Komunisme karena didefenisikan oleh orang yang bukan orang komunis. Konsekuensi penting dari ekslusi ini adalah; pertama, partisipasi wacana hanya dibatasi pada pihak sendiri (in group). Pihak lain dtampilkan melalui perspektif kelompok sendiri. Salah satu strategi utamanya adalah menghadirkan atau menghilangkan identitas kelompok lain itu.
Pengucilan, jika ekslusi berhubungan dengan bagaimana gagasan atau kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik. Mereka diajak bicara, tetapi mereka dianggap lain, mereka buruk dan mereka bukan kita. Hal ini dialami oleh komunis dalam pemberitaan media. Demikian pula kebijakan Gus Dur juga dianggap sehingga pengucilan diarahkan aneh oleh beberapa media, sehingga pengucilan diarahkan kepda Gus Dur dan komunis.
Marjinalisasi, praktik marjinalisasi adalah praktik misinterpretasi yang berbeda dengan ekslusi dan pengucilan. Dalam marjinalisasi terjadi penggambaran buruuk kepada pihak atau kelompok lain. Akan tetapi berbeda dengan ekslusi dan pengucilan, di sini tidak terjadi pemilahan antara pihak kita dan pihak mereka. Praktik pemakaian bahasa sebagai strategi wacana dari marjinalisasi ini. Pertama, penghalusan makna (eufemisme). Kata ini pertam kali dipakai dalam bidang budaya, terutama untuk menjaga kesopanan dan norma –norma. Hal yang menjadi masalah pada saat realitas yang buruk/memalukan seperti pembunuhan, perampokan, kelaparan, kemiskinan, dan lain-lain, dihaluskan dengan pemakaian kata-kata. Hal yang seharusnya buruk/memalukan menjadi tidak transparan sehingga khalayak mengalami kekaburan dalam melihat realitas. Kedua, pemakaian bahasa pengasaran (disfeminisme), merupakan pengasaran suatu realitas. Ini dilakukan oleh kelas dominan untuk menamai gerakan yang dilakukan kelas bawah yang berlawanan dengan kelas dominan. Ketiga, labeling merupakan perangkat bahasa yang digunakan kelas dominan untuk memenangkan wacana atas kelas lain. Labeling adalah pemakaian kata-kata infensif kepada individu, kelompok dan kegiatan. Keempat, adalah jargon, berupa kata atau kalimat yang sifatnya teknis yang dalam konteks ideologi disebarkan dan kemudian diadopsi oleh masyarakat luas. Kelima adalah slogan/semboyan, merupakan kalimat yang menyiratkan gairah tertentu, sehingga pesan yang disampaikan kelas dominan mudah diterima oleh kelas subordinat.
Salah satu pemikiran ideologi yang penting adalah pemikiran Louis Althuser. Ideologi dalam pemikirannya bukan suatu idea tau gagasan suatu praktik Altuhuser berpendapat, terdapat dua dimensi hakiki Negara; represif (Represif State Apparatus/RRA) dan ideologi (Ideology State Apparatus/IRA). Kedua dimensi ini merupakan alat perjuangan kelas dalam keberadaan sebuah Negara. Represif memasuki kesadaran dengan cara memaksa/kekerasan sedangkan ideologis bersifat mempengaruhi. Akan tetapi fungsi keduanya adalah sama sebagai alat mengekalkan penindasan dalam relasi sosial.
Pada awalnya RSA dimaknai berupa kekerasan yang bersifat langsung, berupa penggunaan kekerasan fisik terhadap setiap aksi yang melawan kebijakan kelas domina. Akan tetapi lama-kelamaan diberi arti ideologis agar nampak sah. Caranya RSA berada langsung di bawah kendali penguasa yang ada dalam satu komando yang terlembagakan dalam tugas-tugas resmi. Karenanya RSA bersifat sentralik dan sistematis. RSA bagi Althusser identik dengan sietem dan struktur yang semata-mata berdiri sebagai penyangga kekuasaan yang sah dan ekplisit. Keabsahan ini memungkinkan RSA menjangkau publik yang lebih luas dan gerak hidupnya bersifat politis, misalnya, birokrasi, lembaga dan peradilan, militer, dan lain sebagainya. Seringkali juga ISA menjadi represif , hal ini terjadi bentutan ideologi antara dua kepentingan misalnya, agama, media, sastra, dan lain sebagainya. ISA dan RSA saling terkait. RSA mengamankan ideologi yang ditanamkan dan pada akhirnya ISA member keabsahan tindakan RSA.
Dalam konsepsi ideologi ini media ditempatkan dalam dalam ISA. Media dapat memberikan alasan pembenar untuk tindakan fisik yang dilakukan RSA. Namun, penyajian ISA dalam berita pun menjadi RSA, bila terdapat terdapat pemaksaan yang secara teknis dianggap sebagai agenda media, misalnya menempatkan dalam headline, judul yang besar, dan kolom yang luas. Tanpa disadari media telah melakukan pemaksaan konsentrasi terhadap khalayak.
Salah satu teori Allthusser yang paling penting adalah konsep subjek dan ideologi. Hari Cahyadi mengemukakan,ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan subjek lain dan subjek memerlukan ideologi. Ideologi merupakan perumusan dari individu-individu tertentu. Hal ini tidak hanya berlaku dalam kelompok saja, melainkan diluar kelompok juga. Ideologi tidak hanya memerlukan subjek akan tetapi sekaligus objek. Hal inilah yang disebut interplasi. Menurut John Fiske, pada dasarnya interplasi adalah menyapa seseorang dan dalam penyapaan itu selalu terkandung usaha menempatkan seseorang dalam hubungan sosial tertentu. ISA berperan membentuk subjek ideologi, kehidupan sebagai subjek bagi struktur tadi bukan ciptaanya melainkan ciptaan kelompok atau kelas tertentu. Karena struktur diciptakan maka identik dengan kelompok yang menciptakannya. Sehingga sebagai obyek tidak lain adalah pelayan kepentingan dari kelas tertentu yang menciptakan struktur tersebut.
Ideologi membentuk objek dengan cara menempatkan seseorang dalam identitas dan posisi imajiner tertentu. Penyebutan “Hey kamu; yang dilakukan guru terhadap murid, bukan hanya berarti menyuruh, melainkan menempatkan seseorang dalam posisi tertentu oleh guru. Murid dalam hal ini ditempatkan pada posisi subordinat. Fiske melihat berita dan proses komunikasi secara keseluruhan pada dasarnya adalah praktek ideologis ; interplasi adalah bagian penting dari praktek ideologi. Dalam hal ini terdapat dua konsekuensi dari proses interplasi dan komunikasi. Pertama, bagaimana wartawan atau media menempatkan khalayak pembacanya dalam posisi tertentu. Kedua, bagaimana khalayak menempatkan dirinya dalam berita yang disajikan oleh media. Posisi mana yang diambil dan bagaimana seseorang ditempatkan atau disubyekkan menggambarkan bagaimana ideologi tersebut berlangsung. Sebut saja berita pemerkosaan yang selalu menyudutkan wanita sebagai obyek (sebuah kewajaran diperkosa karena suatu sebab). Posisi laki-laki dalam hal ini tidak merasa apa-apa, bahkan membuatnya sebagai bahan hiburan. Lain halnya denga para wanita, mereka akan merisaukannya. Akan tetapi, posisi laki-laki menempatkan dirinya dalam posisi feminis akan merisaukannya pula.
Ideologi memungkinkan kelas dominan mengontrol kelompok lain. Tentunya dalam praktek penyebaran ideologi kelas dominan. Teori hegemoni Antonio Gramsci merupakan jawaban. Gramsci menenkankan, penanaman kekuasaan tindakan represif. Media dalam hal ini bisa menjadi sarana suatu kelompok untuk mengukuhkan kekuasaannya diatas kelompok lain. Proses penggambaran masyarakat yang marjinal dengan membuatnya sebagai wacana yang terpinggirkan diterima sebagai kewajaran dan dihayati bersama. Khalayak tidak merasa dibodohi atau dimanipulasi oleh media.
Gramsci berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetepi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Jika yang pertama menggunakan daya aksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat suatu cara produksi atau nilai-nilai tertentu, maka yang terakhir meliputi perluasan an pelestarian kepatuhan aktif secara suka rela dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas penguasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral, an politik. Hegemoni menekankan pada suatu bentuk ekspresi, cara penerapan , mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para ‘korban’nya, sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka. Proses ini terjadi dan berlangsung melalui pengruh budaya yang disebarkan secara sadar dan meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan.
Hegemoni bekerja melalui konsensus dan menjauhi upaya penindasa satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap memang benar, sehingga cara yang lain dianggap tidak benar. Dalam hal ini secara tidak sengaja ataupun sengaja dapat menjadi alat bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan disebarkan dan meresap dalam bentuk khalayak sehingga menjadi konsensus bersama. Sementara nilai lain dianggap menyimpang. Misalnya, pemberitaan mengenai demonstrasi buruh, wacana yang dikembangkan adalah musyawarah dan mufakat. Para buruh yang berdemo, seharusnya melakukan musyawarah bukan demonstrasi. Sehingga demonstrasi merupakan suatu kesalahan apalagi diinformasikan secara anarkis dan memacetkan jalan raya.
Dalam produksi berita, ideologi media maupun ideologi kelas yang disebarkan melalui cara halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, memang begitulah adanya, logis (common sense) dan semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan. Bahkan menurut Stuart Hall, hegemoni merupakan ritual yang seringkali tidak disadari oleh wartawn sendiri. Kecendrungan ini berakibat cukup fatal, apabila peristiwa yang terjadi adalah tarik ulur antara kelas dominan dan kelas tidak dominan. Maka, ketika sebuah demonstrasi yang diwawancarai hanya dari sisi penguasa, akibatnya demonstrasi menjadi sesuatu yang sangat tidak wajar dan opini penguasa/pakar adalah sesuatu yang sangat wajar. Bahkan sesuai dengan nilai-nilai jurnalistik yang diajarkan kepada wartawan. Para penggerak demonstrasi atau pekerja tidak perlu diwawancarai karena mereka tidak layak berita.
Teori hegemoni Gramsci menekankan bahwa pada lapangan sosial ada pertarungan untuk memperebutkan penerimaan publik. Karenanya pengalaman sosial kelompok subordinat (kelas, gender, ras, umur, dsb) berbeda dengan kelompok dominan. Karena itu perlu usaha kelompok dominan untuk menyampaikan ideologi dan kebenarannya tersebut tanpa ada perlawanan. Salah satu strategi kunci hegemoni adalah nalar awam (common sense) jika idea tau gagasan dari kelompok dominan diterima sebagai common sense, kemudian ideology itu diterima, maka hegemoni telah terjadi. Sebagai contoh perilaku penjarahan adalah adalah kriminalitas. Analognya kriminalitas adalah perilaku menyimpang orang-orang kriminalis. Karena itu tindakan untuk mengatasinya ialah dengan menangkapnya dan memberi hukuman yang setimpal. Kriminalitas adalah tindakan individu yang mempunyai fungsi dari ideologi borjuis. Masyarakat tidak lagi mempertanyakan bahwa penjarahan itu diakibatkan oleh marjinalisasi pengusaha besar yang terus menerus mendesak masyarakat miskin perkotaan. Pandangan ini diterima oleh kelompok subordinat, yang juga menekankan supaya penjarahan itu dapat dibasmi harus dilakukan dengan menangkap pelakunya dan dikenakan hukuman yang setimpal. Dengan cara itu terjadi kemenangan hegemoni, dimana pandangan kelompok dominan diterima oleh publik tanpa protes, tanpa penentangan.
Teori ideologi menekankan bahwa semua teks dan semua makna mempunyai dimensi sosio politik dan tidak dapat dimengerti kalau tidak menyertakan dimensi konteks sosialnya. Kerja ideologi sebagaimana yang dinyatakan John Fiske, selalu mendukung status qou, melalui makna kelompok yang mempunyai kekuasaan yang lebih besar menyebarkan gagasan dan pesannya. Sistem ekonomi diorganisir sesuai kepentingan mereka, dan sistem ideologi diambil dari kerja itu untuk menyebarkan gagasan mereka. Bagi Fiske semua teori ideologi sepakat bahwa ideologi bekerja untuk dominasi kelas, perbedaanya hanya pada cara dominasi itu bekerja untuk dominasi kelas, perbedaannya hanya pada cara dominasi itu bekerja dan tingkat efektifitasnya.