Hakekat Sikap Nasionalisme | Kata sikap dalam kamus bahasa Indonesia biasanya diartikan pada kepribadian yang ditunjukkan terhadap individu, seseorang yang berdiri sendiri terlepas dari individu yang lain, dan biasanya selalu dikaitkan dengan pola tingkah laku manusia yang berhubungan dengan norma-norma atau moral tentang baik dan buruk. Dengan kata lain sikap atau kepribadian itu dipakai untuk menunjukkan adanya ciri khas yang ada pada seseorang.
Dewasa ini sikap siswa dalam pergaulan anak mempunyai makna yang lebih luas, yaitu perilaku bermoral dan bermoral mulia, semangat berusaha, belajar dan bekerja yang ulet yang dilandasi IPTEK tepat guna, disertai dengan etika belajar dan bekerja, dan kreatifitas terpuji, hal ini seirama dengan pendapat Engkoswara bahwa sikap moral merupakan keadaan gerak jiwa yang mendorong untuk melakukan perubahan-perubahan dengan tanpa memerlukan pemikiran.
Studi mengenai sikap merupakan studi yang penting dalam bidang psikologi sosial. Konsep tentang sikap sendiri telah melahirkan berbagai macam pengertian diantara para ahli psikologi. Sikap pada awalnya diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya suatu tindakan. Konsep itu kemudian berkembang semakin luas dan digunakan untuk menggambarkan adanya suatu niat yang khusus atau umum, berkaitan dengan kontrol terhadap respon pada keadaan tertentu. Masri, mengartikan sikap sebagai kesediaan yang diarahkan untuk menilai atau menanggapi sesuatu. Berkman dan Gilson mendefinisikan sikap adalah evaluasi individu yang berupa kecenderungan (inclination) terhadap berbagai elemen di luar dirinya. Hawkins Dkk menyebutkan, sikap adalah pengorganisasian secara ajeg dan bertahan (enduring) atas motif, keadaan emosional, persepsi dan proses-proses kognitif untuk memberikan respon terhadap dunia luar.
Secara umum sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek tertentu, sikap harus diarahkan kepada objek dan sikap itu pula diartikan sebagai keadaan jiwa seseorang individual terhadap suatu nilai. Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat berupa suka, tidak suka, senang, sedih, cinta, benci dan sebagainya. Karena dalam sikap yang umumnya mengetahui perilaku atau tindakan apa yang dilakukan bila bertemu dengan objeknya.
Sejalan dengan pendapat tersebut dalam teori empirisme, seorang filosof Inggris, John Lock berpendapat, “anak lahir dalam keadaan kosong dan ini akan diisi dan ditulis oleh alam sekitarnya dan termasuk pendidikan”[1].
Di sisi lain sikap siswa terhadap sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap berhasil tidaknya pendidikan siswa di sekolah, seperti dikemukakan oleh Wayan Nurkencana,
“sikap yang positif dari sekolah, guru-guru, teman-teman dan sebagainya merupakan dorongan yang sangat besar bagi anak untuk mengadakan hubungan yang baik ini akan memperlancar proses pendidikan. Sebaliknya sikap yang negatif akan menyebabkan terjadinya hubungan yang tidak baik”[2].
Sikap yang diambil seseorang didasarkan atas nilai tertentu yang didukungnya, lebih lanjut Wayan Nurkencana menjelaskan “Guru perlu mengetahui bagaimana sikap anak terhadap dunia sekitarnya, khususnya terhadap sekolah. Maka guru perlu mencari cara-cara mengembangkan diri positif pada anak-anaknya sehingga dari sikap negatif akan berkembang menjadi sikap positif”[3]. Hal ini berarti sikap seseorang dipengaruhi oleh lingkungan atau pendidikan. Pendidikan disini salah satunya adalah menanamkan sikap nasionalisme.
Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Beberapa makna kata bangsa diatas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat. [4]
Pengertian ini berkaitan dengan arti kata suku yang dalam kamus yang sama diartikan sebagai golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan; golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar. [5]Beberapa suku atau ras dapat menjadi pembentuk sebuah bangsa dengan syarat ada kehendak untuk bersatu yang diwujudkan dalam pembentukan pemerintahan yang ditaati bersama.
Secara psikologi nasionalisme ini dapat dimaksudkan dalam golongan perasaan, Nasionalisme adalah perasaan dari suatu bangsa, jadi jiwa nasionalisme atau mencintai bangsa dan negara dengan segala yang dimiliki. Menurut Subardjo, Nasionalisme adalah perasaan cinta terhadap bangsa dan tanah air yang ditimbulkan oleh perasaan tradisi atau sejarah agama, bahasa, kebudayaan, pemerintah. Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa yakni sejumlah orang yang dipersatukan karena cita-cita serta kerinduan untuk bernegara sendiri, nation atau bangsa menurut Emas Renam adalah kehendak untuk bersatu dan bernegara. Sedangkan Neltje F. Katuuk, bangsa adalah suatu perangkai atau karakter yang timbul karena perasaan senasib.[6] Kemudian menurut SCT Kansil, “Nasionalisme dimaksudkan bahwa bangsa Indonesia seluruhnya memupuk persatuan yang erat antara sesama warga negara tanpa menbedakan suku atau golongan serta berdasarkan satu tekad yang bulat dan satu cita-cita bersama”[7]
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas dengan pembelajaran nasionalisme:
- Siswa lebih menghargai jasa-jasa pahlawan
- Rasa cinta tanah air siswa semakin meningkat
- Timbul sikap rela berkorban dalam diri siswa
- Siswa mempunyai cita-cita luhur untuk meneruskan perjuangan para pahlawan pendahulu sesuai perkembangan jaman.
Daftar Pustaka
[1] Munandar Soelamena, Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Sosial, (Bandung:eresco, 1986), h.66
[2] Wayan Nurkencana, Evaluasi pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 275
[3] Ibid, h. 276
[4] Lukman Ali dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 89
[5] Ibid, h. 970
[6] Neltje Katuuk, Pendidikan Pancasila, Seri Diktat Kuliah, (Jakarta: Gunadarma, 1994), h. 24
[7] SCT Kansil, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Depdiknas, 1994), h. 64