TUGAS ILMU PRODUKSI ANEKA TERNAK KOMODITI LEBAH MADU

TUGAS ILMU PRODUKSI ANEKA TERNAK
KOMODITI LEBAH MADU
”Perbandingan Kandungan Sukrosa pada Madu yang Dihasilkan Apis mellifera di Kawasan Karet (Hevea brasiliensis) dan Kawasan Rambutan (Nephelium lappaceum)”

Disusun oleh Kelompok 1:
Wiwik Widayati Kusna N 135050100111018
Ike Ambar Wati 135050100111043
Muhammad Iqbal T 135050100111239
Indah Kusuma Wati 135050101111109
Indra Mahmud Saleh 135050101111219
Khoirul Huda 135050107111056
Abdul Rahman Effendi W 135050107111063

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Madu merupakan salah satu produk yang dihasilkan lebah. Madu memiliki kandungan nutrisi yang bermanfaat bagi manusia. Sukrosa adalah salah satu komponen yang ada pada madu sekaligus menjadi salah satu indikator penentu kualitas madu yang baik dan buruk. Madu berkualitas baik memiliki kandungan sukrosa tidak melebihi 5 %.
Praktek budidaya berpindah dilakukan oleh peternak lebah Apis mellifera. Lebah digembalakan secara berpindah-pindah mengikuti musim pembungaan tanaman sumber pakan lebah. Daerah pengembangan Apis mellifera sampai saat ini masih terkonsentrasi di Jawa. Hal ini berkaitan dengan tersedianya areal penggembalaan dengan aneka jenis tanaman yang memiliki periode pembungaan bergantian hampir sepanjang tahun. Kondisi demikian sangat diperlukan dalam budidaya lebah madu, baik dalam rangka produksi madu maupun pengembangan koloni, selain itu juga akses dan transportasi ke seluruh pelosok daerah relatif mudah di Jawa, sehingga perpindahan koloni (migratory) dari satu tempat ke tempat lain dapat dilakukan dengan mudah dan cepat (Kuntadi, 2014).
Produksi dan tipe madu yang dihasilkan oleh lebah madu tergantung pada bunga vegetatif alami yang berbunga pada musim yang berbeda. Indonesia memiliki beberapa jenis madu berdasarkan jenis flora yang menjadi sumber nektarnya (Suranto, 2007). Madu monoflora merupakan madu yang diperoleh dari satu tumbuhan utama. Madu ini biasanya dinamakan berdasarkan sumber nektarnya, seperti madu kelengkeng, madu rambutan dan madu randu. Sumber nektar yang berbeda akan mempengaruhi sifat madu yang dihasilkan oleh lebah, diantaranya dari segi warna, rasa, dan komponen madu. Komposisi madu ditentukan oleh dua faktor utama yakni, komposisi nektar asal madu bersangkutan dan faktor-faktor eksternal tertentu (Sihombing, 2005).
Rasa manis madu alami sesungguhnya memang melebihi manisnya gula karena kadar atau tingkat kemanisannya sedikitnya bisa mencapai satu setengah kali dari rasa gula putih. Rasa manis madu alami tersebut tidak memiliki efek-efek buruk seperti halnya yang terkandung didalam gula putih, karena kandungan senyawa karbohidrat sederhana yang berupa monosakarida 79,8 %, dan air 17 % sehingga mudah diserap oleh tubuh. Jenis gula atau karbohidrat yang terdapat di dalam madu alami yakni fruktosa, yang memiliki kadar tertinggi, yaitu sedikitnya bisa mencapai 38,5 g/100 g madu alami, sementara untuk kadar glukosa, maltosa, dan sukrosanya rendah. Fruktosa atau yang sering disebut levulosa merupakan gula murni atau alami yang berasal dari saripati buah-buahan, sedangkan sukrosa merupakan gula hasil olahan manusia yang bahan bakunya berasal dari batang pohon tebu (Purbajaya, 2007).

Rumusan Masalah
Berapa kandungan sukrosa pada madu Apis mellifera yang digembalakan di kawasan karet dan di kawasan rambutan?
Apa saja faktor yang mempengaruhi kadar sukrosa pada madu Apis mellifera di kawasan karet dan di kawasan rambutan?

Tujuan
Untuk mengetahui kandungan sukrosa pada madu yang dihasilkan Apis mellifera di kawasan karet dan di kawasan rambutan.
Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kadar sukrosa pada madu yang dihasilkan Apis mellifera di kawasan karet dan di kawasan rambutan.

Manfaat
Pembaca dapat mengetahui perbandingan kandungan sukrosa pada madu yang dihasilkan Apis mellifera di dawasan karet (Hevea brasiliensis) dan kawasan rambutan (Nephelium lappaceum).

BAB II
PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilaksanakan di kawasan penggembalaan lebah madu Apis mellifera di kawasan karet dan kawasan kawasan rambutan selama 4 bulan dengan menggunakan 24 koloni. Metode yang digunakan adalah percobaan lapang dengan 2 perlakuan dan 12 kali ulangan. Penggembalaan dilakukan selama 1 bulan penuh pada masing-masing kawasan. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan setiap hari dengan pengambilan data suhu dan kelembaban dilakukan pada pukul 09.00 WIB, pukul 12.00 WIB dan pukul 15.00 WIB. Pemanenan madu dilakukan pada umur 14 hari dengan menggunakan ekstraktor dan dilakukan pada pukul 07.00 WIB sampai selesai. Pengambilan sampel dilakukan bersamaan dengan pemanenan madu. Preparasi sampel dilakukan setelah penelitian lapang selesai dengan berat masing-masing sampel 100 gram yang kemudian dilakukan analisa laboratorium dengan menggunakan metode Luff Schrool meliputi kandungan gula pereduksi dan non pereduksi pada masing-masing sampel. Analisi data menggunakan uji t-student tidak berpasangan untuk menguji hipotesis nilai rata-rata dua kelompok data, untuk mengetahui perbandingan mutu madu lebah Apis mellifera berdasarkan kandungan gula pereduksi dan non-pereduksi di kawasan karet dan rambutan. (Sudjana, 2005).
Suhu Dan Kelembaban Kawasan Penggembalaan Lebah Apis mellifera
Rata-rata suhu dan kelembaban di kawasan karet dan rambutan disajikan pada Tabel 1. Rata-rata suhu dan kelembaban di kawasan penggembalaan

Hasil pengukuran rata-rata suhu dan kelembaban pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pada kawasan karet memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan rambutan, tetapi kawasan karet memiliki kelembaban yang lebih rendah dibandingkan dengan kawasan rambutan. Pusat Perlebahan Apiari Pramuka (2007) menjelaskan bahwa pada suhu 30℃-34℃ lebah madu Apis mellifera masih dapat melakukan kegiatan produksi, dengan kelembaban 70 %-80 %. Tabel 1 menunjukkan bahwa kawasan karet memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan kawasan rambutan.
Mutu Madu Lebah Apis mellifera Berdasarkan Kandungan Gula Pereduksi
Hasil analisa laboratorium kandungan gula pereduksi madu karet dan rambutan setelah dianalisis menggunakan uji t-student tidak berpasangan menunjukkan bahwa dengan penggembalaan pada kawasan yang berbeda yaitu pada kawasan karet dan rambutan berpengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap mutu madu berdasarkan kandungan gula pereduksi (glukosa). Rataan hasil pengujian kadar glukosa disajikan pada Tabel 2.

Rataan hasil pengujian kadar glukosa menunjukkan bahwa mutu madu yang digembalakan di kawasan karet lebih bagus dari pada mutu madu yang digembalakan di kawasan rambutan. Syarat mutu madu yang baik menurut Badan Standardisasi Nasional (2004) memiliki kadar gula pereduksi minimal 65 % b/b. Hasil uji pada Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar glukosa madu rambutan dibawah standar yang telah ditentukan. Perbedaan kandungan glukosa pada madu karet dan rambutan pada Tabel 2 dipengaruhi oleh faktor utama yaitu nektar yang dihasilkan tanaman sumber pakan. Sihombing (2005) menyatakan bahwa tanaman karet dan rambutan merupakan tanaman sumber nektar, namun nektar yang dihasilkan tanaman karet lebih banyak dibandingkan dengan nektar yang dihasilkan tanaman rambutan dengan kandungan glukosa sebesar 62,14 %, sehingga kandungan gula nektar tanaman karet lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman rambutan.
Tanaman karet menghasilkan nektar melalui kelenjar nektarifier ekstrafloral yang disekresikan melalui stipula, daun, tangkai daun dan batang, sedangkan nektar yang dihasilkan tanaman rambutan disekresikan oleh kelenjar nektarifier floral melalui bunga yang merupakan bakal buah dengan kadar sukrosa tinggi. Budiman (2007) menyatakan bahwa hasil penelitian kadar gula pereduksi yang dilakukan PT Apiari Pramuka pada madu karet dan madu rambutan telah memenuhi standar mutu madu nasional. Hasil uji kadar gula pereduksi madu PT Apiari Pramuka disajikan pada Tabel 3.

Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah lokasi penggembalaan lebah Apis mellifera. Lokasi penggembalaan PT Apiari Pramuka untuk kawasan karet berada di Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang yang memiliki suhu optimum 34℃ dengan kelembaban optimum 82 %, untuk kawasan rambutan berada di Kabupaten Sukabumi yang memiliki suhu optimum 33℃ dengan kelembaban optimum 85 %. Penggembalaan lebah Apis mellifera pada penelitian untuk kawasan karet berada di Kecamatan Sambung Oyot, Kabupaten Jepara yang memiliki suhu rata-rata 32,6℃ dengan kelembaban 74,26 %, untuk kawasan rambutan berada di Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Subang yang memiliki suhu rata-rata 31,2℃ dengan kelembaban 76,2%.
Kawasan penggembalaan PT Apiari Pramuka memiliki suhu yang lebih tinggi, namun memiliki kelembaban yang lebih rendah dibandingkan dengan lokasi penelitian di masing-masing kawasan penggembalaan. Sihombing (2005) menjelaskan bahwa suhu dapat mempengaruhi produksi nektar tanaman sumber pakan, semakin tinggi suhu lingkungan maka nektar yang dihasilkan tanaman sumber pakan lebih sedikit, namun kandungan gula pada nektar semakin meningkat dan sebaliknya. Hal ini yang menyebabkan kandungan glukosa madu PT Apiari Pramuka semakin tinggi dibandingkan dengan kandungan glukosa madu pada Tabel 2.
Kelembaban yang tinggi di kawasan penggembalaan di lokasi penelitian juga mempengaruhi kadar glukosa madu. Kelembaban tinggi menyebabkan produksi nektar semakin banyak tetapi kandungan gula rendah, apabila udara kering maka produksi nektar semakin rendah tetapi kandungan gula meningkat. Nuryati (2006) menjelaskan bahwa Indonesia memiliki angka kelembaban udara relatif yang tinggi, yaitu 80 %. Madu bersifat higroskopis yang dapat menyerap air yang ada disekitarnya, sehingga menyebabkan peningkatan kadar air pada madu. Madu dengan kadar air 18,3 % atau lebih kecil dari itu, akan menyerap uap air dari udara pada kelembaban relative di atas 60 %, kadar air yang tinggi dapat mempercepat proses fermentasi di dalam madu.
Chasanah (2001), menjelaskan bahwa kandungan air yang tinggi pada madu dapat merangsang aktivitas khamir untuk tumbuh dan berkembang di dalam madu, sehingga menyebabkan proses fermentasi. Khamir penyebab fermentasi pada madu adalah yeast osmophilic dari genus Zygosaccharomyces, yang tahan terhadap konsentrasi gula tinggi, sehingga dapat hidup dan berkembang dalam madu. khamir di dalam madu akan mendegradasi gula, khususnya dekstrosa dan levulosa menjadi alkohol dan CO2, sehingga berpengaruh terhadap kandungan dekstrosa (glukosa) dan levulosa (fruktosa) madu. Hal ini diduga menjadi penyebab kandungan glukosa pada madu hasil penelitian lebih rendah dibandingkan dengan madu produksi PT Apiari Pramuka.
Mutu Madu Lebah Apis mellifera Berdasarkan Kandungan Gula Non Pereduksi
Hasil analisa laboratorium kandungan gula non pereduksi madu karet dan rambutan setelah dianalisis menggunakan uji t-student tidak berpasangan menunjukkan bahwa dengan penggembalaan pada kawasan yang berbeda yaitu pada kawasan karet dan rambutan berpengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap mutu madu berdasarkan kandungan gula non pereduksi (sukrosa). Rataan hasil pengujian kadar sukrosa disajikan pada Tabel 5.

Rataan hasil pengujian kadar sukrosa menunjukkan bahwa mutu madu yang digembalakan di kawasan karet memiliki kualitas lebih bagus dibandingkan mutu madu yang digembalakan di kawasan rambutan. Syarat mutu madu yang baik menurut Badan Standardisasi Nasional (2004) memiliki kadar sukrosa maksimal 5 % b/b. Hasil uji pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar sukrosa madu rambutan di atas standar yang telah ditentukan. Hasil analisa pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kandungan sukrosa madu lebah Apis mellifera yang digembalakan di kawasan rambutan menunjukkan kandungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggembalaan di kawasan karet. Tingginya kadar sukrosa pada madu rambutan dipengaruhi oleh nektar yang dihasilkan tanaman sumber pakan lebah.
Wahib (2007) menjelaskan bahwa tanaman rambutan merupakan tanaman dikotil yang menghasilkan bunga atau bakal buah. Nektar tanaman rambutan disekresikan melalui kelenjar nektari floral oleh bunga, nektar tanaman rambutan memiliki kandungan sukrosa yang dominan, sehingga menghasilkan madu dengan kandungan sukrosa tinggi, sedangkan nektar yang dihasilkan tanaman karet disekresikan kelenjar nektari ekstrafloral oleh daun dan batang, sehingga menghasilkan kandungan sukrosa yang rendah. Mulu (2004) menyatakan pendapat yang sama bahwa perbedaan jenis tumbuh-tumbuhan yang cairan bunganya menjadi sumber makanan lebah untuk memproduksi madu akan mempengaruhi karakteristik dari madu, seperti flavor, aroma, warna, dan komposisi dalam madu.
Faktor lain yang mempengaruhi tingginya kadar sukrosa pada madu rambutan adalah musim berbunga. Tanaman rambutan berbunga pada bulan Juli sampai September yang merupakan bulan musim panas di Indonesia, meningkatnya suhu pada musim kemarau menyebabkan nektar yang dihasilkan tanaman rambutan semakin rendah, namun kandungan gula pada nektar meningkat. Sihombing (2005) menjelaskan bahwa semakin kering udara maka nektar yang dihasilkan semakin rendah, namun kandungan gula nektar meningkat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tingginya kandungan sukrosa madu yang dihasilkan lebah Apis mellifera yang digembalakan di kawasan rambutan dipengaruhi oleh nektar yang merupakan sumber pakan lebah dan musim berbunga tanaman rambutan yang merupakan tanaman penghasil nektar.
Faktor lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya kandungan sukrosa adalah kemampuan lebah menghasilkan enzim invertase yang berperan merubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Sihombing (2005) menjelaskan bahwa madu kaya akan karbohidrat sederhana karena lebah pekerja meminum nektar dan memuntahkannya kembali sambil menambahkan enzim yang disebut enzim invertase. Gula (sukrosa) dari nektar akan diubah seluruhnya menjadi fruktosa dan glukosa, keduanya mencapai 85 sampai 95 % dari total karbohidrat pada madu. Hal tersebut didukung oleh pendapat Chasanah (2001) yang menyatakan bahwa enzim invertase yang ditambahkan oleh lebah pekerja ketika meminum dan memuntahkan kembali madu, berfungsi untuk mengubah sukrosa menjadi dekstrosa (glukosa) dan levulosa (fruktosa). Kemudian, bila kadar air semakin tinggi maka terdapat kecenderungan kadar karbohidrat semakin menurun. Pada kadar air 23 %, kecenderungan kadar karbohidrat semakin menurun. Pada kadar air 23 %, madu memiliki kadar kar- bohidrat 76 % sedangkan pada kadar air 17,10 % madu memiliki kadar karbohidrat 82.40 %.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Penggembalaan lebah Apis mellifera di kawasan karet menghasilkan mutu madu yang lebih baik dibandingkan dengan penggembalaan dikawasan rambutan, dengan kandungan gula pereduksi madu karet 66,6% dan madu rambutan 64,5% sedangkan kandungan gula non pereduksi madu karet 4,50% dan madu rambutan 5,64%.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada mutu madu lebah Apis mellifera yang dihasilkan pada penggembalaan di kawasan karet (Hevea brasiliensis) dan kawasan rambutan (Nephelium lappaceum) dengan menggunakan metode lain 7 seperti Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) untuk mengidentifikasi jenis jenis gula pereduksi.

Daftar Pustaka

Badan Standardisasi Nasional, 2004. Madu. Standart Nasional Indonesia 01- 3545-2004.
Budiman, A. 2007. Analisis Usaha Pengembangan Usaha PT Madu Pra- muka Jakarta. Skripsi. Fakultas Per- tanian. Institut Pertanian Bogor.
Chasanah, N. 2001. Kadar Dekstrosa, Levulosa, Maltosa, Serta Sukrosa Madu Segar dan Madu Bubuk Dengan Bahan Pengisi Campuran Gum Arab dan Dekstrin. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Kuntadi. 2003. Perlebahan di Indonesia. Sylva Tropika No 08, Desember 2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Kuntadi. 2014. Pengembangan Budidaya Madu dan Permasalahannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konsevasi dan Rehabilitasi. Badan penelitian dan Pengembangan kehutanan. Bogor.
Minarti, S. 2010. Ketersediaan Tepungsari Dalam Menopang Perkembangan Anakan Lebah Madu Apis Mellifera Di Areal Randu (Ceiba Pentandra) Dan Karet (Hevea Brasilliensis). Jurnal Ternak Tropika. Malang.
Mulu, A., B. Tessema, and F. Derby, 2004. In Vitro Assesment of The Antimicrobial Potential of Honey on Common Human Pathogens. Ethiop.
Noprianto, R. dan Aam H. 2002. Produksi Madu Apis cerana di Perkebunan Karet Tapian Dolok, Simalungan, Sumatra Utara. Jurnal Info KkoniferaVisi dan informasi Teknis BP2K Pematang Siantar.
Nuryati, S. 2006. Laporan Penelitian: Status dan Potensi Pasar Madu Organis Nasional dan Internasional. Editor : J. Indro Surono. Aliansi Organis Indonesia. Bogor.
Purbaya, J.R. 2007. Mengenal dan Memanfaatkan Khasiat Madu Alami. Penerbit Pionir Jaya, Bandung.
Pusat Perlebahan Apiari Pramuka, 2007. Lebah Madu, Cara Beternak dan Pemanfaatannya. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sihombing, D.T.H. 2005. Ilmu Ternak Lebah Madu. Cetakan ke 2. Gajah Mada Univercity Press. Jogjakarta.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Tarsito. Bandung.
Suranto, A. 2007. Terapi Madu. Penebar Plus. Hal : 27-28, 30-32. Jakarta.
Widiarti, A dan Kuntadi. 2012. Budidaya Lebah Madu Apis mellifera L oleh Masyarakat Pedesaan Kabupaten Pati, Jawa Tengah. (Beekeeping of Apis mellifera L. Honeybees by Rural People in Pati Regency, Central Jawa). Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.
Wahib, D. 2007. Evaluasi Kandungan Gula Pereduksi dan Kandungan Sukrosa Madu Lebah (Apis mellifera) pada Jenis Bunga yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Muhammadiyah. Malang.