BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan militer dan sipil merupakan suatu permasalahan klasik di beberapa negara, terutama di negara yang rapuh dimana kondisi sosial, ekonomi dan politiknya cenderung tidak stabil. Dalam keadaan pemerintahan sipil tidak lagi mampu mengelola permasalahan negaranya, militer cenderung untuk masuk dalam politik demi menstabilkan keadaan. Hal ini dapat kita lihat di Myanmar ketika Jendral Ne Win menyingkirkan pemerintahan yang berkuasa dan membentuk pemerintahan militer hingga saat ini. Kondisi yang sama juga terjadi di Argentina dimana militer menjatuhkan Presiden Frondizi dan membentuk pemerintahan sementara di bawah kekuasaannya. Contoh lain yang lebih kontemporer adalah apa yang kita saksikan baru-baru ini di Madagaskar dimana presiden Marc Ravalomanana yang terpilih Desember 2006 dipaksa turun setelah militer melakukan kudeta dengan mengambil alih istana negara pada 16 Maret 2009.
Republik Rakyat China adalah negara dengan populasi terbesar di dunia dan salah satu negara terluas di dunia dengan total luas wilayah mencapai 9,596,960 km2 . Tentunya RRC memiliki jumlah personil militer terbesar di dunia untuk mengimbangi jumlah populasi dan luas wilayahnya[1]. Meskipun memiliki jumlah penduduk sipil dan personil militer yang sangat banyak, China merupakan suatu negara dengan kondisi yang cenderung stabil. Bahkan dapat dikatakan militer hampir tidak pernah melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil. Mereka cenderung profesional dan lebih sibuk dengan kegiatan internnya daripada mengurusi permasalahan politik China.
Tidak heran jika kemudian militer China merupakan salah satu yang terkuat di dunia.[2] Namun hal ini bukan berarti militer tidak pernah terjun dalam dunia politik. Salah satu masa dimana militer terjun dan bahkan terlibat aktif dalam politik adalah ketika terjadi Revolusi Kebudayaan di era mao Zedong. Saat itu Mao, dengan pemerintahannya yang semakin melemah, memutuskan untuk memasukkan militer untuk mendukung pasukan merahnya dalam memberantas para penentang pemerintah. Dalam kekacauan tersebut, militer akhirnya berhasil mengambil alih hampir semua pemerintahan di daerah, menguasai sistem komunikasi partai di seluruh China, menduduki 50% kursi di politburo dan bahkan mengurusi masalah sosial dan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, hal ini tidak mendorong militer untuk mengambil alih pemerintahan sipil secara keseluruhan yang saat itu melemah akibat tentangan dari berbagai pihak. Pertanyaan ini lah yang akan kami coba analisa dalam makalah ini.
Masyarakat China sendiri banyak yang menderita akibat kerja yang berlebihan terutama saat terjadi musim kemarau yang menyebabkan gagal panen dimana-mana. Kondisi yang memprihatinkan ini menimbulkan ekonomi negara kacau dan legitimasi Mao sebagai penggagas kebijakan semakin menurun. Dalam pemerintahan sendiri, telah muncul beberapa pejabat yang mulai berani mengkritik kebijakan Mao ini. Namun sayang, tindakan mereka selalu harus berakhir dengan pemecatan. Meskipun demikian, peristiwa pemecatan ini justru semakin mendorong banyak pihak untuk lebih vokal menentang Mao. Akibatnya Mao mau tidak mau harus melakukan sesuatu untuk mengamankan posisinya. Terjadilah apa yang kita kenal dengan revolusi kebudayaan. Sebuah peristiwa terbesar yang mewarnai sejarah Cina pasca revolusi 1949.