Hakekat Pendidikan | Sejak dulu masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat kompleks. Hampir di setiap negara di dunia terjadi perdebatan tajam tentang apa yang seharusnya diajarkan di sekolah. UU RI tentang sistem pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003, menurut tujuan pendidikan Nasional sebagai berikut: “Pendidikan Nasional bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”(Abdul Muis, 1992: 68)
Percepatan arus informasi, globalisasi, dan krisis multimedia telah mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan, dan kualitas sumber daya manusia (SDM), termasuk semakin terkikisnya nilai-nilai islami pada sebagian masyarakat. Hal tersebut terjadi ketika masyarakat didekte untuk memasuki “kehampaan spiritual” yang membuatnya teraing dari diri, lingkungan dan nilai-nilai agama yang dianutnya. Oleh karena itu, jika bangsa Indonesia ingin berkiprah dalam percaturan global, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah menata SDM, terutama menyangkut aspek emosional, spiritual, kreativitas, dan moral, di samping aspek intelektual. Penataan SDM tersebut harus diupayakan secara bertahap dan berkesinambungan melalui sistem pendiidkan yang berkualitas, baik secara informal, formal, maupun non formal, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Hal ini penting bahwa pendidikan belum mampu menghasilkan SDM sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan kebutuhan pembangunan, meskipun kondisi yang ada sekarang bukan sepenuhnya kesalahan pendidikan.
Perwujudan masyarakat yang berkualitas tersebut menjadi tanggung jawab pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subjek yang makin berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional pada bidangnya masing-masing.
Menghadapi hal tersebut, perlu dilakukan penataan terhadap sistem pendidikan secara kaffah (menyeluruh), terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Dalam hal ini, perlu adanya perubahan sosial yang memberi arah perubahan itu. Pendidikan adalah kehidupan, untuk itu kegiatan belajar harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan dan kebutuhan peserta didik.
Unesco (1994) mengemukakan dua prinsip pendidikan yang sangat relevan dengan pancasila: Pertama; pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu belajar mengetahui (Learning to Know), belajar melakukan (Learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (Learning live together), dan belajar manjadi diri sendiri (learning to be); Kedua: belajar belajar seumur hidup (Life Long Education). Kultur yang demikian harus dikembangkan dalam pembangunan manusia, karena pada akhirnya aspek kultural dari kehidupan manusia lebih penting dari pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal ini Tilaar mengemukakan bahwa pendidikan nasional dewasa ini sedang dihadapkan pada empat krisis pokok, yaitu yang berkaitan dengan kualitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme dan manajemen . lebih lanjutnya dikemukakan sedikitnya ada masalah pokok sistem pendidikan nasional: (1) menurunnya akhlak dan moral peserta didik, (2) pemerataan kesempatan belajar, (3) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan, (4) status kelembagaan (5) manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional, dan (6) sumber daya yang belum profesional.(Mulyasa, 2004: 4-5)
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus di lakukan baik secara konvensional maupun inovatif. Hal tersebut lebih terfokus lagi setelah diamanatkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Pemerintah, dalam hal ini materi pendidikan Nasional juga mencanangkan “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” paa tanggal 2 Mei 2002. namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti.
Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya terdapat tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami perubahan secara merata (Depdiknas, 2001: 1-2) Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan Nasional menggunakan pendekatan education production fuction akan input-output analisys yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik. Ketiga, peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan diperlukan pedoman yang jelas, ibarat nelayan di lautan lepas apabila mereka tidak memiliki kompas sebagai pedoman untuk bertindak dan mengarunginya, maka ia akan kehilangan arah, hal ini berlaku pula pada pendidikan dalam rangka mengembangkan potensi yang terpendam dan tersembunyi pada diri manusia. Sehingga dalam sistem pelaksanaannya membutuhkan sebuah kurikulum sebagai pedoman untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah, guna mencapai Output yang berkualitas serta siap pakai.(Hasan, 1987: 3)
Kritik yang sangat tajam terhadap kurikulum pendidikan nasional yang dikembangkan di Indonesia diantaranya adalah kurangnya perhatian terhadap Output. Kurikulum terlalu padat, tidak sesuai dengan kebutuhan anak, terlalu memberatkan anak dan merepotkan guru. Sehingga standart kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik belum mendapatkan perhatian yang semestinya.
Demikian pula dengan proses pembelajaran guru tidak berfokus pada hasil (out put) yang harus dicapai tetapi hanya sekedar memenuhi target administratif sesuai dengan petunjuk teknik. Hal ini mengakibatkan komponen input dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan kurang efektif sehingga output-nya tidak optimal. Kurikulum seperti itulah yang telah terbukti gagal karena tidak mampu menciptakan manusia secara individu maupun bangsa yang mandiri.
Era transisi demokrasi di Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru terdapat perubahan cukup besar dalam dunia pendidikan, terlebih lagi yang berkaitan dengan kurikulum pendidikan nasional. Perubahan tersebut ditandai oleh munculnya arah kebijakan pendidikan nasional yang meliputi berbagai aspek penting dalam dunia pendidikan. Hal itu ditunjukkan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004, yang menggambarkan reformasi kurikulum sebagai bagian penting arah kebijakan pembangunan pendidikan nasional. Sebagaimana dinyatakan:
“…….melakukan pembaharuan sistem pendiidkan termasuk pembaharuan kurikulum, berupa divensifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta divensifikasi jenis pendidikan secara profesiona. (Hasan, 1987: 3)
Salah satu hasil penting yang dicapai dalam reformasi kurikulum pendidikan nasional sebagaimana di amanatkan dalam ketetapan MPR maupun PROPENAS di atas, adalah munculnya paradigma baru “KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KBK)” paradigma kurikulum yang baru ini diharapkan mendukung keberhasilan reformasi pendidikan nasional secara umum.
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dapat dinyatakan sebagai perangkat perencanaan tertulis yang berhubungan dengan program pembelajaran yang harus dikuasai peserta didik, yang berupa berbagai kompetensi yang umum di persyaratkan dalam suatu pekerjaan tertentu. Balitbang Diknas mendefinisikan KBK sebagai, “Seperangkat rendana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah.
Hal itu berarti penerapan KBK pada akhirnya akan menghasilkan peserta didik yang kompeten di bidang masing-masing, kompetensi yang dimaksud adalah, peserta didik memiliki kecakapan, kemampuan dan ketangkasan. Hal itu berarti KBK tidaklah semata-mata mengarahkan peserta didik untuk menguasai atau memahami berbagai pengetahuan semata, lebih dari itu, pengetahuan sebagai sikap atau karakter yang menjadi bangunan kemampuan yang berkualitas. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan nilai, sikap dan minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketetapan, dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab.