Stratifikasi Sosial

Stratifikasi Sosial |  Masyarakat merupakan suatu kesatuan yang didasarkan pada ikatan-ikatan yang sudah teratur dan boleh dikatakan stabil. Sehubungan dengan ini, maka dengan sendirinya masyarakat merupakan kesatuan yang dalam pembentukannya mempunyai gejala yang sama. Masyarakat tidak dapat dibayangkan tanpa adanya individu, seperti juga individu tidak dapat dibayangkan tanpa adanya masyarakaat.

Betapapun individu dan masyarakat adalah komplementer dapat kita lihat dari kenyataan di bawah ini:

  1. Manusia dipengaruhi oleh masyarakat demi pembentukan pribadinya;
  2. Individu mempengaruhi masyarakat dan bahkan bisa menyebabkan (berdasarkan pengaruhnya) perubahan besar terhadap masyarakat.

Setelah kita mengetahui, bahwa manusia adalah sebagai makhluk sosial yang selalu mengalami perubahan dan membentuk lapisan-lapisan dalam kehidupan masyarakat, maka dianggap perlu mendefinisikan maksud dari lapisan masyarakat itu sendiri. Lapisan masyarakat berarti jenjang status dan peranan yang relatif permanen yang terdapat dalam sistem sosial (dari kelompok kecil sampai ke masyarakat) dalam hal pembedaan hak, pengaruh dan kekuasaan.[1] Ada juga yang mengatakan bahwa lapisan sosial dapat dipahami sebagai strata orang-orang yang berkedudukan sama dalam kontinum (rangkaian satuan) status sosial. Lapisan sosial ini diklasifikasikan menjadi enam bagian, yaitu (1) Upper – upper class; (2) lower – upper class; (3) upper – middle class; (4) lower – middle class; (5) upper – lower class; dan terakhir (6) lower-lower class. Namun demikian, tentu klasifikasi ini tidak selamanya berlaku untuk umum, karena setiap kehidupan masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda.[2]

Proses terjadinya pelapisan sosial di atas melalui dua jalan yaitu pelapisan sosial yang terjadi dengan sendirinya dan pelapisan sosial yang terjadi karena bentukan dan usaha manusia sendiri. Namun dalam sikripsi ini penulis hanya memfokoskan pada yang pertama saja. Proses pertama ini berjalan sesuai dengan pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Adapun orang-orang yang menduduki lapisan tertentu dibentuk bukan berdasarkan atas dasar kesengajaan yang disusun sebelumnya oleh masyarakat itu sendiri, tetapi berjalan secara alamiah. Pengakuan-pengakuan terhadap kekuasaan dan wewenang tumbuh dengan sendirinya. Oleh karena itu, sifatnya yang tanpa disengaja inilah maka bentuk pelapisan dan dasar dari pada pelapisan itu bervariasi menurut tempat, waktu dan kebudayaan masyarakat dimana sistem itu berlaku.

Pada pelapisan sosial yang terjadi dengan sendirinya, maka kedudukan seseorang pada suatu lapisan adalah secara otomatis, misalnya karena usia tua, karena kepemilikan kepandaian yang lebih atau kerabat pembuka tanah, seseorang yang mempunyai bakat seni, atau sakti.[3] Bahkan ada juga disebabkan pengaruh orang tua atau nenek moyangnya yang pernah ditokohkan (kiai); sekalipun mereka tidak mempunyai kepandaian yang lebih dibandingkan dengan orang yang mempunyai bakat seni, atau sakti dan lain sebagainya.

Adalah sebuah contoh, hasil karya penelitian Hiroko Horikoshi yang mencoba menampilkan peranan kiai (misionaris) sebagai pembawa perubahan dalam pandangan hidup lingkungannya. Seperti yang dikatakan oleh Abdur Rahman Wahid ketika memberikan kata pengantar dalam buku hasil penelitian Hiroko Horikoshi.[4] Masih Menurut Horikoshi, kiai berperan kreatif dalam perubahan sosial. Bukan karena sang kiai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, justru karena memolopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Mereka tidak hanya sekedar menyaring informasi saja, akan tetapi, juga menawarkan agenda perubahan yang dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.[5]

Dalam kontek dengan lingkungan masyarakat Islam pada umumnya, kiai ulama yang sering diidentifikasikan pada pemahaman sebagai ahli waris para nabi. Pengidentifikasian tersebut berdasrkan pada fungsinya sebagai pelanjut dan pengemban risalah kenabian yang disampaikan kepada umat manusia. Atas dasar kedudukan yang tempati ulama itu, mereka ditempatkan pada hierarki teratas dalam strukutr masyarakat Islam. Hal itu, sesuai dengan ungkapan Saletore yang mengemukakan bahwa sejak abad pertengahan, umat Islam telah memberikan kedudukan yang tinggi terhadap ulama, hal ini berkat pengetahuan keagamaan mereka yang faqih (ahli hukum Islam).[6]

Dalam kepemimpinan umat Islam di Indonesia, sejak zaman kolonial hingga saat ini tidak pernah lepas dari dua kata, yaitu kiai dan ulama. Keduanya seolah tidak bisa dipisahkan secara ansich, oleh karena itu dalam pembahasan ini, penulis mencoba untuk membedakan satu dengan yang lainnya.

Secara Etimologi kata ulama berasal dari kata bahasa Arab yang merupakan kata jamak dari kata ‘alimun yang diartikan orang yang mengetahui, mengerti, pandai, yang diambil dari akar kata ‘alima, ya’lamu ‘ilman, wa ma’laman, fahuwa ‘alimun, yang artinya mengetahui.[7]

Sedangkan tinjauan ilmu simantik bahasa Arab yang disebut mashdar, dari arti kata ilman ialah ilmu pengetahuan. Dengan demikian, pengertian ulama ialah berkaitan dengan orang perorang atau sekelompok orang yang menguasai ilmu pengetahuan, baik ilmu agama atau ilmu umum.

Dalam kepustakaan barat, antara kiai dan ulama tidak ada perbedaan yang jelas, sehingga dalam penggunaan dua jenis kata tersebut menjadi kabur. Bahkan sering salah dalam penggunaannya, Clifford Geertz dalam Hiroko Horikoshi dalam kiai dan perubahan sosial, menyebutkan “Kiai dan ulama adalah gelar ahli agama Islam”. Sedangkan Hiroko Horikoshi sendiri mendefinisikan bahwa kiai merupakan pemimpin karismatik dalam bidang agama, ia fasih dan mempunyai kemampuan yang cermat dalam membaca pikiran pengikut-pengikutnya. Sifatnya suka terus terang, berani dan blak-blakan dalam bersikap dan bahkan sebagai seorang ahli, ia jauh lebih unggul dibandingkan ulama dalam menerapkan prinsip-prinsip ijtihad. Oleh karenanya kiai dan ulama sering dilambangkan sebagai lambang kewahyuan.[8]

Dalam konteks lingkungan masyarakat Islam, ulama sering diidentifikasikan kapada pemahaman sebagai ahli waris para nabi dengan mengacu pada Suatu Hadits yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi,[9] No. Hadits 2606 dalam kitab al-Imi, bab Ma Jaa’a Fi Fadhlil Fiqhi Ala al-Ibaadati yang berbunyi:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ

Di tengah-tengah perkembangan masyarakat Indonesia pada umumnya, dijumpai beberapa gelar sebutan yang diperuntukkan bagi ulama. Misalnya di Sunda orang menyebutnya Ajengan, di Sumatra Barat disebut Buya, di daerah Aceh terkenal dengan sebutan Teungku, di Sulawesi ulama diberi gelar Topanrita, di Madura disebut kiai, Bendara atau Lora yang disingkat Ra dan Neng bagi yang masih muda, dan keyae bagi yang sudah tua, di Lombok orang memanggilnya dengan Lalu, ada juga yang memanggilnya dengan Tuan Guru.[10]

Khusus bagi masyarakat Jawa, Sunda, Palembang dan Madura, kiai merupakan gelar yang diperuntukkan bagi ulama, atau penembahan yang juga merupakan gelar kehormatan bagi para ulama pada umumnya. Sedangkan menurut Prof. Dr. Hamka dalam Hartono Ahmad Jaiz yang mengemukakan bahwa kata kiai adalah kata yang digunakan untuk menghormati seseorang yang dianggap alim, ahli agama dan disegani. Lebih jelas, beliau mengatakan bahwa kiai berarti guru agama Islam yang telah luas pandangannya.[11]

Sebutan kiai bila ditinjau dari sisi sosiologis, maka dalam pandangan ini, umat Islam digambarkan suatu bangunan struktur sosial yang salah satu unsur komponen sosialnya disebut ulama atau kiai. Oleh karena itu, ulama dalam lingkungan masyarakat Islam tidak dapat dipisahkan dengan kaum muslimin. Indikasi pandangan ini karena antara ulama dan kaum muslimin ibarat dua sisi mata uang yang permukaannya berbeda tetapi menyatu bentuk dan tubuhnya, karena keduanya memiliki hubungan yang mendalam dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.

Sebagaimana yang telah kita ketahui tentang peran dan fungsi ulama dalam kehidupan sosial masyarakat di tengah-tengah kehidupan masyarakat, baik menyangkut kehidupan sosial, budaya, politik dan perekonomian, maupun keagamaan.

Dalam kehidupan sosial masyarakat, ulama dijadikan publik figur, yakni sebagai tokoh masyarakat atau informal leader di dalam lingkungan sosialnya.[12]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seluruh kehidupan umat islam tergantung pada ulama, sejak pertama belajar keimanan dan doktrin, memperoleh nilai-nilai dan pemahaman, meletakkan nilai-nilai keyakinan mereka dalam perbuatan, hingga mencapai tujuan keselamatan abadi yang mereka rindukan. Ulama menyatukan sistem keagamaan, para pemeluk agama dan kekuatan gaib (supranatural) ke dalam keterkaitan antara satu sama lainnya, dengan bertindak sebagai penengah di antara mereka.[13]

Hubungan guru murid biasanya tetap langgeng setelah santri tamat dari satu pesantren bekas para santri, yang kini mengemban peran sebagai ulama, atau biasanya pedagang, mengunjungi guru mereka untuk mendapat bimbingan rohani keagamaan sekurang-kurangnya setahun sekali pada waktu lebaran, walau tidak secara teratur. Beberapa santri dari ulama yang terkenal mungkin akan membentuk satu sistim kepercayaan di lingkungan pemimpin sepiritual mereka. Kelompok tersebut menyelenggarakan pertemuan-pertemuan pengajian, mendengarkan ceramah dari guru ulama mereka, atau menyelenggarakan satu sarasehan untuk mencapai konsensus yang berkenaan dengan masalah hukum.[14] Sedangkan Pengaruh mereka sepenuhnya ditentukan oleh kuwalitas kekharismaan mereka.[15]

Daftar Pustaka 

[1]Abu Ahmadi, Ilmu sosial Dasar (Cet. 3; Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 196-197.

[2]Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 155.

[3]Abu Ahmadi, Op. Cit., 199.

[4]Hiroko Horikosshi, “A Traditional Leader In a Time of Change: The Kijaji and Ulama In West Java” diterjemahan Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: PT. Temprin, 1987), XVI.

[5]Ibid., XVII.

[6]Ibnu Qoyim Isma’i, Kiai Penghulu Jawa, Peranannya Di Masa Kolonial (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 61.

[7]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hida Karya Agung, 1989), 277.

[8]Hiroko Horikosshi, Op. Cit.,1.

[9]Software Sahkr, Program al-Hadits al-Syarif, Kutubu At-Tis’ah, Sunan al-Turmudzi, No. 2606, Kitab al-Ilmi, Bab maa jaa’a fii fadli al-fiqqhi ‘ala al-‘ibadah, (Cet. 2; Heliopolis Barat, Mesir: Al-Alamiah, 1997).

[10]Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha, Bila Kiai Dipertuhankan: Membedah Siakap Beragama NU (Jakarta: Pusataka Al-Kutsar, 2001), 30.

[11]Ibid., 32.

[12]Ibnu Qayim Isma’il, Op. Cit., 59-60.

[13]Horikoshi, Op. Cit., 149.

[14]Ibid., 199.

[15]Ibid., 211-212.