CONGESTIVE HEART FAILURE

 

BAB II

CONGESTIVE HEART FAILURE

2.1       PENDAHULUAN 

      Gagal jantung Kongestif ( Congestive Heart Failure/ CHF ) merupakan salah satu penyakit kardiovaskular dengan prevalensi yang terus meningkat. Gagal jantung mempengaruhi lebih dari 5.2 juta pernduduk amerika, dan lebih dari 550 ribu kasus baru yang didiagnosis tiap tahunnya. Tiap tahunnya gagal jantung bertanggung jawab terhadap hampir 1 juta hospitalisasi. Mortalitas rata – rata rawatan yang dilaporkan pada 3 hari, 12 bulan, dan 5 tahun pada pasien yang dirawat di rumah sakit masing –masing adalah 12%, 33%, dan 50%. Rata – rata yang mengalami hospitalisasi kembali adalah 47% dalam 9 bulan.1

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1%  laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 – 3,7 perseribu penderita pertahun. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung.2

Beban ekonomi terhadap gagal jantung masih besar. Pada tahun 2007, biaya langsung dan tidak langsung yang dialokasikan untuk gagal jantung adalah 33.2 juta dolar. Biaya hospitalisasi untuk bagian yang lebih besar sekitar 54%.1

Kurangnya kepatuhan terhadap rekomendasi diet atau terapi obat merupakan penyebab paling umum dimana pasien gagal jantung masuk ke instalasi gawat darurat. Sekitar sepertiga kunjungan ke instalasi gawat darurat merupakan akibat ketidakpatuhan tersebut.1

Data yang diperoleh dari beberapa studi mengenai beberapa penggolongan klinis terhadap pasien gagal jantung yang dirawat di rumah sakit dengan perburukan gagal jantung, studi ini menunjukan bahwa mayoritas pasien yang dirawat dengan gagal jantung memiliki bukti hipertensi sistemik pada saat  masuk rumah sakit dan umumnya mengalami Left Ventricular Ejection Fraction (LVEF).3

    Selama 20 tahun terakhir, jumlah dikeluarkan dari rumah sakit yang terkait dengan gagal jantung telah meningkat 155%, yang terutama disebabkan oleh meningkatnya populasi geriatri dan perawatan yang meningkat karena adanya infark miokard akut.4

Kejadian  gagal  jantung  akan  semakin meningkat  di  masa  depan  karena  semakin bertambahnya  usia  harapan  hidup  dan berkembangnya  terapi  penanganan  infark  miokard mengakibatkan  perbaikan  harapan  hidup  penderita dengan penurunan fungsi jantung.5

            Gagal  jantung  susah  dikenali  secara  klinis, karena  beragamnya  keadaan  klinis  serta  tidak spesifik serta hanya sedikit tanda – tanda klinis pada tahap  awal  penyakit.  Perkembangan  terkini memungkinkan  untuk  mengenali  gagal  jantung secara  dini  serta  perkembangan  pengobatan  yang memeperbaiki  gejala  klinis,  kualitas  hidup, penurunan  angka  perawatan,  memperlambat progresifitas  penyakit  dan  meningkatkan kelangsungan hidup.5

2.2       DEFINISI SERTA KLASIFIKASI 

            Gagal  jantung didefinisikan  sebagai kondisi dimana  jantung  tidak  lagi  mampu  memompakan darah  ke  jaringan untuk memenuhi metabolism tubuh walaupun darah balik masih normal. Keadaan  ini  dapat timbul  dengan  atau  tanpa  penyakit  jantung. Gangguan  fungsi  jantung  dapat  berupa  gangguan fungsi  diastolik  atau  sistolik,  gangguan  irama jantung, atau ketidak sesuaian preload dan afterload. Keadaan  ini  dapat  menyebabkan  kematian  pada pasien.6

             Beberapa  sistem  klasifikasi  telah  dibuat untuk  mempermudah  dalam  pengenalan  dan penanganan  gagal  jantung.  Sistem  klasifikasi tersebut  antara  lain  pembagian  berdasarkan  Killip yang  digunakan  pada  Infark  Miokard  Akut, klasifikasi  berdasarkan  tampilan  klinis  yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan NYHA.7

 

  1. Klasifikasi fungsional NYHA ( New York Heart Assoaciation )

Klasifikasi fungsional gagal jantung berdasakan kelugah sesak nafas menurut New York Heart Association dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Kelas I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau sesak
Kelas II Terdapat batas aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas
Kelas III Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, paplpitasi atau sesak.
Kelas IV Tidak terdapat batasan aktifitas fisik tanpa keluhan, terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas

Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association

  1. Klasifikasi ACC  / AHA ( American College of Cardiology / American College Heart Association )
Stadium A Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat gangguan fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
Stadium B Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala
Stadium C Gagal jantung yang symtomatis berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang mendasari
Stadium D Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gagal jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal

Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung menurut American College of Cardiology / American College Heart Association

  1. Klasifikasi KILLIP
Derajat I Tanpa gagal jantung
Derajat II Gagal  jantung  dengan  ronki  basah  halus  di basal  paru,  S3 gallop  dan  peningkatan tekanan vena pulmonalis
Derajat III Gagal  jantung  berat  dengan  edema  paru seluruh lapangan paru.
Derajat IV Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah  sistolik 90     mmHg)  dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis)

            Tabel 3. Klasifikasi gagal jantung menurut KILLIP

  1. Klasifikasi CSS ( Canadian Cardiovaskular Society)

Klasifikasi menurut CCS (Canadian Cardiovascular Society), mengklasifikasikan pasien dengan gejala angina dalam beberapa kelompok berdasarkan keparahan dari gejalanya dapat dilihat pada Tabel 4.

Temuan klinis Tanda Grade
Tidak ada keterbatasan aktivitas biasa Aktivitas fisik biasa (seperti berjalan atau naik tangga) tidak menyebabkan angina. Angina dapat terjadi dengan pekerjaan berat yang cepat atau lama atau rekreasi. I
sedikit keterbatasan aktivitas biasa Angina pektoris dapat terjadi dengan:

• berjalan atau naik tangga dengan cepat;

• mendaki berjalan menanjak, berjalan atau tangga setelah makan atau di angin dingin atau di bawah stres emosional;

• berjalan dua blok dari tingkat di kecepatan normal dan dalam kondisi normal

menaiki tangga lebih dari biasanya dengan kecepatan normal dan dalam kondisi normal

II
keterbatasan aktivitas fisik biasa Angina dapat terjadi setelah berjalan pada tingkat 1-2 blok atau menaiki tangga 1 dalam kondisi normal pada kecepatan normal III
tidak mampu melakukan aktivitas fisik angina dapat hadir pada saat istirahat IV

Tabel. 4  Klasifikasi CSS ( Canadian Cardiovaskular Society) 6

 

 

E.Klasifikasi Stevenson

Klasifikasi  Stevenson menggunakan  tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi.  Kongesti  didasarkan  adanya  ortopnea, distensi  vena  juguler,  ronki  basah,  refluks  hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada  manuver  valsava.  Status  perfusi  ditetapkan berdasarkan  adanya  tekanan  nadi  yang  sempit, pulsus  alternans,  hipotensi  simtomatik,  ekstremitas dingin  dan  penurunan  kesadaran.  Pasien  yang mengalami kongesti disebut basah  (wet) yang  tidak disebut  kering  (dry).  Pasien  dengan  gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas  (warm).  Berdasarkan  hal  tersebut  penderita dibagi menjadi empat kelas, yaitu:

Kelas I (A) kering dan hangat (dry – warm)
Kelas II (B) basah dan hangat (wet – warm)
Kelas III (C) kering dan dingin (dry – cold)
Kelas IV (D) basah dan dingin (wet – cold)

Tabel 5. Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif menurut Stevenson

2.3       ETIOLOGI

              Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal.  Secara  epidemiologi  cukup  penting  untung mengetahui penyebab dari gagal  jantung, di negara berkembang  penyakit  arteri  koroner  dan  hipertensi merupakan  penyebab  terbanyak  sedangkan  di negara  berkembang  yang  menjadi  penyebab terbanyak  adalah  penyakit  jantung  katup  dan penyakit  jantung  akibat malnutrisi.6

            Pada  beberapa keadaan  sangat  sulit  untuk  menentukan  penyebab dari  gagal  jantung.  Terutama  pada  keadaan  yang terjadi bersamaan pada penderita.    Penyakit  jantung koroner pada Framingham Study  dikatakan  sebagai  penyebab  gagal  jantung pada  46%  laki-laki  dan  27%  pada wanita. Faktor  risiko  koroner  seperti  diabetes  dan  merokok  juga merupakan  faktor  yang  dapat  berpengaruh  pada perkembangan  dari  gagal  jantung.  Selain  itu  berat badan  serta  tingginya  rasio  kolesterol  total  dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.  Hipertensi  telah  dibuktikan  meningkat-kan risiko  terjadinya  gagal  jantung  pada  beberapa penelitian.  Hipertensi  dapat  menyebabkan  gagal jantung  melalui  beberapa  mekanisme,  termasuk hipertrofi  ventrikel  kiri.  Hipertensi  ventrikel  kiri dikaitkan  dengan  disfungsi  ventrikel  kiri  sistolik dan  diastolik  dan  meningkatkan  risiko  terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia  baik  itu  aritmia  atrial  maupun  aritmia ventrikel.  Ekokardiografi  yang  menunjukkan  hipertrofi  ventrikel  kiri  berhubungan  kuat  dengan perkembangan gagal jantung.8

            Penyakit  katup  sering  disebabkan  oleh penyakit  jantung  rematik, walaupun  saat  ini  sudah mulai  berkurang  kejadiannya  di  negara  maju. Penyebab  utama  terjadinya  gagal  jantung  adalah regurgitasi  mitral  dan  stenosis  aorta.  Regusitasi  mitral  (dan  regurgitasi  aorta)  menyebabkan kelebihan  beban  volume  (peningkatan  preload) sedangkan  stenosis  aorta  menimbulkan  beban tekanan (peningkatan afterload).9

             Aritmia  sering  ditemukan  pada  pasien dengan  gagal  jantung  dan  dihubungkan  dengan kelainan  struktural  termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial  fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.9

            Alkohol dapat berefek secara  langsung pada jantung, menimbulkan  gagal  jantung  akut maupun gagal  jantung  akibat  aritmia  (tersering  atrial fibrilasi). Konsumsi  alkohol  yang  berlebihan  dapat menyebabkan  kardiomiopati  dilatasi  (penyakit  otot jantung  alkoholik).  Alkohol  menyebabkan  gagal jantung  2  –  3%  dari  kasus.  Alkohol  juga  dapat menyebabkan  gangguan  nutrisi  dan  defisiensi tiamin.  Obat  –  obatan  juga  dapat  menyebabkan gagal  jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan  obat  antivirus  seperti  zidofudin  juga  dapat menyebabkan  gagal  jantung  akibat  efek  toksik langsung terhadap otot jantung.7

2.4       PATOFISIOLOGI

            Pada awal gagal jantung, akibat cardiac output yang rendah, didalam tubuh terjadi aktivitas saraf simpatis dan system rennin angiotensin-aldosteron, serta penglepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Pada  disfungsi  sistolik  terjadi  gangguan pada  ventrikel  kiri  yang  menyebabkan  terjadinya penurunan  cardiac  output.  Hal  ini  menyebabkan aktivasi  mekanisme  kompensasi  neurohormonal, sistem Renin  – Angiotensin  – Aldosteron    (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang  bertujuan  untuk  memperbaiki  lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.10

Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor  menjaga  cardiac  output  dengan meningkatkan  denyut  jantung,  meningkatkan kontraktilitas  serta  vasokonstriksi  perifer (peningkatan  katekolamin).  Apabila  hal  ini  timbul berkelanjutan  dapat menyeababkan  gangguan  pada fungsi  jantung.  Aktivasi  simpatis  yang  berlebihan dapat  menyebabkan  terjadinya  apoptosis  miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.10

Stimulasi  sistem  RAA  menyebabkan penigkatan konsentrasi  renin, merupakan vasokonstriktor  renal  yang  poten    (arteriol  eferen) dan  sirkulasi  sistemik  yang merangsang  pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus  vagal  dan merangsang  pelepasan  aldosteron. Aldosteron  akan menyebabkan  retensi  natrium  dan air  serta meningkatkan  sekresi kalium. Angiotensin II  juga  memiliki  efek  pada  miosit  serta  berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.9,11

Terdapat  tiga  bentuk  natriuretic  peptide  yang berstruktur  hampir  sama  yeng memiliki  efek  yang luas  terhadap  jantung,  ginjal  dan  susunan  saraf pusat.  Atrial  Natriuretic  Peptide  (ANP)  dihasilkan di  atrium  sebagai  respon  terhadap  peregangan menyebabkan  natriuresis  dan  vasodilatsi.  Pada manusia  Brain  Natriuretic  Peptide  (BNO)  juga dihasilkan  di  jantung,  khususnya  pada  ventrikel, kerjanya  mirip  dengan  ANP.  C-type  natriuretic peptide  terbatas  pada  endotel  pembuluh  darah  dan susunan  saraf  pusat,  efek  terhadap  natriuresis  dan vasodilatasi  minimal.  Atrial  dan  brain  natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume  dan  kelebihan  tekanan  dan  bekerja antagonis  terhadap  angiotensin  II  pada  tonus vaskuler,  sekresi  ladosteron dan  reabsorbsi natrium di  tubulus  renal.  Karena peningkatan  natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang  menunjukkan  perannya  sebagai  marker diagnostik  dan  prognosis,  bahkan  telah  digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.12

Disfungsi  diastolik  merupakan  akibat gangguan  relaksasi  miokard,  dengan  kekakuan dinding  ventrikel  dan  berkurangnya  compliance ventrikel  kiri  menyebabkan  gangguan  pada   pengisian  ventrikel  saat  diastolik.  Penyebab tersering  adalah  penyakit  jantung  koroner, hipertensi  dengan  hipertrofi  ventrikel  kiri  dan kardiomiopati  hipertrofik,  selain  penyebab  lain seperti  infiltrasi  pada  penyakit  jantung  amiloid.13

Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang  masih  normal.  Pada  penderita  gagal  jantung sering  ditemukan  disfungsi  sistolik  dan  diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.14

 

2.5       DIAGNOSIS

2.5.1 Gejala Klinis

             Secara  klinis  pada  penderita  gagal  jantung dapat  ditemukan  gejala  dan  tanda  seperti  sesak nafas  saat  aktivitas,  edema  paru,  peningkatan  JVP, hepatomegali,  edema  tungkai.10

 

 

 

            Secara  lebih rinci dapat dilihat di Tabel 6 :

Gambaran klinis gagal jantung kiri Gambaran klinis gagal jantung kanan
Gejala :

  1. Penurunan kapasitas aktivitas
  2. Dipsnu (PND)
  3. Letargi atau kelelahan
  4. Penurunan nafsu makan dan berat badan

Tanda :

  1. Kulit lembab
  2. TD meningkat, rendah atau normal
  3. Denyut nadi (takikardi/aritmia)
  4. Pergeseran apeks
  5. Efusi pleura
Gejala :

  1. Pembengkakan pergelangan kaki
  2. Dipsnu (bukan PND)
  3. Nyeri dada
  4. Penurunan aktivitas

Tanda :

  1. Denyut nadi meningkat
  2. Peningkatan JVP
  3. Edema
  4. Hepatomegali dan asites
  5. Gerakan bergelombang parasternal
  6. S3 atau S4 RV
  7. Efusi pleura

Tabel 6. Gambaran klinis Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri

Selain itu kriteria Firmingham dapat digunakan untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Menurut Framingham kriterianya gagal jantung kongestif ada 2 kriteria yaitu kriteria mayor dan kriteria minor. Adapun kriterianya adalah sebagai berikut:10

  1. Kriteria mayor terdiri dari:

1) Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea

2) Peningkatan vena jugularis

3) Ronchi basah tidak nyaring

4) Kardiomegali

5) Edema paru akut

6) Irama derap S3

7) Peningkatan tekanan vena > 16 cm H2O

  1. Kriteria minor terdiri dari:

1) Edema pergelangan kaki

2) Batuk malam hari

3) Dyspnea

4) Hepatomegali

5) Efusi pleura

6) Kapasitas vital berkurang menjadi ? maksimum

7) Takikardi (>100 x/ menit)

Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor harus ada di saat bersamaan

2.5.2  Pemeriksaan Penunjang

            Pemeriksaan penunjang  yang  dapat  dikerjakan  untuk mendiagnosis adanya gagal  jantung antara  lain foto thorax,  EKG  12  lead,  ekokardiografi,  pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru.5,15,16

            Pada  pemeriksaan  foto  dada  dapat ditemukan  adanya  pembesaran  siluet  jantung (cardio  thoraxic  ratio  >  50%),  gambaran  kongesti vena  pulmonalis  terutama  di  zona  atas  pada  tahap awal,  bila  tekanan  vena  pulmonal  lebih  dari  20 mmHg  dapat  timbul  gambaran  cairan  pada  fisura horizontal  dan  garis  Kerley  B  pada  sudut kostofrenikus.  Bila  tekanan  lebih  dari  25  mmHg didapatkan  gambaran  batwing  pada  lapangan  paru yang menunjukkan  adanya  udema  paru  bermakna. Dapat pula  tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi  bila  unilateral,  yang  lebih  banyak  terkena adalah bagian kanan.11

            Pada  elektrokardiografi  12  lead  didapatkan gambaran  abnormal  pada  hampir  seluruh  penderita dengan  gagal  jantung, meskipun  gambaran  normal dapat  dijumpai  pada  10%  kasus.  Gambaran  yang sering  didapatkan  antara  lain  gelombang  Q, abnormalitas  ST  –  T,  hipertrofi  ventrikel  kiri, bundle  branch  block  dan  fibrilasi  atrium.  Bila gambaran  EKG  dan  foto  dada  keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal  jantung  sebagai  penyebab  dispneu  pada pasien sangat kecil kemungkinannya.12

  Ekokardiografi  merupakan  pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi  dapat  menunjukkan  gambaran obyektif  mengenai  struktur  dan  fungsi  jantung. Penderita  yang  perlu  dilakukan  ekokardiografi adalah  :  semua pasien dengan  tanda  gagal  jantung, susah  bernafas  yang  berhubungan  dengan murmur, sesak  yang  berhubungan  dengan  fibrilasi  atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark  miokard  anterior,  hipertensi  tak  terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan  fungsi  sistolik,  fungsi  diastolik, mengetahui  adanya  gangguan  katup,  serta mengetahui risiko emboli.12

             Pemeriksaan  darah  perlu  dikerjakan  untuk menyingkirkan  anemia  sebagai  penyebab  susah bernafas,  dan  untuk  mengetahui  adanya  penyakit dasar  serta  komplikasi.  Pada  gagal  jantung  yang berat  akibat  berkurangnya  kemampuan mengeluarkan  air  sehingga  dapat  timbul hiponatremia  dilusional,  karena  itu  adanya hiponatremia  menunjukkan  adanya  gagal  jantung yang  berat.  Pemeriksaan  serum  kreatinin  perlu dikerjakan  selain  untuk  mengetahui  adanya gangguan  ginjal,  juga  mengetahui  adanya  stenosis arteri  renalis  apabila  terjadi  peningkatan  serum kreatinin  setelah  pemberian  angiotensin  converting enzyme  inhibitor  dan  diuretik  dosis  tinggi.  Pada  gagal  jantung  berat  dapat  terjadi  proteinuria.12,13

Hipokalemia  dapat  terjadi  pada  pemberian  diuretik tanpa  suplementasi  kalium  dan  obat  potassium sparring.  Hiperkalemia  timbul  pada  gagal  jantung berat  dengan  penurunan  fungsi  ginjal,  penggunaan ACE-inhibitor  serta  obat  potassium  sparring.  Pada gagal  jantung  kongestif  tes  fungsi  hati  (bilirubin, AST  dan  LDH)  gambarannya  abnormal  karena kongesti  hati.  Pemeriksaan  profil  lipid,  albumin serum  fungsi  tiroid  dianjurkan  sesuai  kebutuhan.11,17

             Pemeriksaan  radionuklide  atau  multigated ventrikulografi  dapat mengetahui  ejection  fraction, laju  pengisian  sistolik,  laju  pengosongan  diastolik, dan  abnormalitas  dari  pergerakan  dinding.11,17

Angiografi  dikerjakan  pada  nyeri  dada  berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui  gangguan  fungsi  yang  global  maupun segmental  serta  mengetahui  tekanan  diastolik, sedangkan  kateterisasi  jantung  kanan  untuk mengetahui  tekanan  sebelah  kanan  (atrium  kanan, ventrikel  kanan  dan  arteri  pulmonalis)  serta pulmonary artery capillary wedge pressure.11,17

2.6       PENANGANAN

             Penatalaksanaan  penderita  dengan  gagal jantung  meliputi  penalaksanaan  secara  non farmakologis  dan  secara  farmakologis,  keduanya dibutuhkan  karena  akan  saling  melengkapi  untuk penatalaksaan  paripurna  penderita  gagal  jantung. Penatalaksanaan  gagal  jantung  baik  itu  akut  dan kronik  ditujukan  untuk  memperbaiki gejala  dan progosis,  meskipun  penatalaksanaan  secara individual  tergantung  dari  etiologi  serta  beratnya kondisi.  Sehingga  semakin  cepat  kita  mengetahui penyebab  gagal  jantung  akan  semakin  baik prognosisnya.5,15

             Penatalaksanaan  non  farmakologis  yang dapat  dikerjakan  antara  lain  adalah  dengan menjelaskan  kepada  pasien mengenai  penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri.  Perubahan  gaya  hidup  seperti  pengaturan nutrisi  dan  penurunan  berat  badan  pada  penderita dengan  kegemukan.  Pembatasan  asupan  garam, konsumsi  alkohol,  serta  pembatasan  asupan  cairan perlu  dianjurkan  pada  penderita  terutama  pada kasus gagal  jantung kongestif berat. Penderita  juga dianjurkan  untuk  berolahraga    karena  mempunyai efek  yang  positif  terhadap  otot  skeletal,  fungsi otonom,  endotel  serta  neurohormonal  dan  juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap  kelengsungan  hidup  belum  dapat dibuktikan.  Gagal  jantung  kronis  mempermudah dan  dapat  dicetuskan  oleh  infeksi  paru,  sehingga vaksinasi terhadap influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik pada operasi dan  prosedur  gigi  diperlukan  terutama  pada penderita  dengan  penyakit  katup  primer  maupun pengguna katup prostesis.15

            Penatalaksanaan  gagal  jantung  kronis meliputi  penatalaksaan  non  farmakologis  dan farmakologis.  Gagal  jantung  kronis  bisa terkompensasi  ataupun  dekompensasi.  Gagal jantung terkompensasi biasanya stabil, dengan tanda retensi  air  dan  edema  paru  tidak  dijumpai. Dekompensasi  berarti  terdapat  gangguan  yang mungkin  timbul  adalah  episode  udema  paru  akut maupun  malaise,  penurunan  toleransi  latihan  dan sesak  nafas  saat  aktifitas.  Penatalaksaan  ditujukan  Gagal Jantung untuk  menghilangkan  gejala  dan  memperbaiki kualitas  hidup.  Tujuan  lainnya  adalah  untuk memperbaiki  prognosis  serta  penurunan  angka rawat.Obat – obat yang biasa digunakan untuk gagal jantung  kronis  antara  lain:  diuretik  (loop  dan thiazide),  angiotensin converting enzyme inhibitors,  blocker  (carvedilol,  bisoprolol,  metoprolol),  digoxin,  spironolakton,  vasodilator  (hydralazine /nitrat),  antikoagulan,  antiaritmia,  serta  obat  positif inotropik.16

Pada  penderita  yang  memerlukan  perawatan, restriksi  cairan  (1,5  –  2  l/hari)  dan  pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka  pendek  dapat  membantu  perbaikan  gejala karena  mengurangi  metabolisme  serta meningkatkan  perfusi  ginjal.  Pemberian  heparin subkutan  perlu  diberikan  pada  penderita  dengan imobilitas.  Pemberian  antikoagulan  diberikan  pada pemderita dengan  fibrilasi atrium, gangguan  fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel.18

Penderita  gagal  jantung  akut  datang  dengan gambaran  klinis  dispneu,  takikardia  serta  cemas, pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik  <  90 mmHg),  oliguria  serta  cardiac  output yang  rendah menunjukkan  bahwa  penderita  dalam kondisi  syok kardiogenik. Gagal  jantung akut yang berat  serta  syok  kardiogenik  biasanya  timbul  pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium  maupun  ventrikel)  atau  adanya  problem mekanis  seperti  ruptur  otot  papilari  akut  maupun defek septum ventrikel pasca infark.5

Gagal  jantung  akut  yang  berat  merupakan kondisi  emergensi  dimana  memerlukan penatalaksanaan  yang  tepat  termasuk  mengetahui penyebab,  perbaikan  hemodinamik,  menghilangan kongesti  paru,  dan  perbaikan  oksigenasi  jaringan.5

Menempatkan  penderita  dengan  posisi  duduk  dengan  pemberian  oksigen  konsentrasi  tinggi dengan  masker  sebagai  tindakan  pertama  yang dapat  dilakukan. Monitoring  gejala  serta  produksi kencing  yang  akurat  dengan  kateterisasi  urin  serta oksigenasi  jaringan  dilakukan  di  ruangan  khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan  adanya  asidosis  laktat  akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk.  Koreksi  hipoperfusi  memperbaiki  asidosis, pemberian  bikarbonat  hanya  diberikan  pada  kasus yang refrakter.18

Pemberian  loop  diuretik  intravena  seperti furosemid  akan  menyebabkan  venodilatasi  yang akan  memperbaiki  gejala  walaupun  belum  ada diuresis. Loop diuretik  juga meningkatkan produksi prostaglandin  vasdilator  renal.  Efek  ini  dihambat oleh prostaglandin  inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid,  sehingga  harus  dihindari  bila memungkinkan.5,15

Opioid  parenteral  seperti  morfin  atau  diamorfin  penting  dalam  penatalaksanaan  gagal jantung  akut  berat  karena  dapat  menurunkan kecemasan,  nyeri  dan  stress,  serta  menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat  juga menurunkan preload dan  tekanan  pengisian  ventrikel  serta  udem  paru. Dosis  pemberian  2  –  3  mg  intravena  dan  dapat diulang sesuai kebutuhan.5

Pemberian  nitrat  (sublingual,  buccal  dan intravenus)  mengurangi  preload  serta  tekanan pengisian  ventrikel  dan  berguna  untuk  pasien dengan  angina  serta  gagal  jantung.  Pada  dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis  yang  lebih  tinggi  menyebabkan  vasodilatasi arteri  termasuk  arteri  koroner.  Sehingga  dosis pemberian  harus  adekuat  sehingga  terjadi keseimbangan  antara  dilatasi  vena  dan  arteri  tanpa mengganggu  perfusi  jaringan.  Kekurangannya adalah  teleransi  terutama pada pemberian  intravena dosis  tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 – 24 jam.5

Sodium nitropusside dapat digunakan  sebagai vasodilator  yang  diberikan  pada  gagal  jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal  jantung yang disertai  krisis  hipertensi.  Pemberian  nitropusside dihindari  pada  gagal  ginjal  berat  dan  gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5 µg/kg/menit.5

Nesiritide  adalah  peptide  natriuretik  yang merupakan  vasodilator.  Nesiritide  adalah  BNP rekombinan  yang  identik  dengan  yang  dihasilkan ventrikel.  Pemberiannya  akan  memperbaiki hemodinamik  dan  neurohormonal,  dapat menurunkan  aktivitas  susunan    saraf  simpatis  dan menurunkan  kadar  epinefrin,  aldosteron  dan endotelin  di  plasma.  Pemberian  intravena menurunkan  tekanan  pengisian  ventrikel  tanpa meningkatkan  laju  jantung,  meningkatkan  stroke volume  karena  berkurangnya  afterload.  Dosis pemberiannya adalah bolus 2 µg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01 µg/kg/menit.5

Pemberian  inotropik  dan  inodilator  ditujukan pada gagal  jantung akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi  perifer.  Obat  inotropik  dan  /  atau vasodilator digunakan pada penderita gagal  jantung akut  dengan  tekanan  darah  85  –  100 mmHg.  Jika tekanan  sistolik  <  85  mmHg  maka  inotropik dan/atau  vasopressor  merupakan  pilihan. Peningkatan  tekanan  darah  yang  berlebihan  akan dapat  meningkatkan  afterload.  Tekanan  darah dianggap  cukup  memenuhi  perfusi  jaringan  bila tekanan arteri rata – rata > 65 mmHg.2,5

Pemberian dopamin < 2 µg/kg/mnt menyebabkan  vasodilatasi  pembuluh  darah  splanknik  dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 µg/kg/mnt akan merangsang reseptor  adrenergik  beta  sehingga  terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian 5  –  15  µg/kg/mnt  akan  merangsang  reseptor adrenergik  alfa  dan  beta  yang  akan meningkatkan laju  jantung  serta  vasokonstriksi.  Pemberian dopamin  akan  merangsang  reseptor  adrenergik ᵦ1 dan  ᵦ2,  menyebabkan  berkurangnya  tahanan vaskular  sistemik  (vasodilatasi)  dan  meningkatnya kontrkatilitas.  Dosis  umumnya  2  –  3  µg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5  –  15  µg/kg/mnt.  Pada  pasien  yang  telah mendapat  terapi  penyekat  beta,  dosis  yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 µg/kg/mnt.5

Phospodiesterase  inhibitor  menghambat penguraian  cyclic-AMP  menjadi  AMP  sehingga terjadi  efek  vasodilatasi  perifer  dan  inotropik jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone  dan  enoximone.  Biasanya  digunakan untuk  terapi  penderia  gagal  jantung  akut  dengan hipotensi yang  telah mendapat  terapi penyekat beta yang memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena  25  µg/kg  bolus  10  –  20 menit  kemudian infus 0,375 – 075 µg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25 – 0,75 µg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 µg/kg/mnt.5

Pemberian  vasopressor  ditujukan  pada penderita  gagal  jantung  akut  yang  disertai  syok kardiogenik  dengan  tekanan  darah  <    70  mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan  darah  <  90 mmHg  atau  terjadi  penurunan tekanan  darah  sistolik  30 mmHg  selama  30 menit. Obat  yang  biasa  digunakan  adalah  epinefrin  dan norepinefrin.  Epinefrin  diberikan  infus  kontinyu dengan  dosis  0,05  –  0,5  µg/kg/mnt.  Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 µg/kg/mnt.18

Penanganan  yang  lain  adalah  terapi  penyakit penyerta  yang  menyebabkan  terjadinya  gagal  jantung  akut  de  novo  atau  dekompensasi.  Yang tersering  adalah  penyakit  jantung  koroner  dan sindrom koroner akut. Bila penderita datang dengan hipertensi  emergensi  pengobatan  bertujuan  untuk menurunkan  preload  dan  afterload.  Tekanan  darah diturunkan  dengan menggunakan  obat  seperti  loop diuretik  intravena,  nitrat  atau  nitroprusside intravena  maupun  natagonis  kalsium  intravena (nicardipine). Loop diuretik diberkan pada penderita dengan  tanda  kelebihan  cairan. Terapi  nitrat  untuk menurunkan  preload  dan  afterload,  meningkatkan aliran  darah  koroner.  Nicardipine  diberikan  pada penderita  dengan  disfungsi  diastolik  dengan afterload  tinggi.  Penderita  dengan  gagal  ginjal, diterapi  sesuai  penyakit  dasar.  Aritmia  jantung harus diterapi.5

Penanganan  invasif  yang  dapat  dikerjakan adalah  Pompa  balon  intra  aorta,  pemasangan  pacu jantung,  implantable  cardioverter  defibrilator, ventricular  assist  device.  Pompa  balon  intra  aorta ditujukan  pada  penderita  gagal  jantung  berat  atau syok  kardiogenik  yang  tidak  memberikan  respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur  septum  interventrikel.  Pemasangan  pacu jantung  bertujuan  untuk  mempertahankan  laju jantung  dan  mempertahankan  sinkronisasi  atrium dan  ventrikel,  diindikasikan  pada  penderita  dengan bradikardia  yang  simtomatik  dan  blok  atrioventrikular  derajat  tinggi.  Implantable  cardioverter device bertujuan untuk mengatasi  fibrilasi ventrikel dan  takikardia  ventrikel. Vascular  Assist  Device merupakan  pompa  mekanis  yang  mengantikan sebgaian  fungsi  ventrikel,  indikasi  pada  penderita dengan  syok  kardiogenik  yang  tidak  respon terhadap terapi terutama inotropik.2,5

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. Applying Consensus Guidelines in the Management of acute decompensated heart failure. [monograph on the internet]. California : 41st ASHP Midyear Clinical Meeting; 2006 [cited 2011 Apr 10]. Available from ashpadvantage.com/website_images/pdf/adhf_scios_06.pdf.
  2. Maryono HH, Santoso A. Gagal Jantung. Jurnal Penyakit Dalam. 2007. (J Penyakit dalam): 85-94.
  3. Lindenfeld J. Evaluation and Management of Patients with Acute Decompensated Heart Failure. Journal of Cardiac Failure [serial on the internet]. 2010 Jun [cited 2011 Apr 10]; 16 (6): [about 23 p]. Available from http://www.heartfailureguideline.org/_assets/document/2010_heart_failure_guideline_sec_12.pdf.
  4. Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Journal of Heart Failure [serial on the internet]. 2008 Aug [cited 2011 Apr 11]. Available from http://www.oxfordjournals.org/content/10/10/933.full.pdf
  5. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi  S,  Soerianata    Diagnosis  dan Tatalaksana Praktis Gagal Jantung Akut. 2007
  6. Goldman L, Hashimoto B, Cook EF, Loscalzo A. Comparative reproducibility and validity of systems for assessing cardiovascular functional class: advantages of a new specific activity scale. Circulation. 1981;64:1227-1234.
  7. Davis RC,  Hobbs  FDR,  Lip    ABC  of  heart  failure: History  and epidemiology. BMJ 2000;320:39-42
  8. Sitompul B, Sugeng JI. Buku Ajar Kardiologi-Gagal jantung. Jakarta: Penerbit Gaya baru. 2002. Halaman 115-126.
  9. Horwich TB, and Fonarow Glucose, Obesity, Metabolic Syndrome, and Diabetes: Relevance to Incidence Heart Failure. J. Am. Coll. Cardiol. 2010;55;283-293
  10. Davis RC,  Hobbs  FDR,  Lip   ABC  of  heart  failure: History  and epidemiology. BMJ 2000;320:39-42.
  11. Lip GYH,  Gibbs  CR,  Beevers    ABC  of  heart failure: aetiology. BMJ 2000;320:104-7.
  12. Kabo P, Sjukri K. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung untuk Dokter Umum: Gagal jantung Kongestif. 1996. Jakarta: Balai Penerbit FK UI:187-205.
  13. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH.ABC of  heart  failure:    BMJ 2000;320:167-70.
  14. Hobbs FDR,  Davis  RC,  Lip    ABC  of heart  failure: heart  failure  in general practice. BMJ 2000;320:626-9.
  15. Watson RDS, Gibbs CR, Lip GY H. ABC of heart failure:  clinical  features  and complications. BMJ 2000;320:236-9.
  16. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic  heart  failure  in  the  older  British Medical Bulletin 2005;75 and 76:  49-62.
  17. Abraham WT,  Scarpinato    Higher expectations  for management of heart  failure: current  recommendations. J  Am  Board  Fam Pract 2002;15:39-49
  18. Harun S. Infark Miokard Akut. dalam : Sudoyo AW, Setiohadi B, Setiani S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2000 : Hal: 1090-1108.