SUMBER DAYA ALAM ACEH

Sektor pertanian adalah motor penggerak perekonomian masyarakat Aceh. Pada 2005, memiliki lahan sawah beririgasi teknis seluas 96.683 ha, beririgasi setengah teknis 44.230 ha dan beririgasi non teknis seluas 74.027 ha. Produksi padi tercatat sebesar 1.411.649 ton Gabah Kering Giling (GKG) dimana mengalami penurunan dibandingkan tahun 2004 sebesar 1.552.083 atau 9,22%. Penurunan ini akibat luasnya kerusakan lahan akibat tsunami. Secara umum padi sawah mendominasi persediaan pangan dibandingkan dengan padi ladang, hanya berproduksi 8.509 ton dibanding padi sawah dengan produksi 1.403.139 ton tahun.
Luas areal irigasi yang dikelola Dinas Sumber Daya Air Provinsi NAD terdiri dari: (1) jaringan irigasi teknis; (2) setengah teknis dan (3) jaringan irigasi sederhana (tradisional) dengan jumlah total luas areal potensial 214.940 ha pada tahun 2005. Jika dibandingkan tahun 2004 dengan luas 214.939 ha terdapat penurunan pada tanggal 26 Desember Tahun 2004 provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilanda gempa yang sangat dahsyat, yang telah memporak porandakan seluruh asset daerah, termasuk didalamnya aset irigasi. Sampai dengan tahun 2006 hanya 70% dari daerah Irigasi yang berfungsi dengan baik dan 30% tidak berfungsi karena jaringan yang belum lengkap atau mengalami degradasi akibat kurang pemeliharaan.
Potensi pertanian di Aceh sangat besar. Luas panen dan produksi padinya terus meningkat dari 295.212 ha pada 2001 menjadi 337.893 ha (14,46%) pada 2005 dengan produksi sebanyak 1.246.612 ton pada 2001, meningkat menjadi 1.411.649 ton atau naik 13,24% pada 2005. Produksi kacang tanah, jagung/ kedele dan ubi kayu/ ubi jalar juga meningkat. Luas panen dan produksi kacang tanah mengalami penurunan dari 14.239 ha dan 16.887 ton pada 2003 menjadi 12.984 ha dan 15.598 ton pada 2005, sementara untuk jagung dari 25.188 ha dan 67.386 ton pada 2003 meningkat jadi 29.517 ha dan 94.246 ton. Ada pun luas lahan dan produksi ubi kayu mencapai 6.098 ha dan 75.286 ton pada 2003 meningkat jadi 4.316 ha dan 53.424 ton pada 2005. Sedangkan kedelei dengan luas panen 14.519 ha dan produksi 18.697 ton mengalami peningkatan luas panen 24.186 ha dan produksi 31.167 ton tahun 2005.
Sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan No.170/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000, hutan di Aceh termasuk kawasan perairannya seluas 3.549.813 ha, dengan 3.335.713 ha di antaranya adalah daratan. Seluas 60,22% dari luas seluruh daratan provinsi, kawasan hutan ini terdiri atas kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan kawasan hutan produksi.

Pembabatan hutan di Aceh sangat fantastis selama periode 2002-2004, mencapai 350.000 ha atau setara lebih dari lima kali lipat luas daratan Singapura. Dari jumlah yang mengkhawatirkan itu, hampir 60% praktik deforestasi terjadi konservasi dan hutan lindung, termasuk di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Deforestasi juga terjadi di luar kawasan hutan melalui praktik konversi untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan, misalnya perkebunan dan kegiatan budidaya lainnya seluas lebih dari 156.000 ha. Deforestasi di luar kawasan hutan menyumbang 45% dari total pembabatan hutan di Aceh. Deforestasi inilah yang menyebabkan degradasi hutan Aceh semakin parah hingga mencapai angka 1,87 juta ha pada tahun 2002-2005,diantaranya tersebar pada 75% kawasan konservasi dan hutan lindung. Jika di diamkan, kondisi ini jelas mengancam keberlanjutan proses rekonstruksi Aceh pasca tsunami.

Lebih dari 81% deforestasi terkonsentrasi pada 11 kabupaten di sepanjang pantai barat-selatan dan wilayah Aceh Bagian Tengah. Sedangkan lebih dari 83% degradasi hutan juga tersebar pada kawasan hutan di 11 kabupaten itu. Tujuh kabupaten di sepanjang pantai barat-selatan menyumbang deforestasi seluas 45,37%, sedangkan empat kabupaten di Aceh Bagian Tengah menyumbang 36,25%. Sisanya tersebar di sepanjang pantai utara, timur, dan pulau-pulau di wilayah administratif provinsi NAD.
Pada kawasan hutan produksi, sampai Desember 2003 terdapat delapan perusahaan HPH yang masih aktif dengan total pengusaha hutan sebanyak 524.644 ha dan dua perusahaan HPHTI menguasai 13.200 ha. Pada 2005, pemerintah telah mengaktifkan kembali izin lima HPH untuk mengelola seluas 367.550 ha dan ini mengundang banyak perdebatan di kalangan masyarakat. Kapasitas jatah produksi pemegang HPH menurut SK Menteri Kehutanan No. 357/ Menhut-VI/2005 sebesar 500.000 m³ per tahun, dinilai terlalu besar dibandingkan dengan kebutuhan lokal sebanyak 215.249 m³, per tahun untuk merekonstruksi dan merehabilitasi Aceh pasca tsunami.
 
Di sektor perikanan, mengeksploitasi psisir pantai sepanjang 1.660 km dengan luas perairan laut 295.370 km², terdiri atas luas wilayah perairan ( teritorial dan kepulauan ) seluas 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 238.807 km². Jenis ikan laut yang ditangkap: ikan kembung, layang, tongkol, tuna, dan tembang. Dari 1.660 km panjang garis pantai, 800 km di antaranya rusak diterjang gelombang tsunami.
Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan terdiri perikanan tangkap di laut dan perairan umum (sungai, danau, waduk dan rawa-rawa) dan perikanan budidaya (ikan air payau di tambak, di kolam, ikan di sawah (mina padi) atau budidaya ikan dengan sistem keramba jaring apung, baik di laut maupun diperairan tawar). Gempa bumi dan tsunami 2004 telah menyebabkan kerusakan besar di sektor kelautan dan perikanan. Produksi perikanan tangkap (kembung, laying, tongkol, tuna, dan tembang) pada 2005 sebanyak 109.152,2 ton, sementara produksi 2004 mencapai 140.780,8 ton. Produksi 2006 ditargetkan meningkat menjadi 154.000 ton. Potensi ikan tangkap di Aceh 1,8 juta ton. Sektor perikanan hanya menyerap 257.300 tenaga kerja atau sekitar 51.460 kepala keluarga atau mencapai 31,68% dari 811.971 total tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian.

Potensi perikanan lainnya adalah budidaya rumput laut, kerapu, kakap, lobster dan kerang mutiara dengan potensi sebaran seluas ±12.014 ha,membentang mulai dari Sabang, Aceh besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeleu, sampai Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil. Pengembangan perikanan ini didukung oleh sebaran luas terumbu karang seluas ±274.841 ha, membentang mulai dari Sabang, Aceh Besar sampai pantai barat selatan Aceh.Sejak 2000, sektor peternakan dikelola intensif terutama usaha penggemukan sapi potong dan pemeliharaan ayam ras pedaging dan petelur. Bidang peternakan mempunyai prospek bagus untuk dikembangkan menjadi salah satu sektor unggulan dan menunjang perekonomian masyarakat. Populasi peternakan sapi menurun 10,2% dari 969.954 ekor pada 2004 menjadi 625.853 ekor pada 2005.
Produksi beberapa tanaman perkebunan pada 2005 mengalami penuruna dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi ini terjadi terhadap produksi karet yang mengalami penurunan, 36,58% kelapa 12,29% dan kopi 6,23%. Sedangkan produksi yang mengalami peningkatan adalah Pinang 12,3%, Kelapa Sawit 30,57%, dan Kemiri 13,70%. Untuk mengolah semua hasil perkebunan itu, hingga kini tercatat ada 21 unit pabrik kelapa sawit, 111 unit pengolahan kopi, 179 unit sarana penyulingan pala, 29 unit alat penyulingan nilam, 2 unit pabrik pengolahan minyak kelapa, 2 unit pengolahan kakau, dan 4 unit pengolahan karet.
Usaha pertambangan umum telah dimulai sejak 1900. Daerah operasi minyak dan gas di bagian utara dan timur meliputi daratan seluas 8.225,19 km² dan dilepas pantai Selat Malaka 38.122,68 km². Perusahaan migas yang mengeksploitasi tambang Aceh berdasarkan kontrak bagi hasil (production sharing) saat ini adalah Gulf Resources Aceh, Mobil Oil-B, Mobil Oil-NSO, dan Mobil Oil-Pase.
Endapan batubara terkonsentrasi pada “Cekungan Meulaboh” di Kecamatan Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat. Terdapat 15 lapisan batubara hingga kedalaman ±100 meter dengan ketebalan lapisan bekisar antara 0,5 m – 9,5 m. Jumlah cadangan terunjuk hingga kedalam 80 meter mencapai ±500 juta ton, sedeangkan cadangan hipotesis ±1,7 miliar ton