SEBARAN DAERAH PENANGKAPAN TUNA DI PERAIRAN LAUT BANDA

SEBARAN DAERAH PENANGKAPAN TUNA DI PERAIRAN LAUT BANDA

Oleh :

AYU ADHITA DAMAYANTI/C451070051
BUDI NUGRAHA/C451070071

PENDAHULUAN
Tuna merupakan sumberdaya ikan yang mempunyai nilai ekonomis penting. Perikanan tuna di Indonesia berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah unit penangkapan tuna. Kenaikan rata-rata unit penangkapan tuna secara keseluruhan dari tahun 1991 sampai tahun 2001 meningkat sebesar 10,25 %, dengan rata-rata peningkatan produksi tuna sebesar 8,4 % (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2003). Pada tahun 2002 tuna dalam bentuk segar dan beku sekitar 18.011,5 ton dari Bali dan 17.471 ton dari Muara Baru diekspor ke negara-negara lain seperti Jepang, Malaysia, Jerman, dan sebagainya (Proctor et al., 2003).
Potensi sumberdaya ikan pelagis besar, terutama tuna, di Laut Banda pada tahun 2001 sebesar 104.120 ton, sedangkan tingkat pemanfaatannya baru sekitar 27,95 % (Pusat Riset Perikanan Tangkap, 2001). Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi tuna di Laut Banda masih memungkinkan untuk dikembangkan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Pemanfaatan sumberdaya tuna di berbagai wilayah perairan Indonesia tidak merata. Di beberapa wilayah perairan masih terbuka peluang besar untuk pengembangan pemanfaatannya, sedangkan di beberapa wilayah yang lain sudah mencapai padat tangkap (fully exploited), bahkan lebih tangkap (over fishing).
Masalah utama yang dihadapi dalam upaya optimalisasi hasil tangkapan ikan, khususnya tuna adalah sangat terbatasnya data dan informasi mengenai kondisi oseanografi dan daerah penangkapan yang potensial. Armada penangkap ikan berangkat dari pangkalan selalu mencari daerah penangkapan ikan dengan ketidakpastian tentang daerah penangkapan yang potensial. Sehingga, akibat ketidakpastian daerah penangkapan tersebut, kapal penangkap banyak menghabiskan waktu dan bahan bakar untuk mencari daerah penangkapan tersebut. Oleh karena itu, informasi mengenai daerah penangkapan atau penyebaran tuna baik secara horisontal maupun vertikal sangat diperlukan guna menunjang keberhasilan operasi penangkapan tuna.

Sumber : www.dkp.go.id
Gambar 1. Peta sebaran tuna di Indonesia

SUMBERDAYA TUNA
Tuna merupakan anggota dari famili Scombridae. Ada beberapa jenis tuna exportable yang tertangkap dari perairan Indonesia, diantaranya adalah madidihang atau yellowfin tuna (Thunnus albacares), tuna mata besar atau bigeye tuna (Thunnus obesus), albakora atau albacore (Thunnus alalunga) dan tuna sirip biru selatan atau southern bluefin tuna (Thunnus maccoyi) (Gambar 2).
Tuna adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol (schooling) sewaktu mencari makan. Kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km/jam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas, termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera. Pengetahuan mengenai penyebaran tuna sangat penting artinya bagi usaha penangkapannya.
Jenis tuna menyebar luas di seluruh perairan tropis dan subtropis. Penyebaran jenis-jenis tuna tidak dipengaruhi oleh perbedaan garis bujur (longitude) tetapi dipengaruhi oleh perbedaan garis lintang (latitude) (Nakamura, 1969). Di Samudera Hindia dan Samudera Atlantik menyebar di antara 40ºLU dan 40ºLS (FAO, 1983). Khususnya di Indonesia, tuna hampir didapatkan menyebar di seluruh perairan di Indonesia. Di Indonesia bagian barat meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan timur Aceh, pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Di Perairan Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda, Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara Irian Jaya dan Selat Makasar.
Distribusi tuna di laut sangat ditentukan oleh berbagai faktor, baik faktor internal dari ikan itu sendiri maupun faktor eksternal dari lingkungan. Faktor internal meliputi jenis (genetis), umur dan ukuran, serta tingkah laku (behaviour). Perbedaan genetis ini menyebabkan perbedaan dalam morfologi, respon fisiologis dan daya adaptasi terhadap lingkungan. Faktor eksternal merupakan faktor lingkungan, diantara adalah parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman lapisan thermoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen dan kelimpahan makanan.
Penyebaran vertikal tuna di perairan tropis sangat dipengaruhi oleh lapisan termoklin. Tuna menyebar sampai ratusan meter di bawah permukaan air laut. Berdasarkan deteksi gema, ikan tuna banyak terdapat pada kedalaman 100 – 200 m dengan kedalaman renang 20 – 200 m (Nishimura, 1964 diacu dalam Suharto, 1995). Kedalaman renang tuna bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya tuna dapat tertangkap di kedalaman 0 – 400 m. Salinitas perairan yang disukai berkisar 32 – 35 ppt atau di perairan oseanik. Suhu perairan berkisar 17 – 310C.
Madidihang tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Panjang madidihang bisa mencapai lebih dari 2 m. Jenis tuna ini menyebar di perairan dengan suhu yang berkisar antara 17 – 310C dengan suhu optimum yang berkisar antara 19 – 230C, sedangkan suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20 – 280C (Uda, 1952 diacu dalam Laevastu and Hela, 1970).
Tuna mata besar menyebar dari Samudera Pasifik melalui perairan di antara pulau-pulau di Indonesia sampai ke Samudera Hindia. Ikan ini terutama ditemukan di perairan sebelah selatan Jawa, sebelah barat daya Sumatera Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Laut Banda dan Laut Maluku. Menurut Uda (1952) diacu dalam Laevastu and Hela (1970), tuna mata besar merupakan jenis yang memiliki toleransi suhu yang paling besar, yaitu berkisar antara 11 – 280C dengan kisaran suhu penangkapan antara 18 – 230C.
Sebaran tuna albakora sangat dipengaruhi oleh suhu. Jenis ini menyenangi suhu yang relatif lebih rendah. Albakora juga memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan dua jenis tuna di atas.
Tuna sirip biru selatan didapatkan menyebar hanya di belahan bumi selatan. Oleh karena itu jenis ini sering disebut sebagai southern bluefin tuna. Ikan ini tidak terlalu banyak tertangkap oleh nelayan Indonesia.

Tabel 1. Habitat dan penyebaran horisontal dan vertikal beberapa jenis tuna
Jenis ikan Swimming layer
(m) Habitat Batas kisaran suhu air ( 0C) Distribusi geografis
Thunnus alalunga
(Albacore) >380 epipelagis mesopelegis
oseanis 15,6 – 25,2 45 0 – 50 0LU
30 0 – 40 0LS
Thunnus albacares
(Yellowfin tuna) 200 epipelagis
oseanis 5 – 30 >30 0LS
Thunnus obesus
(Bigeye tuna) 0 – 250 epipelagis
mesopelagis
oseanis 13 – 29 Perairan Tropis Subtropis
Thunnus thynnus
(Nothern bluefin tuna) Tidak terbatas epipelagis
oseanis Batas toleransi tinggi Samudera Atlantik
Samudera Pasifik
Thunnus tonggol
(Longtail tuna) – epipelagis – Samudera Pasifik Barat
Sumber : FAO (1983)

Sumber : www.fishbase.com
Gambar 2. Jenis-jenis ikan tuna.

KEADAAN UMUM PERAIRAN LAUT BANDA
Laut Banda merupakan kawasan perairan Indonesia Timur yang termasuk ke dalam perairan Samudera Pasifik Barat dan berbatasan dengan Samudera Hindia. Secara topografi kedalaman kawasan perairan Indonesia Timur lebih dari 2.000 m bahkan di beberapa tempat mencapai 5.000 – 6.000 m (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2001).
Menurut Wyrtki (1958) seperti diacu dalam Suharsono (2003) di perairan Laut Banda pada musim timur yaitu antara bulan April sampai September terjadi upwelling dan pada musim barat yaitu antara bulan Oktober sampai Maret terjadi downwelling. Pada musim timur angin bertiup dari timur menuju barat, sehingga menyebabkan arus permukaan mengalir dari Laut Banda menuju Laut Flores dan Laut Jawa. Hal ini menimbulkan pergerakan massa air dari lapisan bawah yang bersuhu lebih dingin ke atas sehingga terjadilah upwelling. Pada musim barat terjadi sebaliknya, angin bertiup dari barat ke timur dan menyebabkan arus permukaan bergerak dari Laut Jawa, Laut Sulawesi dan Laut Flores menuju ke Laut Banda sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan massa air yang besar dan kemudian tenggelam (downwelling).
Upwelling ditandai dengan penurunan suhu, kenaikan oksigen, zat hara nitrat, dan fosfat (Rochford, 1962 diacu dalam Suharsono, 2003). Terjadinya penurunan suhu pada saat upwelling diperkuat oleh pengamatan variasi suhu musiman yang dilakukan di Banda Timur yang menunjukkan bahwa terjadi penurunan suhu sebesar 2 – 6 0C pada bulan Juni – September dan suhu maksimum terjadi pada bulan November (Boely et al., 1990 diacu dalam Suharsono, 2003). Meningkatnya oksigen dan nutrien pada musim timur ini menyebabkan terjadinya peningkatan produktivitas primer dan jumlah plankton hingga 2 – 3 kali apabila dibandingkan dengan musim barat (Arinardi, 1999 diacu dalam Suharsono, 2003). Peningkatan jumlah biomassa plankton tersebut secara tidak langsung memberi pengaruh pada meningkatnya produksi ikan pelagis besar. Pada saat terjadinya upwelling produksi ikan pelagis meningkat sebesar 4 – 5 kali apabila dibandingkan dengan musim barat. Sehingga hasil tangkapan ikan tuna nelayan Kepulauan Banda meningkat pada musim timur dan mencapai puncaknya pada awal musim barat yaitu antara bulan Oktober – November (Amin dan Nugroho, 1990 diacu dalam Suharsono, 2003).
Potensi lestari tuna besar di Laut Banda pada tahun 1997 berdasarkan sumber dari Komisi Nasional Pengkajian Stok (1998) yaitu sebagai berikut : madidihang sebesar 13.723 ton dengan hook rate 1,52; tuna mata besar sebesar 7.294 ton dengan hook rate 0,664; dan albakora sebesar 150 ton dengan hook rate 0,03. Dari ketiga jenis tuna besar tersebut tingkat pemanfaatannya tercatat baru sebesar 29,5 % (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2001).

DAERAH PENANGKAPAN TUNA (TUNA FISHING GROUND)
Pengertian daerah penangkapan (fishing ground) adalah suatu perairan tempat ikan yang menjadi sasaran. Menurut Gunarso (1998), beberapa daerah di Indonesia yang merupakan daerah penangkapan ikan tuna antara lain adalah Laut Banda, Laut Maluku dan perairan selatan Jawa terus menuju timur. Begitu pula di perairan selatan dan barat Sumatera serta perairan lainnya.
Daerah penangkapan yang potensial sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu operasi penangkapan. Penentuan daerah penangkapan tuna dengan tepat dapat dilakukan dengan dukungan berbagai informasi. Informasi tersebut salah satunya dapat diperoleh berdasarkan pengalaman nelayan dimana informasi tersebut dicatat di dalam buku pelayaran (log book).
Karakteristik fishing ground yang baik menurut Nomura (1977) seperti diacu dalam Suryadi (1982) adalah sebagai berikut :
(1) Perairan tersebut mempunyai kondisi yang sangat baik sehingga ikan mudah datang bersama-sama secara bergerombol dan perairan tersebut merupakan tempat yang cocok bagi ikan;
(2) Perairan tersebut merupakan tempat yang mudah bagi nelayan untuk mengoperasikan alat tangkapnya; dan
(3) Perairan tersebut secara ekonomis menguntungkan.

Ditambahkan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan Jepang, dilaporkan daerah penangkapan tuna yang baik adalah :
(1) Tempat-tempat pertemuan arus dari daerah perairan dangkal, sempit, dengan laut dalam;
(2) Tempat-tempat terjadinya konvergensi dan divergensi diantara arus yang berdekatan; dan
(3) Tempat-tempat dimana arus mengalir dengan deras atau tempat dengan arus yang sempit.

Daerah penangkapan yang pernah dilaporkan oleh PT. PSB sebagai berikut :
Januari : barat Sumatera, selatan NTB/NTT, Laut Flores, Laut Banda bagian timur.
Pebruari : barat Sumatera, selatan Jawa/Bali/NTB/NTT dan relatif kecil di Laut Banda.
Maret : barat Sumatera, selatan Jawa/Bali/NTB/NTT dan relatif kecil di Laut Banda.
April : barat Sumatera, selatan Jawa/Bali/NTB/NTT, Laut Flores dan di Laut Banda cukup padat.
Mei : terutama di selatan Jawa/Bali/NTB dan Laut Banda.
Juni : selatan Jawa/Bali/NTB dan Laut Banda.
Juli : selatan Jawa/Bali, lepas pantai NTB/NTT dan sedikit di Laut Banda.
Agustus : sedikit di barat Sumatera dan selatan Jawa dan Laut Banda.
September : barat Sumatera, selatan Jawa, lepas pantai NTB dan Laut Banda.cukup padat.
Oktober : selatan Jawa/Bali/NTB/NTT dan Laut Banda.
November : barat Sumatera, sedikit di selatan Jawa/NTB, Laut Flores dan Laut Banda.
Desember : selatan NTB/NTT dan Laut Banda serta Laut Flores.

Nilai daerah penangkapan suatu perairan dapat ditentukan berdasarkan nilai hook rate yang dihasilkan sewaktu melakukan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan tuna longline. Hook rate hasil tangkapan adalah jumlah ikan (tuna atau jenis lainnya) yang tertangkap untuk setiap 100 mata pancing. Penentuan nilai hook rate dapat dilakukan berdasarkan periode penangkapan tertentu dan jangka waktu tertentu, seperti hook rate per setting per kapal, hook rate per trip per kapal, dan sebagainya.
Sebagai contoh daerah penangkapan di perairan Laut Banda. Gambar 3 – 7 menunjukkan daerah penangkapan tuna di perairan Laut Banda dengan melihat nilai hook rate berdasarkan setting per kapal pada bulan Oktober – Februari. Pada gambar-gambar tersebut terlihat bahwa daerah penangkapan tuna longline di perairan Laut Banda berada pada koordinat 4 – 80LS dan 122 – 1280BT. Nilai hook rate tuna di perairan Laut Banda setiap bulan berubah, tergantung dari hasil tangkapan yang diperoleh. Pada bulan Oktober – November (Gambar 3) nilai hook rate-nya 0,00 – 0,38, bulan November – Desember (Gambar 4) nilai hook rate-nya 0,00 – 0,60, bulan Desember (Gambar 5) nilai hook rate-nya 0,00 – 0,56, bulan Januari (Gambar 6) nilai hook rate-nya 0,00 – 1,42 dan bulan Februari (Gambar 7) nilai hook rate-nya 0,00 – 0,77. Secara umum, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata hook rate tuna di perairan Laut Banda yaitu sebesar 0,27.
Dengan diketahuinya nilai-nilai hook rate dan musim penangkapan setiap daerah penangkapan, maka kapal-kapal tuna longline yang akan melakukan operasi penangkapan dapat langsung menuju ke daerah-daerah yang memiliki nilai hook rate cukup tinggi. Sehingga kapal-kapal tersebut dapat menekan atau mengurangi biaya operasional dalam melakukan operasi penangkapan.

Gambar 3. Daerah penangkapan dan hook rate tuna di perairan Laut Banda pada bulan Oktober – November.

Gambar 4. Daerah penangkapan dan hook rate tuna di perairan Laut Banda pada bulan November – Desember.

Gambar 5. Daerah penangkapan dan hook rate tuna di perairan Laut Banda pada bulan Desember.

Gambar 6. Daerah penangkapan dan hook rate tuna di perairan Laut Banda pada bulan Januari.

Gambar 7. Daerah penangkapan dan hook rate tuna di perairan Laut Banda pada bulan Februari.

Selain informasi mengenai daerah penangkapan atau penyebaran tuna secara horisontal, informasi mengenai penyebaran tuna secara vertikal atau kedalaman renang tuna (swimming layer) sangat diperlukan guna menunjang keberhasilan operasi penangkapan tuna. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Riset Perikanan Laut pada tahun 2002 – 2003 dengan menggunakan minilog diketahui bahwa kedalaman renang ikan-ikan tuna di perairan Laut Banda berkisar antara 100 – 400 m dengan kisaran suhu antara 10 – 18,90 C. Terbanyak pada kedalaman 200,1 – 250,0 m dan pada kisaran suhu 11 – 14,90 C, kemudian pada kedalaman 250,1 – 300,0 m. Hasil-hasil ini menunjukkan bahwa di perairan Laut Banda kedalaman yang paling baik untuk menangkap ikan-ikan tuna adalah antara 200 – 300 m.

SIMPULAN
1. Daerah penangkapan tuna di perairan Laut Banda berada pada koordinat 4 – 80LS dan 122 – 1280BT.
2. Nilai hook rate tuna di perairan Laut Banda bulan Oktober – November 0,00 – 0,38, bulan November – Desember 0,00 – 0,60, bulan Desember 0,00 – 0,56, bulan Januari 0,00 – 1,42 dan bulan Februari 0,00 – 0,77 dengan nilai rata-rata sebesar 0,27.
3. Kedalaman yang paling baik untuk menangkap ikan-ikan tuna di perairan Laut Banda adalah antara 200 – 300 m dengan kisaran suhu 11 – 14,90 C.

DAFTAR PUSTAKA
Balai Riset Perikanan Laut. 2003. Hubungan Antara Suhu dan Kedalaman Mata Pancing Terhadap Hasil Tangkapan Bigeye Tuna (Thunnus obesus) dan Yellowfin Tuna (Thunnus albacares) Dengan Tuna Longline di Perairan Laut Banda dan Sekitarnya. Laporan Akhir Penelitian. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2001. Evaluasi Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Tuna dan Cakalang di Perairan Samudera Hindia, Laut Sulawesi, dan Samudera Pasifik. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Direktorat Sumber Daya Ikan. Jakarta

______. 2003. Statistik Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

FAO. 1983. FAO Spesies Catalogue Vol. 2 Scombrids of The World. Food and Agriculture Organization of The United Nations. United Nations Development Programme. Rome. 137 p.

Gunarso, W. 1998. Tingkah Laku Ikan dan Perikanan Pancing. Diktat Kuliah. Laboratorium Tingkah Laku Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 119 hal.

Laevastu, T. and Ilmo Hela. 1970. Fisheries Oceanography New Ocean Enviromental Services. Fishing News Book LTD. London.

Nakamura, H. 1969. Tuna Distribution and Migration. Fishing News Book Ltd. London.

Proctor, C.H, M Fedi A. Sondita, Ronny I. Wahju, Tim L.O. Davis, John S. Gunn and Retno Andamari. 2003. A review of Indonesia’s Indian Ocean Tuna Fisheries. ACIAR Project FIS/2001/079.

Pusat Riset Perikanan Tangkap. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Badan Riset Kelautan dan Perikanan – Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Suharsono. 2003. Kondisi Terumbu Karang di Kepulauan Banda dan Suksesi Karang di Bekas Muntahan Lahar Pulau Gunung Api. Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol 5 No 1. ISSN 1410 – 7821.

Suharto. 1995. Pengaruh Kedalaman Mata Pancing Rawai Tuna Terhadap Hasil Tangkapan (Percobaan Orientasi dengan KM. Madidihang di Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera). Skripsi (tidak dipublikasikan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 78 hal.

Suryadi A. 1982. Peranan Perikanan Rawai Tuna Dalam Pengelolaan Zona Ekonomi Ekslusif 200 Mil. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 54 hal.

www.dkp.go.id

www.fishbase.com