Gagal jantung (GJ) adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Dulu GJ dianggap merupakan akibat dari berkurangnya kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan inotropik untuk meningkatkannya dan diuretik serta vasodilator untuk mengurangi beban (un-load). Sekarang GJ dianggap sebagai remodelling progresif akibat beban/penyakit pada miokard sehingga pencegahan progresivitas dengan penghambat neurohumoral (neurohumoral blocker) seperti ACE-Inhibitor Angiotensin Receptor-Blocker atau penyekat beta diutamakan di samping obat konvensional (diuretika dan digilatis) ditambah dengan terapi yang muncul belakangan ini seperti biventricular pacing, recyncronizing cardiac teraphy (RCT), intra cardiac defibrilator (ICD), bedah rekonstruksiventrikel kiri (LV reconstruction surgery) dan miplasti.
Beberapa Istilah dalam Gagal Jantung
Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik
Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan dari pemeriksaan jasmani, foto toraks atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan eko-Droppler.
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena pulmonalis. Tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan jasmani saja.
Ada 3 macam agngguan fungsi diastolik:
• Gangguan relaksasi
• Pseudo-normal
• Tipe restriktif
Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi peneybab gangguan diastolik seperti fibrosis, hipertrofi, atau iskemia. Disamping itu kongesti sistemik/pulmonal akibat dari gangguan diatolik tersebut dapat diperbaiki dengan restriksi garam dan pemberian diuretik. Mengurangi denyut jantung agar waktu untuk diastolik bertambah, dapat dilakukan dengan pemberian penyekat beta atau penyekat kalsium non-dihidropiridin.
Low output dan High output Heart Failure
Low output HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan perikard. High out put HF ditemukan pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-beri dan penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
Gagal Jantung Akut dan kronik
Contoh klasik gagal jantung akut (GJA) adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis, trauma atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronis (GJK) adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesi perifer sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard kedua ventriel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
Patogenesis Gagal Jantung Sistolik
GJ sistolik didasari oleh suatu beban/penyakit miokard (underlying HD/index of events) yang mengakibatkan remodeling struktural, lalu diperbesar oleh progresivitas beban/penyakit tersebut dan menghasilkan sindrom klinis yang disebut gagal jantung.
Remodeling struktural ini dipicu dan diperberat oleh berbagai mekanisme kompensasi sehingga fungsi jantung terpelihara relatif normal (gagal jantung asimtomatik). Sindrom gagal jantung yang sistomatik akan tampak bila timbul faktor presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark, jantung, anemia, hipertiroid dan kehamilan, aktivitas berlebihan, emosi atau konsumsi garam berlebih, emboli paru, hipertensi, miokarditis, virus, demam reuma, endokarditis infektif. Gagal jantung simtomatik juga akan tampak kalau terjadi kerusakan miokard akibat progresivitas penyakit yang mendasarinya/underlying HD.
DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani, elektrokardiografi/foto toraks, ekokardiografi-Doppler dan kateterisasi seperti terlihat pada bagan di bawah ini.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.
Kriteria Major
• Paroksimal noktunal dispnea • Distensi vena leher • Ronki paru • Kardiomegali • Edema paru akut • Gallop S3 • Peninggian tekanan vena jugularis • Refluks hepatojugular |
Kriteria Minor
• Edema ekstremitas • Batuk malam hari • Dispnea d’effort • Hepatomegali • Efusi pleura • Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal • Takikardia (>120/menit. |
Major atau minor
4.5 kg dalam 5 hari pengobatan.Penurunan BB
Diagnosis Gagal Jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.
Penatalaksanaan Gagal Jantung
Pada tahap simtomatik dimana sindrom GJ sudah terlihat jelas seperti cepat capek (fatik), sesak napas (dyspnea in effort, orthopnea), kardiomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, asites, hepatomegalia dan edema sudah jelas, maka diagnosis GJ mudah dibuat. Tetapi bila sindrom tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri/LV dysfunction (tahap asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan di atas yang hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh pemeriksaan foto rontgen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide.
Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombal pengobatan gagal jantung sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE-inhibitor tersebut diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan. Intoksikasi digitalis sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun (ureum/kreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah (kurang dari 3.5 meq/L).
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat ini.
Pemakaian obat dengan efek diuretik-vasodilatasi seperti Brain N atriuretic Peptide (Nesiritide) masih dalam penelitian. Pemakaian alat Bantu seperti Cardiac Resychronization Theraphy (CRT) maupun pembedahan, pemasangan ICD (Intra-Cardiac Defibrillator) sebagai alat mencegah mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun non-iskemia dapat memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun mahal. Transplantasi sel dan stimulasi regenerasi miokard, masih terkendala dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan masih memerlukan penelitian lanjut.
Gagal jantung dibagi menjadi 2: gagal jantung akut dan kronis
I. Gagal Jantung Akut
Meningkatnya harapan hidup disertai makin tingginya angka yang selamat (survival) dari serangan infark jantung akut akibat kemajuan pengobatan dan penatalaksanaannya, mengakibatkan semakin banyak orang yang hidup dalam keadaan disfungsi ventrikel kiri, yang selanjutnya masuk ke dalam gagal jantung kronis, dan semakin banyak yang dirawat akibat gagal jantung kronis (GJK). Gagal jantung merupakan penyebab paling banyak perawatan di rumah sakit pada populasi Medicare di Amerika Serikat, sedangkan di Eropa dari data-data Scottish memperlihatkan peningkatan dari perawatan gagal jantung, apakah sebagai serangan pertama atau sebagai gejala utama atau sebagai gejala ikutan dengan gagal jantung. Peningkatan ini sangat erat hubungannya dengan semakin bertambahnya usia seseorang. Dari survei registrasi rumah sakit didapatkan angka perawatan di RS. perempuan 4,7% dan laki-laki: 5,1% adalah berhubungan dengan gagal jantung. Sebagian dari gagal jantung ini adalah dalam bentuk manifestasi klinis berupa gagal jantung akut, dan sebagian besar berupa eksaserbasi akut gagal jantung kronik.
Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien terutama pada pasien usia lanjut. Sedangkan pada usia muda, gagal jantung akut diakibatkan oleh kardiomiopati dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital atau valvular dan miokarditis. Kausa dan komplikasi gagal jantung akut dapat dilihat pada tabel berikut :
Penyebab dan Faktor Presipitasi Gagal Jantung Akut
(1) Dekompensasi pada GJK yang sudah ada (kardiomiopati)
(2) Sindrom koroner akut
a. Infark miokardial/angina pektoris tidak stabil denagn iskemia yang bertambah luas dan disfungsi iskemik.
b. Komplikasi kronik infark miokard akut
c. Infark ventrikel kanan
(3) Krisis hipertensi
(4) Aritmia akut (takikardia ventrikular, fibrilasi ventrikular, fibrilasi atrial atau fluter atrial, takikardia supraventrikular lain).
(5) Regurgitasi valvular/endokarditis/ruptur korda tendinae, perburukan regurgitasi katup yang sudah ada
(6) Stenosis katup aorta berat
(7) Miokarditis berat akut
(8) Tamponad jantung
(9) Diseksi aorta
(10) Kardiomiopati pasca melahirkan
(11) Faktor presipitasi non kardiovaskular
a. Pelaksanaan terhadap pengobatan kurang
b. overload volume
c. infeksi, terutama pneumonia atau septikemia
d. severe brain insult
e. pasca operasi besar
f. penurunan fungsi ginjal
g. asma
h. penyalahgunaan obat
i. penggunaan alkohol
j. feokromositoma
(12) Sindrom high output
Gagal jantung akar (GJA) atau gagal jantung kronik (GJK) sering merupakan kombinasi kelainan jantung dan organ sistem lain terutama penyakit metabolik.
Pasien dengan GJA memiliki prognosis yang sangat buruk. Dalam satu randomized trial yang besar, pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung yang mengalami dekompensasi, mortalitas 60 hari adalah 9,6%, dan apabila dikombinasi dengan mortalitas dan perawatan ulang dalam 60 hari jadi 35,2%. Angka kematian lebih tinggi lagi pada infark jantung yang disertai gagal jantung berat, dengan mortalitas 30% dalam 12 bulan.
Hal yang sama pada pasien edema paru akut, angka kematian di rumah sakit 12%, dan mortalitas satu tahun 40%. Prediktor mortalitas tinggi adalah antara lain tekanan baji kapiler paru (Pulmonary Capillary Wedge Pressure) yang tinggi, sama atau lebih dari 16 mmHg, kadar natrium yang rendah, dimensi ruang ventrikel kiri yang meningkat, dan konsumsi oksigen puncak yang rendah.
Sekitar 45% pasien GJA akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam dua belas bulan pertama. Estimasi risiko kematian dan perawatan ulang antara 60 hari berkisar 30-60%, tergantung dari studi populasi.
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Gagal Jantung Akut (GJA), meliputi definisi, manifestasi klinis dan penatalaksanaannya.
DEFINISI GAGAL JANTUNG AKUT
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat (rapid onset) dari gejala-gejala atau tanda-tanda (symptoms and signs) akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik, keadaan irama jantung yang abnormal atau ketidakseimbangan dari pre-load atau after-load, seringkali memerlukan pengobatan penyelamatan jiwa, dan perlu pengobatan segera. GJA dapat berupa acute de novo (serangan baru dari GJA, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi akut dari GJK. GJA dapat dimbul dengan satu atau beberapa kondisi klinis yang berbeda.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestsi klinis GJA sangat banyak, dan kadang ada tumpang tindih dengan manifestasi klinis yang lain, dan penanganannya pun bisa sangat berbeda.
• Gagal jantung dekompensasi, (de novo atau sebagai gagal jantung kronik yang mengalami dekompensasi) dengan gejala atau tanda-tanda gagal jantung akut dengan gejala ringan, dan belum memenuhi syarat untuk syok kardiogenik, edema paru atau krisis hipertensi.
• Gagal jantung akut hipertensif terdapat gejala dan tanda gagal jantung disertai tekanan darah tinggi, dan gangguan fungsi jantung relatif, dan pada foto toraks terlihat tanda-tanda edema paru akut.
• Edema paru yang diperjelas dengan foto toraks dan respiratory distress berat dengan ronki yang terdengar pada referal lapangan paru dan ortopnea, O2 saturasi biasanya kurang dari 90% sebelum diterapi.
• Syok kardiogenik: syok kardiogenik didefinisikan sebagai adanya tanda-tanda hipoperfusi jaringan yang diakibatkan oleh gagal jantung rendah preload dikoreksi. Tidak ada definisi yang jelas dari parameter hemodinamik, akan tetapi syok kardiogenik biasanya ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik kurang dari 90 mmHg, atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mm Hg) dan atau penurunan pengeluaran urin (kurang dari 0,5 ml/kg/jam) dengan laju nadi >60 kali per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ. Tidak ada batas yang jelas antara sindrom curah jantung rendah dengan syok kardiogenik.
• High out put failure, ditandai dengan curah jantung yang tinggi, biasanya dengan laju denyut jantung yang tinggi misalnya mitral aritmia, tirotoksikosis, anemia, penyakit Raget’s, dan lain-lain ditandai dengan jaringan perifer yang hangat, kongesti paru, kadang disertai tekanan darah yang rendah seperti pada syok septik.
• Gagal jantung kanan yang ditandai dengan sindrom low out put, peninggian tekanan vena jugularis, pembesaran hati dan hipotensi.
Ada beberapa klasifikasi lain GJA yang biasa dipakai di perawatan intensif, untuk menilai beratnya GJA, yaitu klasifikasi Killip yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan foto toraks, klasifikasi Forrester yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan karakteristik hemodinamik. Klasifikasi ini cocok pada GJA pada infark jantung akut. Klasifikasi yang ketiga yang telah divalidasi pada perawatan kardiomiopati, yang berdasarkan penemuan klinis, yaitu berdasarkan sirkulasi perifer (perfusion) dan auskultasi paru (congestion). Pasien diklasifikasi menjadi Class I (Group A) (warm and dry), Class II (Group B) (warm and wet), Class III (Group L) (cold and dry), Class IV (Group C) (cold and wet). Klasifikasi ini sudah divalidasi untuk prognosis dari kardiomiopati, dan dapat diaplikasikan pada pasien rawat jalan atau rawat inap. Denah 1
Di samping itu klasifikasi GJA dapat juga dibagi berdasarkan dominasi gagal jantung yang kiri atau kanan yaitu :
1. Forward (kiri dan kanan (AHF)
2. Left heart backward failure, yang dominan gagal jantung kiri.
3. Right heart backward failure, berhubungan dengan disfungsi paru dan jantung sebelah kanan.
GEJALA (Bukti Adanya Kongesti)
Orthopnea
Tekanan vena jugularis tinggi Edema Asites Penyebaran ke P2 kiri Ronki halus (jarang) |
Gelombang valsava kuadrat
Refleks abdomino jugularis Ekstremitas dingin Mengantuk atau lemas Suspek hipotensi akibat ACEI Suspek penurunan kadar Na serum |
Salah satu penyebab buruknya fungsi ginjal
Denah & tabel tentang profil hemodinamik pasien yang dirawat inap akibat gagal jantung. Sebagian besar pasien dapat diklasifikasikan menjadi salah satu dari keempat profil ini melalui penilaian bebside selama 2 menit, meskipun dalam prakteknya beberapa pasien dapat berada diantara grup B dan C. Klasifikasi ini merupakan bantuan petunjuk sebagai pertimbangan terapi awal dan prognosis. (Circulation 2000; 102: 2443-2456)
DIAGNOSIS GJA
Diagnosis GJA ditegakkan berdasarkan gejala dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto toraks, biomarker dan ekokardiografi Doppler. Pasien segera diklasifikasi apakah disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik dan karakteristik forward atau backward, left or right heart failure.
SASARAN PENGOBATAN GJA
Sasaran secepatnya pengobatan GJA adalah memperbaiki simtom, dan menstabilkan kondisi hemodinamik.
PENGOBATAN GJA
Umum
Infeksi Pasien GJA yang lanjut cenderung rentan terhadap komplikasi infeksi, terutama saluran napas, infeksi saluran kemih, septikemia dan infeksi nosokomial. Antibiotik yang adekuat harus diberikan segera bila ada indikasi.
Diabetes harus secepatnya dikontrol dengan insulin jangka pendek. Status katabolik, balans asupan kalori dan protein harus diperhatikan. Kadar albumin serum sama dengan balans nitrogen, dapat dipakai untuk memonitor status metabolik.
Gagal ginjal: Terdapat hubungan yang kuat antara gagal ginjal dan gagal jantung, dan dapat merupakan precipitaning factor untuk timbulnya GJA, dan sebaliknya GJA membuat gagal ginjal. Perlu pemantauan dari fungsi ginjal.
Sasaran Penyakit Pasien Gagal Jantung Akut
Klinis
gejala (dyspnoea dan/atau fatik)¯ tanda klinis¯ berat badan¯ diuresis oksigenase |
Laboratorium
Normalisasi elektrolit serum BUN dan/atau kreatinin¯ bilirubin serum¯ BNP¯ |
Normalisasi gula darah
Hemodinamik pulmonary capillary wedge presure menjadi¯ <18 mmHg curah jantung dan/atau volume sekuncup |
Outcome
¯ lama rawat di unit rawat intensif (ICU) lama rawat¯ waktu masuk kembali ke rumah sakit mortalitas¯ |
Tolerabilitas
Low rate of withdrawal from therapeutic measures Insidens efek samping rendah BUN = blood urea NO2 |
Oksigen dan Alat Bantu Napas
Prioritas utama dalam menangani GJA adalah tercapainya kadar oksigenasi yang adekuat untuk mencegah disfungsi end organ, dan serangan gagal organ yang multipel. SaO2 dipertahankan pada batas normal antara 95-98%, untuk menjamin pasokan oksigen untuk jaringan tubuh (Class 1 recomendation, level of evidence C).
Support ventilasi tanpa intubasi endotrakeal. Ada dua teknik, yaitu Continous Positive Airway Pressure (CPAP) atau Non-invasive Positive Pressure Ventilator (NIPPV), sangat berguna dan tenyata dapat mengurangi kemungkinan pemakaian intubasi trakeal dan ventilasi mekanis (Class II a recommendation, level of evidence A).
TERAPI MEDIKAMENTOSA
• Morfin dan Analog Morfin
Morfin diinadikasikan pada stadium awal apabila pasien gelisah dan sesak napas (Class II b recommendation, level of evidence B). Morfin boleh diberikan bolus IV 3 mg segera sesudah dipasang intravenous line.
• Antikoagulan
Tidak ada bukti ada manfaat pemberian heparin atau LMWH pada GJA, kecuali untuk sindrom koroner akut, dengan atau tanpa gagal jantung, termasuk pada fibrilasi atrium.
• Vasodilator
Vasodilator diindikasikan pada GJA sebagai first line therapy, apabila hipoperfusi padahal tekanan darah adekuat dan tanda-tanda kongesti dengan diuresis sedikit, untuk membuka sirkulasi perifer dan mengurangi pre-load.
• Nitrat
Nitrat mengurangi kongesti paru tanpa mempengaruhi stroke volume atau meningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokard pada GJA, terutama pada sindrom koroner akut. Akan lebih baik apabila kombinasi dengan furosemid dosis rendah, akan lebih superior ketimbang pakai furosemid saja dengan dosis tinggi. (Class I recommendation, level of evidence B).
Indikasi dan Dosis Vasodilator pada Gagal Jantung Akut
Vasodilator Indikasi Dosis Efek Samping Utama Lainnya
Gliseril
trinitrat,
5-mononitrat Gagal jantung akut, dengan tekanan darah adekuat Mulai g/menit Hipotensi, sakitg/menit, tingkatkan hingga 200dengan 20 kepala Toleransi pada penggunaan yang terus menerus
Isosorbid dinitrat Gagal jantung akut, dengan tekanan darah adekuat Mulai dengan 1 mg/jam, tingkatkan hingga 10 mg/jam Hipotensi, sakit kepala Toleransi pada penggunaan yang terus menerus
Nitroprusid Krisis Hipertensif, syok kardiogenik, dikombinasikan dengan g/kg/menit Hipotensi, toksisitas isosianat Obatobat inotropik 0,3-5 ini sensitif terhadap cahaya
Nesitirid Gagal jantung akut dekompensasi g/kg/menitg/kg + infusion 0,015 – 0,03 Bolus 2 Hipotensi
• Sodium Nitroprusid
g/kg/menit) dititrasi secara hati-hatiSodium Nitroprusid (SNP) (0,3 menjadi 1 ig/kg/menit sampai 5 ig/kg/menit direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung berat, pada pasien dengan predominan ada peningkatan after load seperti hipertensi atau regurgitasi mitral. (Class I recommendation level of evidence C). Pada pasien GJA dan sindrom koroner akut, nitrat lebih diutamakan ketimbang SNP, karena SNP dapat menimbulkan coronary steal syndrome.
• Nesiritid
Nesiritid, suatu vasodilator kelas baru yang telah dikembangkan untuk terapi GJA. Nesiritid suatu recombinant human brain peptide atau BNP, yang identik dengan hormon endogen BNP yang diproduksi oleh dinding ventrikel kiri sebagai respons terhadap peninggian dari wall stress, hipertensi dan volume over load. Nesiritid mempunyai efek vasodilator untuk vena, arteri dan vasodilator koroner, akan mengurangi pre load dan after load, meningkatkan cardiac output tanpa efek miokard langsung.
Pemberian infus nesiritid mempunyai efek hemodinamik, meningkatkan eksresi sodium dan supresi RAA Sistem, dan sistem simfatis.
Resiritid efektif memperbaiki keluhan subjektif sesak napas. Dibandingkan dengan nitrat, perbaikan hemodinamik lebih baik, dan efek samping lebih sedikit. Namun diakui pengalaman klinis dengan Nesiritid masih belum banyak.
• Antagonis Kalsium
Tidak dianjurkan pada GJA.
• Inhibitor ACE
Tidak diindikasikan untuk stabilisasi awal GJA. (Class II b recommendation, level of evidence C). Namun, bila stabil 48 jam boleh diberikan dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap dengan pengawasan tekanan darah yang ketat. Lama pemberian paling tidak 6 minggu. (Class I recommendation, level of evidence A).
• Diuretik
Indikasi pemberian diuretik pada GJA decompensated, apabila ada simtom retensi air (Class I recommendation, level of evidence B). Pemakaian secara intravena, loop diuretika seperti furosemid, bumetadin, torasemid, dengan efek cepat dan kuat, elbih disukai pada GJA. Terapi dapat diberikan dengan aman sebelum pasien tiba di rumah sakit dan dosis harus dititrasi sesuai dengan respons diuretik dan hilangnya gejala kongesti.
Pemberian loading dose yang diikuti oleh infus berlanjut dengan furosemid atau torasemid telah terbukti lebih efektif dari hanya bolus saja. Kombinasi dengan Tiazid dan Spironolakton dapat diberikan dengan loop diuretik, kombinasi dengan dosis rendah lebih efektif ketimbang dosis tunggal tinggi. Kombinasi loop diuretika dengan dobutamin atau nitrat juga merupakan kombinasi yang diperbolehkan, ternyata lebih efektif dan sedikit efek sekundernya. (Class II b recommendation, level of evidence C).
• Penyekat Beta
Merupakan kontraindikasi pada GJA, kecuali GJA sudah stabil. (Class II a recommendation, level of evidence B.
Pasien dengan GJK, penyekat beta harus segera diberikan apabila pasien sudah stabil dari episode akut, umumnya sesudah 4 hari. (Class I recommendation, Level of evidence A).
• Obat Inotropik
Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda-tanda hipoperfusi perifer (hipotensi, menurunnya fungsi ginjal) dengan atau tanpa kongesti atau edema paru yang refrakter terhadap diuretika dan vasodilator pada dosis optimal. (Class II a recommendation, level of evidence C). Pemakaiannya berbahaya, dapat meningkatkan kebutuhan oksigen dan calcium loading, harus diberikan secara hati-hati.
• Fosfodiesterase Inhibitor
Tipe III PDEIs memblokade pemcahan dari siklik AMP (cAMP) menjadi AMP. Milrinon dan enoksinon adalah dua PDEIs yang dipakai pada praktek klinis. Pemakaian pada gagal jantung lanjut akan memberikan efek inotropik yang signifikan, lusitropik dan efek vasodilator perifer, dan menimbulkan curah jantung, strok volume, penurunan tekanan arteri paru, pulmonary wedge pressure, resistensi sistemik dan iskemia paru. Namun data-data manfaat PDEIs pada GJA masih belum banyak
Dosis Diuretik dan Cara Pemberiannya
Derajat Keparahan Retensi Cairan Diuretik Dosis (mg) Keterangan
Sedang Furosemid, atau 20 – 40 Secara oral atau intravena tergantung gejala klinis.
Bumetanid,
atau 0,5 – 1,0 Dosis titrasi sesuai dengan respons klinis.
Torasemid 10 – 20 Monitor kadar Na+, K+, kreatinin dan tekanan darah
Berat Furosemid, atau 40 – 100 Secara Intra vena
Infus 5 – 40 Lebih baik daripada bolus
Furosemid mg/jam dosis tinggi
Bumetanid,
atau 1 – 4 Secara oral atau intra vena
Torasemid 20 – 100 Secara oral
Refrakter terhadap loop diuretik Tambahkan HCTZ, atau 25 – 50 dua kali sehari Kombinasi dengan loop diuretic lebih baik daripada dosis tinggi loop diuretik tunggal
Metolazon, atau 2,5 – 10 satu kali sehari Metolazon lebih poten bila bersihan kreatinin < 30mL/menit
Spironolakton 25 – 50 satu kali sehari Spironolakton merupakan pilihan terbaik bila pasien tidak mengalami gagal ginjal dan mempunyai kada K+ yang normal atau rendah
Bila terjadi alkalosis, refrakter terhadap loop diuretik dan tiazid Asetazolamid 0,5 Secara intravena
Tambahkan dopamine untuk vasodilatasi renal atau dobutamine sebagai zat inotropik Pertimbangkan ultrafiltrasi atau hemodialisis bila juga ada gagal ginjal
• Levosimendan
Levosimendan mempunyai dua mekanisme kerja utama, yaitu: sensitisasi Ca++ dari protein yang contractile yang bertanggung jawab terhadap aksi inotropik positif dan membuka pintu (channel) ion K+ dari otot polos yang bertanggung jawab pada vasodilator perifer.
Levosimendan diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan cardiac output yang rendah, akibat disfungsi sistolik tanpa hipotensi yang berat (Class Iia recommendation, level of evidence B).
• Glikosida Jantung
Jantung glikosida menghambat myocardial Na+/K- ATPase. Dengan demikian, meningkatkan mekanisme pertukaran ion Ca++/Na+, menghasilkan efek inotropik positif. Indikasi pemberian Glikosida pada GJA adalah takikardia yang menginduksi gagal jantung meliputi fibrilasi atrial. Kontro frekuensi debar jantung pada GJA dapat memperbaiki simtomnya.
Di samping itu perlu untuk mengontrol penyakit yang mendasari GJA dan juga mengatasi penyakit yang menyertainya (co-morbidities), seperti: penyakit jantung koroner, penyakit valvular, dan lain-lain, dan komorbidnya seperti gagal ginjal, kelainan paru, aritmia dan lain-lain.
Terapi awal GJA meliputi :
• Oksigenasi dengan sungkup masker atau CPAP target SaO2, 94-96%
• Vasodilator dengan nitrat atau nitroprusid
• Terapi diuretik dengan furosemid atau loop diuretik lainnya (dimulai dengan bolus IV diteruskan dengan infus berkelanjutan, apabila diperlukan)
• Morfin dapat memperbaiki status fisik dan psikologis dan memperbaiki hemodinamik.
• Pemberian infus intravena dipertimbangkan apabila ada kecurigaan tekanan pengisian yang rendah (low filling pressure)
• Komplikasi metabolik yang lain dan kondisi spesifik organ lain harus diatasi.
Terapi spesifik lebih lanjut harus diberikan berdasarkan karakteristik klinis dan hemodinamik pasien yang tidak responsif terahdap terapi inisial, misalnya pemakaian obat inotropik, atau kalsium sensitizer untuk GJA berat.
Tujuan utama terapi GJA adalah koreksi hipoksia, meningkatkan curah jantung, perfusi ginjal, pengeluaran natrium dan output urin. Pasien dengan GJA dapat sembuh dengan sangat baik, tergantung etiologi dan patofisiologi yang mendasarinya.
II. Gagal Jantung Kronik
Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel.
Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.
ETIOLOGI DAN FAKTOR PENCETUS
Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner biasanya akibat infark miokard, yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan di Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan katup.
TATALAKSANA GAGAL JANTUNG
Dalam 10-15 tahun terakhir terlihat berbagai perubahan dalam pengobatan gagal jantung. Pengobatan tidak saja ditujukan dalam memperbaiki keluhan, tetapi juga diupayakan pencegahan agar tidak terjadi perubahan disfungsi jantung yang asimtomatik menjadi gagal jantung yang simtomatik. Selain dari pada itu upaya juga ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan diharapkan jangka panjang terjadi penurunan angka kematian.
Oleh karena itu dalam pengobatan gagal jantung kronik perlu dilakukan identifikasi objektif jangka pendek dan jangka panjang.
Dalam tulisan ini kami mengacu kepada petunjuk atau guidelines dari European Society of Cardioloty (ESC) tahun 2001 dan 2005 serta American Heart Association 2001.
Tingkat rekomendasi (Class) dan tingkat kepercayaan (evidence) mengikuti format petunjuk atau guidelines dari ESC 2005, dimana untuk rekomendasi:
Class I Adanya bukti/kesepakatan umum bahwa tindakan bermanfaat dan efektif.
Class II Bukti kontroversi
II.a. Adanya bukti bahwa tindakan cenderung bermanfaat
I.b Manfaat dan efektivitas kurang terbukti
Class III Tindakan tidak bermanfaat bahkan berbahaya
Sedangkan tingkat kepercayaan:
A data berasal dari uji random multipel, atau metaanalisis
B data berasal dari satu uji random klinik
C Konsensus, pendapat para pakar, uji klinik kecil, studi retrospektif atau registrasi.
Upaya Pencegahan
Pencegahan gagal jantung, harus selalu menjadi objektif primer terutama pada kelompok dengan risiko tinggi.
• Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard, faktor risiko jantung koroner.
• Pengobatan infark jantung segera di triase, serta pencegahan infark ulangan.
• Pengobatan hipertensi yang agresif.
• Koreksi kelainan kongenital serta penyakit jantung katup.
• Memerlukan pembahasan khusus
• Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi penyebab yang mendasari, selain modulasi progresi dari disfungsi asimtomatik menjadi gagal jantung.
PENANGANAN GAGAL JANTUNG KRONIK
Pendekatan terapi pada gagal jantung dalam hal ini disfungsi sistolik dapat berupa:
• Saran umum, tanpa obat-obatan
• Pemakaian obat-obatan
• Pemakaian alat, dan tindakan bedah
Penatalaksanaan Umum, Tanpa Obat-obatan
• Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan.
• Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas seksual, serta rehabilitasi.
• Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan kebiasaan alkohol.
• Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba.
• Mengurangi berat badan pada pasien dengan obesitas.
• Hentikan kebiasaan merokok.
• Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas dan humiditas memerlukan perhatian khusus.
• Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan menghindari obat-obat tertentu seperti NSAID, antiaritmia klas I, verapamil, diltiazem, dihidropiridin efek cepat, antidepresan trisiklik, steroid.
Pemakaian Obat-obatan
• Angiotensin-converting enzyme inhibitor/penyakit enzim konversi angiotensin
• Diuretik • Penyekat beta • Antagonis reseptor aldesteron • Antagonis reseptor angiotensin II • Glisosida jantung • Vasodilator agents (nitrat/hidralazin) • Nesiritid, merupakan peptid natriuretik tipe B • Obat inotropik positif, dobutamin, milrinon, enoksimon • Calcium sensitizer, levosimendan • Antikoagulan • Anti aritmia • Oksigen |
Pemakaian Alat dan Tindakan Bedah
• Revaskularisasi (perkutan, bedah) • Operasi katup mitral • Aneurismektomi • Kardiomioplasti • External cardiac support • Pacu jantung, konvensional, resinkronisasi pacu jantung biventrikular • Implantable cardioverter defibrillators (ICD) • Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart • Ultrafiltrasi, hemodialisis |
Terapi Farmakologi
Angiotensin-coverting enzyme inhibitors/penyekat enzim konversi angiotensin.
• Dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa keluhan dengan fraksi ejeksi 40-45% untuk meningkatkan survival, memperbaiki simtom, mengurangi kekerapan rawat inap di rumah sakit (I, A)
• Harus diberikan sebagai terapi inisial bila tidak ditemui retensi cairan. Bila disertai retensi cairan harus diberikan bersama diuretik (I, B).
• Harus segera diberikan bila ditemui tanda dan gejala gagal jantung, segera sesudah infark jantung, untuk meningkatkan survival, menurunkan angka reinfark serta kekerapan rawat inap.
• Harus dititrasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat sesuai dengan bukti klinis, bukan berdasarkan perbaikan simtom.
Glikosida Jantung (Digitalis)
• Merupakan indikasi pada fibrasi atrium pada berbagai derajat gagal jantung, terlepas apakah gagal jantung bukan atau sebagai penyebab. (I, B).
• Kombinasi digoksin dan penyekat beta lebih superior dibandingkan bila dipakai sendiri-sendiri tanpa kombinasi.
• Tidak mempunyai efek terhadap mortalitas, tetapi dapat menurunkan angka kekerapan rawat inap. (IIa, A).
Hidralazin-isosorbid Dinitrat
• Dapat dipakai sebagai tambahan, pada keadaan dimana pasien tidak toleran terhadap penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat angiotensin II (I, B). Dosis besar hiralazin (300 mg) dengan kombinasi isosorbid dinitrat 160 mg tanpa penyekat enzim konversi angiotensin dikatakan dapat menurunkan mortalitas. Pada kelompok pasien Afrika-Amerika pemakaian kombinasi isosorbid dinitrat 20 mg dan hiralazin 37,5 mg, tiga kali sehari dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas dan memperbaiki kualitas hidup.
Obat Penyakit Kalsium
• Pada gagal jantung sistolik penyekat kalsium tidak direkomendasi, dan dikontraindikasikan pemakaian kombinasi dengan penyekat beta (III, C).
• Felodipin dan amlodipin tidak memberikan efek yang lebih baik untuk survival bila digabung dengan obat penyekat enzim konversi angiotensin dan diuretik, (III, A). Data jangka panjang menunjukkan efek netral terhadap survival, dapat dipertimbangkan sebagai tambahan obat hipertensi bila kontrol tekanan darah sulit dengan pemakaian nitrat atau penyekat beta.
Nesiritid
Merupakan klas obat vasodilator baru, merupakan rekombinan otak manusia yang dikenal sebagai natriuretik peptida tipe . Obat ini identik dengan hormon endogen dari ventrikel, yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena dan koroner, dan menurunkan pre dan afterload, meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik.
Sejauh ini belum banyak data klinis yang menyokong pemakaian obat ini.
Inotropik Positif
• Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak dianjurkan karena meningkatkan mortalitas (III, A).
• Pemakaian intravena pada kasus berat sering digunakan, namun tidak ada bukti manfaat, justru komplikasi lebih sering muncul. (II b, C).
• Penyekat fosfodiesterase, seperti milrinon, enoksimon eefktif bila digabung dengan penyekat beta, dan mempunyai efek vasodilatasi perifer dan koroner. Namun disertai juga dengan efek takiaritmia atrial dan ventrikel, dan vasodilatsi berlebihan dapat menimbulkan hipotensi.
• Levosimendan, merupakan sensitisasi kalsium yang baru, mempunyai efek vasodilatasi namun tidak seperti penyekat fosfodiesterase, tidak menimbulkan hipotensi. Uji klinis menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan dobutamin.
Anti Trombotik
• Pada gagal jantung kronik yang disertai fibrilasi atrium, riwayat fenomena tromboemboli, bukti adanya trombus yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat dianjurkan (I, A).
• Pada gagal jantung kronik dengan penyakit jantung koroner, dianjurkan pemakaian antiplatelet. (II a, B).
• Aspirin harus dihindari pada perawatan rumah sakit berulang dengan gagal jantung yang memburuk.
Anti Aritmia
• Pemakaian selain penyekat beta tidak dianjurkan pada gagal jantung kronik, kecuali pada atrial fibrilasi dan ventrikel takikardi
• Obat aritmia klas I tidak dianjutkan
• Obat anti aritmia klas II (penyekat beta) terbukti menurunkan kejadian mati mendadak (I, A) dapat dipergunakan sendiri atau kombinasi dengan amiodaron (IIa, C).
• Anti aritmia klas III, amiodaron efektif untuk supraventrikel dan ventrikel aritmia (I,A) amiodaron rutin pada gagal jantung tidak dianjurkan.
Suatu data survei di Eropa menunjukkan bahwa pemakaian obat-obat pada gagal jantung kronik masih belum maksimal, demikian juga yang terjadi dalam praktek sehari-hari di Indonesia.