EKOSISTEM AIR DANAU

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Ekosistem Air Danau
Ekosistem danau merupakan suatu sistem, terdiri dari komponen biotic dan abiotik yang saling berinteraksi dengan lingkungannya. Fenomena tentang penurunan kualitas perairan (pencemaran) yang terjadi di perairan Danau Maninjau, menunjukkan permasalahan yang kompleks dan sulit dipahami jika hanya menggunakan satu disiplin keilmuan. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman secara holistik (menyeluruh) dan utuh, merupakan suatu alternative pendekatan baru dalam memahami dunia nyata (Forester, 1971).
Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi sistem yang efektif (Eriyatno, 2007). Oleh karena itu, kajian tentang pencemaran yang terjadi di perairan Danau Maninjau dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dalam membangun model pengendalian pencemarannya dalam upaya mewujudkan perairan danau yang bersih dan lestari, sehingga pemanfaatan fungsi danau dapat berkesinambungan.
Danau merupakan suatu badan air yang menggenang dan luasnya mulai dari beberapa meter persegi hingga ratusan meter persegi. Di danau terdapat pembagian daerah berdasarkan penetrasi cahaya matahari. Daerah yang dapat ditembus cahaya matahari sehingga terjadi fotosintesis disebut daerah fotik. Daerah yang tidak tertembus cahaya matahari disebut daerah afotik. Di danau juga terdapat daerah perubahan temperatur yang drastis atau termoklin. Termoklin memisahkan daerah yang hangat di atas dengan daerah dingin di dasar.
Ekosistem danau ditandai oleh adanya bagian perairan yang dalam sehingga tumbuh-tumbuhan berakar tidak dapat tumbuh di bagian ini. Berbeda dengan ekosistem kolam yang tidak dalam (kedalamannya tidak lebih dari 4-5 meter) yang memungkinkan tumbuh-tumbuhan berakar dapat tumbuh di semua bagian perairan.
Danau yang luas seperti danau Toba di Sumatra dapat berombak karena memungkinkan angin untuk bertiup di sepanjang permukaan air yang luas sehingga menciptakan ombak itu. Danau terjadi karena glacier, tanah longsor yang membendung lembah, pelarutan mineral tertentu dalam tanah sehingga permukaan tanah menurun membentuk cekungan. Danau juga dapat dibentuk oleh kawah gunung api yang sudah mati atau gobah yang terbentuk di pinggir laut.
Ekosistem danau mempunyai tiga mintakat (zona) yakni:
1. Mintakat litoral, yakni bagian yang dangkal di mana sinar matahari dapat menembus sampai ke dasar perairan;
2. Mintakat limnetik, yakni bagian perairan yang terbuka yang terlalu dalam untuk pertumbuhan tumbuh-tumbuhan berakar, tetapi masih memungkinkan sinar matahari menembus lapisan ini untuk digunakan fotosintetis tumbuh-tumbuhan air; dan
3. Mintakat atau lapisan profundal, yakni lapisan di bawahnya di mana sinar matahari tidak tidak dapat menembus
Mintakat-mintakat limnetik dan profundal tidak terdapat pada ekosistem kolam. Pada mintakat litoral hidup tumbuhan apung (terutama fitoplankton) dan tumbuhan berakar. Banyak kelompok hewan hidup di mintakat ini. Pada mintakat limnetik hidup fitoplankton dan zooplankton seperti di atas, ganggang hijau dan hijau biru, Copepoda, Cladocera dan banyak lagi. Sebagian besar ikan hidup di mintakat ini. Pada lapisan profundal hidup bakteri anaerobik dan fungsi, cacing nematoda, keong dan beberapa jenis ikan.
Waduk-waduk yang dibangun oleh manusia seperti waduk Ir. Sutami, Jatiluhur dan Saguling merupakan danau buatan. Danau-danau ini banyak digunakan untuk budidaya ikan dengan karamba. Pada saat-saat tertentu terjadi kematian ikan secara massal, dan sedang diteliti penyebabnya.
Danau adalah salah satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan habitat laut dan daratan. Bagi manusia kepentingannya jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya. Keberadaan ekosistem danau memberikan fungsi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia (rumahtangga, industri, dan pertanian). Beberapa fungsi danau secara ekosistem adalah sebagai berikut:
1. Sebagai sumber plasma nutfah yang berpotensi sebagai penyumbang bahan genetik;
2. Sebagai tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna yang penting,
3. Sebagai sumber air yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat sekitarnya (rumahtangga, industri dan pertanian);
4. Sebagai tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan, aliran permukaan, sungai-sungai atau dari sumber-sumber air bawah tanah;
5. Memelihara iklim mikro, di mana keberadaan ekosistem danau dapat mempengaruhi kelembaman dan tingkat curah hujan setempat;
6. Sebagai sarana tranportasi untuk memindahkan hasil-hasil pertanian dari tempat satu ke tempat lainnya;
7. Sebagai penghasil energi melalui PLTA;
8. Sebagai sarana rekreasi dan objek pariwisata.

Dua hal lain yang ditawarkan ekosistem danau adalah:
1. Sebagai sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik maupun industri,
2. Sebagai sistem pembuangan yang memadai dan paling murah (Connell & Miller,1995).
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 Pasal 1 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sumber air ialah semua wadah alamiah dan yang telah dibuat oleh orang, seperti sungai, danau, waduk, mata air, dan sebagainya. Danau sebagai salah satu sumber air, pengelolaannya tidak dapat berdiri sendiri, harus diintegrasikan ke dalam pengelolaan DAS sebagai kesatuan wilayah, begitu pula pemanfaatannya. Pemanfaatan danau sebagai sumber air menurut Pasal 8 ayat (2), memiliki prioritas sebagai berikut:

1.  air minum
 rumah tangga
 pertahanan dan keamanan nasional
 peribadatan
 usaha perkotaan, misalnya mencegah kebakaran, penggelontoran, menyiram tanaman, dan lain sebagainya

2.  pertanian, pertanian rakyat, dan usaha pertanian lainnya
 peternakan
 perkebunan
 perikanan
3.  ketenagaan
 industri
 pertambangan
 lalu lintas air
 rekreasi
Degradasi lingkungan, akibat kegiatan-kegiatan pembangunan pada sektor pertanian, kehutanan, perikanan, pariwisata dan industri di DAS Maninjau. Hal ini mengakibatkan perubahan penggunaan lahan yang selain memberikan manfaat juga menimbulkan dampak negatif terhadap fungsi ekologi, ekonomi, dan estetika ekosistem danau.
Sehingga seringkali terjadi pemanfaatan danau dan konservasi danau yang tidak berimbang, dimana pemanfaatan danau lebih mendominasi sumberdaya alam danau dan kawasan daerah aliran sungai (watershed). Hal ini mengakibatkan danau berada pada kondisi suksesi, yaitu berubah dari ekosistem perairan ke bentuk ekosistem daratan. Pendangkalan akibat erosi, eutrofikasi merupakan penyebab suksesi suatu perairan danau. Hilangnya ekosistem danau mengakibatkan kekurangan cadangan air tanah pada suatu kawasan/wilayah yang bakal mengancam ketersediaan air bersih bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Akibatnya, keberlanjutan suatu lingkungan hidup yang didalamnya terdapat manusia dan alam terancam tak dapat berlanjut.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ekosistem Danau
Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam. Air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah pinggir saja. Berdasarkan pada proses terjadinya danau dikenal danau tektonik yang terjadi akibat gempa dan danau vulkanik yang terjadi akibat aktivitas gunung berapi (Barus, 2004, hlm: 100).
Menurut Soeriaatmadja (1989, hlm: 660) bahwa asal mula sebuah danau dapat bermacam-macam. Ada yang terbentuk karena terjadi patahan di permukaan bumi yang kemudian diikuti peristiwa klimat. Beberapa danau lain timbul akibat gejala vulkan, karena belokan sungai yang terlalu dalam, karena depresi tanah kapur dan ada juga danau buatan.
Menurut Hutchinson & Loffler, 1956 dalam Barus 2004, hlm: 107 bahwa air danau dapat dibedakan berdasarkan pola pencampuran/ sirkulasi sebagai berikut :
a. Amiktis, yaitu danau yang terdapat di daerah kutub, terutama di anartik dan sebagian kecil di arktik (Greenland) yang secara permanen tertutup oleh salju.
b. Monomiktis dingin, yaitu danau yang terdapat di daerah kutub dan sub kutub yang mengalami sirkulasi/ pencampuran secara sempurna hanya pada musim panas, sementara pada musim yang lain mengalami stagnasi winter dengan penutupan lapisan salju pada permukaan.
c. Dimiktis, yaitu danau-danau yang terdapat di daerah temperata di bagian utara dari Amerika Utara yang mengalami sirkulasi sempurna pada saat musim gugur dan musim semi.
d. Monomiktis panas, yaitu danau yang terdapat di daerah subtropis yang mengalami sirkulasi hanya pada musim dingin dan apabila permukaan air cukup mengalami pendinginan misalnya Bodensee yang terdapat di Jerman.
e. Oligomiktis, yaitu danau di daerah tropis yang sangat jarang mengalami sirkulasi yang sempurna.
f. Polimiktis panas, yaitu danau di daerah tropis yang mengalami sirkulasi sempurna apabila terjadi penurunan temperatur yang sangat drastis.
g. Polimiktis dingin yaitu danau-danau tropis yang terdapat di pegunungan yang tinggi dan selalu mengalami sirkulasi sempurna, umumnya adalah danau-danau yang terdapat pada ketinggian sekitar 3000 meter dpl.

Ekosistem danau dapat dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu Benthal merupakan zona substrat dasar yang dibagi menjadi zona litoral dan zona profundal. Litoral merupakan bagian dari zona benthal yang masih dapat ditembus oleh cahaya matahari, sedangkan zona profundal merupakan bagian dari zona benthal di bagian perairan yang dalam dan tidak dapat ditembus lagi oleh cahaya matahari.
Zona perairan bebas sampai ke wilayah tepi merupakan habitat nekton dan plankton yang disebut zona pelagial. Selanjutnya dikenal zona pleustal, yaitu zona pada permukaan perairan yang merupakan habitat bagi kelompok neuston dan pleuston. Berdasarkan pada daya tembus cahaya matahari kedalam lapisan air, dapat dibedakan menjadi beberapa antara lain zona fotik (photic zone) di bagian atas, yaitu zona yang dapat ditembus cahaya matahari dan zona afotik (aphotic zone) di bagian bawah, yaitu zona yang tidak dapat ditembus oleh cahaya matahari (Barus, 2004, hlm: 102).

Menurut Soegianto (2005, hlm: 97) bahwa danau memiliki tiga zona yang berbeda: 1) zona litoral, dekat pantai dimana tumbuhan berakar dapat dijumpai, 2) zona limnetik (lapisan permukaan perairan terbuka), sinar matahari mampu menembus zona ini, dan didominasi oleh fitoplankton dan ikan yang berenang bebas, 3) zona profundal, zona perairan dalam yang tidak dapat ditembus sinar matahari dan dihuni oleh organisme yang membuat liang didasar perairan. Menurut Sastrodinoto (1980, hlm: 83) bahwa bagi ahli limnologi kolam adalah sebuah perairan yang cukup dangkal sehingga cahaya dapat menembus sampai kedasarnya. Sebaliknya danau dalamnya sedemikian sehingga dasarnya selalu gelap, tidak tercapai oleh cahaya. Kebanyakan danau mempunyai aliran keluar, sehingga airnya tidak mengandung timbunan mineral. Menurut Ewusie (1990, hlm: 188) bahwa tubuh air tawar tergenang yang besar tidak terpengaruh oleh perubahan besar dalam suhu, dan kebanyakan hewan air tawar dapat bertahan pada kisaran suhu yang lebih besar. Substrat dari dasar tubuh air yang tergenang dapat berbatu-batu, berkerikil, berpasir, atau berlumpur. Lapis alas yang lunak biasanya lebih disukai oleh tumbuhan tingkat tinggi yang berakar pada dasar danau.
Perbedaan menyolok antara ekosistem sungai dan danau terletak pada jangka waktu relatif air berada di tempat tersebut. Dalam hal ini air di dalam danau berada lebih lama dari pada di sungai. Perlu diketahui bahwa tidak ada dua danau dan dua sebagai berikut:
a. Plankton adalah organisme air yang hidupnya melayang-layang dan pergerakannnya sangat dipengaruhi oleh gerakan air.
b. Bentos adalah organisme yang hidup pada substrat dasar perairan.
c. Nekton merupakan kelompok organisme air yang mampu bergerak bebas.
d. Pleuston merupakan keseluruhan organisme yang melayang di permukaan air.
e. Neuston merupakan keseluruhan kelompok mikroorganisme yang hidup pada permukaan suatu perairan.
f. Pagon merupakan keseluruhan organisme air yang mampu hidup dalam kondisi perairan yang membeku (Barus, 2004, hlm: 24).

2.2 Plankton
2.2.1 Defenisi Plankton dan Pembagiannya
Organisme perairan pada tingkat (trophic) pertama berfungsi sebagai produsen atau penyedia energi disebut sebagai plankton (Wibisono, 2005, hlm: 155). Victor Hensen (1887) memakai istilah plankton untuk semua organisme yang melayang dalam air. Plankton ini diambil dari perkataan Yunani yang berarti suatu yang terapung. Lambat laun ahli limnologi mulai menginsafi bahwa organisme akuatik plankton ini dapat mengimbangi ukurannya yang kecil dengan jumlahnya yang besar (Sastrodinoto, 1980, hlm: 79).
Defenisi umum menyatakan bahwa yang dimaksud dengan plankton adalah suatu golongan jasad hidup akuatik berukuran mikroskopik, biasanya berenang atau tersuspensi dalam air, tidak bergerak atau hanya bergerak sedikit untuk melawan/ mengikuti arus. Dibedakan menjadi 2 golongan, yakni golongan tumbuhan/ fitoplankton (plankton nabati) yang umumnya mempunyai klorofil dan golongan hewan/ zooplankton (plankton hewani). Menurut habitat, plankton dapat dibedakan menjadi plankton laut dan plankton air tawar (Wibisono, 2005, hlm: 155).
Selanjutnya plankton dapat dibagi berdasarkan ukuran tubuhnya yaitu makroplankton dengan ukuran tubuh > 500μm, mikroplankton dengan ukuran tubuh 20-200 μm, nanoplankton dengan ukuran tubuh 2-20 μm, dan ultraplankton dengan ukuran tubuh < 2 μm. Selain itu terdapat kelompok megaloplankton yang mempunyai ukuran tubuh yang sangat besar seperti kelompok medusa (Cynea arctica) yang mempunyai diameter tubuh 2 m dan panjang tentakel lebih dari 30 m. Kelompok ini merupakan suatu kelompok plankton yang sangat jarang ditemukan dan umumnya jenis dari kelompok ini hidup pada habitat laut (Barus, 2004, hlm: 25). Menurut Basmi (1995, hlm: 23-25), plankton dikelompokkan berdasarkan beberapa hal yakni : 1. Nutrien pokok yang dibutuhkan, terdiri atas : a. Fitoplankton, yakni plankton nabati (> 90% terdiri dari algae) yang mengandung klorofil yang mampu mensintesa nutrien-nutrien anorganik menjadi zat organik melalui proses fotosintesis dengan energi yang berasal dari sinar surya.
b. Saproplankton, yakni kelompok tumbuhan (bakteri dan jamur) yang tidak mempunyai pigmen fotosintesis, dan memperoleh nutrisi dan energi dari sisa-sisa organisme lain yang telah mati.
c. Zooplankton, yakni plankton hewani yang makanannya sepenuhnya tergantung pada organisme lain yang masih hidup maupun partikel-partikel sisa organisme seperti detritus dan debris. Disamping itu plankton ini juga mengkonsumsi fitoplankton.

2. Berdasarkan lingkungan hidupnya terdiri atas :
a. Limnoplankton, yakni plankton yang hidup di air tawar.
b. Haliplankton, yakni plankton yang hidup di laut.
c. Hipalmyroplankton, yakni plankton yang hidupnya di air payau.
d. Heleoplankton, yakni plankton yang hidupnya di kolam.

3. Berdasarkan ada tidaknya sinar di tempat mereka hidup,terdiri atas:
a. Hipoplankton, yakni plankton yang hidupnya di zona afotik.
b. Epiplankton, yakni plankton yang hidupnya di zona eufotik.
c. Bathiplankton, yakni plankton yang hidupnya dekat dasar perairan yang umumnya tanpa sinar. Baik hipoplankton maupun batiplankton terdiri dari zooplankton seperti mysid dari jenis Crustaceae dan hewan-hewan planktonis yang tidak membutuhkan sinar.
4. Berdasarkan asal usul plankton, dimana ada plankton yang hidup dan berkembang dari perairan itu sendiri dan ada yang berasal dari luar, terdiri atas :
a. Autogenik plankton, yakni plankton yang berasal dari perairan itu sendiri.
b. Allogenik plankton, yakni plankton yang datang dari perairan lain (hanyut terbawa oleh sungai atau arus). Hal ini biasanya dapat diketahui sekitar muara sungai.
2.2.2 Ekologi Plankton
Pada dasarnya studi mengenai ekosistem perairan merupakan kajian tentang struktur dan fungsi biota dalam ekosistem perairan bersangkutan. Hal ini berarti keberadaan plankton tidak bisa dipisahkan dengan masalah kualitas perairannya sebagai tempat hidup mereka. Selain kualitas perairan laut, plankton juga dapat dipengaruhi oleh musim dan keadaan oseanografi setempat misalnya dapat dipengaruhi oleh pasang surut, gelombang dan arus (Wibisono, 2005, hlm: 158). Plankton tidak dapat berkembang subur dalam air mengalir (Ewusie, 1990, hlm: 188). Fitoplankton hidup terutama pada lapisan perairan yang mendapat cahaya matahari yang dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis (Barus, 2004, hlm: 26). Disamping itu jumlah plankton berfluktuasi (naik-turun) dari jam ke jam, hari ke hari dan musim ke musim (Whitten, et al, 1987, hlm: 199). Penelitian kuantitatif yang seksama akhirnya menunjukkan bahwa produksi makanan di kolam dan di perairan lainnya adalah terutama hasil fotosintesis organisme plankton ini (Sastrodinoto, 1980, hlm: 84).

2.3 Faktor-Faktor Fisik Kimia yang Mempengaruhi Plankton.
Penelitian-penelitian badan air tawar mencakup kajian sifat-sifat kimia dan fisika dari air, tumbuhan dan hewan yang hidup di dalam perairan tersebut, serta tata cara mereka berinteraksi (Michael, 1984, hlm: 132). Menurut Suin (2002, hlm: 40) bahwa di air hidup bermacam-macam organisme, dari yang berukuran kecil sampai dengan yang berukuran besar. Kehidupan organisme air termasuk organisme plankton sangat tergantung pada faktor fisik dan kimia air.

2.3.1 Temperatur
Tinggi rendahnya nilai temperatur suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan organisme air termasuk plankton. Tingginya nilai temperatur dapat meningkatkan kebutuhan plankton akan oksigen. Hal ini disebabkan karena temperatur dapat memicu aktivitas fisiologis plankton sehingga kebutuhan akan oksigen semakin meningkat. Dalam setiap penelitian dalam ekosistem akuatik, pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur.

2.3.2 Dissolved Oxygen (DO)
Plankton merupakan organisme air yang membutuhkan oksigen untuk melaksanakan aktivitas fisiologis dan biologis. Kandungan oksigen terlarut yang terdapat di suatu badan perairan tentu saja sangat mempengaruhi keberadaan plankton karena plankton membutuhkan oksigen untuk dikonsumsi terutama pada saat proses respirasi. Agar dapat hidup, hewan maupun tumbuhan air memerlukan oksigen untuk proses respirasi. Kadar oksigen terlarut (DO) adalah jumlah oksigen yang terlarut dalam volume air tertentu pada suatu suhu dan tekanan atmosfer tertentu. Pada tekanan atmosfer normal (1 atm) dan suhu 20 oC, kadar maksimum oksigen terlarut dalam air adalah 9 ppm (mg/l) (Soegianto, 2005, hlm: 95).
2.3.3 Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Semakin tinggi nilai BOD suatu badan perairan maka semakin buruk kondisi perairan tersebut. Sebab jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan senyawa organik semakin banyak, sehingga menurunkan nilai oksigen yang terlarut dengan demikian kondisi air menjadi miskin oksigen sehingga plankton dan organisme air lainnya tidak dapat berkembang dengan baik sebab BOD yang tinggi mengindikasikan banyak limbah yang terdapat dalam air tersebut. Bahan-bahan organik akan diuraikan oleh organisme-organisme pengurai, yang spesial menguraikan bahan organik yang telah mati, terutama bakteri dan jamur (mikrofungi). Karena mikroorganisme ini membutuhkan oksigen untuk proses respirasi, maka jumlah oksigen dalam air akan menurun. Jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh mikroba semacam ini biasa disebut dengan istilah ”Biochemical Oxygen Demand” (Supriharyono, 2000, hlm: 97).
2.3.4 Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya sangat mempengaruhi keberadaan plankton di suatu badan perairan, sebab penetrasi cahaya sangat menentukan proses fotosintesis dan reproduksi yang dilakukan plankton masih dapat berlangsung. Menurut Nybakken (1992, hlm: 59) bahwa kedalaman penetrasi cahaya yang merupakan kedalaman di mana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung pada beberapa faktor, antara lain absorpsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik dan musim.

2.3.5 pH
Nilai pH yang terlalu asam atau basa berbahaya bagi kelangsungan hidup plankton karena akan menyebabkan berbagai gangguan metabolisme termasuk respirasi. Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisma karena akan menyebabkan terjadinya berbagai gangguan seperti gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2004, hlm: 79). Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kolorimetri, dengan kertas Ph, atau dengan pH meter (Suin, 2002, hlm: 54). Menurut Alaerts & Sri (1984, hlm: 48) bahwa pH menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu larutan dan suasana air juga mempengaruhi beberapa hal lain misalnya kehidupan biologi dan mikrobiologi.
2.3.6 Kandungan Nutrisi Nitrat dan Fosfat
Menurut Barus (2004, hlm: 70) bahwa Fosfor bersama dengan Nitrogen sangat berperan dalam proses terjadinya eutrofikasi di suatu ekosistem air. Seperti diketahui bahwa fitoplankton dan tumbuhan air lainnya membutuhkan Nitrogen dan Fosfor sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhannya. Dengan demikian maka peningkatan unsur Fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi algae secara massal yang dapat menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air.
2.3.7 Kejenuhan Oksigen
Kejenuhan oksigen berpengaruh terhadap kelangsungan hidup plankton, sebab semakin tinggi nilai kejenuhan oksigen (mendekati nilai 100 %) pada kisaran suhu tertentu berarti kandungan oksigen terlarut mendekati maksimum dengan demikian plankton dapat melakukan fungsi fisiologis dan biologisnya dengan baik sebab kondisi perairan cukup bersih dan terbebas dari senyawa organik. Nilai Oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini selain dipengaruhi oleh perubahan temperatur juga dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg/l. Disamping pengukuran konsentrasi biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau tidak. Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu contoh air, maka disamping mengukur konsentrasi oksigen dalam mg/l, diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem air tersebut (Barus, 2004, hlm: 58).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Komunitas tumbuhan dan hewan tersebar di danau sesuai dengan kedalaman dan jaraknya dari tepi. Berdasarkan hal tersebut danau dibagi menjadi 4 daerah sebagai berikut.
a. Daerah litoral
Daerah ini merupakan daerah dangkal. Cahaya matahari menembus dengan optimal. Air yang hangat berdekatan dengan tepi. Tumbuhannya merupakan tumbuhan air yang berakar dan daunnya ada yang mencuat ke atas permukaan air.
b. Daerah limnetik
Daerah ini merupakan daerah air bebas yang jauh dari tepi dan masih dapat ditembus sinar matahari. Daerah ini dihuni oleh berbagai fitoplankton, termasuk ganggang dan sianobakteri. Ganggang berfotosintesis dan bereproduksi dengan kecepatan tinggi selama musim panas dan musim semi.
c. Daerah profundal
Daerah ini merupakan daerah yang dalam, yaitu daerah afotik danau. Mikroba dan organisme lain menggunakan oksigen untuk respirasi seluler setelah mendekomposisi detritus yang jatuh dari daerah limnetik. Daerah ini dihuni oleh cacing dan mikroba.
d. Daerah bentik
Daerah ini merupakan daerah dasar danau tempat terdapatnya bentos dan sisa-sisa organisme mati.
Danau juga dapat dikelompokkan berdasarkan produksi materi organik-nya, yaitu sebagai berikut :
a. Danau Oligotropik
Oligotropik merupakan sebutan untuk danau yang dalam dan kekurangan makanan, karena fitoplankton di daerah limnetik tidak produktif. Ciricirinya, airnya jernih sekali, dihuni oleh sedikit organisme, dan di dasar air banyak terdapat oksigen sepanjang tahun.
b. Danau Eutropik
Eutropik merupakan sebutan untuk danau yang dangkal dan kaya akan kandungan makanan, karena fitoplankton sangat produktif. Ciri-cirinya adalah airnya keruh, terdapat bermacam-macam organisme, dan oksigen terdapat di daerah profundal.
Danau oligotrofik dapat berkembang menjadi danau eutrofik akibat adanya materi-materi organik yang masuk dan endapan. Perubahan ini juga dapat dipercepat oleh aktivitas manusia, misalnya dari sisa-sisa pupuk buatan pertanian dan timbunan sampah kota yang memperkaya danau dengan buangan sejumlah nitrogen dan fosfor. Akibatnya terjadi peledakan populasi ganggang atau blooming, sehingga terjadi produksi detritus yang berlebihan yang akhirnya menghabiskan suplai oksigen di danau tersebut.
Pengkayaan danau seperti ini disebut “eutrofikasi”. Eutrofikasi membuat air tidak dapat digunakan lagi dan mengurangi nilai keindahan danau.

DAFTAR PUSTAKA

Connell, D.W & G.J Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran (terjemahan Yanti Koestoer). Penerbit

Univesitas Indonesia (UI-Press).Jakarta

Ekosistem

http://www.google.com

http://ridwanaz.com/umum/biologi/pengertian-ekosistem-susunan-dan-macam-ekosistem/