ESAI: Reduksi Angka Kejadian Tb Dengan Mengintensifkan Dot’s (Directly Observed Treatment Short Course) Sebagai Langkah Eradikasi Penyakit Tuberkulosis Di Indonesia

REDUKSI ANGKA KEJADIAN TB DENGAN MENGINTENSIFKAN DOT’s (DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE) SEBAGAI LANGKAH ERADIKASI PENYAKIT TUBERKULOSIS

DI INDONESIA

Oleh:

Faza Khilwan Amna

Prodi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronik pada paru yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis, ditandai dengan pembentukan granuloma dan adanya reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang, tidak berspora, bersifat aeorb dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam.

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus tuberkulosis terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus tuberkulosis di dunia.

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis dan sekitar 3 juta orang meninggal setiap tahunnya. Berdasarkan data  WHO tahun 2009, Indonesia menempati urutan ke lima untuk insidensi kasus TB di dunia. Lima Negara dengan insidensi kasus TB terbanyak adalah India (1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika selatan (0,4-0,6 juta), Nigeria (0,37-0,55 juta) dan Indonesia (0,34-0,52 juta). Di Indonesia, tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular atau penyakit infeksi dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.

Menurut WHO (1999), di Indonesia setiap tahun terjadi 583 kasus baru dengan kematian 130 penderita dengan BTA positif. Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusnidar pada tahun 1990 yang berjudul “Masalah Penyakit Tuberkulosis dan Pemberantasaannya di Indonesia”, jumlah kematian yang disebabkan karena tuberkulosis diperkirakan 105.952 orang per tahun. Kejadian kasus tuberkulosa paru yang tinggi ini paling banyak terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosio ekonomi lemah.

Berdasar data epidemiologi tersebut, simpulan yang bisa digaris bawahi adalah dari tahun ke tahun angka kejadian TB semakin meningkat dan belum mengalami penurunan yang signifikan. Terjadinya peningkatan kasus tuberkulosis tersebut disebabkan oleh pengaruh daya tahan tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu, faktor sosial ekonomi dan kepadatan hunian lingungan tempat tinggal.

Berdasar angka epidemiologi yang semakin meninggi di Indonesia untuk kejadian TB, maka pengetahuan tenaga medis khususnya dokter sangat berperan dalam melakukan diagnosis penyakit TB, karena faktor pengetahuan dapat  menghindari over diagnosis yang masih sering terjadi yang dapat berkontribusi menaikkan angka kejadian penyakit TB. Syarat orang didiagnosis infeksi TB berbeda dengan penyakit lainnya. Penegakkan diagnosis pada penyakit TB dapat dilakukan dengan melihat keluhan atau gejala klinis, pemeriksaan biakan, pemeriksaan mikroskopis, radiologi dan uji tuberkulin. Pada pemeriksaan biakan hasilnya akan di dapat lebih baik, namun waktu pemeriksaannya biasanya memakan waktu yang terlalu lama. Sehingga pada saat ini pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih banyak dilakukan karena sensitivitas dan spesifisitasnya yang sangat tinggi.

Terapi dini dan efisien harus segera dilakukan terhadap semua orang yang positif terkena infeksi TB ataupun sudah berubah menjadi sakit TB. Keterlambatan dalam melakukan terapi, sangat berpengaruh terhadap manifestasi klinis dan keparahan penyakit tersebur. Walaupun penyakit TB telah lama dikenal, obat-obat untuk menyembuhkannya belum lama ditemukan dan pengobatan tuberkulosis paru saat ini lebih dikenal dengan sistem pengobatan jangka pendek dengan kurun waktu antar 6 hingga 8 bulan. Prinsip pengobatan jangka pendek adalah membunuh dan mensterilkan kuman yang berada di dalam tubuh manusia.  Obat yang sering digunakan dalam pengobatan jangka pendek saat ini adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin dan etambutol.

Pada tahun 1995 Pemerintah telah memberikan anggaran obat bagi penderita tuberkulosis secara gratis ditingkat puskesmas, dengan sasaran utama adalah penderita tuberkulosis dengan ekonomi lemah. Obat tuberkulosis harus diminum oleh penderita secara rutin selama 6-8 bulan berturut-turut tanpa henti.

Untuk kedisiplinan pasien dalam menjalankan pengobatan TB, maka selama pengobatan, penderita TB  perlu diawasi oleh anggota keluarga terdekat yang tinggal serumah, yang setiap saat dapat mengingatkan penderita untuk minum obat. Apabila pengobatan terputus tidak sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu akan kambuh kembali penyakitnya dan kuman tuberkulosis menjadi resisten sehingga membutuhkan biaya besar untuk pengobatannya. Cara tersebut dikenal dengan nama DOT’s (Directly Observed Treatment Short-course).

Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOT’s  dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices) dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOT’s secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB (Multi Drugs Resistence-TB). Fokus utama DOT’s adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidensi TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.

WHO telah merekomendasikan strategi DOT’s sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOT’s sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studicost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOT’s, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.

Strategi DOT’s terdiri dari 5 komponen kunci yaitu 1) Komitmen politis; 2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya; 3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsungpengobatan; 4) Jaminan ketersediaan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang bermutu.5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan. Strategi DOT’s di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam penanggulangan TB (stop TB partnership) dengan memperluas strategi DOT’s sebagai berikut: 1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOT’s; 2) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya; 3) Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan;               4) Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta; 5) Memberdayakan pasien dan masyarakat; dan 6) Melaksanakan dan mengembangkan riset.

Salah satu komponen DOT’s adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langusng. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO (Pengawasan Menelan Obat). Persyaratan PMO diantaranya adalah petugas kesehatan yang dikenal dan dipercaya, seseorang yang dikenal oleh pasien TB yang bersedia membantu dengan sukarela dan bersedia dilatih atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien. Tugas seorang PMO sangatlah menunjang keberhasilan terapi TB. Beberapa tugas seorang PMO adalah mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur, mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, dan memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Dari paparan mengenai syarat dan tugas seorang PMO, maka peran PMO dalam mengobati penyakit TB sangatlah penting.

Strategi DOT’s sebagai strategi penanggulangan TB yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1995 ternyata memang efektif dalam praktek dilapangannya. Hal tersebut ditunjang dengan data yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi DIY, Pada tahun 2009 angka cakupan penemuan kasus TB mencapai 71 % dan angka keberhasilan pengobatan mencapai 90 %. Angka kematian TB pada tahun 2008 telah menurun tajam menjadi 38 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 1990 sebesar 92 per 100.000 penduduk.

Meskipun demikian, tantangan masalah TB ke depan masih besar. Terutama dengan adanya tantangan baru berupa perkembangan epidemi ganda TB-HIV dan merebaknya kasus-kasus resistensi terhadap obat anti tuberkuloisis (MDR-TB). Meningkatnya kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menurunkan daya tahan tubuh juga menyebabkan meningkatnya kembali penyakit TB sebagai penyakit dengan kategori re-emerging disease. Akan tetapi, terlepas dari tantangan yang ada, satu hal yang patut kita perhatikan, bahwa implementasi strategi DOT’s di Indonesia telah dilakukan secara meluas dengan hasil cukup baik.

Eradikasi memiliki makna pembasmian terhadap penyakit yang mempunyai angka kematian yang sangat tinggi. Tuberkulosis yang memiliki angka penyebaran yang besar dan hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, memenuhi kriteria untuk dilakukan pembasmian. Pembasmian disini memiliki arti bahwa angka kejadian penyakit TB dalam masyarakat harus diturunkan tahap demi tahap. Cara yang paling mudah untuk melakukan eradikasi adalah dengan menggunakan strategi DOT’s. Sesuai beberapa ulasan diatas, strategi ini bisa membantu penyembuhan penderita TB secara total, sehingga bisa mengurangi angka kejadian TB.

Selain menggunakan strategi DOT’s, tentu Pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan harus melakukan solusi secara masiv untuk menekan angka perkembangan TB di masyarakat. Bentuk penyuluhan yang bisa dilakukan contohnya adalah 1) Menganjurkan perubahan sikap hidup masyarakat dan perbaikan lingkungan demi tercapainya masyarakat yang sehat; 2) Menganjurkan masyarakat untuk melaporkan apabila ada warga yang mempunyai gejala-gejala penyakit TB; 3) Memberikan penyuluhan perorangan secara khusus kepada penderita agar penderita mau berobat rajin teratur untuk mencegah penyebaran penyakit ke orang lain; 4) Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu kunjungan rumah dan memberi saran untuk terciptanya rumah sehat sebagai upaya mengurangi penyebaran penyakit; dan 5) Berusaha menghilangkan rasa malu pada penderita karena penyakit TB bukan lagi penyakit yang memalukan, akan tetapi dapat dicegah dan disembuhkan seperti penyakit lain.

Penyuluhan yang digalakkan oleh Pemerintah untuk masyarakat dapat melalui berbagai media, baik media televisi, cetak maupun secara langsung terjun ke masyarakat. Esensi yang harus ditekankan dalam program penyuluhan tersebut yaitu memberikan informasi mengenai pencegahan penyakit TB dan menganjurkan penderita TB agar segera berobat jika ada gejala-gejala khas penyakit TB.

Pemerintah Indonesia mempunyai cita-cita memajukan masyarakat Indonesia di berbagai bidang yang tertuang dalam kesepakatan MDGs (Millennium Development Goals), salah satunya adalah memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya. Tuberkulosis yang mempunyai angka insidensi yang tinggi, masuk kategori penyakit yang angka kejadiannya di target harus turun dari tahun ke tahun. Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesejahteraan Rakyat RI pada tahun 2010, salah satu target yang harus dicapai Indonesia pada tahun 2015 adalah menurunkan angka kejadian TB dengan persentase 70 %. Berdasarkan data terbaru, pada tahun 2008 Indonesia dapat menurunkan angka kejadian TB sebesar 72,82%, sehingga analisa untuk tahun 2015 Indonesia akan mencapai target untuk penurunan angka kejadian TB di masyarakat.

Penurunan yang terjadi dari tahun ke tahun, tentunya tidak lepas dari strategi DOT’s yang telah ditetapkan oleh WHO. Pada tahun 2008, persentase angka kesembuhan penyakit TB dengan strategi DOT’s mencapai 91 %. Angka ini 6% lebih tinggi dari target yang dicanangkan untuk tahun 2015 yaitu sebesar 85%. Hal ini menunjukkan bahwa DOT’s merupakan cara yang paling efektif untuk eradikasi penyakit TB. Dari penyajian data tersebut, tidak salah jika kita menyebut strategi DOT’s merupakan cara yang paling ampuh untuk menurunkan angka kejadian TB dan penurunan itu akan lebih cepat tercapai apabila dilakukan penyuluhan-penyuluhan, baik oleh Pemerintah atau praktisi kesehatan.