TUGAS MATA KULIAH PENYAKIT TROPIK “Patogenesis dan Patofisiologi”

TUGAS MATA KULIAH PENYAKIT TROPIK
“Patogenesis dan Patofisiologi”

Kelompok 10
Agung Prabowo Kusumo 25010113120044
Agustina Prima Popylaya 25010113120080
Elfa Yesi Giovani 25010113120133
Syarifah Hidayatullah 25010113140309
Wana Wandhana Putri 25010113130424
Supatmi Dewi 25010115183015

Peminatan Epidemiologi dan Penyakit Tropik 2016

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016

A. Definisi Patogenesis dan Patofisiologi Penyakit
a. Definisi Patogenesis
Patogenesis penyakit merupakan proses berjangkitnya suatu penyakit mulai dari awal terjadinya infeksi hingga reaksi akhir. Atau dapat dikatakan bahwa patogenesis menjelaskan tentang perkembangan, kelangsungan/evolusi penyakit yang meliputi mekanisme terjadinya penyakit dan timbulnya kelainan-kelainan akibat penyakit tersebut. Misalnya proses terjadinya radang, degenerasi atau terjadinya penyakit seperti TB yang awalnya akan menunjukkan mekanisme masuknya kuman tuberculosis dan akhirnya membawa kelainan-kelainan yang ditimbulkan.
b. Definisi Patofisiologi
Patofisiologis menggambarkan reaksi fungsi tubuh terhadap suatu penyakit yang masuk ke tubuh manusia atau membahas perubahan yang terjadi pada berbagai fungsi tubuh akibat suatu penyakit. Patofisiologis merupakan ilmu yang mempelajari perubahan fisiologis pada tubuh manusia akibat proses patologis. Patologis sendiri dalam arti luas adalah bagian dari ilmu kedokteran yang mengamati sebab dan akibat terjadinya penyakit atau kelainan pada tubuh. Patofisiologis fokus pada mekanisme penyakit secara dinamik sehingga menampakkan tanda dan gejala.
B. Perlunya Pengertian Tentang Patogenesis dan Patofisiologi dalam Pengendalian Penyakit
Manusia merupakan mesin yang sangat kompleks. Apabila sebuah mesin mendapat gangguan dari dalam atau luar maka mesin tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Begitu pula dengan manusia apabila seseorang terserang penyakit atau sedang sakit maka beberapa fungsi organ akan terganggu dan dampaknya orang tersebut tidak bisa melakukan aktivitas kesehariannya dengan optimal.
Dalam mempelajari patologi sering kali mendengari stilah pathogenesis dan patofisilogi. Kedua istilah tersebut menggambarkan proses terjadinya gangguan fungsi dari organ tubuh dan perkembangan penyakit yang menyerang manusia. Secara garis besar alasan mengapa kita perlu mengerti tentang patogenesis dan patofisiologi, diantaranya adalah :
a. Agar memahami kondisi seseorang sesuai dengan penyakit yang dialaminya dengan berbagai macam keluhan dan gejala klinis.
b. Sebagai dasar dalam menentukan tindakan medis yang cepat dan tepat.
c. Sebagai dasar dalam melakukan evaluasi terhadap tindakan medis yang sudah diberikan sebelumnya.
d. Agar mampu mengenal dan memahami konsep penyakit.
e. Agar memperoleh pengetahuan tentang kelainan-kelainan yang sering terjadi seseorang akibat penyakit yang diderita.
f. Agar memahami perkembangan atau evolusi penyakit yang menunjukkan mekanisme bagaimana penyakit terjadi pada seseorang.
g. Agar memahami proses terjadinya perubahan dan gangguan fungsi tubuh akibat adanya penyakit.
h. Jika kita mengetahui patogenesis dan patofisiologi penyakit, maka kita akan dengan mudah mengenali, menangani, dan mencegah penyakit tersebut.
Ada beberapa manfaat yang dapat kita peroleh dengan mempelajari patofisiologi dan pathogenesis, terutama dalam menanggulangi penyakit menular dan tidak menular antara lain :
a. Mencegah penularan
Beberapa penyakit menular, dapat menularkan penyakitnya sebelum menunjukan gejala pada pasien. Pemahaman kita tentang pathogenesis akan memberikan pengetahuan kepada kita mengenai proses terjadinya infeksi dan perkembangan penyakit dan akan membantu kita untuk mengrangi penularan pada kelompok beresiko.
b. Mempertahankan kondisi
Tidak jarang pasien yang mengalami komplikasi penyakit dalam tubuh. Kadangkala mempertahankan kondisi organ-organ dalam tubuh menjadi pilihan yang tepat dalam menangani beberapa penyakit seperti Diabetes, dan jantung Koroner.
c. Melakukan Intervensi
Intervensi yang tepat terhadap penyakit yang diderita oleh pasien akan memberikan pengaruh yang tepat terhadap kesembuhan, keselamatan dan mengurangi kematian yang diderita oleh pasien.
Penting mengetahui gambaran perkembangan penyakit dalam tubuh dan berkurangnya fungsi organ yang diserang karena akan membantu dalam proses penanganan pasien sehingga tingkat kesembuhan pasien akan tinggi. Selain itu para tenaga kesehatan yang bekerja di wilayah preventif akan dapat mengedukasi kepada masyrakat bagaimana proses perkembangan penyakit dan apa dampaknya secara menyeluruh sehingga masyarakat akan menyadari betapa pentingnya menjaga kesehatan dalam kehidupan sehari-hari.
C. Patogenesis dan Patofisiologis Penyakit Difteri dan Diabetes
a. Penyakit Difteri
Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularan melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi, dan kontak dengan carier melalui pernafasan atau droplet infection. Selain itu penyakit ini bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Corynebacterium difteri adalah organisme yang minimal melakukan invasif, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang lokal pada membran mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan eksotoksin paten yang tersebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah dan sistem limfatik.
Kuman masuk melalui mukosa atau kulit melekat serta berbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboksiterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida (lihat gambar). Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan fragmen B pada reseptor supaya fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.

Reseptor toksin difteri pada membran sel terkumpul dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel, dan selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke sitosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A dari ribosom. Bila rangkaian asam amino ini ditambah asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase (Elongation faktor-2) yang aktif. Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses :
NAD+ + EF2 (aktif) — toksin —> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-ribosil-EF2 yang inaktif.
Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, yang akan mengakibatkan sel mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman yang terjadi sebagai respon terjadi inflamasi lokal dan bersama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuknya membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.
Secara garis besar patogenisitas Corynebacterium difteri mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu :
1. Invasi dari jaringan lokal tenggorok, kemudian terjadi kolonisasi dan proliferasi bakteri.
2. Toksin difteri menyebabkan kematian sel dan jaringan eukaryotic karena terjadi hambatan sintesa protein dalam sel.
3. Meskipun toksin bertanggungjawab untuk gejala penyakit, namun virulensi kuman tidak dapat dikaitkan dengan toksigenitas saja. Pada saat bakteri berkembang biak, toksin merusak jaringan lokal yang menyebabkan kematian dan kerusakan jaringan. Ciri khas dari penyakit ini ialah pembengkakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh darah melebar mengeluarkan leukosit dan sel epitel yang rusak bercampur, kemudian terbentuklah membran putih keabuabuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan eksotoksin. Warna membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih, kuning, atau abu-abu, dan ini sering disebut dengan “simple tonsilar exudate”.
Kerusakan jaringan mengakibatkan udim dan pembengkakan daerah sekitar membran, dan apabila difteri menyerang daerah laring, maka akan menyebabkan obstruksi jalan nafas pada tracheo-bronchial atau laringeal. Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan syaraf. Pada miokardium, toksin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitokondria, ditandai dengan fatty degeneration, udem, dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, dilanjutkan peradangan setempat yang kemudian diikuti penumpukan leukosit pada perivaskular. Kerusakan oleh toksin pada myelin sheat saraf perifer dapat terjadi pada saraf sensorik dan saraf motorik. Toksin Difteri setelah terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya timbul dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologis yang mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin pada berbagai macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak udim, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai hipoglikemia, kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.
Penyakit ini dibagi menjadi 3 berdasar derajat berat ringannya, yaitu:
1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring dan menimbulkan bengkak pada laring.
3. Infeksi berat bila terjadi obstruksi nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis, neuritis, dan nefritis.

Patofisiologis Difteri

Corynobacterium diphteriae

Kontak dengan orang/ benda yang terkontaminasi Reaksi Inflamasi Batuk Resiko Penyebaran infeksi
Hidung Masuk dalam saluran pernafasan Peningkatan aliran darah laring
Reaksi Inflamasi Menempel pada sal. pernafasan Permebilitas membran Terbentuk pseudomembran
Pada hidung atas (masa inkubasi 2-5 hari) pembuluh darah meningkat

Peradangan pada mengenai Menghasilkan toksik Kebocoran pada pemb. Penyempitan saluran terjadi pelepasan
Mukosa hidung Tenggorokan (Eksotoksin) darah Pernafasan membran

Metabolisme bakteri Saraf di Teng- Mengeluarkan Enzim menghambat cairan masuk ke ruang Fungsi pita suara tidak Menutup jalan
gorokan terkena terhadap NAD Interstitial optimal nafas

Peningkatan Merusak otot sintesis protein terputus Tumor/ pembengkakan Suara serak/ stridor
Produksi sekret pernafasan bullneck di Tonsil Kematian G3 pola
nafas
Akumulasi sekret Paralisis G3 komunikasi verbal
Terbentuk eksudat/ pseudo- Penyempitan saluran
Ketidakefektifan G3 pemenuhan O2 membran pd sal. nafas atas pencernaan bagian atas anorexia Intake makanan menurun
Bersihan jalan nafas
Nyeri pada saat menelan Nutrisi kurang dari
Menutup saluran pernafasan Masuk dan ikut Nyeri akut kebutuhan tubuh
ke dalam Aliran
Suplai O2 Obstruksi sal. Pernafasan sistemik pemb. Darah Proses infeksi Peningkatan aktivitas selular metabolisme meningkat

Mengenai otot Peningkatan produksi panas
Sianosis Ketidakefektifan bersihan jantung
jalan nafas Suhu tubuh meningkat
O2 tidak Metabolisme miokarditis
adekuat Hipertermi
Pembentukan ATP Kelainan ringan
G3 perfusi Menurun eloektrokardiogram Gagal jantung
Jaringan Intoleransi
Perifer Lemah, lesu Aktivitas Kemampuan otot jantung memompa menurun Kematian Mendada
b. Penyakit Diabetes
Tubuh manusia membutuhkan energi agar dapat berfungsi dengan baik. Energi tersebut diperoleh dari hasil pengolahan makanan melalui proses pencernaan di usus. Di dalam saluran pencernaan itu, makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan tersebut. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi menjadi asam amino, dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan tersebut akan diserap oleh usus kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan akan diedarkan ke seluruh tubuh untuk dipergunakan sebagai bahan bakar. Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan sangat penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan baker. Pengeluaran insulin tergantung pada kadar glukosa dalam darah. Kadar glukosa darah sebesar > 70 mg/dl akan menstimulasi sintesa insulin. Insulin yang diterima oleh reseptor pada sel target, akan mengaktivasi tyrosin kinase dimana akan terjadi aktivasi sintesa protein, glikogen, lipogenesis dan meningkatkan transport glukosa ke dalam otot skelet dan jaringan adipose dengan bantuan transporter glukosa (GLUT 4).
1. Patogenesis Diabetes Mellitus
a) Diabetes Tipe I
Pada diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pan-kreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiper-glikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia post prandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar : akibatnya, glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yangberlabihan diekskresikan ke urin, ekskresi ini akan disertai pengeluarancairan dan elektrolit yang berlebihan pula. Keadaan ini dinamakan dieresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan seera makan (Polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori, gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.
b) Diabetes Tipe II
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yaitu yang berhubungan dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi sel resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel ini. Dengan demikian insuliin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini ter-jadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
Perbedaanya adalah DM Tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi,juga kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin. Faktor-faktor yang banyak berperan sebagai penyebab resistensi insulin : (1) Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel), (2)Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, (3) Kurang gerak badan, (4) Faktor keturunan (herediter).
Pasien Diabetes Mellitus tipe 2 mempunyai dua efek fisiologis. Sekresi insulin abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran. Ada tiga fase normalitas. Pertama glukosa plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi urin karena kadar insulin meningkat. Kedua, resistensi insulin cenderung menurun sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa bentuk hiperglikemia.
Pada diabetes mellitus tipe 2, jumlah insulin normal, malah mungkin banyak, tetapi jumlah reseptor pada permukaan sel yang kurang. Dengan demikian, pada DM tipe 2 selain kadar glukosa yang tinggi, terdapat kadar insulin yang tinggi atau normal. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin. Penyebab resistensi insulin sebenarnya tidak begitu jelas. Baik pada DM tipe 1 atau 2, jika kadar glukosa dalam darah melebihi ambang batas ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urine.
2. Patofisiologis Diabetes Mellitus
Penyakit diabetes membuat gangguan/komplikasi melalui kerusakan pada pembuluh darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini berjalan kronis dan terbagi dua yaitu gangguan pada pembuluh darah besar (makrovascular) disebut makroangiopati, dan pada pembuluh darah halus (mikrovascular) disebut mikroangiopati. Bila yang terkena pembuluh darah di otak timbul stroke, bila pada mata terjadi kebutaan, pada jantung penyakit jantung koroner yang dapat berakibat serangan jantung/infark jantung, pada ginjal menjadi penyakit ginjal kronik sampai gagal ginjal tahap akhir sehingga harus cuci darah atau transplantasi. Bila pada kaki timbul luka yang sukar sembuh sampai menjadi busuk (gangren). Selain itu bila saraf yang terkena timbul neuropati diabetik, sehingga ada bagian yang tidak berasa apa-apa/mati rasa, sekalipun tertusuk jarum /paku atau terkena benda panas.
Kelainan tungkai bawah karena diabetes disebabkan adanya gangguan pembuluh darah, gangguan saraf, dan adanya infeksi. Pada gangguan pembuluh darah, kaki bisa terasa sakit, jika diraba terasa dingin, jika ada luka sukar sembuh karena aliran darah ke bagian tersebut sudah berkurang. Pemeriksaan nadi pada kaki sukar diraba, kulit tampak pucat atau kebiru-biruan, kemudian pada akhirnya dapat menjadi gangren/jaringan busuk, kemudian terinfeksi dan kuman tumbuh subur, hal ini akan membahayakan pasien karena infeksi bisa menjalar ke seluruh tubuh (sepsis). Bila terjadi gangguan saraf, disebut neuropati diabetik dapat timbul gangguan rasa (sensorik) baal, kurang berasa sampai mati rasa. Selain itu gangguan motorik, timbul kelemahan otot, otot mengecil, kram otot, mudah lelah. Kaki yang tidak berasa akan berbahaya karena bila menginjak benda tajam tidak akan dirasa padahal telah timbul luka, ditambah dengan mudahnya terjadi infeksi. Kalau sudah gangren, kaki harus dipotong di atas bagian yang membusuk tersebut.
Gangren diabetik merupakan dampak jangka lama arteriosclerosis dan emboli trombus kecil. Angiopati diabetik hampir selalu juga mengakibatkan neuropati perifer. Neuropati diabetik ini berupa gangguan motorik, sensorik dan autonom yang masing-masing memegang peranan pada terjadinya luka kaki. Paralisis otot kaki menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan di sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan akan menimbulkan titik tekan baru pada telapak kaki sehingga terjadi kalus pada tempat itu.
Gangren diabetik akibat mikroangiopatik disebut juga gangren panas karena walaupun nekrosis, daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan, dan biasanya teraba pulsasi arteri di bagian distal. Biasanya terdapat ulkus diabetik pada telapak kaki.
Bila terjadi sumbatan kronik, akan timbul gambaran klinis menurut pola dari Fontaine, yaitu : (1) Stadium I : asimptomatis atau gejala tidak khas (semutan atau geringgingan), (2) Stadium II : terjadi klaudikasio intermiten, (3) Stadium III : timbul nyeri saat istirahat, (4)Stadium IV : berupa manifestasi kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus).
Gangguan sensorik menyebabkan mati rasa setempat dan hilangnya perlindungan terhadap trauma sehingga penderita mengalami cedera tanpa disadari. Akibatnya, kalus dapat berubah menjadi ulkus yang bila disertai dengan infeksi berkembang menjadi selulitis dan berakhir dengan gangren. Gangguan saraf autonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit kering dan mudah mengalami luka yang sukar sembuh. Infeksi dan luka ini sukar sembuh dan mudah mengalami nekrosis

REFERENSI
Price, Wilson. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6 Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Kumar V, Cotran R. S., Robbins S. L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7 Volume 1. Jakarta : EGC.
Underwood J.C.E. 1999. Karakteristik, Klasifikasi Dan Insiden Penyakit. Patologi Umum Dan Sistemik, Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Guilfoile PG. Future prospects of diphtheria. In : Guilfoile PG. Deadly diseases and epidemics diphtheria. United States of America : Chelsea house publishers ; 2009.p. 97 – 105
Sing A, Heesemann J. Imported diphtheria Germany, 2005. Available from : http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol 11no02/05.html. Accessed June 20, 2011
Long SS. Diphteria. In : Behrman, Kleigman, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 15th ed. Philadelphia : WB Saunders company ; 1996.p. 955 – 59
Deterding RR. Essentials of diagnosis and typical features Diphtheria. In : Hay WW, Leswin MJ, Sondheimer JM, eds. Current diagnosis and therapy in pediatric. 18th ed. United State of America : Library of congress press ; 2007.p. 1176 – 8
Mizushima H, Iwamoto R. Analysis of the molecules and receptors involved in bacterial infection, 2000. Available from : http://www.biken.osaka-u.ac.jp/COE/ eng/ project/pro09.html. Accessed July 28, 2011
http://utomoaliyah.com/downlot.php?file=DIFTERI%20SALURAN%20NAFAS%20ATAS.pdf
Corwin , Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi. EGC: Jakarta
Noer, Prof.dr.H.M. Sjaifoellah, Ilmu Penyakit Endokrin dan Metabolik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2004. Hal 571-705.