Bahasa Dan Konstruksi Realitas

Critical linguistic terutama memandang bahasa sebagai praktek sosial, melalui mana suatu kelompok memantapkan dan menyebarkan ideologinya. Bahasa dilihat oleh Roger Fowler sebagai sistem klasifikasi. Bahasa menggambarkan bagaimana realitas dunia dilihat, memberikan kemungkinan seseorang untuk mengontrol dan mengatur pengalaman pda realitas sosial. Bahasa menyediakan aat bagaimana realitas itu harus dipahami oleh khalayak. Klasifikasi terjadi karena realitas begitu kompleksnya, sehingga orang kemudian membuat penyederhanaan dan abstraksi dari realitas tersebut.

Pada berbagai literatur linguistik, yang mengarah pada bagaimana cara menulis berita, jarang nahkan bisa dikatakan tidak ada yang mengetengahkan konstruksi realitas. Padahal pembuatan berita sangat lekat denga konstruksi realitas. Dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur utama. Ia merupakan instrument pokok untuk menceritakan realitas. Ia sebagai alat konseptualisasi dan alat narasi, begitu pentingnya bahasa, maka tidak ada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa ada bahasa. konstruksi realitas dapat dipahami sebagai penyusun realitas ( Construction of reality ) secara objektif oleh sipembuat berita. Pada tataran ini, pekerjaan jurnalis dan orang- orang yang terlibat didalamnya secara ekstern adalah penyusun realitas yang semula terpenggal – penggal ( acak) menjadi tersistematis dalam bentuk cerita yang mengalir, tidak lebih dan tidak kurang.

Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa juga bukan sekedar alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan pada publik. Praktek bahasa sekaligus rekonstruksi dan manipulasinya terdapat dalam media massa. Apapun yang dihadirkan mediabukan realitas sosial secara utuh, karena telah melalui proses gatekeeping. Dalam hal kemampuan media mempengaruhi konstruksi realitas tersebut dikenal teori agenda setting. Dengan begitu, penggunaan bahasa tertentu jelas berimplikasi terhadap kemunculan makna tertentu. Tesis utama teori ini adalah besarnya perhatian masyarakat terhadap isu tersebut. Bila suatu media apalagi sejumlah media menaruh sebuah peristiwa dalam headline. Faktanya, konsumen media jarang memperbincangkan peristiwa yang tidak dimuat oleh media, padahal bisa saja peristiwa yang tidak diberitakan itu penting bagi masyarakat.

Dalam teori ini, media dianggap sebagai trend setter. Media dipandang sebagai powerfull  ( perkasa ) dalam mempegaruhi masyarakat. Hal ini dilukiskan dalam dalil Walter Lippman  yang terkenal dengan World Out Side And Picture In Our Heads. Sejak lama Lippman menyadari fungsi media adalah pembentuk makna (  the meaning construction of the press ) ; bahwasannya interpretasi media masa terhadap berbagai peristiwa secara radikal dapat merubah interpretasi orang tentang realitas dan pola tindakan mereka.

Gambaran kehidupan media tidak pernah lepas dari sistem politik sebagai tempatnya hidup. Sistem politik hanya mempengaruhi cara media mengkonstruksi realitas. Sistem politik memiliki andil yang besar, diantaranya sistem otoritarian, libertarian, tanggung jawab sosial, dan komunis. Hal ini sangat terkait dengan proses kontrol dan sensor diri yang disesuaikan dengan kekuasaan yang mengakar dalam tubuh media.

Membuat klasifikasi; bahasa pada dasarnya selalu menyediakan klasifikasi. Realitas tertentu dikategorikan sebagai ini, dan akhirnya dibedakan dengan realitas yang lain. Klasifikasi terjadi karena relaitas begitu kompleksnya, sehingga seseorang  membuat penyederhanaan, abstraksi dari realitas tersebut. Klasifikasi menyediakan arena untuk mengontrol informasi dan pengalaman. Sebagai contoh dalam klasifikasi adalah tindakan tentara interfet ketika berada di Timur – Timur yang memborgol, menodong, dan menggeledah setiap penduduk Timur – Timur yang datang. Tindakan itu dapat dikatakan sebagai intervensi        ( campur tangan pihak asing dalam menangani kerusuhan di Indonesia ), dapat juga dikatakan sebagai “ menjalankan tugas “ ( apa yang dilakukan oleh interfet tersebut sesuai denganm misisnya untuk memberantas setiap pengacau di Timur – Timur ). Kita lihat disini bagaimana kata – kata tersebut menyediakan klasifikasi bagaimana realitas dipahami. Klasifikasi itu bermakna peristiwa seharusnya dilihat dalam sisi yang satu bukan yang lain. Kata kemudian memaksa kita untuk melihat bagaimana realitas seharusnya dipahami.

Membatasi pandangan, menurut Fowler dan kawan – kawan, bahasa pada dasarnya bersifat membatasi. Kita diajak berfikir untuk memahami seperti itu, bukan yang lain. Klasifikasi menyediakan arena untuk mengontrol informasi dan pengalaman. Kosakata berpengaruh terhadap bagaimana kita memahami dan memaknai suatu peristiwa. Hal ini karena khalayak  tidak  mengalami atau mengikuti suatu peristiwa secara langsung.

Pertarungan wacana, kosakata haruslah dipahami dalam konteks pertarungan wacana. Dalam suatu pemberitaan, setiap pihak mempunyai versi atau pendapat sendiri – sendiri atas suatu masalah. Mereka mempunyai klaim kebenaran, dasar pembenar dan penjelas mengenai suatu masalah. Mereka tidak hanya mempunyai versi yang berbeda, tetapi juga berusaha agar versinyalah yang dianggap paling benar dan lebih menentukan dalam mempengaruhi opini publik.  Dalam upaya untuk memenangkan penerimaan publik tersebut, masing – masing pihak menggunakan kosa kata sendiri. Dan berusaha memaksakan agar kosa kata itulah yang diterima oleh publik. Salah satu contoh yang bagus adalah  pilihan kata yang mengenai kerusuhan Ambon. Media cetak Republika menggunakan kosa kata perang; pembantaian, pembumihangusan, dan lain – lain. Sedangkan media cetak Kompas menggunakan pilihan kata tragedi, insiden, kasus, atau masalah.

Marjinalisas adalah argumen dari Roger Fowler dan kawan – kawan merupakan pilihan linguistik tertentu kata, kalimat, dan preposisi membawa nilai ideologis tertentu. Manusia dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi membawa implikasi ideologi tertentu. Disini pemakaian kata, kalimat, susunan dan bentuk kalimat tertentu, dan preposisi dipandang semata sebagai persoalan teknis tata bahasa atau linguistik, tetapi ekspresi atau ideologis ; upaya untuk membentuk pendapat umum, meneguhkan, dan membenarkan pihak  sendiri dan mengucilkan pihak lain. Pemakaian bahasa dipandang tidak netral, karena membawa implikasi tertentu.

Analog marjinalisasi misalnya, peristiwa pemerkosaan. Dalam peristiwa itu terdapat tiga angle penting; korban, pelaku, dan peristiwa. Pilihan kosa kata bukan semata pilihan teknis bahasa, tetapi sangat berkaitan erat dengan ideologi, bagaimana wanita dan laki-laki digambarkan. Pilihan kata gadis yang suka keluar malam atau gadis yang memakai pakaian ketet,dapat diasosiasikan buruk atau pembenaran kepada pemerkosaan itu sendiri. Gambaran tersebut menunjukkan bagaimana penggambaran itu menudutkan/memarjinalkan perempuan. Kata mengagah,tidak memiliki penghukuman tetapi sebaliknya, kata ini menunjukkan tindak kejahatan itu membuat gagah.