SOSOK PEMIMPIN INOVATIF

SOSOK PEMIMPIN INOVATIF
“Prof. Dr. H. Imam Suprayogo”

I. Pendahuluan
Institusi Pendidikan Islam di Indonesia belakangan ini ternyata banyak yang hanya jalan di tempat, atau mungkin bisa diistilahkan laa yamuutu wa laa yahyaa. Hal ini bisa dikarenakan institusi-istisusi pelaksananya kurang greget dalam pengembangannya, terkesan setengah-setengah, atau lebih spesifik lagi personel-personelnya kurang bergizi keilmuannya, kurang professional, atau bahkan kurang husnu al niyah nya.
Fenomena seperti ini tampak jelas sekali ketika kita melihat instisusi-institusi pendidikan terutama yang ada di pedesaan. Para pendiri institusi ini menilai bahwa masyarakat sekitarnya sangat membutuhkan uluran tangannya dalam mendidik putra-putri mereka. Masyarakat yang mayoritas pra sejahtera sangat menggantungkan pendidikan putra-putri mereka pada pimpinan institusi ini. Karena untuk menyekolahkan di sekolah-sekolah negeri, mereka kesulitan karena ekonomi yang serba kekurangan, apalagi belakangan ini biaya pendidikan tiap tahun selalu naik.
Begitu pentingnya peran yang harus dipikul dan begitu beratnya tingkat kesulitan yang harus dihadapi, dan pada akhirnya kebutuhan akan eksistensi sosok yang inovatif, kreatif, berpikiran maju merupakan suatu keniscayaan. Karena ia harus mampu bertanggung jawab dalam menanggung amanah yang dipercayakan oleh masyarakat sosialnya maupun kepada Rabbnya. Hal inilah yang melatarbelakangi pentingnya mencari suri tauladan pemimpin inovatif. Dan menurut hemat penulis Bpk. Imam Suprayogo merupakan tauladan yang cocok untuk memajukan institusi pendidikan sebagaimana ia telah berupaya untuk memajukan institusi yang dipimpinnya (UIN Malang).

II. Pembahasan
Imam Suprayogo yang lahir sekitar 53 tahun yang lalu adalah anak desa yang berasal dari sebuah desa di Kabupaten Trenggalek, berasal dari keluarga NU tulen. Lembaga pendidikan yang dilaluinya mulai dari SD sampai SMA tidak ada yang tergolong unggulan, apalagi istimewa. Namun kedisiplinan dan kerja keras sudah terpatri sejak dini. Dan inilah yang mengantarkan Imam Suprayogo menggapai keberhasilannya menjadi Imam besar kelak di kemudian hari, seperti yang kita saksikan hari ini.
Menginjak remaja, Imam memasuki Fakultas Tarbiyah Malang IAIN Sunan Ampel. Setelah menyelesaikan kuliahnya ia menjadi staf biasa, Dekan Fisip dan terakhir Purek I di Universitas Muhammadiyah Malang. Terobosan-terobosan cerdas dilaluinya, walau sering dengan penuh resiko, dalam rangka mengantarkan UMM menjadi salah satu Universitas kebanggaan masyarakat. Sulit dipungkiri bahwa kemajuan UMM seperti sekarang ini tak lepas dari sentuhan-sentuhan cerdik putra Trenggalek tersebut, tentu bersama dengan jajaran pimpinan UMM yang lain.
Kematangan dalam kepemimpinannya sudah tidak diragukan lagi, hal ini terbukti dengan besarnya UMM seperti sekarang ini. Sebagai seorang pemimpin tentunya ia sudah sering berinteraksi dengan orang-orang elit (penting) dalam rangka pengembangan UMM. Namun jiwa dan kepribadiannya tetap low profile seperti yang tercermin dalam kehidupannya sehari-hari.
Setelah 13 tahun menimba pengalaman leadership di UMM, ia kemudian mulai mengabdi Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang sebagai Pembantu Dekan I. Tak lama kemudian Pak Imam dipercaya menjadi Ketua STAIN sejak 1997.
Sejak saat itu muncullah ide-ide briliannya untuk menghantarkan STAIN menjadi salah satu pusat kajian studi Islam, yang tentunya setelah kemandirian lembaga ini. Dengan cepat Pak Imam meletakkan dasar-dasar pengembangan STAIN Malang dengan menyusun naskah Rencana Pengembangan STAIN Malang Sepuluh Tahun Kedepan. Melalui naskah tersebut tergambar dengan jelas visi dan misi Pak Imam dalam mengemban amanah selaku pimpinan STAIN Malang, melalui jargonnya “Membangun Ulama Intelek Profesional dan Intelek Profesional yang Ulama”.
Perjuangan ini jelas tidak mudah karena tantangan yang ada di hadapannya tampak besar sekali. Namun ia bertekad dan yakin bahwa no impossible thing in the world, melalui terobosan-terobosan barunya yang cemerlang dia memulai mencari celah-celah untuk mewujudkan cita-citanya, baik dengan menggalang persatuan tekad antar warga kampus STAIN (intern) maupun dengan berinteraksi dengan masyarakat luar (ekstern) yang concern terhadap pendidikan.
Karena kepribadiannya yang tawadlu’ dan niat luhurnya ia mendapat sambutan baik dari seluruh warga kampus STAIN. Ia mampu mengobarkan semangat jihad fi sabilillah dengan bersatu padu mengembangkan STAIN menjadi kampus besar yang dipercaya oleh masyarakat Indonesia pada khususnya dan masyarakat Internasional umumnya.
Sambutan yang baik ini tidak ia sia-siakan, ia kemudian memulai program-programnya antara lain :
1. Pembangunan fisik berupa masjid dan asrama mahasiswa. Hal ini didasarkan pada realita bahwa kalangan ulama yang ada mayoritas lahir dari pesantren. Maka jika STAIN konsisten dalam cita-citanya, yaitu untuk melahirkan ulama professional maka kampus harus dilengkapi dengan asrama atau pondok dan masjid. Selain itu juga ada upaya untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa di bidang Bahasa Arab dan Inggris, karena menurutnya dua bahasa inilah yang bisa mengantarkan mahasiswanya menjadi ulama intelek yang professional dan intelek professional yang ulama sesuai dengan konsep اولواالاباب yang menjadi brand kebesaran STAIN Malang.
2. Pengembangan Dosen, menurutnya ukuran-ukuran ketenaran perguruan tinggi bisa dilihat dari tenaga akademik (dosen) yang ada di PT tersebut. Sehingga ia merasa sangat perlu sekali untuk membuat kebijakan dosen yang ada harus menempuh pendidikan lanjut S2 dan S3.
3. Peningkatan etos/semangat akademik dan suasana keagamaan di kampus. Untuk mengembangkan semangat akademik diadakan beberapa diskusi, membimbing mahasiswa melakukan kajian-kajian ilmiah dan semacamnya. Dan untuk mengembangkan suasana keagamaan direalisasikan dengan mentradisikan membaca Al Qur’an di kampus.
Ambisi Pak Imam yang lain tentang gambaran masa depan pendidikan adalah ingin menjadikan perguruan tinggi ini sebagai rumah ilmu. Maksudnya dengan langkah-langkah seperti yang telah disebutkan kampus ini akan menjadi tempatnya orang berilmu (ilmuan) yang mempunyai gelar doktor dan professor yang karya-karyanya menjadi bahan rujukan dan perbincangan masyarakat ilmiah. Dengan begitu maka kampus ini sudah pasti akan didatangi oleh mahasiswa-mahasiswa yang memang haus akan keilmuan.
Posisi perguruan tinggi ini yang masih berlebel STAIN masih kurang bisa bergerak bebas dalam menentukan arah kebijakan pendidikannya. Hal ini membuat Pak Imam segera mencarikan solusi yakni menjadikannya sebagai sebuat universitas. Akhirnya pada tahun 1993 kampus ini berubah menjadi UIIS (Universitas Islam Indonesia Sudan) dan akhirnya sekarang menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) yang insya Allah nama ini sudah tidak akan berubah lagi.
Langkah-langkah yang lain yang direncanakan Pak Imam ke depan adalah ingin menjadi landasan pendidikan di UIN ini kepada Al Qur’an dan Al Hadits serta hasil pemikiran empirik. Maksudnya adalah pendidikan Islam akan dijadikan satu kesatuan dengan pendidikan umum lainnya. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa lulusan UIN mampu menjadi ulama yang intelek professional atau intelak professional yang ulama, sebagaimana brand yang tertera di almamaternya اولواالاباب”” sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an :

الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جبوبهم ويتفكزون فى خلق الله.
Mungkin ayat inilah yang menjadi insprirasi di hati Pak Imam sehingga beliau dengan keikhlasan hatinya dan dengan segenap tenaga serta pikirannya dicurahkan untuk memajukan UIN sehingga betul-betul menjadi kampus yang up to date dan berwawasan luas tanpa adanya dikhotomi terhadap ilmu agama dan ilmu umum.
Konsep seperti ini sejalan dengan pendapat Bapak Muhaimin dengan istilahnya paradigma organisme dalam bukunya Paradigma Pendidikan Islam. Beliau menyebutkan “kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah shahihah sebagai sumber pokok, kemudian mau menerima kontribusi pemikiran dari para ahli serta mempertimbangkan konteks historisitasnya”
Dalam prakteknya nilai-nilai Ilahi didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek lainnya dijadikan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai relasi horizontal-lateral atau lateral-sekuansial. Melalui upaya semacam ini diharapkan system pendidikan Islam dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan sehingga mampu menciptakan lulusan yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kematangan professional, dan sekaligus hidup dengan nilai-nilai agama.

III. Penutup
Perjuangan memang harus didahului oleh niat yang tulus ikhlas لاعلاء كلمات الله agar hasil yang dicapai betul-betul dapat diterima oleh jiwanya sendiri lebih-lebih masyarakat sekitarnya. Apapun hasil dari usaha yang telah kita lakukan selanjutnya kita pasrahkan sepenuhnya kepada kehendak-Nya. Karena Beliaulah yang menjadi Pemutus akhir dari segala urusan di dunia ini.
Kiranya uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa kepemimpinan yang telah ditampilkan oleh Bapak Imam sejalan dengan apa yang ada di dalam Al Qur’an yakni ingin menciptakan manusia yang اولواالاباب”” dan juga sesuai dengan realitas kebutuhan masyarakat Indonesia khususnya dan masyarkat dunia pada umumnya. Integritas keilmuan yang menjadi konsepnya bertujuan untuk menghilangkah dikhotomi ilmu agama dan ilmu umum telah beliau aplikasikan dalam kampus yang ia pimpin (UIN Malang).
Demikianlah ulasan singkat tentang “Sosok Pemimpin Kreatif” (Prof. Dr. H. Imam Suprayogo) yang penulis anggap sebagai sosok pimpinan pendidikan yang patut dijadikan tauladan dalam pengembangan pendidikan yang lebih maju, dinamis dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dunia. Selanjutnya penulis memohon sudilah kiranya pembaca untuk memberikan kritik konstruktif dalam penyempurnaan penulisan makalah ini ke depan.

Daftar Rujukan
Suprayogo, Imam. Reformulasi Visi Pendidikan Islam. 1999, STAIN Press, Malang.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam. 2001. Remaja Rosdakarya. Bandung