SISTEM KARBONAT AIR LAUT

Air merupakan unsur penting dalam kehidupan . Hampir seluruh kehidupan didunia inl- tidak terlepas dari adanya unsure air ini. sumber utama air yang mendukung kehidupan dibumi adalah laut, dan semua air akhirnya akan kembali kelaut yang bertindak sebagai penampung. Air dapat mengalami daur hidrologi, selama menjalani daur itu air akan selalu menyerap zat-zat yang menyebabkan air tidak lagi murni, sehingga pada hakeketnya tidak ada air yang betul murni.
Zat-zat yang diserap oleh air alam dapat diklasifikasik Gas terlarut dan padatan tersuspensi. Pada umumnya jenis zat pengotor yang terkandung dalam air tergantung pada jenis bahan yang berkontak dengan air itu. Sedangkan banyaknya zat pengotor tergantung pada waktu kontaknya. Bahan-bahan mineral yang terkandung dalam air dapat berupa kalsium karbonat (CaCO3), magnesium karbonat (MgCO3), Kalsium Sulfat (CaCO4), Magnesium Sulfat (MgSO4) dan sebagainya.
Air yang banyak mengandung mineral kalsium dan magnesium dikenal sebagai air yang sukar untuk dipakai untuk keperluan sehari-hari.senyawa kalsuim dan magnesium yang juka bereaksi dengan zat kimia lainnya seperti zat sabun maka membentuk endapan dan mencegah terjadinya busa dalam air, sehinga senyawa kalsium dan magnesium sukar larut dalam air laut. Maka senyawa tersebut cenderung memisahkan diri dari larutan yang membentuk endapan yang akhirnya menjadi kerak.
Selain halnya air, Siklus karbonat-silikat, seperti yang kita jumpai berlangsung di Bumi, dimulai dengan reaksi antara karbon dioksida dan mineral-mineral silikat. Hasil reaksi yang terbentuk akan terbawa sampai ke laut dan tersimpan dalam bentuk deposit karbonat. Selanjutnya, melalui aktivitas geologi seperti proses tektonik, deposit karbonat tersebut dapat mencapai litosfer (lapisan batuan) di permukaan Bumi. Setibanya di permukaan Bumi, deposit karbonat akan mengalami pemanasan dan diubah kembali menjadi karbon dioksida melalui aktivitas vulkanik. Keberadaan karbon dioksida di atmosfer akan menahan kalor yang diterima dari Matahari lepas kembali untuk menjaga kestabilan temperatur di permukaan. Sumber panas internal bagi planet-planet seperti Bumi berasal dari peluruhan isotop radioaktif. Semakin masif planet yang bersangkutan, semakin lama siklus karbonat-silikat yang dapat berlangsung.
Selain itu kandungan air laut banyak berasal dari atmosfir, hujan asam yang dapat mempengaruhi sistem karbon air laut, seperti perubahan ph, salinitas, temperatur dan arus. Perubahan ph yang terjadi akibat penyerapan karbon dioksida di atmosfer yang dihasilkan dari kegiatan manusia (seperti penggunaan bahan bakar fosil). Pada siklus karbon alami, konsentrasi CO2 di atmosfer menggambarkan sebuah keseimbangan fluks antara lautan, daratan dan atmosfer. Perubahan fungsi lahan (land use change), penggunaan bahan bakar fosil, dan produksi semen mengakibatkan adanya sumber CO2 tambahan ke dalam atmosfer bumi. Sebagian CO2 tersebut diserap oleh tumbuhan di darat dan sebagian lainnya diserap oleh lautan.
Ketika CO2 terlarut, dia akan bereaksi dengan air membentuk suatu kesetimbangan jenis ionik dan non-ionik yaitu: karbon dioksida yang terlarut bebas (CO2 (aq)), asam karbonat (H2CO3), bikarbonat (HCO3-), dan karbonat (CO32-). Meskipun penyerapan CO2 oleh lautan akan membantu memperbaiki efek iklim akibat emisi CO2, namun diyakini juga bahwa akan ada konsekuensi negatif terhadap organisme kerang-kerangan yang memanfaatkan kalsit dan aragonit dari kalsium karbonat untuk membentuk cangkang. Organisme ini berperan dalam rantai makanan di laut. Karena adanya proses photosintesis oleh alga yang menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbondioksida. Dan fotosintesis oleh alga yang bersimbiosis dengan karang membentuk terumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat.
Pada kondisi normal, kalsit dan aragonit stabil di permukaan air karena ion karbonat berada pada kondisi sangat jenuh. Dengan turunnya pH air laut, konsentrasi ion karbonat ini juga akan turun, dan pada saat karbonat berada pada kondisi tak jenuh, struktur yang dibentuk dari kalsium karbonat menjadi rapuh dan akan mudah terpecah/terputus (dissolute). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karang-karangan (Gattuso et al., 1998), alga coccolithophore (Riebesell et al., 2000) dan pteropods (Orr et al., 2005) akan mengalami pengurangan kalsifikasi atau peningkatan pemutusan ketika terpapar oleh naiknya kadar CO2.
Membicarakan masalah laut tidak terlepas dari biota yang hidup didalamnya,diantaranya fitoplanton yang bertugas dalam rantai berupa proses fotosintesis yang membutuhkan oksigen dan karbon. Di lautan, fitoplankton adalah titik awal dari carbon sinks melalui suatu sistem rantai makanan. Fitoplankton ini mengekstrak karbon dari gas karbon dioksida yang mereka serap dari atmosfer pada saat proses fotosintesa. Binatang bercangkang atau berkerang juga menggunakan karbon untuk membuat cangkang atau kerang mereka. Ketika mati, cangkang atau kerang tersebut akan tenggelam dan tersimpan di dasar laut hingga kedalaman 2000 sampai 4000 meter dalam waktu ribuan tahun. Carbon sinks juga akan terjadi melalui tenggelamnya makhluk-makhluk hidup yang telah mati, kotoran-kotoran zooplancton dan ikan-ikanan ke dasar laut.
Belakangan ini, peranan fitoplankton laut dalam mereduksi karbon di atmosfer mulai didengungkan oleh para peneliti kelautan Indonesia. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa fitoplankton adalah mikroalga yang memiliki fungsi yang sama seperti tumbuhan di daratan dalam hal proses fotosintesis. Sebagaimana halnya hutan, maka diharapkan laut kita dapat memiliki posisi strategis dalam negosiasi perdagangan karbon. Proses penyerapan karbon di laut tidak sama dengan proses yang terjadi di daratan. Memang fitoplankton dapat menyerap CO2 terlarut di air melalui proses fotosintesis. Tetapi gas CO2 di atmosfer tidak otomatis diserap ketika proses ini berlangsung, karena laut me-miliki mekanisme sendiri yang dikontrol oleh sistem karbonat laut. Salah satu parameter penting adalah tekanan parsial CO2 di permukaan laut (pCO2). Perbedaan tekanan parsial di lapisan permukaan laut-udara akan menentukan arah pertukaran gas CO2. Bila tekanan parsial CO2 rendah maka akan terjadi penyerapan CO2 di atmosfer, demikian pula sebaliknya. Ada parameter lainnya, yaitu kandungan karbon anorganik terlarut (DIC) dan total alkalinitas (TA). Semakin tinggi karbon anorganik terlarut maka tekanan parsial CO2 permukaan laut akan meningkat, tetapi semakin tinggi TA akan menurunkan pCO2 permukaan laut. Suplai nutrien dari daratan (misal: sungai) dapat memicu aktifitas foto-sintesis dan diikuti oleh penurunan DIC. Tetapi, suplai dari daratan juga membawa DIC dan TA yang memiliki dampak berbeda terhadap pCO2 di perairan pesisir.
Selain proses di atas, temperatur permukaan laut juga penting. Semakin tinggi temperatur air akan mengakibatkan pCO2 tinggi. Hal ini dapat diibaratkan gelas yang berisi coca cola. Peluang gas karbonasi untuk bertahan dalam larutan coca cola tersebut akan lebih tinggi bila di simpan dalam lemari es, ketimbang dibiarkan di udara terbuka dan terkena matahari langsung.
Inilah yang melatarbelakangi, kenapa sampai sekarang belum dapat disimpulkan secara jelas peranan perairan pesisir dalam siklus karbon. Kondisi lokal memiliki andil yang sangat besar. Kondisi perairan pesisir kita umumnya merupakan perairan tropis, sehingga membuat sistem karbonat tersebut menjadi lebih rumit
.
Menurut beberapa literatur, carbon sinks, atau carbon dioxide sinks, adalah reservoir atau tempat untuk menyimpan atau menyerap gas karbon dioksida yang terdapat di atmosfer bumi. Hutan dan laut adalah tempat alamiah di bumi ini yang berfungsi untuk menjadi tempat menyerap gas karbon dioksida (CO2). Gas karbon dioksida diserap oleh tumbuhan yang sedang tumbuh dan disimpan di dalam batang kayunya. Di lautan, gas karbon dioksida yang digunakan oleh fitoplankton untuk proses fotosintesa, tenggelam ke dalam dasar lautan bersama kotoran makhluk hidup pemakan fitoplankton dan predator-predator tingkat tinggi lainnya sebagai kotoran dan menjadi kerang-kerangan.
Proses berpindahnya gas karbon dioksida dari atmosfer (ke dalam vegetasi dan lautan) biasa disebut sebagai carbon sequestration. Beberapa ahli di negara-negara maju saat ini banyak yang aktif meneliti tentang proses ini dan berharap menemukan sebuah cara efektif untuk membuat sebuah proses buatan dalam rangka mengurangi laju perubahan iklim global (mitigasi pemanasan global) yang menurut para ahli berada dalam level yang “cukup mencemaskan” abad ini.
Di lautan, fitoplankton adalah titik awal dari carbon sinks melalui suatu sistem rantai makanan. Fitoplankton ini mengekstrak karbon dari gas karbon dioksida yang mereka serap dari atmosfer pada saat proses fotosintesa. Binatang bercangkang atau berkerang juga menggunakan karbon untuk membuat cangkang atau kerang mereka. Ketika mati, cangkang atau kerang tersebut akan tenggelam dan tersimpan di dasar laut hingga kedalaman 2000 sampai 4000 meter dalam waktu ribuan tahun. Carbon sinks juga akan terjadi melalui tenggelamnya makhluk-makhluk hidup yang telah mati, kotoran-kotoran zooplancton dan ikan-ikanan ke dasar laut..
Seiring dengan perubahan iklim bertambahnya jumlah karbon dioksida di atmosfer bumi dan meminimalkan dampak dari pemanasan global. Namun, karena atmosfer berinteraksi dengan lautan, penyerapan karbon dioksida dan kapasitas sequestrasi dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim tersebut Melalui beberapa mekanisme interaksi fisis dan kimiawi, sirkulasi laut dapat mengubah dan mempengaruhi waktu simpan karbon dioksida yang diinjeksikan ke laut dalam, dan hal itu secara tidak langsung akan mengubah tempat penyimpanan karbon di lautan dan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer, Menurut Jain, perubahan iklim di masa datang dapat berpengaruh terhadap penyerapan karbon dioksida di laut dan juga pola sirkulasinya. Dengan bertambahnya suhu permukaan laut, densitas air laut akan berkurang dan akan memperlambat sirkulasi termohalin, sehingga kemampuan laut untuk menyerap karbon dioksida juga akan berkurang. Hal ini akan mengakibatkan jumlah karbon dioksida di atmosfer bertambah dan memperburuk masalah yang ada. Jain juga mengatakan bahwa memindahkan karbon ke laut dalam bukan merupakan solusi yang permanen untuk menguranngi jumlah karbon dioksida di atmosfer. Karbon dioksida yang disimpan di laut tidak akan selamanya dapat bertahan di situ. Kadangkala ia akan menampis ke permukaan dan ke dalam atmosfer