Ruang Terbuka Hijau Wilayah Perkotaan

Ruang Terbuka Hijau Wilayah Perkotaan

            Pemanfaatan ruang kota dapat dibedakan dalam dua kelompok utama, yaitu pemanfaatan sebagai ruang terbangun (built-up area) dan ruang terbuka. Ruang terbuka dalam berbagai macam bentuknya adalah bagian kota yang tanpa bangunan, mulai dari taman/hutan kota yang bervegetasi hingga ruang-ruang yang tidak bervegetasi seperti: hamparan areal parkir, jalur jalan, lapangan terbang, dan lain-lain. Ruang terbuka dibedakan menjadi ruang terbuka non hijau (RTNH) yang lebih dikenal dengan ruang terbuka (openspace), dan ruang terbuka hijau (RTH) kota. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada RTH kota.

            Ruang Terbuka Hijau suatu kota adalah bagian kawasan/ruang perkotaan yang ditumbuhi tanaman, baik yang tumbuh secara alami maupun yang dibudidayakan, guna peningkatan kualitas dan kapasitas lingkungan perkotaan. Dengan demikian maka RTH kota dapat berupa ruang-ruang terbuka (openspaces) di berbagai tempat di wilayah perkotaan yang secara optimal digunakan sebagai daerah penghijauan dan berfungsi secara langsung maupun tidak langsung untuk kehidupan dan kesejahteraan manusia atau warga kotanya (Nurisjah, 1996).

            Ruang Terbuka Hijau kota merupakan bagian penting dari struktur pembentuk kota, yang dikembangkan berdasarkan kawasan peruntukan kota, terdiri atas: (1) kawasan pemukiman kepadatan tinggi, (2) kawasan pemukiman kepadatan sedang, (3) kawasan pemukiman kepadatan rendah, (4) kawasan industri, (5) kawasan perkantoran, (6) kawasan sekolah, kampus perguruan tinggi, (7) kawasan perdagangan, (8) kawasan jalur jalan, (9) kawasan jalur sungai, (10) kawasan jalur pesisir pantai, dan (11) kawasan jalur pengaman utilitas/isolasi.

Istilah RTH menurut Inmendagri No. 14 Tahun 1988 adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah lain yang lebih luas, baik dalam bentuk suatu area/kawasan maupun dalam bentuk memanjang/jalur, di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka tanpa bangunan. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer dan menunjang kelestarian air tanah, keberadaan RTH di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota.

            Klasifikasi RTH yang ditetapkan oleh Dinas Tata Kota, berdasarkan ukurannya adalah sebagai berikut:

  1. RTH Makro, yaitu RTH yang berbentuk daerah pertanian, perikanan, dan kehutanan.
  2. RTH Medium, yaitu RTH yang berbentuk area pertamanan, sarana olah raga dan pemakaman.
  3. RTH Mikro, yaitu lahan-lahan terbuka yang ada pada setiap daerah yang disediakan dalam bentuk fasilitas umum, seperti taman lingkungan (community park), lapangan olah raga, taman bermain (play ground), dan lain-lain.

            RTH sengaja dibangun secara merata di seluruh wilayah kota untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan, antara lain:

  1. fungsi bio-ekologis (fisik), pengadaan RTH yang memberi jaminan sebagai bagian dari sistem sirkulasi udara (’paru-paru kota’), pengatur iklim mikro, agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin;
  2. fungsi sosial, ekonomi (produktif) dan budaya: RTH dalam hal ini mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, RTH merupakan media bersosialisasi dan komunikasi warga kota, tempat berekreasi, tempat pendidikan, dan juga penelitian;
  3. ekosistem perkotaan; RTH sebagai produsen oksigen dengan aneka tanaman berbunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa mejadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan, dan lain-lain;
  4. fungsi estetis, keberadaan RTH meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik (dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan). RTH mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota agar bisa berekreasi secara aktif maupun pasif, seperti: bermain, berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekaligus menghasilkan keseimbangan kehidupan fisik dan psikis. taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta api, dan bantaran sungai di perkotaan.

Berdasarkan kepemilikannya, RTH dibedakan menjadi dua, yaitu:

  1. RTH milik pribadi atau badan hukum, misalnya: halaman rumah tinggal, perkantoran, tempat ibadah, sekolah atau kampus, hotel, rumah sakit, kawasan perdagangan (pertokoan, rumah makan), kawasan industri, stasiun, bandara, pelabuhan, dan lahan pertanian kota.
  2. RTH milik umum, yaitu lahan kota dengan tujuan penggunaan utama ditanami berbagai jenis pohon untuk memelihara fungsi lingkungan, yang dikelola pemerintah daerah, dan dapat dipergunakan masyarakat umum, seperti taman rekreasi, taman olahraga, taman kota, taman pemakaman umum, jalur hijau jalan; bantaran rel kereta api, saluran umum tegangan ekstra tinggi (SUTET), bantaran sungai, serta hutan kota (HK) konservasi, HK wisata, HK zona industri, HK antar-zona permukiman, HK tempat koleksi dan penangkaran flora dan fauna.

Kriteria Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau menurut hirarkhi dan penggunaannya sebagaimana Tabel 1.

Tabel 1.  Standar Luas Ruang Terbuka Umum

Hirarkhi Wilayah Jumlah KK/ wilayah Jumlah jiwa/ wilayah Ruang terbuka

(m2 /1000 jiwa)

Penggunaan Ruang Terbuka
Ketetanggaan 1.200 4.320 12.000 Lapangan bermain,areal rekreasi, taman rumah/ pekarangan
Komuniti 10.000 36.000 20.000 Lap bermain, lapangan atau taman, koridor lingkungan (termasuk ruang terbuka ketetanggaan)
Kota 100.000   40.000 Ruang terbuka umum, taman, areal bermain, termasuk ruang terbuka kommuniti)
Wilayah/

Regional

1.000.000   80.000 Ruang terbuka umum, taman, areal rekreasi, hutan kota, jalur lingkar lingkar kota, sawah/kebun

Pendekatan Penentuan Kebutuhan Luasan RTH dan Hutan Kota

            Untuk menentukan luasan RTH kota dilakukan dengan beberapa pendekatan, di antaranya seperti diuraikan berikut ini:

  1. Pendekatan Luasan (Prosentase)

Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, pemerintah telah menetapkan bahwa setiap kota atau kabupaten harus mematuhi peraturan untuk menyediakan RTH kota dengan luasan minimal 30% dari total luasan kota atau kabupaten. Proporsi minimal 30% tersebut terdiri atas 20% RTH public/umum dan 10% RTH privat/swasta/perorangan. Sebelumnya juga pernah diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No. 63 Tahun 2002, yang mengatur luasan hutan kota minimal sebesar 10% dari luas total wilayah kota.

  1. Pendekatan berdasarkan Luasan Lahan per Kapita

Pendekatan ini mengacu pada ketetapan dari Departemen Pekerjaan Umum, yang menyatakan bahwa untuk kota dengan kebutuhan luasan RTH tinggi, ditetapkan standard 3-6 m2/kapita atau 100 orang/hektar, sedangkan untuk kota dengan kebutuhan RTH rendah standarnya 2-3 m2/kapita. Nilai standard ini relatif kecil dibandingkan dengan standar pada beberapa negara maju (Inggris 11,5 m2/kapita; dan Amerika Serikat 60 m2/kapita), namun relatif seimbang dengan beberapa negara Asia. Standard luasan lahan per kapita Negara Malaysia sebesar 1,9m2/kapita; Jepang 5,0m2/kapita;. Ketentuan ini sangat kondisional, terkait keterbatasan luas lahan masing-masing negara.

Pendekatan lainnya adalah berdasarkan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) misalnya KDB=40, artinya maksimal 40% luas lahan yang bisa dibangun, sedangkan sisanya yang 60% seharusnya berupa tutupan vegetasi. Ketentuan ini sudah diberlakukan sejak lama, tetapi masih sedikit yang mematuhi, sehingga porsi 60% cenderung diisi tutupan non vegetasi. Untuk mengatasi hal ini, kemudian dibuat peraturan yang lebih tegas menyatakan aturan KDH (Koefisien Dasar Hijau), KDH= 60% atau KDH=40% tergantung situasi, diserahkan pada  kebijakan pemerintah setempat.

  1. Pendekatan Berdasarkan Issue Penting

Perhitungan luasan RTH suatu kota dapat juga didasarkan pada Issue penting suatu kota. Contoh issue penting yang dapat dijadikan kriteria untuk  menetapkan luasan pada suatu kota atau kabupaten antara lain adalah RTH untuk pemenuhan kebutuhan air, RTH untuk penyediaan oksigen, penyerap gas CO2, serta penyerap dan penjerap polutan udara, ataupun RTH untuk mitigasi bencana banjir.