REFERAT HIPERBARIK OKSIGEN HUBUNGAN TERAPI HBO TERHADAP DIABETES MELITUS

REFERAT HIPERBARIK OKSIGEN HUBUNGAN TERAPI HBO TERHADAP DIABETES MELITUS

Pembimbing:
Mayor Laut (K) dr. Hisnindarsyah SE,, M.Kes

Penyusun:
Andi Pangeran 2008.04.0.00
Rizky Apriansyah 2009.04.0.0055

LEMBAGA KESEHATAN ANGKATAN LAUT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2014

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terapi hiperbarik adalah terapi dengan pemberian oksigen 100% dengan tekanan tinggi (< 1ATA) didalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT). Terapi ini telah digunakan untuk menanggulangi berbagai macam penyakit, baik penyakit penyelaman maupun penyakit non-penyelaman. Sebagian besar oksigen yang dibawa dalam darah terikat pada hemoglobin , yang mana 97 % tersaturasi pada tekanan atmosfer . Namun beberapa oksigen dilakukan dalam plasma , dan bagian ini meningkat pada terapi hiperbarik karena Hukum Henry ,yang kemudian akan memaksimalkan oksigenasi jaringan Diabetes adalah penyakit metabolic ( kebanyakan herediter) sebagai akibat dari kurangnya insulin efektif baik oleh karena adanya “disfungsi” sel beta pancreas atau ambilan glukosa di jaringan perifer, atau keduanya (pada DM-Tipe 2) atau kurangnya insulin absolute ( DM-Tipe 1), dengan tanda-tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan gejala klinis akut (poliuria, polidipsia, penurunan berat badan), dan ataupun gejala kronik atau kadang-kadang tanpa gejala,. Gangguan primer terletak pada metabolism karbohidrat, dan sekunder pada metabolism lemak dan protein. Indonesia pada tahun 2010 menduduki peringkat ke-9 dunia pada kasus diabetes melitus denga jumlah 7 juta kasus, dan diperkirakan akan menduduki urutan ke -6 dengan jumlah 12 juta kasus pada tahun 2030. Insiden diabetes mellitus berbeda-beda tiap negara dan tergantung pada letak geografisnya, sebagai contoh Scandinavia memiliki insiden tertinggi untuk DM tipe 1 (35/100.000 tiap tahun), sedangkan daerah Jepang dan China memiliki insinde yang jauh lebih rendah, yaitu 1-3/100.000 kasus tiap tahun (Jameson, 2010). Diabetes melitus didiagnosa jika kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl, plus gejala klasik: poliuria,polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya atau kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl atau Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau beban glukosa 75 gram pada TTGO atau HbA1C ≥ 6,5 %. Pada beberapa penelitian, terapi hiperbarik terbukti mampu menjadi salah satu pilihan terapi tambahan dalam menangani diabetes melitus. Terapi HBO mampu menurunkan kadar glukosa darah, meningkatkan seksresi insulin, memperbaiki resistensi insulin dan mampu menurunkan kadar ROS (Reactive Oxygen Spesies). 1.1.1 Tujuan Umum Mengetahui gambaran umum tentang terapi hiperbarik oksigen dan manfaat terapi hiperbarik oksigen pada pasien dengan diabetes melitus 1.1.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui gambaran umum tentang terapi hiperbarik oksigen. 2. Mengetahui manfaat dari terapi hiperbarik oksigen. 3. Mengetahui tentang gambaran umum diabetes melitus 4. Mengetahui hubungan dan manfaat terapi hiperbarik oksigen pada pasien dengan diabetes melitus. 1.1.3 Rumusan Masalah 1. Bagaimana gambaran umum terapi hiperbarik oksigen? 2. Apa manfaat dari terapi hiperbarik oksigen? 3. Apa gambaran umum dari diabetes melitus? 4. Apa hubungan dan manfaat terapi hiperbarik oksigen pada pasien diabetes melitus? BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terapi Oksigen Hiperbarik 2.1.1 Definisi Terapi dengan pemberian oksigen 100% dengan tekanan tinggi (> 1ATA) didalam Ruang Udara Bertekanan Tinggi (RUBT). Terapi ini telah digunakan untuk menanggulangi berbagai macam penyakit, baik penyakit penyelaman maupun penyakit non-penyelaman. (Sahni T 2003)
2.1.2 Fisiologi Terapi Oksigen Hiperbarik(Gill 2004)
Efek dari HBO didasarkan pada hukum gas , dan efek fisiologis dan biokimia dari keadaan hyperoxia .
Hukum Boyle menyatakan bahwa pada suhu konstan , tekanan dan volume gas berbanding terbalik . Ini adalah dasar untuk banyak aspek terapi hiperbarik , termasuk sedikit peningkatan suhu ruangan selama pengobatan dan fenomena yang dikenal sebagai ‘squeeze’ (memeras) , terjadi ketika tabung eustachius tertutup mencegah pemerataan tekanan gas sehingga kompresi gas memberikan rasa nyeri di telinga bagian tengah . Pada pasien yang tidak bisa secara independen melakukan ekualisasi tekanan ,penempatan tabung tympanostomy harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran antara bagian dalam dan ruang telinga bagian luar. Demikian pula , gas yang terperangkap dapat membesar dan membahayakan selama dekompresi ,seperti dalam contoh langka yaitu pneumotoraks yang terjadi selama pemberian tekanan.
Hukum Dalton menyatakan bahwa dalam campuran gas masing-masing elemen memberikan tekanan sebanding dengan fraksi nya dari total volume ( tekanan parsial ) .
Hukum Henry menyatakan bahwa jumlah gas terlarut dalam cairan atau jaringan berbanding lurus dengan tekanan parsial gas yang bersentuhan dengan cairan atau jaringan tersebut . Ini adalah dasar teori untuk meningkatkan tekanan oksigen jaringan dengan pengobatan HBO . Namun, juga memiliki implikasi untuk kebutuhan dekompresi pada operator HBO karena mereka udara biasa untuk bernafas sehingga gas inert ( terutama nitrogen ) juga akan meningkat . Nitrogen ini akan larut dalam darah dan dapat keluar dari solusi dan membentuk emboli gas arterial selama depressurization .
Sebagian besar oksigen yang dibawa dalam darah terikat pada hemoglobin , yang mana 97 % tersaturasi pada tekanan atmosfer . Namun beberapa oksigen dilakukan dalam plasma , dan bagian ini meningkat pada terapi hiperbarik karena Hukum Henry ,yang kemudian akan memaksimalkan oksigenasi jaringan . Ketika menghirup udara normobaric , tekanan oksigen arteri adalah sekitar 100 mmHg , dan tekanan oksigen jaringan sekitar 55 mmHg . Namun, oksigen 100% pada tekanan 3 ATA dapat meningkatkan tekanan oksigen arteri 2000 mmHg , dan tekanan oksigen jaringan menjadi sekitar 500 mmHg , hal ini memungkinkan pengiriman 60 ml oksigen per liter darah ( dibandingkan dengan 3 ml / l pada tekanan atmosfer ) , yang cukup untuk mendukung jaringan beristirahat tanpa kontribusi dari hemoglobin. Karena oksigen terlarut banyak di dalam plasma maka dapat menjangkau daerah-daerah yang terhambat di mana sel-sel darah merah tidak bisa lewat , dan juga dapat mengaktifkan oksigenasi jaringan bahkan meskipun terdapat gangguan pengangkutan oksigen , seperti seperti pada keracunan gas karbon monoksida dan anemia berat .
HBO meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen, yang mengoksidasi protein dan lipid membran , yang kemudian akan menyebabkan kerusakan DNA dan menghambat fungsi metabolisme bakteri . HBO sangat efektif terhadap bakteri anaerob , dan memfasilitasi sistem peroksidase tergantung oksigen yang digunakan leukosit untuk membunuh bakteri. HBO juga meningkatkan transport oksigen tergantung antibiotik tertentu di dinding sel bakteri.
HBO meningkatkan penyembuhan luka dengan memperkuat gradien oksigen sepanjang pinggir luka iskemik , dan membantu pembentukan kolagen matriks tergantung oksigen yang dibutuhkan untuk angiogenesis.
Infiltrasi leukosit pada jaringan iskemik diikuti dengan pengeluaran protease dan radikal bebas yang menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan yang patologis. Hal ini memperburuk cedera, menyebabkan crush compartment syndrome dan menyebabkan kegagalan cangkok kulit, penjahitan luka, dll. Pada terapi HBO terdapat penurunan infiltrasi leukosit dan vasokonstriksi dalam jaringan iskemik.
Hyperoxia pada jaringan normal karena HBO menyebabkan vasokonstriksi yang cepat dan signifikan tapi ini dikompensasi oleh peningkatan pengangkutan oksigen plasma , dan aliran darah mikrovaskuler dalam jaringan.
Terakhir, HBO meningkatkan produksi ATP , dan mengurangi akumulasi produksi asam laktat. (Sahni, T 2003)
2.1.3 Indikasi Terapi Hiperbarik Oksigen (Sahni T 2003)
Universally accepted indications for hyperbaric oxygen therapy
 Kondisi akut (di mana terapi HBO harus diberikan awal dan dikombinasikan dengan pengobatan konvensional) :
1. ulkus yang tidak mengalami penyembuhan, luka bermasalah, cangkok kulit yang mengalami reaksi penolakan.
2. Crush injury, sindrom kompartemen dan penyakit iskemi traumatik akut yang lain
3. Gangrene Gas / infeksi clostridial
4. Infeksi jaringan lunak yang necrotizing (jaringan subkutan, otot, fascia)
5. Luka pada kulit akibat suhu (air panas, tersetrum)
6. Kehilangan darah yang luar biasa (anemia)
7. Abses intrakranial
8. Encephalopathy Post-anoxic
9. Luka bakar
10. Tuli mendadak
11. Iskemik patologis pada mata
12. Emboli udara atau gas *
13. Decompression sickness *
14. Keracunan gas karbon monoksida dan menghirup asap *
Nb: * Kuratif / lini utama dari pengobatan
 kondisi kronis
1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan / luka bermasalah (diabetes / vena dll)
2. Radiasi yang menyebabkan kerusakan jaringan
3. Cangkok kulit dan penutup (yang mengalami reaksi penolakan/rejection)
4. Osteomielitis kronis

2.1.4 Kontraindikasi Terapi Hiperbarik Oksigen (Riyadi R 2013)
Kontraindikasi
a. Kontraindikasi absolut:
1. Pneumothorax
Kontraindikasi absolut adalah pneumothorax yang belum dirawat, kecuali bila sebelum pemberian oksigen hiperbarik dapat dikerjakan tindakan bedah untuk mengatasi pneumothorax tersebut
2. Keganasan
Selama beberapa tahun orang beranggapan bahwa keganasan yang belum diobati atau keganasan metastasik dapat menjadi lebih buruk pada pemakaian oksigen hiperbarik untuk pengobatan dan termasuk kontraindikasi absolut kecuali pada keadaan-keadaan luar biasa. Namun penelitian-penelitian yang dikerjakan akhir-akhir ini menunjukan bahwa sel-sel ganas tidak tumbuh lebih cepat dalam suasana oksigen hiperbarik, biasanya secara bersama –sama juga menerima terapi radiasi atau kemoterapi.
3. Kehamilan
Kehamilan juga dianggap kontraindikasi karena tekanan parsial oksigen yang tinggi nerhubungan dengan penutupan patent ductus arteriosus sehingga pada bati prematur secara teori dapat terjadi fibroplasia retrolental. Namun penelitian yang kemudian dikerjakan menunjukan bahwa komplikasi ini tidak terjadi.
b. Kontraindikasi relatif
1. ISPA
Menyulitkan penderita untuk melaksanakan ekualisasi. Dapat ditolong dengan penggunaan dekongestan atau melakukan miringotomi bilateral
2. Sinusitis kronis
Sama dengan ISPA dapat diberikan dekongestan atau dilakukan miringotomi bilateral.
3. Penyakit kejang
Menyebabkan penderita lebih mudah terserang konvulsi oksigen. Bilamana perlu penderita dapat diberikan anti-konvulsan sebelumnya.
4. Emfisema dengan retensi CO2
Ada kemungkinan bahwa penambahan oksigen lebih dari normal akan menyebabkan penderita secara spontan berhenti bernafas akibat rangsangan hipoksik. Pada penderita dengan penyakit paru yang disertai retensi CO2, terapi oksigen hiperbarik dapat dikerjakan bila penderita diintubasi atau memakai ventilator.
5. Panas tinggi yang tidak terkontrol
Merupakan predisposisi terjadinya konvulsi oksigen. Kemungkinan ini dapat diperkecil dengan pemberian obat antipiretik juga dapat dengan pemberian anti konvulsan.
6. Riwayat penumothorax spontan
Penderita yang mengalami pneumothorax spontan dalam RUBT tunggal akan menimbulkan masalah tetapi di dalam RUBT kamar ganda dapat dilakukan pertolongan-pertolongan yang memadai. Sebab itu bagi penderita yang mempunyai riwayat pneumothorax spontan harus dilakukan persiapan-persiapan untuk mengatasi hal tersebut.
7. Riwayat operasi dada
Menyebabkan terjadinya luka dengan air trapping yang timbul saat dekompresi. Setiap operasi dada harus diteliti kasus demi kasus untuk menentukan langkah-langkah yang harus diambil. Tetapi jelas dekompresi harus dilakukan secara lambat.
8. Riwayat operasi telinga
Operasi pada telinga dengan penempatan kawat atau topangan plastik di dalam telinga setelah stapedoktomi, mungkin suatu kontraindikasi pemakaian oksigen hiperbarik sebab perubahan tekanan dapat mengganggu implan terseut konsultasi dengan spesialis THT perlu dilakukan.
9. Kerusakan paru asimptomatis yang nampak secara radiologis
Memerlukan proses dekompresi yang sangat lambat. Menurut pengalaman, waktu dekompresi antara 5-10 menit tidak menimbulkan masalah
10. Infeksi virus
Pada percobaan binatang ditemukan bahwa infeksi virus akan lebih hebat bila binatang tersebut diberi oksigen hiperbarik. Dengan alasan ini dianjurkan agar penderita yang terkena salesma (common cold) menunda pengobatan dengan oksigen hiperbarik sampai gejala akut menghilang apabila tidak memerlukan pengobaran sehera dengan oksigen hiperbarik
11. Spherosis kongenital
Pada keadaan ini butir-butir eritrosit sangat fragil dan pemberian oksigen hiperbarik dapat diikuti dengan hemolisis yang berat. Bila memang pengobatan hiperbarik mutlak diperlukan, keadaan ini tidak boleh jadi penghalang sehingga harus dipersiapkan langkah-langkah yang perlu untuk mengatasi komplikasi yang mungkin timbul.
12. Riwayat neuritis optik
Pada beberapa penderita dengan riwayat neuritis optik terjadinya kebutaan dihubungkan dengan terapi oksigen hiperbarik. Namun kasus yang terjadi sangat sedikit. Tetapi jika ada penderita dengan riwayat neuritis optik diperkirakan mengalami gangguan penglihatan yang berhubungan dengan retina, bagaimanapun kecilnya pemberian oksigen hiperbarik harus segera dihentikan dan perlu konsultasi dengan ahli mata.

2.1.5 Komplikasi Terapi Hiperbarik Oksigen (Latham E)
Ketika digunakan dalam protokol standar tekanan yang tidak melebihi 3 ATA ( 300 kPa ) dan durasi pengobatan kurang dari 120 menit , terapi oksigen hiperbarik aman . Efek samping yang paling umum adalah:
1. Barotrauma telinga
Sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk menyamakan tekanan di kedua sisi membran timpani akibat tuba eustachius tertutup . Barotrauma telinga tengah dan sinus dapat dicegah dengan teknik ekuilisasi, dan otitis media dapat dicegah dengan pseudoephidrine. Barotrauma telinga dalam sangat jarang, tapi jika membran timpani ruptur dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, tinnitus dan vertigo.
2. Barotrauma paru
Pneumotoraks dan emboli udara lebih berbahaya pada terapi ini. komplikasi akibat robek di pembuluh darah paru karena perubahan tekanan tapi jarang terjadi.
3. Barotrauma dental
Menyebabkan nyeri pada gigi yang berlubang akibat penekanan saraf.
4. Toksisitas oksigen
Toksisitas oksigen dapat dicegah dengan bernafas selama lima menit udara biasa di ruang udara bertekanan tinggi untuk setiap 30 menit oksigen . Hal ini memungkinkan antioksidan untuk menetralisir radikal oksigen bebas yang terbentuk selama terapi.
5. Gangguan neurologis
Meningkatkan potensi terjadinya kejang akibat tingginya kadar O2.
6. Fibroplasia retrolental
Tekanan parsial oksigen yang tinggi nerhubungan dengan penutupan patent ductus arteriosus sehingga pada bati prematur secara teori dapat terjadi fibroplasia retrolental.
7. Katarak.
Komplikasi ini jarang terjadi. Menyebabkan pandangan berkabut.
8. Transientmiopia reversibel
Meskipun jarang namun dapat terjadi setelah terapi HBO berkepanjangan yang menyebabkan perubahan bentuk/deformitas dari lensa.

2.2 Diabetes Melitus
2.2.1 Definisi :
Penyakit metabolic ( kebanyakan herediter) sebagai akibat dari kurangnya insulin efektif baik oleh karena adanya “disfungsi” sel beta pancreas atau ambilan glukosa di jaringan perifer, atau keduanya (pada DM-Tipe 2) atau kurangnya insulin absolute ( DM-Tipe 1), dengan tanda-tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan gejala klinis akut (poliuria, polidipsia, penurunan berat badan), dan ataupun gejala kronik atau kadang-kadang tanpa gejala,. Gangguan primer terletak pada metabolism karbohidrat, dan sekunder pada metabolism lemak dan protein.

2.2.2. Epidemiologi
Di dunia ini sekarang mengalami peningkatan prevalensi DM secara dramatis selama 2 dekade terakhir, dari sekitar 30 juta kasus pada tahun 1985 dan sekarang menjadi 177 juta kasus di tahun 2000, dan diperkirakan akan menjadi lebih dari 360 juta kasus pada tahun 2030. Meskipun prevalensi kedua tipe DM, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2, meningkat secara bersamaan namun DM tipe 2 mengalami peningkatan yang lebih drastis. Peningkatan prevalensi DM ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain meningkatnya prevalensi obesitas, usia, migrasi, urbanisasi, dan lain-lain. Pada gambar 2.1, terlihat adanya pengaruh antara umur dengan prevalensi DM. Semakin tinggi umur maka semakin tinggi angka kejadian DM.

Gambar 2.1 Hubungan antara Umur dengan Angka Kejadian Diabetes Mellitus (IDF Diabetes Atlas, 4th ed. 2009)
Indonesia pada tahun 2010 menduduki peringkat ke-9 dunia pada kasus diabetes melitus denga jumlah 7 juta kasus, dan diperkirakan akan menduduki urutan ke -6 dengan jumlah 12 juta kasus pada tahun 2030. Insiden diabetes mellitus berbeda-beda tiap negara dan tergantung pada letak geografisnya, sebagai contoh Scandinavia memiliki insiden tertinggi untuk DM tipe 1 (35/100.000 tiap tahun), sedangkan daerah Jepang dan China memiliki insinde yang jauh lebih rendah, yaitu 1-3/100.000 kasus tiap tahun (Jameson, 2010).

Gambar 2.2 Prevalensi Diabetes Mellitus di Seluruh Dunia (Foster, 2001)
2.2.3 Klasifikasi :
Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh PERKENI (2003,2006) adalah yang sesuai dengan klasifikasi DM oleh American Diabetes Association (ADA). Klasifikasi Etiologi DM (ADA) 2006 :
1. DM tipe 1 ( destruksi sel beta, biasanya menjurus ke defesiensi insulin absolute):
► Autoimune
►idiopatik
2. DM tipe 2 ( biasanya berawal dari resistensi insulin yang predominan dengan defesiensi insulin relative menuju ke defek sekresi insulin yang predominan dengan resistensi insulin )
3. DM tipe 3 spesifik lain :
a. Defek genetic fungsi sel beta
► maturity-onset Diabetes of the young (MODY) 1,2,3,4,5,6(yang terbanyak MODY 3)
► DNA mitokondria
► dan lain-lain
b. Defek genetic kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pancreas
► Pancreatitis
►Tumor / pankreatomi
► Pankreatopati fibrokalkulus
► dan lain-lain
d. Endokrinopati
► Akromegali
►Sindroma cushing
►Feokromositoma
►dan lain-lain
e. Karena obat/ zat kimia
► Vacor, pentamidin, asam nikotinat
► glukokortikoid, hormone tiroid
► Tiazid, dilantin, interferon alfa, dan lain-lain.
f. Infeksi
►Rubella congenital, CMV
►dan lain-lain
g. Sebab imunologi yang jarang
►Antibodi anti insulin
►dan lain-lain
h. Sindrome genetic yang lain berkaitan dengan DM
►Sindroma Down, sindroma Klinefelter, syndrome Turner, dan lain-lain.
4. Diabetes Gestasional.

2.2.4. Patogenesis
Diabetes Mellitus merupakan penyakit yang diakibatkan interaksi genetik, lingkungan, dan immunologi yang mengakibatkan rusaknya sel beta pancreas dan kekurangan insulin. Diabetes Mellitus tipe 1 biasanya berhubungan dengan autoimmune dan proses autoimun ini dapat di perantarai oleh infeksi atau lingkungan. Proses kerusakan sel beta pancreas dapat diakibatkan oleh efek toksik dari cytokine,TN alfa, Nitrit oxide, apoptosis ataupun langsung dari CD8 + cell cytotoksik. Pada penelitian yang dilakukan oleh L xiao terbukti bahwa mekanisme terjadinya diabetes akibat dari stress oksidatif melalui mekanisme aktivasi atau peningkatan ROS dimitokondria menyebabkan meningkatnya aktifitas reaksi oksidatif sehingga mengakibatkan peningkatan mediator seperti NFkb ,p38MAPK,JNK/SAPK yang nantinya menginduksi peningkatan AGE ,cytokine ,DAG,PKC, yang nantinya akan menyebabkan gangguan sekresi insulin melalui insulin resistensi dan disfungsi sel beta pankreas
DM tipe 1 dicirikan oleh kerusakan selektif oleh sel-sel beta pankreas penghasil insulin melalui suatu proses autoimun. Suatu penyusupan sel-sel inflamatori ke dalam pulau-pulau Langerhans biasanya didahului oleh rusaknya sel-sel beta pada penderita DM tipe 1. Analisa histologi pankreas dari pasien DM tipe 1 membuktikan adanya suatu infiltrasi pada pulau Langerhans oleh sel mononuklear, yang kemudian diidentifikasi sebagai T dan B limfosit, makrofag, dan NK cells
Patogenesitas DM tipe 1 didasari oleh faktor genetik, lingkungan, dan faktor imunologis yang merusak sel pankreas (autoimun).
a. Faktor genetik
DM tipe 1 ini tidak hanya berasal dari akibat penghancuran sel beta pankreas melalui mekanisme autoimun saja, namun faktor genetik juga ikut berperan serta. Gen yang berhubungan dengan DM tipe 1 adalah MHC (Major Histocompatibility Complex) yang ada pada manusia disebut sebagai HLA (Human Leukocyte Antigen). HLA pada kromosom 6 adalah tempat pertama yang menunjukkan hubungannya dengan DM tipe 1.

Gambar 2.3 Hubungan antara Kerusakan Sel Beta Pankreas dengan Predisposisi Genetik

b. Idiopatik
Pada beberapa kasus tidak didapatkan marker imunologis terjadinya suatu autoimun yang melibatkan sel beta pankreas namun sel beta pankreas jumlahnya terus menurun. Pada kasus tersebut patogenesisnya belum diketahui sebabnya (idiopatik).
c. Faktor Lingkungan
Beberapa keadaan yang diduga dapat memicu proses autoimun pada individu dengan predisposisi genetik, namun belum ada studi khusus yang dapat menerangkan secara jelas hubungan lingkungan tersebut dengan diabetes (Jameson, 2010).
Studi membuktikan bahwa selain faktor genetik, virus, atau gen lingkungan dapat menginisiasi respon autoimun. Pada respon autoimun, antibodi terhadap sel beta muncul 75% lebih tinggi daripada respon normal, yaitu 0,5% hingga 2%. Kadar antibodi akan berkurang saat minggu pertama mulai terjadi serangan, hal ini diduga karena telah terjadi kerusakan sel beta pankreas dan pengurangan stimulasi antigen. Faktor-faktor di atas saling berinteraksi menyebabkan kelainan sistem imun humoral maupun seluler sehingga sel beta pankreas rusak.

Gambar 2.4 Interaksi Sel Imun yang Terlibat dalam Kerusakan Sel β Pankreas (Mycek, 2001)
Tahap-tahap patogenesa DM tipe 1 adalah sebagai berikut:
1. Autoantigen β−cell dirilis dari sel β selama turnover secara spontan sel β . Antigen kemudian diproses oleh makrofag dan dipresentasikan ke sel T helper dihubungkan oleh molekul MHC II. Makrofag teraktivasi mensekresikan IL-12, lalu mengaktivasi sel T Th1 tipe CD4+.
2. Sel T CD4+ mensekresikan sitokin seperti IFN-γ, TNF-α, TNF-β dan IL-2. Selama proses ini berjalan, β−cell–specific precytotoxic T cells mungkin terekrut ke islet. Sel T presitotoksik ini diaktivasi oleh IL-2 dan sitokin lain yang dirilis oleh CD4+ helper T cells untuk berdiferensiasi menjadi CD8+ effector T cells.
3. IFN-γ yang dirilis oleh helper T cells dan sitokin sel T menyebabkan makrofag menjadi sitotoksik.
4. Makrofag sitotoksik merilis sekumlah substansial sitokin β cell-toxic IL-1β, TNF-α, dan IFN-γ serta radikal bebas (H2O2, NO). Sitokin yang dirilis dari makrofag dan sel T menginduksi ekspresi Fas pada sel β pankreas.
5. Sel β kemudian dihancurkan melalui mekanisme apoptosis dimediasi Fas dan atau granzim dan sitosillin (perforin), keduanya toksik pada sel β.
Sebagian besar kelainan patologik dari DM ini dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut ini: (1) Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah sampai setinggi 300-1200 mg/dL; (2) Meningkatnya mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak, sehingga menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal, disertai dengan deposisi lemak pada dinding pembuluh darah yang mengakibatkan timbulnya gejala aterosklerosis; dan (3) pecahnya protein dalam jaringan tubuh
Peningkatan Stress Oksidatif Melalui Aktivasi Advanced Glycation End-Products (AGE)
AGEs merupakan produk akibat glikasi nonenzimatik protein yang beragam dalam struktur kimiawinya. FFI, AFPG, N-carboxymethyl lysine, pyrralin, dan pentosidin adalah contoh dari AGEs . Glukosa adalah suatu aldehid yang bersifat reaktif, yang dapat bereaksi secara spontan, walaupun lambat dengan protein. Melalui proses yang disebut dengan glikosilasi non enzimatik, protein mengalami modifikasi. Gugus aldehid glukosa bereaksi dengan gugus amino yang terdapat pada suatu protein, membentuk produk glikosilasi yang bersifat reversibel (Halliwell dan Gutteridge, 1999). Produk ini mengalami serangkaian reaksi dengan gugus NH2 dari protein dan mengadakan ikatan silang membentuk advanced glycation end-products (AGEs). Molekul-molekul ini dapat melakukan penataan ulang membentuk Amadori adduct. Amadori adduct kemudian mengalami dekomposisi menjadi deoxyglucone, yang dianggap lebih reaktif dibanding gula turunannya. Pembentukan AGEs juga disebut dengan reaksi Maillard, yang merupakan rangkaian reaksi kimia yang terkait dalam rangkaian yang sangat rumit. Pembentukan AGEs melalui jalur klasik yaitu lewat reaksi Maillard antara glukosa atau gula tereduksi lainnya dan residu N-terminal amino acid dan atau gugus amino protein yang dikenal dengan Schiff base yang menghasilkan Amadori product seperti fructose lysine .
Sebagian besar AGEs adalah bentuk yang tidak stabil, senyawa reaktif dan produk akhirnya sulit untuk dianalisis dengan lengkap. Akumulasi AGEs pada kolagen dapat menurunkan elastisitas jaringan ikat sehingga menimbulkan perubahan pada pembuluh darah dan membran basalis. AGEs dapat dibentuk pada beberapa kondisi selama fermentasi, memasak, atau oksidasi di atmosfer. AGEs bersifat toksik dan dapat menginduksi mutagenesis bakteri. AGEs dibentuk dalam jumlah berlebih selama proses penuaan, diabetes mellitus, dan gagal ginjal. Terbentuknya AGEs dapat merusak sel karena mengganggu struktur protein intrasel dan ekstrasel seperti kolagen. Pada endotel mikrovaskular manusia, AGEs menghambat produksi prostasiklin dan mengakibatkan agregasi trombosit, stabilisasi fibrin hingga memudahkan trombosis. Pada diabetes, AGEs didapatkan di dalam beberapa jaringan, seperti hati, ginjal, dan eritrosit yang lebih peka ke dalam pembentukan AGEs dibandingkan jaringan yang lain. Ikatan glukosa kepada gugus amino seperti apo B dan pada lipid di dalam LDL memudahkan terjadinya oksidasi LDL. Sehingga pembentukan AGEs menjadi salah satu penyebab terjadinya komplikasi pada diabetes. AGE bekerja melalui 2 jalur, jalur pertama yaitu dengan merubah struktur intrasel maupun ekstrasel protein, jalur kedua yaitu dengan berikatan dengan reseptornya (RAGE) yang merupakan salah satu bentuk immunoglobulin yang terletak di membran plasma dari monosit, makrofag, sel endotel dan sel-sel vaskuler. Kedua jalur AGE tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan sel dan juga gangguan vaskuler. Jalur AGE yang berikatan dengan reseptornya ini selanjutnya akan menyebakan terbentuknya ROS dan menginduksi terjadinya respon inflamasi yang berkelanjutan. AGEs yang terikat pada reseptor di cell-surface yang disebut RAGE yang terdapat di sel endotel, mesangial dan macrophages, menyebabkan terjadinya aktivasi postreseptor yang akan menghasilkan intraselular ROS dan pengaktifan ekspresi gen tertentu. Ekspose AGEs pada sel endotel akan mengaktifkan NF-KB, meningkatkan produksi molekul adhesi (termasuk vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1)) dan aktivitas NOS, serta menurunkan kadar GSH. Ini semua merupakan dampak buruk secara langsung akibat kadar glukosa yang tinggi pada endotelium vaskuler . AGEs berperan dalam proses aging dan berperan penting dalam proses komplikasi kronis dari diabetes seperti kerusakan vaskuler dan juga berperan dalam komplikasi dari sindrom metabolik. Selain itu penelitian Tan et al (2002) mendapatkan hasil bahwa ditemukannya AGE dalam plasma pada hewan coba model diabetes dan juga pada pasien diabetes yang mengalami penyakit kardiovaskuler dan kerusakan sel endotel.

Gambar 2.2.1 Jalur produksi radikal bebas dalam kondisi hiperglikemi (Schalkwijk, 2005)

Gambar 2.2.2 Mekanisme AGE dalam menyebabkan disfungsi vaskuler (Guyton dan Hall)
2.2.5. Patofisiologi
Gangguan pada metabolism karbohidrat akan mempengaruhi keseimbangan kadar glukosa darah. Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan kadar glukosa darah. Pankreas merupakan bagian dari sistem pencernaan yang berupa kelenjar mempengaruhi peranan penting dalam hal ini. Pancreas terdiri dari atas bagian korpus dan kauda pancreas yang didalmnya terdapat dari sel A, sel B, sel C, sel D, sel F.
► Sel A
Sel Alpa (20-40 %) = sel glucagon : menghasilkan hormion Glukagon menempati ± 11 % corpus dan cauda pancreas.
► Sel B
Sel beta, kurang lebih menepati 60-80 % pulau langerhans dan menghasilkan insulin : pada DM-Tipe = DMTI = IDDM, sel Beta ini hanya berjumlah kurang dari 10 ; 85 % sel beta terletak di corpus dan cauda pancreas. pPada genetic tertentu, atas pengaruh OHO sel beta juga mensekresi Amylin (suatu polipeptida) yang akan “merusak” sel beta di pancreas(sentral) di ajringan perifer. Amylin diduga menjadi salah satu penyebab tumor pancreas.
► Sel C
Menghasilkan calcitonin (berfungsi menurunkan kadar kalsium di daerah darah dnegan menekan fungsi osteoclast). Sel C terbanyak didapatkan di kelenjar tiorid.
► Sel D ( 6-15 %)
Sel Delta menghasilkan hormone somatostatin ( menempati 3% corpus dan cauda pancreas ). Somatostatin juga dihasilkan oleh hypothalamus. Somatostatin – analog : Octreotide, MK678. Efek somatostatin antara lain : – menekan sekresi hormone pertumbuhan, glucagon, insulin, dan menekan sekresi gastrin, cholestokinin, sekretin dan enteroglucagon. Somatostatin juga menekan absorbs glukosa di usus.
► Sel F
Sel PP ( pankretik polipetida), ± berjumlah 1 % , menghasilkan polipeptida pancreatic ( 76 % terdapat di caput pancreas).
Patofisiologi berdasarkan klasifikasi :
►DMT1
DMT1 merupakan diabetes mellitus yang tergantung insulin (DMTI) / insulin dependent diabetes mellitus ( nama dulu = IDDM). Pada DMT1 kelainan terletak pada sel Beta, yang bisa idiopatik atau imunologi. Pankreas tidak mampu sintesis dan sekresi insulin dalan kuantitas dan atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang tidak ada sekresi insulin sama sekali. Jadi pada kasus ini terdapat kekurangan insulin secara absolute. Pada DMT1 biasanya reseptor insulin di jaringan perifer kuantitas dan kualitasnya cukup atau normal ( jumlah reseptor insulin DMT1 antara 30000-35000); jumlah reseptor insulin pada orang normal : ± 35000. Sedang pada DM dengan obesitas ± 20000 reseptor insulin.
►DMT2
DMT2 adalah Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI/NIDDM). Pada tipe ini pada awalnya kelainan terletak pada jaringan perifer (resistensi insulin) dan kemudian disusul dengan disfunsi sel Beta pancreas (defek pada fase pertama sekresi insulin), yaitu sebagai berikut :
1. Sekresi Insulin oleh pancreas mungkin cukup atau kurang, namun terdapat keterlambatan sekresi insulin fase -1(fase cepat), sehingga glukosa sudah diabsorbsi masuk darah tetapi jumlah insulin yang efektif belum memadai.
2. Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang (antara 20000-30000): Pada obesitas jumlah reseptor bahkan hanya sekita 20000.
3. Kadang-kadang jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek, sehingga kerja insulin tidak efektif ( insulin binding, atau afinitas atau sensitifitas insulin terganggu).
4. Terdapat kelainan di pasca – reseptor, sehingga proses glikolisis interaseluler terganggu.
5. Adanya klainan campuran di antara nomer 1,2,3,dan 4.

2.2.6. Gejala Klinis :
Gejala klinisDM yang klasik : mula-mula polipagi,polidipsi,poliuria,dan berat badan naik ( fase kompensasi). Apabila keadaan ini tidak segera diobati maka akan timbul gejala fase decompensasi ( “decompensasi pancreas “ ), yang disebut gejala klasik DM yaitu poliuria,polidipsi, dan berat badan menurun. Ketiga gejala klasik tersebut diatas disebut pula : TRIAS SINDROM DIABETES AKUT ( Poliuria, polidipsi, beratbadan menurun), bahkan apabila tidak segera diobati dapat disusun dengan mual-muntah dan ketoasidosis diabetic. Gejala kronis DM yang sering muncul lemah badan, kesemutan, kaku otot, penurunan kemampuan seksual, gangguan penglihatan yang sering berubah, sakit sendi, dan lain-lain.
2.2.7. Diagnosis :
Langkah-langkah diagnostic DM dan TGT . Pemeriksaan penyaringan perlu dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini ADA-2006:
1. Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun)
2. Obesitas BB (kg) > 10 % BB ideal atau IMT .> 25 (kg/m²)
3. Tekanan darah tinggi > 140/90 mmHg.
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat kehamilan dengan : BB lahir bayi> 4000 gram atau abortus berulang.
6. Riwayat DM pada kehamilan.
7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl)
8. Pernah TGT atau GDPT.
Pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk diagnosis DM adalah berikut :
1. 3 hari sebelumnya makan karbohidrat cukup
2. Kegiatan jasmani seperti biasa yang dilakukan
3. Puasa semalam, selama 10-12 jam
4. Periksa glukosa darah puasa
5. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.
6. Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa.
7. Selama pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap boleh minum air putih, namun harus istirahat dan tidak merokok.
8. Untuk tujuan penelitian atau diagnosis DMG dilakukan pemeriksaan glukosa darah pada 0,,2 & 3 jam sebelum dan sesudah minum beban glukosa 75 gram tersebut.
KRITERIA DIAGNOSIS DM
Dinyatakan DM apabila terdapat :
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl, plus gejala klasik: poliuria,polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya atau,
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl atau
3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau beban glukosa 75 gram pada TTGO. Cara diagnosis dengan kriteria ini ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk penelitian epidemiologi pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnosis kadar glukosa darah puasa. Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria diagnosis yang sama.
4. HbA1C≥ 6,5 %
2.2.7. Penatalaksanaan Terapi Diabetes Mellitus
Penatalaksanaan DM terdiri dari lima terapi dasar yaitu
1. Penyuluhan tentang DM
2. Diet
3. Latihan fisik ringan dan olahraga ringan
4. Obat ( insulin atau obat anti diabetes mellitus)
5. Cangkok pancreas.

2.3. Hubungan Terapi Hiperbarik Oksigen Pada Penyakit Diabetes Melitus
Penelitian yang dilakukan oleh Barbara etal dirumah sakit price of wales di Australia yang dilakukan selam satu tahun dari tahun 1999 sampai 2000 pada penderita diabetes mellitus yang mengunakan insulin maupun yang tidak mendapatkan insulin terhadap respon oksigen hiperbarik ternyata didapatkan pengaruh yang positif yaitu:
1. Mekanisme menstimulasi produksi insulin
2. Menekan produksi glukosa oleh hepar
3. Menekan hormon glucagon ,
4. Menekan absorsi glukosa dengan cara menurunkan aliran darah ke hepar.( Barbara et al 2003)
Sebuah penelitian yang dilakukan di Royal Adelaide hospital Australia selatan oleh Ekanayake dan Doollete terdapat hubungan pada penderita diabetes yang di terapi hyperbaric oksigen pada tekanan 2 bar dengan 100% oksigen selama 90 menit dengan cara meningkatkan oksigen dijaringan dan meningkatkan metabolisme aerobic sehingga mengakibatkan peningkatan konsumsi glukosa,merangsang sekresi insulin oleh sel beta pancreas,menghambat hormon somatotropin dan glucagon, dan meningkatkan sensitibilitas insulin dijaringan. (Ekanayake , et al2001)
Penelitian yang dilakukan oleh Matsunami T, Sato Y, et al menyimpulkan bahwa oksigen hiperbarik pada 1,8 ATA – 2,8 ATA selama 60 sampai 90 menit dapat menurunkan stress oksidatif ( enzyme oksidan) dengan cara memeperbaiki fungsi insulin receptor subtract 1 ( IRS 1) dan phosphatidylinositol 3 kinase (PI3K) pada gangguan sekresi insulin dan receptor insulin.( Matsunami 2010 et al).

Daftar Pustaka

1. Ekayanake L, Doolette DJ, effects hyperbaric oxygen treatment on blood sugar levels and insulin levels in diabetics. South pacific underwater medicine society journal,2001. Vol 31. 2, p 16-19.
2. Gill AL 2004 Hyperbaric oxygen: its uses, mechanisms of action and outcomes http://qjmed.oxfordjournals.org/content/97/7/385.2.full
3. Matsunami T,Sato Y, et al oxidative stress and gene expression of antioxidant enzymes in the streptozotocin induced diabetic rats under hyperbaric oxygen exposure. Int J clin exp pathology,2010, vol 3.2 p 177-188.
4. Sahni T 2003 Hyperbaric Oxygen Therapy : Current Trends and Applications http://www.japi.org/march2003/R-Hyperbaric%20Oxygen%20Therapy%20Current.pdf
5. S,R. Rijadi. 2009. Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik. LAKESLA.Surabaya.
6. Trykto B, Bennett M, Blood sugar changes in diabetic patients undergoing hyperbaric oxygen therapy. South pacific underwater medicine society journal,2003. Vol 33. 2, p 62-69.