Strategi Pengelolaan Santri Terpadu

Strategi Pengelolaan Santri Terpadu | Secara teoritis, pengelolaan mempunyai tiga elemen pokok, yaitu kegiatan oleh pengelola dan anggotanya, tujuan dan organisasi.[1] Bila dikaitkan dengan dunia pesantren, maka pengelolaan meliputi kegiatan pesantren yang dipimpin oleh kyai, tujuan pesantren dan lembaga pesantren itu sendiri.

Dalam kedudukannya sebagai seorang pengelola atau manager, seorang kyai harus mempunyai segudang siasat dan startegi dalam mengelola santri, yang bukan pekerjaan yang ringan. Santri adalah manusia yang mempunyai perasaan dan pemikiran, bukan sekarung beras yang mudah dipindah dan diangkut kemana saja. Siasat dan strategi yang tepat sangat diperlukan agar tujuan pendidikan pesantren dapat tercapai.

Agar dapat mengelola santri dengan baik, mutlak harus memperhatikan komponen-komponen yang ada di dalam pesantren. Filsafat pendidikan Islam telah menjadikan wahyu pertama sebagai inspirasi pendidikan Islam, yang memiliki 5 komponen utama, yaitu guru (Allah swt.), murid (Rasulullah saw.) sarana dan prasarana (qalam), metode pngajaran (iqra’) dan kurikulum (sesuatu yang diketahui).[2]

Strategi pengelolaan pesantren pasti berkaitan dengan metode belajar mengajar di dalam pesantren. Startegi dipahami sebagai pola-pola umum aktifitas ustadz dan santri dalam kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Jika dikaitkan dengan central manajemen pesanren adalah kyai, maka strategi pengelolaan adalah konsep dasar acuan kegiatan kyai dan santri untuk menciptakan kegiatan belajar mengajar di dalam pesantren.

Ada 4 dasar strategi pembelajaran yang harus dipahami, yang meliputi berbagai aspek berikut:

  1. Menetapkan specifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku anak.
  2. Menentukan pendekatakan yang cocok dalam kegiatan belajar mengajar.
  3. Memiliki prosedur, metode dan teknik belajar mengajar.
  4. Menetapkan norma dan kriteria tingkat keberhasilan belajar mengajar.[3]

Strategi pertama yang mesti dilakukan seorang pengelola adalah menetapkan specifikasi dan kualifikasi santri. Sebelum pengelola atau kyai melangkah lebih jauh, dia harus menentukan standart yang ingin dicapai, dia ingin santri seperti apa yang ingin dibentuknya. Dia ingin santrinya nanti menjadi orang yang seperti apa, keahlian apa yang ingin didapatkannya.

Setelah tahap pertama ini  selesai, kyai harus menentukan pola dan metode pendekatan yang ingin digunakannya dalam proses kegiatan belajar mengajar itu. Ada beberapa model pendekatan yang dapat diaplikasikan, antara lain:

  1. Pendekatan religius, yang memandang bahwa manusia diciptakan dengan memiliki potensi fitrah dan bakat agama.
  2. pendekatan filosofis, yang mengasumsikan bahwa manusia adalah makhluk rasional, yang sangat berguna untuk mengembankan diri dan kehidupannya.
  3. pendekatan sosial kultural, yang mengasumsikan manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat dan berkebudayaan, sehingga latar belakang seseorang mempengaruhi pendidikannya.
  4. pendekatan scientific, bahwa manusia mempunyai kemampuan kognitif dan afektif yang harus dikembangkan.[4]

Setelah kyai menentukan pendekatan yang dianggap paling relevan dengan kondisi pesantren, maka kyai harus melangkah pada tahap selanjutnya, yaitu menentikan metode yang paling cocok untuk diaplikasikan. Metode pembelajaran akan memberikan arah dan garis kebijakan yang tepat selama proses kegiatan belajar mengajar. Dengan metode yang tepat, materi pembelajaran akan lebih mudah diterima oleh santri. Dengan metode yang menyenangkan, kegiatan belajar mengajar akan menjadi waktu yang mengasikkan dan tidak membosankan.

Pada bagian akhir, kyai harus menentukan norma dan kriteria tingkat keberhasilan. Bahkan mungkin kyai harus menentukan kriteria ketunttasan minimal, sehingga dia menjadi acuan pada bagian bawah dari hasil belajar seorang santri. Meski seorang santri mempunyai tingkat keberhasilan yang rendah, namun selama dia masih memenuhi standart tingkat ketuntasan minimal ini, maka hasil tersebut masih dapat diterima. Bukankah pendidikan itu berlaku untuk orang yang bodoh juga. Kriteria ini akan menjadi acuan dan dasar penilaian pada pelaksanaan evaluasi.

Idealnya, pesantren harus mampu menerapkan 4 strategi dasar di atas, karena bagaimanapun kegiatan belajar mengajar di pesantren haruslah berjalan dengan arah yang benar dan sistematis. Di tengah proses inipun, pesantren harus tetap melakukan pengawasan dan kontrol yang baik, sehingga jika timbul suatu masalah, dapat segera diatasi dan dicarikan solusinya.

Kehidupan manusia terus berkembang, seiring globalisasi dan perkembangan teknologi, maka sudah selayaknya jika pesantren dapat menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan arah dan garis besar perjuangannya, sebagai penyebar syari’at Islam. Pesantren harus banyak melakukan inovasi dan kreasi yang baik.

Dalam pandangan Quraisy Syihab, pendidikan Islam yang ideal harus berlandaskan:

  1. Kesatuan kehidupan (kesantuan kehidupan dunia dan akhira).
  2. Kesantuan ilmu (kesatuan antara ilmu agama dan umum).
  3. Kesatuan iman dan rasio (antara iman dan akal sejalan beriring dan saling mengisi).
  4. Kesatuan agama (mengakui adanya agama samawi yang dibawa oleh para nabi adalah dari Allah swt. yang berprinsip pokok akidah, syari’ah dan akhlak).
  5. Kesatuan kepribadian manusia (manusia terbentuk dari jasad (material) dan ruh (immaterial)).
  6. Kesatuan individu dan masyarakat (kesatuan pendidikan yang memperhatikan kepentingan individu dan kebutuhan masyarakat).[5]

Kegiatan pesantren yang berlangsung secara kontinyu selama 24 jam, dapat dipandang sebagai sebuah kurikulum. Dalam pandangan kaum modernis, kurikulum adalah pengalaman belajar.[6] Dalam format ini, kurikulum menjadi lebih fleksibel dan universal. Dia dapat mewakili dunia pendidikan secara utuh. Interaksi kyai dan santri yang terjadi setiap waktu di pesantren, dibuat sekondusif mungkin, demi terwujudnya tujuan pendidikan santri, dan tercapainya tujuan akhir kehidupan santri, mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Berbeda dengan pandangan di atas, dalam pandangan kaum klasik, kurikulum diartikan sebagai rangkaian mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam waktu tertentu. Dengan mengacu kepada pandangan ini, maka kurikulum pendidikan pesantren harus berpijak kepada berbagai aspek berikut:

  1. Mata pelajaran yang diberikan dapat berpengaruh terhadap perubahan jiwa serta kesempurnaan jiwa anak.
  2. Mata pelajaran yang diberikan dapat memberikan petunjuk dan tuntunan menjalani hidup mulia.
  3. Mata pelajaran sebaiknya secara langsung bermanfaat bagi anak didik.
  4. Mata pelajaran yang diberikan mencerminkan kesesuaian bakat dan minat peserta didik.
  5. Mata pelajaran yang diberikan sebagai kunci pembuka mempelajari ilmi-ilmu yang lain.[7]

Pengelolaan santri terpadu jelas mempunyai tingkat kerumitan yang lebih tinggi dibanding santri tradisional, yang hanya mengkaji ilmu-ilmu agama saja.  Santri terpadu harus tetap fokus untuk mengkaji materi ilmu umum, meski dia juga tetap harus mengkaji ilmu agama, sehingga dia mempunyai beban ganda. Kondisi ini tentu harus diperhatikan, sehingga beban tersebut tidak menjadi berlebihan. Kesingkronan program belajar mengajar madrasah dan program pengajian di pesantren harus diselalu diperhatikan, sehingga tidak memberikan beban yang overload, beban yang berlebih, yang dapat membahayakan keseimbangan jiwa santri.

[1] H. D. Sudjana, Manajemen Program Pendidikan, Falah Production, Bandung, 2004, hal. 27.

[2]  Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Pranada Media, Jakarta, 2003, hal 176-177.

[3]  Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 5.

[4]  Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hal. 41.

[5]  M. Quraisy Syihab, Wawasan Al Qur’an, Mizan, Bandung, 1996, Cet. III, hal. 382-383.

[6]  Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hal. 33.

[7]  M. Athiyah Al Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj Bustami Abdul Ghani, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hal. 160-161.