PERAN NUCHAL TRANSLUCENCY DALAM ULTRASONOGRAFI OBSTETRI UNTUK DIAGNOSIS KELAINAN KROMOSOM
Oleh : Vanda Sativa Julianti
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
Ultrasonografi atau yang lebih dikenal dengan USG bukanlah hal yang tabu lagi di masyarakat. Alat USG ini bahkan merupakan pemeriksaan utama bagi para ibu hamil untuk memeriksa kondisi janin di dalam rahim ibu. Ultrasonografi atau USG ini merupakan salah satu pencitraan diagnosis untuk memeriksa alat-alat tubuh, dimana kita dapat mempelajari bentuk, ukuran anatomis, gerakan, serta hubungan dengan jaringan sekitar. Alat ini menggunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi dan tidak menimbulkan ionisasi seperti sinar X, maka alat ini lebih aman digunakan bagi ibu hamil. Selain itu, pemeriksaan dengan USG juga bersifat non-invasif, dimana tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien, lalu dapat dilakukan dengan cepat, aman, dan data yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik yang tinggi.
Pertama kali ultrasonik ini digunakan dalam bidang teknik untuk radar, yaitu SONAR (Sound Navigation and Ranging) oleh Langevin pada tahun 1918, yang berasal dari Perancis, saat perang dunia ke I untuk mengetahui adanya kapal selam lawan. Selanjutnya, alat ini digunakan dalam pelayaran untuk menentukan kedalaman laut. Menjelang perang dunia ke II yakni pada tahun 1937, teknik ini digunakan pertama kali untuk pemeriksaan jaringan tubuh, namun hasilnya belum memuaskan. Lalu, seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat, setelah perang dunia ke II, USG berhasil digunakan untuk pemeriksaan alat-alat tubuh.
Sedangkan USG di bidang obstetri pertama kali dikenalkan oleh Ian Donald sekitar 50 tahun silam, yang saat ini juga telah mengalami perkembangan yang pesat, baik dalam hal teknik maupun kualitas resolusi yang dihasilkan. Hal ini tentu saja juga membawa kemajuan yang sangat drastis di dalam hal diagnosis dan penanganan kehamilan.
Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya bahwa USG merupakan pemeriksaan utama pada masa kehamilan, maka WHO menganjurkan minimal empat kali melakukan pemeriksaan ini pada ibu hamil, yakni satu kali pada trimester I dan II, dan dua kali pada trimester III. Hal ini tentu saja bertujuan untuk mengetahui kondisi janin pada masa tersebut dan untuk mengetahui apabila terdapat kelainan-kelainan yang terjadi pada janin tersebut. Pemeriksaan USG pada trimester I terutama penting untuk mencari kemungkinan adanya kelainan kromosom melalui nuchal translucency (NT). Dengan demikian, dalam esai ini saya tertarik untuk membahas kelainan kromosom yang dapat terjadi pada masa kehamilan dan pemeriksaannya dengan USG melalui nuchal translucency (NT).
Kehamilan merupakan hal yang sangat dinantikan bagi pasangan suami- istri dimana nantinya akan dilahirkan makhluk hidup baru ke dunia. Dengan demikian, sang orang tua pasti melakukan semua hal yang terbaik untuk kesehatan dan keselamatan sang “jabang bayi” tersebut. Pemeriksaan utama yang memiliki nilai diagnostik tinggi yang sangat berperan dalam masa kehamilan adalah ultrasonografi atau USG. Terdapat beberapa indikasi pemeriksaan USG ini pada tiap trimester. Seperti pada trimester I, USG dapat digunakan untuk penentuan adanya kehamilan intrauterin, penentuan usia kehamilan, penentuan adanya denyut jantung mudigah atau janin, dan dapat mencari kemungkinan adanya kelainan kromosom.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, saat ini telah terdapat beragam jenis USG. Untuk mempelajari morfologi dan fungsi organ janin secara kasat mata dapat menggunakan USG 2-dimensi (USG 2-D) jenis real-time yang merupakan jenis USG paling standar. Lalu, fungsi hemodinamik uterus-plasenta-janin dapat dipelajari dengan lebih mudah dan akurat dengan teknik pemeriksaan Doppler (color Doppler dan pulsed Doppler). Dalam dekade terakhir ini telah dikembangkan pemeriksaan USG 3-dimensi (USG 3-D), baik jenis 3-D statik maupun 3-D real–time (USG 4-D atau live 3-D). Melalui USG 3-D ini, morfologi, perilaku, dan sirkulasi janin-plasenta yang dapat dipelajari dengan lebih mudah dan jelas.
Seperti yang sudah saya ungkapkan sebelumnya bahwa USG ini merupakan pemeriksaan yang non-invasif dan memiliki nilai diagnostik yang tinggi. Namun sayangnya, di negeri kita ini, pemeriksaan USG ini belum dapat dikerjakan secara rutin pada setiap ibu hamil. Hal ini lebih disebabkan oleh biaya pemeriksaan USG ini yang masih cukup mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian besar ibu hamil yang memerlukannya, terutama kalangan menengah ke bawah.
Kromosom merupakan untaian panjang (thread-like) yang tersusun oleh DNA, yang terdapat di dalam inti sel, dan dapat dilihat dengan mikroskop cahaya pada fase pembelahan sel sebagai untai panjang yang berwarna. Kromosom ini berasal dari bahasa Yunani, chroma: warna, dan soma: badan, sehingga kromosom ini terlihat sebagai untaian yang berwarna. Pada sel somatik, jumlah kromosom normal adalah 46 buah atau 23 pasang yang terdiri dari 22 pasang kromosom non-seks (autosom) dan sepasang kromosom seks (XX pada perempuan dan XY pada laki-laki), dimana 23 kromosom berasal dari ayah dan 23 kromosom lainnya berasal dari ibu. Lalu, pada inti sel gamet (ovum atau sperma) memiliki 23 kromosom.
Pada pembelahan sel somatik, jumlah kromosom pada tiap-tiap sel hasil pembelahan tetap berjumlah 23 pasang (diploid), yang mana proses ini dinamakan dengan mitosis. Sedangkan pada sel gamet, di stadium akhir pembelahan sel yakni pada stadium pematangan sel gamet, setiap sel gamet masing-masing akan mempunyai satu set kromosom atau haploid, proses ini disebut miosis.
Setiap pasien ibu hamil memiliki resiko terjadinya defek pada kelahiran janinnya sebesar 2%-3%. Hal ini tentu saja berdasarkan dari riwayat kehamilan sebelumnya, riwayat keluarga, usia kehamilan, dan gaya hidup pasien tersebut. Kelainan kromosom dapat terjadi sebesar 10% dari jumlah defek kelahiran. Jumlah ini memang tidak terlalu besar, namun sangat penting karena kelainan kromosom ini dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas.
Berdasarkan survei, anatomi fetus bisa terlihat secara detail pada usia kehamilan 18-22 minggu, hal ini berarti pada waktu ini merupakan saat utama untuk mendeteksi adanya defek kelahiran yang serius pada janin. Namun demikian, skrining pada trimester I sudah dapat dilakukan pada usia kehamilan 11-14 minggu, yakni sebagai tes inisial skrining. Selain itu, pada usia kehamilan tersebut juga sudah dapat mendeteksi adanya defek secara struktural pada janin, yang merupakan skrining adanya aneuploidi pada janin, seperti adanya sindroma Down.
Keuntungan dilakukannya skrining pada trimester I ini adalah untuk mendeteksi usia kehamilan secara dini, dimana apabila pasien memiliki resiko tinggi terjadinya kelainan kromosom pada janinnya, maka dapat dilakukan tes diagnostik secara dini pula. Selain itu, skrining ini juga dapat membantu mengidentifikasi adanya peningkatan resiko pada kelainan kromosom lainnya seperti adanya defek pada jantung. Skrining yang dilakukan pada trimester I ini merupakan skrining yang efektif untuk mendeteksi adanya aneuploidi pada fetal.
Kelainan kromosom terdiri dari dua jenis yaitu kelainan jumlah dan kelainan struktur. Kelainan kromosom, karena melibatkan banyak gen, umumnya bermanifestasi klinik sebagai kegagalan hasil pembuahan (infertilitas, abortus, atau kematian mudigah), kelainan kongenital major, dan apabila melibatkan kromosom seks dapat bermanifestasi infertilitas, retardasi mental, mikropenis, dan lain-lain.
Kelainan jumlah kromosom (aneuploidi dan poliploidi) merupakan kelebihan atau kekurangan jumlah (monosomi, trisomi, tetrasomi) atas satu jenis kromosom seperti trisomi 18 atau lebih dari satu jenis kromosom seperti trisomi 21 dan trisomi 13, atau dapat juga berlebihnya semua jenis kromosom yang disebut triploidi atau tetraploidi.
Mekanisme terjadinya aneuploidi terbagi dua yaitu secara non-disjunction pada miosis I atau miosis II sel gamet dan non-disjunction pada mitosis. Non-disjunction yang terjadi pada fase miosis akan menyebabkan terjadinya trisomi, tetrasomi, atau monosomi pada semua sel. Aneuploidi yang disebabkan oleh mekanisme ini umumnya menyebabkan terjadinya abortus, kematian janin, atau kecacatan yang berat sehingga bayi tidak dapat bertahan hidup lama. Aneuploidi jenis ini yang sering dijumpai adalah trisomi 21 atau sindroma Down dan sindroma Turner yang mana bayi tersebut masih dapat bertahan hidup lama sehingga masih dapat kita jumpai di klinik. Sedangan trisomi 18 atau sindrom Edward dan trisomi 13 atau sindrom Patau, biasanya bayi tidak dapat bertahan lama setelah lahir.
Sedangkan non-disjunction yang terjadi pada fase mitosis tergantung atas fasenya, yaitu pada sel pertama zigot atau setelah terjadi mitosis zigot. Apabila kelainannya terjadi pada sel pertama, maka kelainan yang terjadi bisa mosaik sel dengan kromosom trisomi dan monosomi. Lalu, apabila kelainannya terjadi setelah mitosis normal beberapa tahap, maka kelainan yang terjadi bisa mosaik sel dengan kromosom normal (diploid) dengan kromosom trisomi dan monosomi.
Sementara itu, poliploidi terdiri dari dua jenis yaitu triploidi dan tetraploidi. Beberapa penyebab diantaranya fertilisasi oleh 2 sperma dan kegagalan fase miosis di sel gamet, yang dapat mengakibatkan terjadinya triploidi. Apabila kelebihan kromosomnya berasal dari ayah, umumnya plasenta berukuran besar dan bengkak yang dikenal sebagai hidatiform, sedangkan bila kelebihan kromosomnya berasal dari ibu, ukuran plasentanya kecil. Triploidi ini umumnya mengakibatkan kematian dini mudigah atau abortus spontan. Sedangkan tetraploidi yang pernah ditemukan umumnya mosaik tetraploidi dan diploid yang mengindikasikan non-disjunction pada fase mitosis.
Saat ini telah diketahui bahwa adanya peningkatan cairan pada kulit di leher belakang mengidentifikasikan adanya resiko tinggi terjadinya aneuploidi pada fetal dan defek kelahiran lainnya. Pada tahun 1992, Nicolaides dan rekannya menemukan nuchal translucency (NT) untuk gambaran yang terlihat pada hasil USG, yakni merupakan gambaran penebalan anekoik yang disebabkan oleh peningkatan cairan di daerah tengkuk janin. Hal ini menandakan adanya resiko aneuploidi pada fetal terutama trisomi. Pengukuran NT ini dapat dilakukan pada setiap fetus saat trimester I dengan ultrasonografi. Apabila hal ini dijumpai pada pasien, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan kromosom (karyotyping) melalui chorionic villus sampling (CVS) pada kehamilan 10-13 minggu, atau dilakukan amniosentesis pada kehamilan 14-18 minggu.
Mekanisme terjadinya peningkatan NT ini masih belum dapat diketahui. Namun, diduga bahwa penyebab utamanya adanya heart strain dan drainase limfatik yang abnormal. Bukti adanya heart strain dapat diketahui dari peningkatan kadar natrial dan brain natriuretic peptide mRNA pada jantung fetus. Selain itu, ada penelitian yang melakukan pemeriksaan dengan USG doppler pada ductus venosus saat usia kehamilan 11-14 minggu pada fetus dengan peningkatan NT, didapatkan adanya pengurangan bahkan tidak ada aliran saat kontraksi atrium.
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa pemeriksaan USG pada awal trimester I dapat mendeteksi adanya kelainan kromosom dimana kelainan-kelainan tersebut dapat berupa petanda lemah (soft marker) atau petanda kuat (strong marker atau hard marker) kelainan kromosom. Petanda lemah kelainan kromosom adalah kelainan minor pada janin yang mempunyai korelasi statistik dengan kejadian kelainan kromosom, misalnya adanya penebalan kulit di belakang kepala atau adanya peningkatan cairan, tidak terbentuknya tulang hidung, atau gambaran usus yang hiperekhoik. Sedangkan petanda kuat adalah kelainan kongenital mayor pada janin yang telah terbukti mempunyai korelasi kuat dengan kelainan kromosom, seperti adanya hidrosefalus, labio/ palatosizis, atau atresia esofagus.
Berdasarkan uraian yang saya jelaskan di atas, maka sangatlah penting untuk dilakukannya pemeriksaan USG pada setiap ibu hamil sebagai pemeriksaan antenatal utama untuk memantau kondisi janin, terutama pada trimester I dengan salah satu tujuannya untuk mendeteksi adanya kelainan kromosom. Hal ini tentu saja bertujuan sebagai skrining untuk mencegah terjadinya kelainan-kelainan pada janin. Tak hanya memantau kondisi janin saja, tetapi USG juga dapat memantau keadaan ibu seperti mendeteksi adanya ketuban pecah dini dan adanya pre-eklampsia, sehingga secara tidak langsung hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan bagi ibu dan bayinya. Apabila pemeriksaan ini dilakukan sejak usia kehamilan dini, maka pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam kandungan dapat diketahui sejak dini pula, sehingga bisa mengurangi angka kematian dan kecacatan pada janin. Namun, pemeriksaan nuchal translucency ini biasanya hanya dilakukan pada wanita beresiko tinggi yakni wanita usia diatas 35 tahun.
Menurut saya, di era modern ini, kita sebagai tenaga medis harus berbangga dikarenakan teknologi USG ini telah berkembang dengan pesat, dimana akan memudahkan kita untuk mendiagnosis kehamilan dan memantau kondisi janin di dalam kandungan. Namun sayangnya, pemeriksaan USG ini belum bisa dilakukan secara rutin pada setiap ibu hamil di Indonesia. Oleh sebab itu, sebaiknya pemerintah mencanangkan program wajib USG bagi ibu hamil dan mensubsidi biayanya, sehingga dari masyarakat kalangan bawah juga dapat memeriksakan janinnya dengan alat ini.
USG yang diprogramkan tidak harus USG 3-D atau USG 4-D, cukup dengan USG 2-D saja yang juga sudah memiliki speseifisitas dan sensistivitas hingga 90%. Oleh karena itu, minimal pemerintah mewajibkan adanya USG 2-D pada setiap rumah sakit pemerintah dan puskesmas yang ada di Indonesia. Walaupun hanya 2-D, tapi alat USG tersebut tetap bisa mendiagnosis adanya kelainan pada janin. Dengan demikian, pemerintah seharusnya turut serta memikirkan kesehatan bagi ibu dan bayi, demi mengurangi angka kecacatan dan kematian pada bayi, dimana hal ini kerapkali terjadi pada masyarakat miskin. Dengan kondisi ibu hamil yang sehat, maka akan terlahirlah generasi penerus bangsa yang sehat pula. Marilah serukan semboyan “ USG sebagai usaha untuk mencetak tunas-tunas bangsa yang sehat demi masa depan bangsa yang cemerlang.”