Referat SCABIES

Referat SCABIES

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

RSUDZA BANDA ACEH / RSUD LANGSA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Skabies adalah penyakit kulit menular yang bersifat zoonosis dan disebabkan oleh Sarcoptes Scabiei. Penyakit ini telah dikenal sejak lama, yaitu ketika Bonomo dan Cestoni mampu mengilustrasikan sebuah tungau sebagai penyebab skabies pada tahun 1689. Literatur lain menyebutkan bahwa skabies diteliti pertama kali oleh Aristotle dan Cicero sekitar tiga ribu tahun yang lalu dan menyebutnya sebagai “lice in the flesh”.1
Sebanyak 300 juta orang per tahun di dunia dilaporkan terserang skabies. Epidemi berlangsung dalam siklus 30 tahunan dengan selang 15 tahun antara suatu akhir epidemi dan timbulnya yang baru yang biasanya berlangsung selama 15 tahun juga. Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia terutama di daerah-daerah yang erat kaitannya dengan lahan kritis, kemiskinan, rendahnya sanitasi dan status gizi, baik pada hewan maupun manusia. Skabies dapat dimasukkan dalam PHS (Penyakit akibat Hubungan Seksual). Kenaikan insiden skabies sejak tahun 1960-an sedikit banyak sejalan dengan gonore dan lebih banyak pada pria seperti PHS lainnya serta usia antara 20-30 tahun.2
Di Indonesia, kasus skabies cukup tinggi ketika zaman penjajahan Jepang berlangsung. Penduduk kesulitan memperoleh makanan, pakaian dan sarana pembersih tubuh pada saat itu, sehingga kasus scabies cepat menular dari anak-anak hingga dewasa. Sebanyak 915 dari 1008 (90,8%) orang terserang skabies di Desa Sudimoro, Kecamatan Turen, Malang dilaporkan oleh Poeranto tahun 1997. Perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 83,7% : 18,3%. Data penderita skabies yang terhimpun dari klinik Penyakit Kulit dan Kelamin, Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (RS PMI) Bogor dari tahun 2000 – 2004, masing-masing enam belas pasien (2000); delapan belas pasien (2001); tujuh pasien (2002); delapan pasien (2003) dan lima pasien (2004). Data-data di atas menunjukkan bahwa
penderita skabies di Indonesia masih cukup tinggi.1
Adanya beberapa kasus skabies pada manusia yang diduga tertular oleh ternak atau hewan kesayangan menuntut kerjasama yang sinergis antara Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan yang melibatkan dokter hewan, dokter manusia, para penyuluh dan petugas karantina termasuk para peneliti . Faktor-faktor di atas menjadi tantangan masa kini dan yang akan datang untuk mencegah penyebaran skabies semakin meluas dan meminimalkan kasus-kasus skabies baik pada ternak maupun manusia terutama di daerah endemik.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh investasi dan sensitisasi terhadap terhadap Sarcoptes scabei var. hominis dan produknya.3
2.2 Etiologi
Sarcoptes scabiei var hominis berkembangbiak hanya pada kulit manusia. Sarcoptes scabiei merupakan Arthropoda yang masuk ke dalam kelas Arachnida, sub kelas Acari (Acarina), ordo Astigmata dan famili Sarcoptidae. Sarcoptes scabiei merupakan tungau putih, kecil, transparan, berbentuk bulat agak lonjong, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau betina besarnya 2 kali daripada yang jantan. Adapun jenis Sarcoptes scabei var. animalis yang kadang-kadang bisa menulari manusia terutama bagi yang memelihara hewan peliharaan seperti anjing1,3,4

Gambar 1. Morfologi Sarcoptes scabei.1
2.3 Cara Penularan
Penularan skabies pada manusia dapat melalui kontak langsung dengan penderita (kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual. Penularan skabies pada manusia juga dapat secara tidak langsung melalui pakaian, handuk, sprai dan barang-barang lainnya yang pernah digunakan oleh penderita. Jumlah rata-rata tungau pada awal infestasi adalah sekitar lima sampai sepuluh ekor. Tungau S. scabiei hidup dari sampel debu penderita, lantai, furniture dan tempat tidur.1,3,8

2.4 Klasifikasi
Skabies dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu sebagai berikut:
1. Typical scabies (sedikit tungau, allergic component prominent)
2. Transient scabies (allergic component prominent, tungau menghilang dengan cepat)
3. Crusted scabies (jumlah tungau yang sangat banyak).5

2.5. Patogenesis
Setelah terjadi perkawinan (kopulasi) biasanya tungau jantan akan mati, namun kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh betina. Setelah tungau betina dibuahi, tungau ini akan membentuk terowongan pada kulit sampai perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum dengan panjangnya 2-3 mm perhari serta bertelur sepanjang terowongan sampai sebanyak 2 atau 4 butir sampai sehari mencapai 40-50 butir. Telur-telur ini akan menetas dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva tersebut sebagian ada yang tetap tinggal dalam terowongan dan ada yang keluar dari permukaan kulit, kemudian setelah 2-3 hari masuk ke stadium nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang kaki. Waktu yang diperlukan mulai dari telur menetas sampai menjadi dewasa sekitar 8-12 hari.3,4
Siklus hidup tungau paling cepat terjadi selama 30 hari dan selama itu juga tungau-tungau tersebut berada dalam epidermis manusia. Tungau yang berpindah ke lapisan kulit teratas memproduksi substansi proteolitik (sekresi saliva) yang berperan dalam pembuatan terowongan dimana saat itu juga terjadi aktivitas makan dan pelekatan telur pada terowongan tersebut. Tungau-tungau ini memakan jaringan-jaringan yang hancur, namun tidak mencerna darah. Feses (Scybala) tungau akan ditinggalkan di sepanjang perjalanan tungau menuju ke epidermis dan membentuk lesi linier sepanjang terowongan.1,6

Gambar 2. Penularan Skabies.7

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau scabies, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekreta dan ekskreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Sensitisasi terjadi pada penderita yang terkena infeksi scabies pertama kali. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.3
Apabila terjadi immunocompromised pada host, respon imun yang lemah akan gagal dalam mengontrol penyakit dan megakibatkan invasi tungau yang lebih banyak bahkan dapat menyebabkan crusted scabies. Jumlah tungau pada pasien crusted scabies bisa melebihi 1 juta tungau.6

2.6 Manfestasi Klinis
Ketika seseorang terinfestasi oleh scabies untuk yang pertama kalinya, gejala biasanya tidak Nampak hingga mencapai 2 bulan kemudian (2-6 minggu) setelah terinfestasi. Namun bagaimanapun, seseorang yang terinfestasi masih bisa menyebarkan scabies ini kepada orang lain. Jika seseorang telah pernah menderita scabies sebelumnya, gejala akan muncul dengan segera (1-4 hari) setelah terekspos. Seseorang yang terinfestasi scabies juga dapat menularkan penyakitnya, walaupun mereka tidak memiliki gejala lagi. Hal ini berlaku sampai scabies pada penderita tersebut diberantas beserta tungau dan telur-telurnya.7
Diagnosis skabies dapat ditegakkan dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal sebagai berikut:
1. pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab. Gejala ini adalah yang sangat menonjol.3
2. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu juga dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena. Walaupun mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).3
3. Adanya terowongan (kanalikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder, ruam kulitnya menjadi polimorf (pustule, ekskoriasi dan lain-lain). Umumnya tempat predileksi tungau adalah lapisan kulit yang tipis, seperti di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipatan ketiak depan, pinggang, punggung, pusar, dada termasuk daerah sekitar alat kelamin pada pria dan daerah periareolar pada wanita . Telapak tangan, telapak kaki, wajah, leher dan kulit kepala adalah daerah yang sering terserang tungau pada bayi dan anak-anak.1,3
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik.3

Gambar 2. Ruam pada scabies.1

Gambar 3. Kanalikuli pada Scabies.1
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Untuk menemukan tungau dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Kerokan kulit dapat dilakukan di daerah sekitar papula yang lama maupun yang baru. Hasil kerokan diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi dengan KOH 10% kemudian ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa di bawah mikroskop. Diagnosis scabies positif jika ditemukan tungau, nimpa, larva, telur atau kotoran S. scabiei. 1
2. Dengan cara menyikat dengan sikat dan ditampung pada kertas putih kemudian dilihat dengan kaca pembesar.3
3. Dengan membuat biopsy irisan, yaitu lesi dijepit dengan 2 jari kemudian dibuat irisan tipis dengan pisau kemudian diperiksa dengan mikroskop cahaya.3
4. Dengan biopsy eksisional dan diperiksa dengan pewarnaan Hematoxylin Eosin.3
Tes tinta pada terowongan di dalam kulit dilakukan dengan cara menggosok papula menggunakan ujung pena yang berisi tinta. Papula yang telah tertutup dengan tinta didiamkan selama dua puluh sampai tiga puluh menit, kemudian tinta diusap/ dihapus dengan kapas yang dibasahi alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig-zag.1
Strategi lain untuk melakukan diagnosis scabies adalah videodermatoskopi, biopsi kulit dan mikroskopi epiluminesken. Videodermatoskopi dilakukan menggunakan sistem mikroskop video dengan pembesaran seribu kali dan memerlukan waktu sekitar lima menit. Umumnya metode ini masih dikonfirmasi dengan basil kerokan kulit. Pengujian menggunakan mikroskop epiluminesken dilakukan pada tingkat papilari dermis superfisial dan memerlukan waktu sekitar lima menit serta mempunyai angka positif palsu yang rendah. Kendati demikian, metode-metode diagnosis tersebut kurang diminati karena memerlukan peralatan yang mahal.

2.8 Diagnosis Banding
Penyakit skabies juga ada yang menyebutnya sebagai the great imitator karena dapat mencakup hampir semua dermatosis pruritik berbagai penyakit kulit dengan keluhan gatal. Adapun diagnosis banding yang biasanya mendekati adalah prurigo, pedikulosis corporis, dermatitis dan lain-lain.2,3

2.9 Penatalaksanaan
Pilihan obat scabisida harus memperhitungkan efektivitas dan toksisitas. Penatalaksanaan juga harus melibatkan orang-orang yang berhubungan dekat atau pasangan seksual. Adapun syarat obat yang ideal adalah yang efektif terhadap semua tungau, tidak menimbulkan iritasi, tidak bersifat toksik, tidak berbau, tidak kotor, tidak merusak atau mewarnai pakaian, mudah diperoleh dan harganya pun relatif murah.2,3
Pengobatan standar skabies pada manusia yang sering diberikan adalah bensil bensoat, crotamiton, lindan, permetrin, dan ivermectin . Wendel dan Rampalo (2002) melakukan tinjauan tingkat kesembuhan penderita skabies dengan berbagai macam obat seperti yang ditunjukkan pada table berikut.1,8

Tabel 1. Tinjauan Tingkat Kesembuhan Skabies dengan Berbagai Macam Obat.1

Kombinasi antara bensil bensoat memberikan tingkat kesembuhan mencapai 100%. Bensil bensoat 25% dikenal juga dengan nama “Balsem Peru” dan telah digunakan sekitar 65 tahun yang lalu. Obat ini diaplikasikan dengan cara dioles pada kulit yang terserang skabies dan dibiarkan hingga 24 jam. Efek samping bensil bensoat yang dilaporkan adalah timbulnya diare dan iritasi kulit pada menit pertama pasca pengolesan. Bensil bensoat dianjurkan untuk diencerkan apabila digunakan oleh penderita skabies pada anak dan dewasa yang kulitnya sensitif.1,3
Crotamiton 10% (Eurax) adalah obat scabies yang cukup aman bagi anak dengan efek samping yang minimal. Obat ini mempunyai dua efek yaitu sebagai antiskabies dan antupruritik. Obat ini harus dijauhkan dari mata, mulut dan uretra.1,3
Gamma benzene hexachloride 1% adalah insektisida organofosfat untuk pengobatan skabies dengan tingkat kesembuhan mencapai 96 – 98%. Obat ini mempengaruhi sistem saraf dan terbukti berbahaya bagi janin dan anak bahkan dapat menyebabkan terjadinya idiosyncratic aplastic anemia. Oleh karena itu, lindan tidak dianjurkan untuk digunakan ibu hamil, ibu menyusui, anak di bawah umur dua tahun dan penderita dengan dermatitis yang luas termasuk penderita dengan gangguan syaraf. Lindan tidak dianjurkan setelah mandi dengan air hangat karena kulit masih mengalami vasodilatasi sehingga penyerapan berjalan cepat dan sangat membahayakan. Resistensi S. scabiei secara in vitro dan in vivo terhadap lindan telah dilaporkan oleh Hernandez (1983) dan Chosidow (2000). Lindan dilarang beredar di beberapa negara termasuk Australia karena efek samping yang membahayakan bagi pengguna.1
Adanya efek samping terhadap lindan, pengobatan diarahkan pada penggunaan permetrin 5% (Lyclear). Obat ini terbilang lebih mahal dari obat skabies di atas dan banyak digunakan di Australia, United Kingdom dan Amerika selama lebih dari dua puluh tahun. Dosis tunggal yang digunakan mempunyai efek yang mirip dengan lindan, yaitu memberikan kesembuhan sekitar 97,8%. Efek permetrin dilaporkan lebih balk daripada crotamiton dan sebaiknya dibiarkan selama delapan sampai sepuluh jam berada di kulit, kemudian dapat dicuci. Pengobatan dapat diulang dalam waktu satu minggu. Obat ini dilaporkan lebih aman khususnya bagi anak-anak, tidak menyebabkan reaksi silang dengan kulit, tetapi dapat menyebabkan diare dan kejang-kejang.1,3,8
Ivermectin adalah antibiotik lakton makrosiklik dari kelompok avermectin yang diisolasi dari bakteri Streptomyces avermectalis. Obat ini menunjukkan spektrum yang luas untuk parasit baik arthropoda maupun nematoda dan telah banyak digunakan untuk pengobatan skabies pada hewan serta manusia. Dosis tunggal ivermectin 200 tg/kg mampu menyembuhkan skabies pada penderita HIV dan skabies krustasi. Selain khasiatnya sebagai anti skabies, ivermectin juga dilaporkan efektif untuk mengurangi kejadian infeksi sekunder karena bakteri Streptococcus pyoderma yang menyertai skabies. Efek samping yang ditimbulkan setelah pengobatan adalah sakit perut dan muntah serta hipotensi (tekanan darah menurun). Ruam-ruam merah akan meningkat pada tiga hari pertama pascapengobatan juga sering dialami penderita scabies. Ivermectin tidak dianjurkan untuk ibu hamil dan anak dengan bobot badan kurang dari lima belas kilogram.1
Obat alternatif lainnya adalah presipitasi sulfur 6% di dalam petrolatum . Obat ini dilaporkan aman bagi ibu hamil, ibu menyusui dan anak yang berumur kurang dari dua tahun . Penggunaan sulfur 6% setiap malam selama tiga kali berturut-turut dan membilasnya setelah 24 jam, memberikan hasil yang memuaskan. Namun demikan, obat ini kurang diminati karena meninggalkan noda dan kotor serta bau yang menyengat.1,3

2.10 Pencegahan
Diagnosis dini dan penatalaksanaan dengan scabisida yang efektif untuk penderita dan kontak seksual/ rumah tangga merupakan kunci pencegahan. Pencegahan skabies pada manusia dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak langsung dengan penderita dan mencegah penggunaan barang-barang penderita secara bersama-sama. Pakaian, handuk dan barang-barang lainnya yang pernah digunakan oleh penderita harus diisolasi dan dicuci dengan air panas . Pakaian dan barang-barang asal kain dianjurkan untuk disetrika sebelum digunakan . Sprai penderita harus sering diganti dengan yang baru maksimal tiga hari sekali . Benda-benda yang tidak dapat dicuci dengan air (bantal, guling, selimut) disarankan dimasukkan ke dalam kantung plastik selama tujuh hari, selanjutnya dicuci kering atau dijemur di bawah sinar matahari sambil dibolak batik minimal dua puluh menit sekali.1,2
Kebersihan tubuh dan lingkungan termasuk sanitasi serta pola hidup yang sehat akan mempercepat kesembuhan dan memutus siklus hidup S. scabiei. Umumnya, penderita masih merasakan gatal selama dua minggu pascapengobatan. Kondisi ini diduga karena masih adanya reaksi hipersensitivitas yang berjalan relatif lambat. Apabila lebih dari dua minggu masih menunjukkan gejala yang sama, maka dianjurkan untuk kembali berobat karena kemungkinan telah terjadi resistensi atau berkurangnya khasiat obat tersebut. Kegagalan pengobatan pada skabies krustasi secara topikal diduga karena obat tidak mampu berpenetrasi ke dalam kulit akibat tebalnya kerak.1

2.11 Prognosis
Keberhasilan pengobatan skabies dan pemberantasan penyakit tersebut tergantung pada pemilihan efektif, pemakaian obat yang benar, serta menghilangkan faktor predisposisi.3

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Skabies adalah penyakit kulit menular yang bersifat zoonosis dan disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei. Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia terutama pada daerah-daerah yang erat sekali kaitannya dengan lahan kritis, kemiskinan, rendahnya sanitasi dan status gizi, baik pada hewan maupun manusia . Penularan skabies terjadi melalui kontak langsung dan tidak langsung. Akibat infestasi tungau pada kulit menyebabkan rasa gatal yang hebat sampai timbulnya eritrema, papula dan vesikula hingga terjadi kerusakan kulit. Diagnosis skabies dilakukan dengan melihat gejala klinis yang dikonfirmasi dengan ditemukannya telur, feses, dan tungau pada kerokan kulit penderita. Diagnosis dini dan penatalaksanaan dengan scabisida yang efektif untuk penderita dan kontak seksual/ rumah tangga merupakan kunci pencegahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wardhana, AH. Skabies: Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang. 2006. Bogor: Balai Penelitian Veteriner.
2. Herman, MJ. Cermin Dunia Kedokteran: Penyakit Hubungan Seksual Akibat Jamur, Protozoa dan Parasit. 2001. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi – Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Rl.
3. Djuanda, adhi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 2007. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Tim Penyusun Bagian SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 2005. Surabaya: Airlangga University Press.
5. Speare, Richard. Advice on Scabies Diagnosis and Management. The SA Department of Health: James Cook University
6. Cordoro, KM. Dermatologic Manifestations of Scabies. 2009. Available at: http://emedicine.medscape.com/article. Last Updated: 25 November 2011.
7. Centers for Disease Control and Prevention. Parasites Scabies. 2010. Available at: http://www.cdc.gov/. Last updated: 25 November 2011.
8. Chosidow,O. Scabies, New England Journal of Medicine. 2006. Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/354/16/1718. Last Updated: 25 November 2011.