HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA PASCA PERUBAHAN UUD 1945

UUD 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh rakyat Indonesia. Keberlakuan UUD 1945 berlandaskan pada legitimasi kedaulatan rakyat sehingga UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, hasil-hasil perubahan UUD 1945 berimplikasi terhadap seluruh lapangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi perubahan tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan.[1]
UUD 1945 memuat baik cita-cita, dasar-dasar, serta prinsip-prinsip penyelenggaraan negara. Cita-cita pembentukan negara kita kenal dengan istilah tujuan nasional yang tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (b) memajukan kesejahteraan umum; (c) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (d) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mencapai cita-cita tersebut, UUD 1945 telah memberikan kerangka susunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Norma-norma dalam UUD 1945 tidak hanya mengatur kehidupan politik tetapi juga kehidupan ekonomi dan sosial. Hal itu karena para pendiri bangsa menghendaki bahwa rakyat Indonesia berdaulat secara penuh, bukan hanya kedaulatan politik. Maka UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, konstitusi budaya, dan konstitusi sosial yang harus menjadi acuan dan landasan secara politik, ekonomi, dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).
Keseluruhan kesepakatan yang menjadi materi konstitusi pada intinya me­nyang­kut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan negara guna mewujudkan tujuan nasional. Karena itu, menurut William G. Andrews, “Under consti­tutionalism, two types of limitations impinge on govern­ment. Power proscribe and procedures prescribed”[2]. Konstitu­sio­nalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintahan dengan warga negara; dan Kedua, hubungan antara lem­baga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya, isi konstitusi dimak­sudkan untuk mengatur mengenai tiga hal penting, yaitu: (a) me­nen­­tukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, (b) meng­atur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan (c) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.
Dengan demikian, salah satu materi penting dan selalu ada dalam konstitusi adalah pengaturan tentang lembaga negara. Hal itu dapat dimengerti karena kekuasaan negara pada akhirnya diterjemahkan ke dalam tugas dan wewenang lembaga negara. Tercapai tidaknya tujuan bernegara berujung pada bagaimana lembaga-lembaga negara tersebut melaksanakan tugas dan wewenang konstitusionalnya serta hubungan antarlembaga negara. Pengaturan lembaga negara dan hubungan antarlembaga negara merefleksikan pilihan dasar-dasar kenegaraan yang dianut.
Trend Perubahan Kelembagaan Negara
Sejak dasawarsa 70-an abad ke-XX, muncul ge­lombang liberalisasi politik, ekonomi dan kebudayaan besar-besaran di seluruh penjuru dunia. Di bidang politik, muncul gerakan demokratisasi dan hak asasi manusia yang sangat kuat di hampir seluruh dunia. Penggambaran yang menyeluruh dan komprehensif me­ngenai hal ini dapat dibaca dalam tulisan Samuel Huntington dalam tulisannya “Will More Countries Become Democratic?” (1984).[3] Dalam tulisan ini, Huntington menggambarkan adanya tiga gelombang besar demokrasi sejak revolusi Amerika Serikat tahun 1776. Gelombang pertama berlangsung sampai dengan tahun 1922 yang ditandai oleh peristiwa-peristiwa besar di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia. Setelah itu, gerakan demokratisasi meng­alami backlash dengan munculnya fasisme, totali­tarianisme, dan stalinisme terutama di Jerman (Hitler), Italia (Musolini), dan Rusia (Stalin).
  Gelombang kedua terjadi sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, fasisme dan totalitarianisme berhasil dihancurkan, pada saat yang sama muncul pula gelombang dekolonisasi besar-besaran, menumbang imperialisme dan kolonialisme. Karena itu, di­katakan bahwa Perang Dunia II berakhir bukan hanya dengan kemenangan negara pemenangnya sendiri, melainkan dimenangkan oleh ide demokrasi, baik di negara-negara pemenang Perang Dunia Kedua itu sen­diri maupun di negara-negara yang kalah perang dan semua negara bekas jajahan di seluruh dunia, terutama di benua Asia dan Afrika.[4] Namun, gelombang kedua ini mulai terhambat laju perkembangannya sejak tahun 1958 dengan munculnya fenomena rezim bureaucratic authoritarianism di mana-mana di seluruh dunia. Backlash kedua ini timbul karena dinamika internal yang terjadi di masing-masing negara yang baru mer­de­ka yang memerlukan konsolidasi kekuasaan yang ter­sentralisasi dan terkonsentrasi di pusat-pusat ke­kua­saan negara.
  Gejala otoritarianisme itu berlangsung beberapa dasawarsa, sebelum akhirnya ditembus oleh munculnya gelombang demokrasi ketiga, terutama sejak tahun 1974, yaitu dengan munculnya gelombang gerakan pro demokrasi di Eropa Selatan seperti di Yunani, Spanyol, dan Portugal, dilanjutkan oleh negara-negara Amerika Latin seperti di Brazil dan Argentina. Gelombang ketiga ini berlangsung pula di Asia, seperti di Filipina, Korea Selatan, Thailand, Burma, dan Indonesia. Terakhir, puncaknya gelombang demokrasi melanda pula negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet yang kemudian ber­ubah dari rezim komunis menjadi demokrasi.
  Sementara itu, gelombang perubahan di bidang ekonomi juga berlangsung sangat cepat sejak tahun 1970-an. Penggambaran mengenai terjadinya Mega Trends seperti yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene memperlihatkan dengan jelas bagaimana di seluruh dunia, negara-negara inter­ven­sionist di seluruh dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengurangi campur tangannya dalam urusan-urusan bisnis. Sejak tahun 1970, terjadi gelombang privatisasi, deregulasi, dan debirokratisasi besar-besaran di Ing­gris, di Perancis, di Jerman, di Jepang, dan di Amerika Serikat. Bahkan hampir semua negara di dunia dipaksa oleh keadaan untuk mengadakan privatisasi terhadap badan usaha yang sebelumnya dimiliki dan dikelola oleh negara.
  Di bidang kebudayaan, yang terjadi juga serupa dengan gelombang perubahan di bidang politik dan ekonomi. Dengan semakin meningkatnya perkem­bangan teknologi transportasi, komunikasi, tele­ko­mu­ni­­kasi, dan informasi, dunia semakin berubah menjadi satu, dan semua aspek kehidupan mengalami proses globalisasi. Cara berpikir umat manusia dipaksa oleh ke­adaan mengarah kepada sistem nilai yang serupa. Bahkan, dalam persoalan selera musik, selera, ma­kanan, dan selera berpakaianpun terjadi proses penye­ra­gaman dan hubungan saling pengaruh mem­penga­ruhi antar negara.  Sementara itu, sebagai respons ter­hadap gejala penyeragaman itu, timbul pula fenomea perlawanan budaya dari berbagai tradisi lokal di setiap negara, sehingga muncul gelombang yang saling ber­sitegang satu sama lain, antara globalisasi versus lokalisasi, sehingga secara berseloroh melahirkan istilah baru yang dikenal dengan glokalisasi.
  Perubahan-perubahan itu, pada pokoknya, me­nun­tut respons yang lebih adaptif dari organisasi negara dan pemerintahan. Semakin demokratis dan berorientasi pasar suatu negara, semakin organisasi ne­gara itu harus mengurangi perannya dan membatasi diri untuk tidak mencampuri dinamika urusan masya­rakat dan pasar yang mempunyai mekanisme kerjanya sendiri. Dengan perkataan lain, konsepsi negara kese­jah­teraan (welfare state) yang sebelumnya meng­ideal­kan perluasan tanggungjawab negara ke dalam urusan-urusan masyarakat dan pasar, pada masa kini dituntut untuk melakukan liberalisasi dengan mengurangi peran un­tuk menjamin efisiensi dan efektifitas pelayanan umum yang lebih memenuhi harapan rakyat.
  Jika dibandingkan dengan kecenderungan se­lama abad ke-20, dan terutama sesudah Perang Dunia Kedua,[5] ketika gagasan welfare state atau negara kesejahteraan[6] sedang tumbuh sangat populer di dunia, hal ini jelas bertolak belakang. Sebagai akibat kelemahan-kelemahan paham liberalisme dan kapi­talis­me klasik, pada abad ke-19 muncul paham sosialisme yang sangat populer dan melahirkan doktrin welfare state sebagai reaksi terhadap doktrin nach­wach­taersstaat yang mendalilkan doktrin the best government is the least government. Dalam paham negara kesejahteraan, adalah tanggungjawab sosial negara untuk mengurusi nasib orang miskin dan yang tak berpunya. Karena itu, negara dituntut berperan lebih, sehingga format kelembagaan orga­ni­sasi birokrasinya juga menjangkau kebutuhan yang lebih luas. Saking luasnya bidang-bidang yang mesti ditangani oleh pemerintahan welfare state, maka dalam perkembangannya kemudian muncul sebutan intervensionist state.[7]
Dalam bentuknya yang paling ekstrim muncul pula rezim negara-negara komunis pada kutub yang sangat kiri. Semua urusan ditangani sendiri oleh biro­krasi negara sehingga ruang kebebasan dalam kehidupan masyarakat (civil society) menjadi sangat sempit. Akibatnya, birokrasi negara-negara kesejah­teraan itu di hampir seluruh dunia mengalami in­efisiensi.[8] Di satu sisi, bentuknya terus berkembang menjadi sangat besar, dan cara kerjanyapun menjadi sangat lamban dan sangat tidak efisien. Di pihak lain, kebebasan warga negara menjadi terkungkung dan ketakutan terus menghantui kehidupan warga negara. Sementara itu, karena perkembangan ilmu penge­tahuan dan teknologi serta dinamika kehidupan nasio­nal, regional, dan internasional yang cenderung berubah sangat dinamis, aneka aspirasi ke arah per­ubahan meluas pula di setiap negara di dunia, baik di bidang ekonomi maupun politik. Tuntutan aspirasi itu pada pokoknya mengarah kepada aspirasi demokra­tisasi dan pengurangan peranan negara di semua bi­dang kehidupan, seperti yang tercermin dalam gelombang ketiga demokratisasi yang digambarkan oleh Samuel P. Huntington tersebut di atas.[9]
  Dengan adanya tuntutan perkembangan yang demikian itu, negara modern dewasa ini seakan dituntut untuk berpaling kembali ke doktrin lama seperti dalam paham nachwachtersstaat abad ke-18 dengan mengidealkan prinsip the best government is the least government.[10] Tentu saja, negara modern sekarang tidak mungkin kembali ke masa lalu begitu saja. Dunia terus berkembang. Jarum jam tidak mungkin kembali ke masa lalu. Namun demikian, meskipun negara modern sekarang tidak mungkin lagi kembali ke doktrin abad ke-18, keadaan obyektif yang harus dihadapi dewasa ini memang mengharuskan semua pemerintahan negara-negara di dunia melaku­kan perubahan besar-besaran terhadap format kelem­ba­gaan yang diwarisi dari masa lalu. Perubahan dimaksud harus dilakukan untuk merspons kebutuhan nyata secara tepat. Semua negara modern sekarang ini tidak dapat lagi mempertahankan format lama kelem­bagaan negara dan birokrasi pemerintahannya yang ma­kin dirasakan tidak efisien dalam memenuhi tun­tutan aspirasi rakyat yang terus meningkat.
  Semua negara dituntut untuk mengadakan pem­baruan di sektor birokrasi dan administrasi publik. Sebagai gambaran, setelah masing-masing melakukan pembaruan tersebut secara besar-besaran sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, hampir semua negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD),[11] mengembangkan kebijakan yang sama. Alice Rivlin,[12] dalam laporannya pada tahun 1996 ketika menjabat Director of the U.S. Office of Management and Budget menyatakan bahwa sebagian terbesar dari 24 negara[13] anggota OECD sama-sama menghadapi tekanan fundamental untuk melakukan perubahan, yaitu karena faktor ekonomi global, ketidakpuasan warganegara, dan krisis fiskal. Dalam laporan itu, Alice Rivlin menyatakan bahwa respons yang diberikan oleh hampir semua negara relatif sama, yaitu dengan melakukan tujuh agenda sebagai berikut:
1)      decentralisation of authority within governmental units and devolution of responsibilities to lower levels of government;
2)      a re-examination of what government should both do and pay for, what it should pay for but not do, and what it should neither do nor pay for;
3)      downsizing the public service and the privati­sation and corporatisation of activities;
4)      consideration of more cost-effective ways of delivering services, such as contracting out, market mechanisms, and users charges;
5)      “customer orientation, including explicit quality standards for public services”;
6)      benchmarking and measuring performance; and
7)      reforms designed to simplify regulation and reduce its costs.
Menurut Laporan OECD yang dikemukakan oleh Alice Rivlin tersebut, untuk menghadapi tantangan ekonomi global dan ketidakpuasan warganegara yang tuntutan kepentingannya terus meningkat, semua negara OECD dipaksa oleh keadaan untuk melakukan serangkaian agenda pembaruan yang bersifat sangat mendasar. Pertama, unit-unit pemerintahan harus mendesentralisasikan kewenangan dan devolusi per­tang­gung-jawaban ke lapisan pemerintahan yang lebih rendah; Kedua, semua pemerintahan perlu meng­adakan penilaian kembali mengenai (i) apa yang peme­rintah harus dibiayai dan lakukan oleh pemerintah, (ii) apa yang harus dibiayai tetapi tidak perlu dilakukan sendiri, dan (iii) apa yang tidak perlu dibiayai sendiri dan sekaligus tidak perlu dilakukan sendiri; Ketiga, semua pemerintah perlu memperkecil unit-unit organisasi pelayanan umum, dan memprivatisasikan serta mengkorporatisasikan kegiatan-kegiatan yang sebelumnya ditangani pemerintah. Keempat, semua pemerintahan dianjurkan untuk mengembangkan kebijakan yang pelayanan yang lebih cost-effective, seperti kontrak out-sourcing, mekanisme percaya, dan biaya konsumen (users charges); Kelima, semua pemerintahan berorientasi kepada konsumen, ter­ma­suk dalam mengembangkan pelayanan umum dengan kualitas yang pasti; Keenam, melakukan bench­marking dan penilaian kinerja yang terukur; dan Ketujuh, mengadakan reformasi atau pembaruan yang didesain untuk menyederhanakan regulasi dan mengu­rangi biaya-biaya yang tidak efisien[14].
  Semua kebijakan tersebut penting dilakukan un­tuk maksud mengadakan apa yang oleh David Osborne dan Ted Gaebler disebut reinventing government.[15] Buku terakhir ini malah sangat terkenal di Indonesia. Sejak pertama diterbitkan, langsung mendapat perhatian masyarakat luas, termasuk di Indonesia. Bahkan sejak tahun 1990-an, buku ini dijadikan standar dalam rangka pendidikan dan pelatihan pejabat tinggi pemerintahan untuk menduduki jabatan eselon 3, eselon 2, dan bahkan eselon 1 yang diselenggarakan oleh Lembaga Admi­nistrasi Negara (LAN). Ide pokoknya adalah untuk menyadarkan penentu kebijakan mengenai bobroknya birokrasi negara yang diwarisi dari masa lalu, dan memperkenalkan ke dalam dunia birokrasi itu sistem nilai dan kultur kerja yang lebih efisien, seperti yang lazim dipraktekkan di dunia usaha dan di kalangan para enterpreneurs.
  Mengiringi, melanjutkan, dan bahkan men­da­hului buku David Osborne dan Ted Gaebler ini bahkan banyak lagi buku-buku lain yang mengkritik kinerja birokrasi negara modern yang dianggap tidak efisien.[16] Misalnya, seorang psikolog sosial, Warren G. Bennis, menggambarkan dalam tulisannya “The Coming Death of Bureaucracy” (1966)[17] bahwa bureaucracy has become obsolete. Untuk mengatasi gejala the death of bureaucracy tersebut, baik di tingkat pusat maupun di daerah di berbagai negara dibentuk banyak lembaga baru yang diharapkan dapat bekerja lebih efisien. Da­lam studi yang dilakukan Gerry Stoker terhadap pe­merintah lokal Inggris, misalnya, ditemukan kenyataan bahwa:[18]
“Prior to the reorganisation in 1972-4, local authorities worked through a variety of joint committees and boards to achieve economies of scale in service provision (for example in bus operation); to undertake the joint management of a shared facility (for example, a crematorium); or to plan transport and land-use policies across a number of authorities (Flynn and Leach, 1984)[19]. Central government too created a number of powerful single-purpose agencies including Regio­nal Hospital Boards (and later in 1974, Area and Regional Health Authorities);”
Di Inggris, gejala perkembangan organisasi non-elected agencies ini telah muncul sejak sebelum diperkenalkannya kebijakan reorganisasi antara tahun 1972-1974. Pemerintahan lokal di Inggris sudah biasa bekerja dengan menggunakan banyak ragam dan bentuk organisasi yang disebut joint committees, boards, dan sebagainya untuk tujuan mencapai prinsip economies of scale dalam rangka peningkatan pelayanan umum. Misalnya, dalam pengoperasian transportasi bus umum, dibentuk kelembagaan tersendiri yang disebut board atau authority.
Pemerintah Inggris menciptakan beraneka ragam lembaga baru yang sangat kuat kekuasaannya dalam urusan-urusan yang sangat spesifik. Misalnya, pada mulanya dibentuk Regional Hospital Board dan kemudian pada tahun 1974 menjadi Area and Regio­nal Health Authorities. New Town Develop­ment Corporation juga dibentuk untuk maksud me­nyukseskan program yang diharapkan akan meng­hubung­kan kota-kota satelit di sekitar kota-kota metoropolitan seperti London dan lain-lain. Demikian pula untuk program pembangunan perdesaan, di­bentuk pula badan-badan otoritas yang khusus me­nangani Rural Development Agencies di daerah-daerah Mid-Wales dan the Scottish Highlands.
  Perkembangan yang terjadi di negara-negara lain kurang lebih juga sama dengan apa yang terjadi di Inggris. Sebabnya ialah karena berbagai kesulitan ekonomi dan ketidakstablan akibat terjadinya berbagai perubahan sosial dan ekonomi memaksa banyak negara melakukan eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) melalui berbagai bentuk organ pemerintahan yang dinilai lebih efektif dan efisien, baik di tingkat nasional atau pusat maupun di tingkat daerah atau lokal.  Perubahan-perubahan itu, terutama terjadi pada non-elected agencies yang dapat dilakukan secara lebih fleksibel dibandingkan dengan elected agencies seperti parlemen. Tujuannya tidak lain adalah untuk menerapkan prinsip efisiensi agar pelayanan umum (public services) dapat benar-benar efektif. Untuk itu, birokrasi dituntut berubah menjadi slimming down bureaucracies[20] yang pada intinya diliberalisasikan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan perkembangan di era liberalisme baru.
  Di berbagai negara juga terbentuk berbagai organisasi atau lembaga yang disebut dengan rupa-rupa istilah seperti dewan, komisi, badan, otorita, lembaga, agencies, dan sebagainya. Namun, dalam pengalaman di banyak negara, tujuan yang mulia untuk efisiensi dan efektifitas pelayanan umum (public services) tidak selalu belangsung mulus sesuai dengan yang diharap­kan. Karena itu, kita perlu belajar dari kekurangan dan kelemahan yang dialami oleh berbagai negara, sehingga kecenderungan untuk latah di negara-negara sedang ber­kembang untuk meniru negara maju dalam me­lakukan pembaharuan di berbagai sektor publik dapat meminimalisasi potensi kegagalan yang tidak perlu. Bentuk-bentuk organisasi, dewan, badan, atau komisi-komisi yang dibentuk itu, menurut Gerry Stoker dapat dibagi ke dalam enam tipe organisasi, yaitu:
1.      Tipe pertama adalah organ yang bersifat central government’s arm’s length agency;
2.      Tipe kedua, organ yang merupakan local authority implementation agency;
3.      Tipe ketiga, organ atau institusi sebagai public/private partnership organisation;
4.      Tipe keempat, organ sebagai user-organisation.
5.      Tipe kelima, organ yang merupakan inter-governmental forum;
6.      Tipe Keenam, organ yang merupakan Joint Boards.
Ragam bentuk organ pemerintahan mencakup struktur yang sangat bervariasi, meliputi pemerintah pusat, kementerian-kementerian yang bersifat teritorial (territorial ministeries), ataupun intermediate insti­tutions. Organ-organ tersebut pada umumnya berfungsi sebagai a quasi-governmental world of appoin­ted bodies, dan bersifat non-departmental agencies, single purpose authorities, dan mixed public-private institutions. Sifatnya quasi atau semi pemerintahan, dan diberi fungsi tunggal ataupun kadang-kadang fungsi campuran seperti di satu pihak sebagai pengatur (regulator), tetapi juga menghukum seperti yudikatif yang dicampur dengan legislatif.
  Di negara-negara demokrasi yang telah mapan, seperti di Amerika Serikat dan Perancis, pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-20, juga banyak ber­tum­buhan lembaga-lembaga negara baru. Lembaga-lem­baga baru tersebut biasa disebut sebagai state auxiliary organs, atau auxiliary institutions sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang. Di antara lembaga-lembaga itu kadang-kadang ada juga yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga-lembaga yang men­jalankan fungsi campuran (mix-function) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi peng­hukum­an yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut.
  Di antaranya, ada pula lembaga-lembaga yang hanya bersifat ad hoc atau tidak permanen. Badan-badan atau lembaga-lembaga yang bersifat ad hoc itu, betapapun, menurut John Alder, tetap dapat disebut memiliki alasan pembenaran konstitusionalnya sendiri (constitutional justification). Menurutnya[21],
Ad hoc bodies can equally be used as a method of dispersing power or as a method of concentrating power in the hands of central government nominees without the safeguard of parliamentary or democratic accountability. The extent of governmental control can be manipulated according to the particular circumstances.
 
Lembaga-lembaga negara yang bersifat ad hoc itu di Inggris, menurut Sir Ivor Jennings,[22] biasanya dibentuk karena salah satu dari lima alasan utama (five main reaons), yaitu:
1. The need to provide cultural or personal services supposedly free from the risk of political interference. Berkembangnya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya atau pelayanan yang bersifat personal yang diidealkan bebas dari risiko campur tangan politik, seperti misalnya the BBC (British Broadcasting Corporation);
2. The desirability of non-political regulation of markets. Adanya keinginan untuk mengatur dinamika pasar yang sama sekali bersifat non-politik, seperti misalnya Milk Marketing Boards;
3. The regulation of independent professions such as medicine and the law. Keperluan mengatur profesi-profesi yang bersifat independen seperti di bidang hukum kedokteran;
4. The provisions of technical services. Kebutuhan untuk mengadakan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis (technical services) seperti antara lain dengan dibentuknya komisi, the Forestry Commission;
5. The creation of informal judicial machinery for settling disputes. Terbentuknya berbagai institusi yang berfungsi sebagai alat perlengkapan yang bersifat semi-judisial untuk menyelesaikan berbagai sengketa di luar peradilan sebagai ‘alternative dispute resolution’ (ADR).
Kelima alasan tersebut ditambah oleh John Alder dengan alasan keenam, yaitu adanya ide bahwa public ownership of key sectors of the economy is desirable in itself.[23] Pemilikan oleh publik di bidang-bidang ekonomi atau sektor-sektor tertentu dianggap lebih tepat diorganisasikan dalam wadah organisasi tersendiri, seperti yang banyak dikembangkan akhir-akhir ini, misalnya dengan ide Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
  Karena demikian banyak jumlah dan ragam corak lembaga-lembaga ini, oleh para sarjana biasa dibedakan antara sebutan agencies, institutions atau establishment, dan quango’s (quasi autonomous NGO’s). Dari segi tipe dan fungsi administrasinya, oleh Yves Meny dan Andrew Knapp,  secara sederhana juga dibedakan adanya tiga tipe utama lembaga-lembaga pemerintahan yang bersifat khusus tersebut (three main types of specialized administration), yaitu: (i) regulatory and monitoring bodies (badan-badan yang melakukan fungsi regulasi dan pemantuan); (ii) those responsible for the management of public services (badan-badan yang bertanggungjawab melakukan pengelolaan pelayanan umum); and (iii) those engaged in productive activities (badan-badan yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan produksi).[24]
  Dari pengalaman di berbagai negara, dapat diketahui bahwa semua bentuk organisasi, badan, dewan, komisi, otorita, dan agencies yang dikemukakan di atas tumbuh begitu saja bagaikan cendawan di musim hujan. Ketika ide pembaruan kelembagaan diterima sebagai pendapat umum, maka dimana di semua lini dan semua bidang, orang berusaha untuk menerapkan ide pembentukan lembaga dan organisasi-organisasi baru itu dengan idealisme, yaitu untuk modernisasi dan pembaruan menuju efisiensi dan efektifitas pelayanan. Akan tetapi, yang menjadi masalah ialah, proses pembentukan lembaga-lembaga baru itu tumbuh cepat tanpa didasarkan atas desain yang matang dan komprehensif.
Timbulnya ide demi ide bersifat sangat reaktif, sektoral, dan bersifat dadakan, tetapi dibungkus oleh idealisme dan heroisme yang tinggi. Ide pembaruan yang menyertai pembentukan lembaga-lembaga baru itu pada umumnya didasarkan atas dorongan untuk mewujudkan idenya sesegera mungkin karena adanya momentum politik yang lebih memberi kesempatan untuk dilakukannya demokratisasi di segala bidang. Oleh karena itu, trend pembentukan lembaga-lembaga baru itu tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan, sehingga jumlahnya banyak sekali, tanpa disertai oleh penciutan peran birokrasi yang besar.
Upaya untuk melakukan slimming down bureaucracies seperti yang dikemukakan oleh Stephen P. Robbins,[25] belum lagi berhasil dilakukan, lembaga-lembaga baru yang demikian banyak malah sudah dibentuk di mana-mana. Akibatnya, bukan efisiensi yang dihasilkan, melainkan justru menambah in­efisien­si karena meningkatkan beban anggaran negara dan menambah jumlah personil pemerintah menjadi semakin banyak. Kadang-kadang ada pula lembaga yang dibentuk dengan maksud hanya bersifat ad hoc untuk masa waktu tertentu. Akan tetapi, karena banyak jumlahnya, sampai waktunya habis, lembaganya tidak atau belum juga dibubarkan, sementara para peng­urusnya terus menerus digaji dari anggaran pen­dapatan dan belanja negara ataupun anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Dengan perkataan lain, pengalaman praktek di banyak negara menunjukkan bahwa tanpa adanya desain yang mencakup dan menyeluruh mengenai kebutuhan akan pembentukan lembaga-lembaga negara tersebut, yang akan dihasilkan bukanlah efisiensi, tetapi malah semakin inefisien dan menga­caukan fungsi-fungsi antar lembaga-lembaga negara itu sendiri dalam mengefektifkan dan mengefisienkan pelayanan umum (public services). Apalagi, jika ne­gara-negara yang sedang berkembang dipimpin oleh mereka yang mengidap penyakit inferiority complex yang mudah kagum untuk meniru begitu saja apa yang dipraktekkan di negara maju tanpa kesiapan sosial-budaya dan kerangka kelembagaan dari masyarakatnya untuk menerapkan ide-ide mulia yang datang dari dunia lain itu.
  Perubahan-perubahan dalam bentuk perombak­an mendasar terhadap struktur kelembagaan negara dan birokrasi pemerintahan di semua lapisan dan di semua sektor, selama sepeuluh tahun terakhir dapat dikatakan sangat luas dan mendasar. Apalagi, dengan adanya perubahan UUD 1945, maka desain makro kerangka kelembagaan negara kita juga harus ditata kembali sesuai dengan cetak biru yang diamanatkan oleh UUD 1945 hasil empat rangkaian perubahan pertama dalam sejarah republik kita. Kalau dalam praktek, kita mendapati bahwa ide-ide dan rancangan-rancangan perubahan kelembagaan datang begitu saja pada setiap waktu dan pada setiap sektor, maka dapat dikatakan bahwa perombakan struktural yang sedang terjadi berlangsung tanpa desain yang menyeluruh, persis seperti pengalaman yang terjadi di banyak negara lain yang justru terbukti tidak menghasilkan efisiensi seperti yang diharapkan. Karena itu, di masa transisi sejak tahun 1998, sebaiknya bangsa kita melakukan konsolidasi kelembagaan besar-besaran dalam rangka menata kembali sistem kelembagaan negara kita sesuai dengan amanat UUD 1945.


[1] Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM, 2003, hal. 1.
[2]  William G. Andrews, Constitutions and Consti­tu­tio­nalism, 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 13.
[3] Samuel P. Huntington, Political Science Quarterly, 1984, yang ditulis untuk diterbitkan dalam David J. Goldsworthy (ed.), Development and Social Change in Asia: Introductory Essays, (Radio Australia-Monach Development Studies Centre, 1991).
[4] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994), hal.  231-232.
[5] Menurut Ian Gough, “The twentieth century, and in particular the period since the Second World War, can fairly be described as the era of the welfare state”, The Political Economy of the Welfare State, (London and Basingstoke: The Macmillan Press, 1979), hal.1.
[6] Bung Hatta dalam sidang-sidang BPUPKI dalam rangka penyusunan UUD 1945, menyebut konsepsi negara kesejahteraan ini dengan istilah “negara pengurus”. Lihat penjelasan umum tentang UUD 1945 dalam naskah UUD 1945 sebelum perubahan, Berita Repoeblik Tahun II No.7, Percetakan Repoeblik Inodnesia, 15 Febroeari 1946. Lihat juga Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995). Bandingkan dengan RM.A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004).
[7] Jimly Asshiddiqie, op. cit.
[8] Donald C. Hodges, The Bureaucratization of Socialism, (The University of Massachussetts Press, 1981), hal. 177.
[9] Samuel P. Huntington, Political Science Quarterly, 1984, juga dalam David J. Goldsworthy (ed.), Development and Social Change in Asia: Introductory Essays, op. cit., 1991.
[10]  Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 58.
[11] Organization for Economic Cooperation and Development. Semula organisasi ini berasal dari “The Organization for European Economic Cooperation” yang. dibentuk setelah Perang Dunia Kedua dengan maksud utamanya “to administer the Marshall Plan for the Reconstruction of Europe”. Setelah penandatangan konvensi di antara 20 negara anggotanya pada 14 Desember 1960, OEEC tersebut berubah menjadi OECD.  Lihat http://www.oecd.org/
[12] David Osborne and Peter Plastrik, Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, (A Plume Book, 1997), hal. 8.
[13] Sekarang, jumlah negara anggota OECD ini sudah bertambah menjadi 30 negara, yaitu: (i) Austria (1961, (ii) Belgium (1961), (iii) Greece (1961), (iv) Denmark (1961), (v) Canada (1961), (vi) Finland (1961), (vii) France (1961), (viii) Germany (1961), (ix) Normway (1961), (x) Netherlands (1961), (xi) Hungary (1996), (xii) Ireland (1961), (xiii) Iceland (1961), (xiv) Luxembourg (1961), (xv) Sweden (1961, (xvi) Switzerland (1961), (xvii) United Kingdom (1961), (xviii) United States of America (1961), (xix) Italy (1962), (xx) Japan (1962), (xxi) Australia (1971), (xxii) Mexico (1994), (xxiii) Czech Republic (1995), (xxiv) South Korea (1996), (xxv) New Zealand (1973), (xxvi) Poland (1996), (xxvii) Portugal (1961), (xxviii) Slovak Republic (2000), (xxix) Norway, dan(xxx) Turkey. Lihat http://www.oecd.org, dan /www.minagric.gr/en/agro_pol/OECD-EN-310804.htm
[14] Ibid.
[15] David Osborne and Ted Gaebler, Reinventing Government, (William Bridges and Associaties, Addison Wesley Longman, 1992).
[16] Misalnya baca David Osborne and Tedd Gaebler, Reinventing Government, (William Bridges and Associaties, Addison Wesley Longman), 1992; dan David Osborne and Peter Plastrik, Banishing Bureaucracy, (A Plume Book, 1997).
[17] Warren G. Bennis, “The Coming Death of Bureaucracy”, Think, Nov-Dec 1966, hal. 30-35.
[18] Gerry Stoker, The Politics of Local Government, 2nd edition, (London: The Macmillan Press, 1991), hal. 60-61.
[19] N. Flynn, and S. Leach, Joint Boards and Joint Committees: An Evaluation, (Birmingham: University of Birmingham, Institute of Local Government Studies, 1984).
[20] Stephen P. Robbins, op.cit., hal. 322. Biasanya agencies yang dimaksudkan disini disebut dengan istilah dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority).
[21] Alder and English, op cit., hal. 225.
[22] Sir Ivor Jennings, Cabinet Government, (London), hal.76-76.
[23] John Alder and Peter English, op.cit., hal. 225.
[24] Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, 3rd edition, (Ofxord University Press, 1998), hal. 280.
[25] Stephen P. Robbins, op.cit., hal. 322.