Euforia Pemilih Pemula Dalam Pemilu Langkah Mewujudkan Pemilih Pemula Cerdas dan Mandiri
Oleh M. Nelza Mulki Iqbal[1])
Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Peran serta pemuda dalam mewujudkan perubahan bagi Bangsa Indinesiaa sudah tidak perlu diragukan lagi. Untuk itulah mewujudkan peran pemilih pemula yang notabene berasal dari pemuda dalam pemilu sudah selayaknya menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, partai politik, dan masyarakat. Mengingat pemilih pemula secara kuantitas, memiliki dua kecenderungan yakni sebagai beban dan sebagai penentu masa depan bangsa kedepan melalui pilihan yang diambil.
Kata kunci: pemuda,pemilih pemula,pemilu, politik
PENDAHULUAN
”Berikan aku satu pemuda dan akan kuguncang Indonesia, berikan aku sepuluh pemuda dan akan kuguncang dunia!,”begitulah seruan heroik yang terletupdalam sebuah pidato kenegaraan yang disampaikan proklamator bangsa ini Ir. Soekarno. Tentunya ungkapan ini bukan sebuah isapan jempol belaka, karena sampai saat ini pun letupan semangat dari Bung Karno senantiasa hadir mengisi setiap jengkal langkah perjuangan pemuda Indonesia.
Dunia pergerakan pemuda, adalah dunia yang unik, sakral dan penuh warna. Beragamnya garis ideologi, agama, keyakinan dan kepentingan sebagai implikasi dari sebuah bangsa besar yang berbhinneka seakan menghembuskan angin segar perubahan yang senantiasa diagung-agungkan oleh golongan ini. Memang tidak dapat dipungkiri pemuda memiliki peranan yang tidak dapat dilupakan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejumlah fakta sejarah menggambarkan peran dan kekuatan pemuda dalam mendorong terjadinya gelombang perubahan. Mulai dari Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, Reformasi Orde Lama 1966, hingga klimaksnya Reformasi 1998.
Pemuda memiliki energi potensial untuk melakukan perubahan sejarah. Meskipun dalam era globalisasi ini eksistensi kaum muda dihadapkan dalam sebuah situasi yang pelik dan cukup membingungkan. Pada satu sisi, kaum muda dituntut bersiap dalam menghadapi iklim kompetisi global yang menuntut terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, sementara di sisi lain gelombang arus reformasi dan demokrasi yang menggelinding deras seolah membuka lahan subur yang menuntut kaum muda untuk aktif jika menginginkan eksistensinya diakui serta mampu membawa perubahan. Termasuk di dalamnya gelombang demokrasi yang berujung pada munculnya kompetisi politik di ranah nasional bernama Pemilu.
Pemilu yang mungkin telah ditasbihkan oleh masyarakat Indonesia sebagai sebuah prosesi politik dalam rangka pergantian kekuasaan yang nantinya diharapkan dapat membawa perubahan dari pemerintahan sebelumnya, menjadi sebuah kegiatan yang juga tak lepas dari peran kaum muda. Perbincangan hangat berkaitan dengan hal inipun mulai menjadi isu-isu santer, apalagi menjelang diadakannya Pemilu 2009. Dari fenomena munculnya pemimpin muda yang diwakili oleh caleg-caleg dan capres-capres muda bahkan secara global berkaitan dengan euforia Obamania seolah memberikan persepsi baru mengenai politik kepada pemilih pemuda yang notabene merupakan obyek komoditi yang tak pernah lepas dari pemilu,
Pemilih pemuda sendiri di sini diartikan sebagai pemilih pada rentang umur 17-30 tahun. Dengan rentang umur ini dapat dibedakan pemilih pemuda menjadi dua kategori yakni pemilih pemula (17-21 tahun) dan pemilih pemuda secara umum. Kategori umur yang dalam pendekatan voting behaviour dapat dikatakan masih belum rigid dalam pilihan politiknya. (Yunarto Wijaya, 2008). Pemilih pemula yang mayoritas terdiri atas pelajar dan mahasiswa menjadi segmen yang memang unik, sering kali memunculkan kejutan dan tentu menjanjikan secara kuantitas. Disebut unik, sebab perilaku pemilih pemula dengan antusiasme tinggi, relatif lebih rasional, haus akan perubahan dan tipis akan kadar polusi pragmatisme. Selain itu kaum muda yang sarat idealisme dianggap masih “suci” dari vested interest, belum terkontaminasi kepentingan-kepentingan birokrasi dan kekuasaan.
Akan tetapi seakan sudah menjadi tradisi, ketika menjelang pemilihan umum (Pemilu), kaum muda senantiasa menjadi obyek rebutan partai politik dalam pemilu di negara ini. Oleh karena itu, pemilih pemula terutama kalangan pelajar dan remaja, perlu diberikan pendidikan politik menjelang Pemilu. Ini diperlukan agar mereka tak menjadi obyek pembodohan partai politik belaka, namun bisa menjelma sebagai agent of change atau agen perubahan yang mampu membawa bangsa dan negara ini lebih baik seperti yang telah dibuktikan generasi-generasi muda terdahulu.
POTENSI PEMILIH PEMULA
Menjadi pemilih dalam event sebesar Pemilu tidak bisa dikatakan mudah namun kurang tepat jika dikatakan sulit. Mengapa? Hal ini tentunya kembali kepada konteks Pemilu yang bukan hanya ajang asal coblos, asal centang, asal pilih, ya kalau boleh mengikuti trend sebuah ajang cari bintang beberapa tahun lalu, Pemilu bukanlah ajang coba-coba !. Memberikan suara dalam Pemilu merupakan salah satu bentuk partisipasi politik sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat untuk menentukan kebijakan pemerintahan (Budiardjo, 1998). Karena itulah memberikan suara dalam pemilu seharusnya menjadi sebuah kewajiban mutlak seorang warga negara dalam menentukan perjalanan bangsa ini setidaknya dalam kurun waktu lima tahun kedepan.
Pemilih pemula dalam setiap penyelenggaraan pemilu senantiasa menjadi obyek yang selalu diburu oleh elit-elit partai politik. Tentunya alasan yang paling utama adalah segi kuantitatif yang jumlahnya relatif meningkat dari pemilu ke pemilu, dapat dilihat pada pemilu 1992 jumlah pemilih pemula 17.000.000 atau 15,80%, pemilu 1997 jumlahnya 22.000.000 atau 17,51%, dan pemilu 1999 sebanyak 17.175.290 atau 14,59% serta untuk pemilu 2004 jumlah 20.674.149 atau 14,56% (Sumber: www.silah.wordpress.com) bahkan dalam pemilu 2009 diperkirakan jumlah pemilih pemula mencapi angka 30% dari total jumlah pemilih. (Sumber: Catatan Proyeksi Penduduk BPS dan BPPN 2009)
Bagaimana dengan potensi pemilih pemula pemula yang didominasi oleh generasi muda? Menurut M. Rusli Karim (1993) ada empat alasan pokok yang menyebabkan generasi muda memiliki makna strategis di dalam pemilu. Pertama, alasan kuantitatif. Kedua, generasi muda diduga merupakan satu segmen pemilih yang memiliki pola tersendiri dan sulit diatur. Ketiga, kekhawatiran bahwa banyak generasi muda akan bersikap “Golput”. Keempat, klaim masing-masing Orsospol bahwa dirinyalah yang paling cocok menjadi wadah penyalur aspirasi dan kepentingan politik generasi muda. Untuk itu, setiap Orsospol memiliki cara dan gaya tersendiri dalam menggapai pemilih muda.
Melihat jumlah yang teramat signifikan, secara politis sudah tentu menjadi sebuah asset yang berharga baik bagi kepentingan elit partai politik maupun kedepan dalam penentuan nasib bangsa ini. Tentunya hal ini didasarkan kenyataan bahwa kaum muda mempunyai kemampuan berpikir analitis yang menarik, kecakapan mereka dalam melihat suatu masalah dari berbagai sisi acapkali menjadi sebuah pemicu naluri perubahan yang kokoh. Sehingga partisipasi untuk golongan ini tidak perlu dikhawatirkan. Namun disisi lain keberadaan pemilih pemula dapat pula menjadi sebuah beban, hal ini dapat terjadi apabila pemilu yang seharusnya menjadi media pembelajaran politik bagi pemilih pemula justru menjadi ajang pembodohan pemilih.
Bolehlah kita selalu berasumsi bahwa kaum muda adalah generasi yang senantiasa peka terhadap segala situasi, mampu mengambil tindakan logis dengan mengunakan daya pikir yang rasional, namun apakah ini terjadi pada semua lapisan pemilih pemula?. Mungkin jawabannya bisa iya dan tidak, kemampuan berpikir seperti itu mungkin cenderung dimiliki oleh pemilih pemula yang berasal dari komunitas kampus (mahasiswa), hal yang kiranya belum terjadi pada pemilih pemula dari pelajar (SMA), maupun dari pemilih pemula di luar pelajar dan mahasiswa yakni mereka dengan usia 17-21 tahun yang sudah tidak lagi mengenyam bangku pendidikan.
Event seakbar pemilu cenderung dilhat sebagai momentum yang ngampung lewat saja bagi pemilih pemula. Yang sekadar melibatkan pemilih pemula untuk meramaikan kampanye melalui karnaval kendaraan bermotor, joget dan berfoto ria bersama artis, bagi-bagi kaus, tanpa dibarengi dengan proses-proses pencerdasan melalui dialog, pemahaman visi-misi kandidat misalnya. Meskipun pada kenyataannya hampir tak ada yang peduli terhadap program kerja yang ditawarkan saat kampanye, apalagi visi dan misi. Terkadang malah merasa bangga apabila dapat foto bareng, joget, dan nyanyi bareng dengan salah satu kandidat. Entah hal ini dikarenakan mereka tidak bisa menyerap obrolan yang berat-berat, atau karena mereka memang tak peduli dengan apa yang dibicarakan sang calon, toh nanti kalau sudah berkuasa juga pasti lupa diri. Wah, inilah potret rakyat yang apes (apatis, pesimis, dan skeptis) dalam memandang masa depan negeri ini.
Padahal untuk menghasilkan sebuah pemilu yang berkualitas dan kompeten yang kelak akan menelurkan anggota legislatif dan eksekutif yang mampu menyuarakan aspirasi rakyat dibutuhkan pemilih yang idealnya mampu memilih secara rasional berdasarkan visi misi partai atau kandidat yang bertarung. Meskipun realitas di lapangan berkata lain. Pemilih tidak tertarik dengan visi misi partai maupun kandidat, mereka cenderung lebih tertarik dengan “gizi” yang dibawa oleh partai maupun kandidat yang sedang kampanye.
Nah kultur dan perilaku politik para pemilih, utamanya pemilih pemula yang seperti inilah yang perlu dibenahi dan dirubah. Dan tentunya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah, partai politik, dan masyarakat luas untuk berupaya memberikan pencerdasan politik kepada pemilih pemula bukan lagi sekedar pengadaan kegiatan-kegiatan yang malah berakibat pembodohan pemilih.’
PENCERDASAN PEMILIH PEMULA
Melihat kenyataan bahwa pemilih pemula tergolong sebagai massa mengambang yang sangat rawan digarap, didekati, dieksploitasi, dimobilisasi, dan dimanipulasi oleh berbagai kepentingan. Maka sudah sewajarnya perhatian berlebih berkaitan dengan sosialisasi proses dan tahapan pemilu diketengahkan terhadap pemilih pemula. Walaupun sebenarnya basic pemilu sudah jelas-jelas tertanam dalam mata pelajaran Kewarganegaraan secara umum. Namun apakah sudah cukup? Lha pada kenyataanya untuk mata pelajaran ini saja banyak siswa yang remidi kok. Lebih-lebih tingkat partisipatif dan ketertarikan terhadap mata pelajaran ini dinilai sangat kurang. Namun tetap saja penyampaian segala informasi mengenai pemilu harus tersampaikan kepada pemilih pemula. Sehingga pada akhirnya pemilih pemula tidak lagi mudah terjebak dalam sebuah situasi yang berujung pembodohan politik dengan hanya mempedulikan “gizi” yang diberikan pada saat kampanye. Maka, dalam upaya ini setidaknya ada beberapa unsur yang berperan dalam meberikan pencerdasan pemilih pemula yakni Pemerintah, Partai Politik (baik individu maupun missal), dan masyarakat pada umumnya.
Membekali kualitas diri sebenarnya menjadi modal dasar, sehingga kalau memang kaum muda tidak mau “ketiggalan kereta” dalam deretan kepolitikan Indonesia, paling tidak, menurut Maswadi Rauf (1993), terdapat dua ketrampilan yang harus dikembangkan oleh generasi muda, yaitu kemampuan intelektual dan pengembangan ketrampilan sebagai insan politik. Kemampuan intelektual dan pengembangan ketrampilan sebagai insan politik, jelas harus dimiliki kaum muda.
Artinya, kaum muda secara mental siap mengembangkan daya nalar kritisnya, dan siap pula menghadapi pergulatan-pergulatan kehidupan yang semakin kompleks, agar keseyogiaan kapabiltas politik pemuda menjadi asset dalam menerjuni gelanggang politik. Menarik untuk diteluntik, mengenai peranan generasi muda secara individu sebagai calon elit politik bangsa dan negara di masa datang.
Juga keterkaitannya dengan pemilu 2009, pemilih pemula secara kuntitatif merupakan jumlah suara yang signifikan, artinya pemuda memainkan peranan yang penting di dalam pemilu nanti. Pertama, pemilu dijadikan sebagai sarana pendidikan politik, karena dengan pemilu setidaknya berlangsung komunikasi poliitk antara elit partai dengan mereka kaum muda khususnya. Kedua, sebagai partisipasi netral yang mendambakan tegaknya tatanan demokratis dalam segala aspek kehidupan. Mereka bisa terlibat dalam kampanye, diskusi, dan sejenisnya.
Ketiga, menjadi wasit baik formal maupun informal. Harus ada sebanyak mungkin generasi muda yang bersedia secara sukarela, baik menjadi saksi langsung atau saksi pendamping, agar pemilu terhindar dari manipulasi dan intimidasi. Keempat, menjatuhkan pilihan, dalam arti mencoblos tanda gambar (dan nama seseorang dari parpol dan anggota DPD). Memilih atau mencoblos, tentu sangat diharapkan dari mereka. (Rusli Karim, 1993).
Seiring dengan harapan agar pemuda menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2009, pemilih pemula sebaiknya tidak memutuskan golput (golongan putih) dalam Pemilihan Umum 2009. Bila memang, kaum muda berkehendak berkontribusi mengubah kondisi bangsa dan negara yang carut marut saat ini, tentu salah satu caranya adalah justru dengan memberikan hak suaranya dalam pemilu..
Peran Pemerintah
Pemerintah yang keterwakilannya dalam hal ini diwakili oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Institusi pendidikan boleh dikatakan sebagai pihak yang bertanggung jawab secara total dalam rangka pencerdasan politik pemilih pemula. Apalagi berhembus angin segar bahwa mayoritas (86,4%) pemilih pemula menyatakan akan menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2009 mendatang (Litbang Kompas. 2008). Setidaknya berdasarkan data ini dapat digunakan sebagai pemacu pemerintah agar lebih bersemangat dalam mengadakan sosialisasi berkenaan dengan pemilu.
Memang sejatinya bukanlah hal mudah dalam melakukan sosialisasi pemilu terhadap pemilih pemula. Apalagi jika sosialisasi ini tetap saja menggunakan metode lama yang sama sekali tidak memberikan sebuah ketertarikan terhadap jiwa-jiwa muda. Nah, yang diperlukan saat ini adalah pemahaman karakter, selera, dan gaya hidup generasi muda yang nantinya berujung pada terwujudnya ketertarikan pemilih pemula dalam kegiatan sosialisasi pemilu. Perwujudan nyata dari metode ini setidaknya sudah mulai diwujudkan KPU dengan meluncurkan sebuah komik berjudul “Komik Politik untuk Pemula”, contoh seperti inilah yang kiranya dapat menarik simpati dari pemilih pemula. Selain itu pengemasan program sosialisasi yang menarik, serta menyentuh kebutuhan dan keseharian kaum muda agaknya mulai harus diperhatikan pemerintah sehingga pemilih pemula dapat terlibat dalam sebuah pesta demokrasi besar yakni Pemilu 2009.
KPU sendiri mengaku akan serius menggarap pemilih pemula dalam pemilu mendatang, hal ini berdasar kenyataan bahwa sekitar 30% dari total 170-an juta jiwa penduduk akan memberikan suaranya pada pemilu 2009. Keseriusan ini diwujudkan selain terus gencar mengadakan sosialisasi, KPU juga mengadakan kerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP) yang menyediakan dana hibah kepada organisasi kemasyarakatan untuk melakukan sosialisasi pada kelompok pemilih pemula. (Sindo. 2008)
Peran Partai Politik
Memasuki masa kampanye 2009, mulai terlihat strategi dari partai politik peserta pemilu untuk menggarap segmen ini secara serius. Hampir semua partai politik berupaya mengoptimalkan organisasi sayap kaum mudanya. Selain untuk memberikan wadah bagi kaum muda untuk beraktivitas politik, langkah ini juga dijadikan bagian dari strategi untuk merangkul mereka demi mengeruk suara yang memang cukup potensial.
Di luar itu, dilakukan juga pendekatan yang bersifat informal. Pendekatan di luar struktur partai yang mencoba menggarap segmen pemuda dalam konteks pemuda sebagai swing voters dan “pemilih apatis” melalui pendekatan marketing secara modern dan apolitis. Hal ini mengingat bahwa kedua segmen ini cenderung memiliki penyakit alergi terhadap kegiatan kampanye yang terlalu bersifat hard politic.
Namun demikian, hakikat ideal dari sayap partai sejatinya berfungsi sebagai instrumen sosialisasi politik termasuk di dalamnya adalah pendidikan politik kepada masyarakat terlebih pemilih pemula.Kini, sudah saatnya partai politik secara dini melakukan pendidikan politik untuk mempertajam daya kritis pemilih pemula sehingga mereka memiliki kesadaran dan partisipasi politik secara proporsional. Dengan demikian, optimisme bangsa untuk menghindarkan pemilih menjatuhkan pilihannya karena pertimbangan uang atau materi, bisa terlaksana.
Di sinilah pentingnya pendidikan politik melalui program-program yang berakar dari kebutuhan dasar pemilih pemula berupa pembentukan pola pikir politik dengan basis rasionalitas untuk mempertimbangkan segala keputusan politik atas dasar kemampuan, visi-misi dan track record dari partai-partai dan para kandidat presiden sehingga ke depan pemilih pemula dapat memberikan pilihan cerdas dalam pilihan politik.
Peran Masyarakat
Antusiasme yang tinggi keputusan pilihan yang belum bulat, sebenarnya menempatkan pemilih pemula sebagai swing voters yang sesungguhnya. Pilihan politik mereka belum dipengaruhi motivasi ideologis tertentu dan lebih didorong oleh konteks dinamika lingkungan politik lokal. Pemilih pemula mudah dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu, terutama oleh orang terdekat seperti anggota keluarga, mulai dari orangtua hingga kerabat. Maka tidak heran jika sempat muncul celetukan nderek tiyang sepuh di kalangan pemilih pemula.
Melihat kenyataan ini saja sudah dapat ditarik benang merah bahwa pemilih pemula mudah sekali terpengaruh dan terombang-ambing dalam menjatuhkan pilihannya. Dan terlepas dari itu, saat ini masyarakat Indonesia harus fair dalam memberikan pendidikan politik. Tidak perlu lagi adanya unsur pemaksaan dalam mempengaruhi keputusan seorang pemilih pemula. Anggap saja pemilu adalah kesempatan pendewasaan karakter, sebuah proses singkat untuk meraih predikat manusia Indonesia yang sadar politik kedepannya nanti.
PENUTUP
Agaknya memang cukup rumit menjadi pemilih pemula,namun mengingat Negara kita sudah mengakui adanya kedaulatan rakyat yang independent untuk menentukan nasibnya sendiri. Sehingga satu suara salah saja kita sendiri yang rugi. Maka dari itu pastikan bahwa Indonesia akan memiliki sosok pemimpin yang ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani. Indonesia baru yang cerdas, mandiri, demokratis dan berwibawa.
Pemuda adalah pewaris negeri ini yang senantiasa memberi warna sketsa bangsa Indonesia, pemuda adalah subyek dan pioneer pembaharuan. Lalu masihkah adakah terbesit sikap apatis setelah ini ?. Mari segera beranjak dari lelap mimpi panjang pemuda Indonesia. Kepercayaan dan harapan masih sangat dinantikan dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Satu kata terlecut untuk mengawali semua ini,….bangkit.
DAFTAR RUJUKAN
Budiardjo, Miriam. 1998. Menggapai kedaulatan untuk rakyat. Bandung: Mizan.
Rauf, Maswadi dan Mappa Nasrun. 1993. Indonesia dan komunikasi politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Karim, Rusli M. 1993. Perjalanan partai politik di Indonesia: sebuah potret pasang surut. Jakarta Rajawali Press
Wijaya, Yunarto. 2008. “Pemuda Kampanye dan Budaya Populer”. Dalam http://niasonline.net/2008/12/06/pemuda-kampanye-dan-budaya-populer/. Diakses pada 21 Desember 2008
Ressay. 2008. “Mencerdaskan Pemilih Pemula”, Dalam http://ressay.wordpress.com/2008/11/26/mencerdaskan-pemilih-pemula/. Diakses pada 21 Desember 2008
Hernoe. 2008. “Memetakan Minat Pemilih Pemula”. Dalam http://gp-ansor.org/?p=7394. Diakses pada 21 Desember 2008