Hubungan Keaktifan Kader dengan SPM Pelayanan Gizi
Dalam cakupan penimbangan ada kaitannya dengan faktor internal ibu balita seperti : tingkat pendidikan ibu balita, tingkat pengetahuan ibu balita, umur balita, status gizi balita (Yamroni, 2003), di samping itu juga berkaitan dengan jarak posyandu (Masnuchaddin, 1992) serta peran petugas kesehatan, tokoh masyarakat, kader posyandu (Hutagalung, 1992). Masalah lain yang berkaitan dengan kunjungan di posyandu antara lain : dana operasional dan sarana prasarana untuk menggerakkan kegiatan posyandu, tingkat pengetahuan kader dan kemampuan petugas dalam pemantauan pertumbuhan dan konseling, tingkat pemahaman keluarga dan masyarakat akan manfaat posyandu serta pelaksanaan pembinaan kader (Profil Kesehatan Indonesia, 2009).
Demi tercapainya SPM yang telah ditetapkan oleh pemerintah, keaktifan kader tidak hanya dilihat dari banyaknya kehadiran dalam pelaksanaan kegiatan posyandu, melainkan harus selalu tanggap dan peduli dengan masalah kesehatan ibu dan anak di lingkungannya. Masalah yang menjadi perhatian kader posyandu, adalah masalah yang dihadapi oleh sasaran posyandu yaitu, bayi, balita, ibu hamil, ibu nifas dan ibu meneteki (Dinkes Jawa Timur, 2005).
Hubungan Keaktifan Kader dengan SPM Perilaku Sehat
Perwujudan dari pengembangan SPM dapat dilakukan dengan adanya pelaksanaan UKBM (Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat) secara internal di dalam desa sendiri atau pun antar desa. Upaya ini dapat memantapkan kerjasama dan sebagai wahana bertukar pengalaman dalam memecahkan masalah yang dihadapi bersama. Keaktifan kader kesehatan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pengembangan program SPM. Kader kesehatan diberi kesempatan dalam mengembangkan kreativitasnya dan melakukan pemantauan serta evaluasi untuk melihat pengembangan program SPM. (Syafrudin dan Hamidah, 2009)
Kader kesehatan terlibat secara langsung dalam pengelolaan pengembangan program SPM. Kegiatan yang dilakukan oleh kader dapat berupa penyuluhan PHBS (Perilaku Hidup Bersih Sehat), membantu pelaksanaan posyandu, membantu mencegah kegawatdaruratan kesehatan masyarakat, dan sebagainya. (Dinkes Kab. Sragen, 2008)
Hubungan antara keaktifan kader kesehatan dengan pengembangan program SPM dapat diasumsikan yaitu meliputi pelaksanaan posyandu secara rutin, adanya poskesdes yang selalu siap dalam melayani kesehatan dasar masyarakat, adanya pos obat desa, adanya kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi kegawatdaruratan. Pemberdayaan masyarakat dalam hal ini kader kesehatan yang harus dilakukan secara optimal sehingga pengembangan program SPM dapat tercapai. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dan kelestarian desa adalah keaktifan para kader kesehatan. Kader-kader yang memiliki motivasi tinggi harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kreativitasnya dalam pelaksanaan UKBM yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di desa. Apabila UKBM dapat berjalan dengan baik maka pengembangan program SPM juga akan meningkat (Dinkes Kab. Sragen, 2008; Syafrudin dan Hamidah, 2009).
Hubungan SPM Pelayanan Gizi dengan Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara penilaian status gizi balita adalah dengan pengukuran anthropometri menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U).
SPM Pelayanan Gizi merupakan indikator pelayanan gizi yang minimal harus ada dan tercapai di suatu rumah sakit, puskesmas, ataupun posyandu di daerah kabupaten/ kota. Apabila SPM tersebut tidak diterapkan, maka status gizi balita yang ada dalam ruang lingkup kerja posyandu maupun puskesmas tidak akan menjadi baik. Status gizi balita akan menjadi baik apabila posyandu maupun puskesmas tersebut memberikan pelayanan gizi dan menjalankan program pemerintah dengan baik.
Hubungan SPM Perilaku Sehat dengan Status Gizi
Dalam tatanan otonomi daerah, Visi Indonesia Sehat 2010 akan dapat dicapai apabila telah tercapai secara keseluruhan Kabupaten/Kota Sehat. Oleh karena itu, selain harus dikembangkan sistem kesehatan Kabupaten/Kota yang merupakan subsistem dari Sistem Kesehatan Nasional, harus ditetapkan pula kegiatan minimal yang harus dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota sesuai yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1457/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan Kabupaten/Kota. Standar Pelayanan Minimal Promosi Kesehatan yang merupakan acuan Kabupaten/Kota adalah Rumah Tangga Sehat (65 %), ASI Ekslusif (80 %), Desa dengan garam beryodium (90 %) dan Posyandu Purnama (40 %) (Dinkes Makassar, 2006).
Adanya penyuluhan dalam bidang kesehatan terutama dalam perilaku sehat sangatlah penting. Semakin sering diadakannya penyuluhan tentang perilaku sehat, maka status gizi balita akan semakin baik dan semaikin mudah untuk mencapai SPM yang telah ditargetkan oleh pemerintah.
Hubungan Partisipasi Masyarakat dengan Status Gizi
Pengetahuan ibu tentang gizi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan. Ibu yang cukup pengetahuan gizinya akan dapat memperhitungkan kebutuhan gizi anak balitanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain itu pengetahuan yang dimiliki ibu akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh anaknya. (DepKes RI, 1995)
Salah satu sebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemauan untuk menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seorang ibu mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi oleh anggota keluarga khususnya anak balita yang mengkonsumsi menu tersebut, yang nantinya berdampak positif terhadap keadaan status gizinya (Ulfa O,2008). Berdasarkan status pekerjaan dari ibu-ibu di desa Wonomulyo yang kebanyakan ibu rumah tangga / tidak bekerja, maka ibu akan mempunyai waktu yang lebih untuk memberikan perhatian kepada anaknya karena ibu tidak meninggalkannya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan tahun 2006 tentang hubungan antara karakteristik ibu dengan status gizi balita di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunung Pati menunjukkan ibu yang tidak bekerja status gizi balita tersebut baik.
Faktor yang berperan dalam menentukan status gizi adalah tingkat sosial ekonomi, dalam hal ini daya beli keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli bahan pangan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan dan pengeluaran, harga bahan makanan itu sendiri, serta tingkat pengelolaan sumber daya lahan dan pangan (Sjahmien, 2003).
Antara penghasilan dan status gizi, ada hubungan yang sangat terkait. Pengaruh peningkatan dari penghasilan akan berdampak pada perbaikan status gizi dan kondisi keluarga. Umumnya bila pendapatan meningkat maka jumlah dan jenis makanan cenderung akan membaik juga. Tingkat penghasilan akan menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli dengan uang tersebut. Semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi pula persentase yang digunakan untuk membeli buah, sayur dan berbagai jenis makanan yang lain. (Sjahmien, 2003).
Hubungan Keaktifan Kader dengan Status Gizi
Meurut L. A. Gunawan dalam Zulkifli (2003) menyimpulkan bahwa Kader Posyandu atau dinamakan juga promoter kesehatan desa (prokes) adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh dari masyarakat dan bertugas mengembangkan masyarakat melalui Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Hasil penimbangan balita di posyandu dapat juga dimanfaatkan oleh masyarakat dan instansi atau aparat Pembina untuk melihat sampai seberapa jauh jumlah balita yang ada di wilayahnya tumbuh dengan sehat, sehingga dapat menggambarkan keberhasilan dari kegiatan posyandu (Depkes RI, 2001).