Referat Asma pada Anak REFERAT PULMONOLOGI “ASMA PADA ANAK”

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [574.59 KB]

Referat Asma pada Anak REFERAT PULMONOLOGI “ASMA PADA ANAK”

Oleh:
EKA EVIA RAHMAWATI AGUSTINA
MODUL KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK DAN REMAJA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
2
Referat Asma pada Anak
BAB I
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Penyakit ini dapat timbul pada semua usia meskipun paling banyak pada anak. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian.1
Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, dan total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak).2 Berbagai faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi asma di suatu tempat, antara lain umur, gender, ras, sosio-ekonomi dan faktor lingkungan. Faktor- faktor tersebut mempengaruhi prevalensi asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan, derajat asma dan kematian karena penyakit asma.
Penatalaksanaan asma pada anak bertujuan untuk mencegah terjadinya serangan asma seminimal mungkin sehingga memungkinkan anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan usianya. Serangan asma biasanya mencerminkan kegagalan pencegahan asma, kegagalan tatalaksana asma jangka panjang dan kegagalan penghindaran dari faktor pencetus.3
3
Referat Asma pada Anak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennnya yang ditandai dengan obsruksi aliran udara bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan. Inflamasi kronik yang merupakan hasil interaksi antara banyak sel, elemen seluler dan sitokin menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan bronkospassme dengan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan biasanya terdapat atopi pada pasien dan atau keluarganya.4
Pedoman Nasional Asma Anak menggunakan batasan yang praktis dalam bentuk batasan operasional yaitu mengi berulang dan atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.5
II.2 EPIDEMIOLOGI
Asma merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, dan total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak).6 Dilaporkan bahwa sejak dua dekade terakhir prevalensi asma meningkat, baik pada anak-anak maupun dewasa. Di negara-negara maju, peningkatan berkaitan dengan polusi udara dari industri maupun otomotif, interior rumah, gaya hidup, kebiasaan merokok, pola makanan, penggunaan susu botol dan paparan alergen dini. Asma
4
Referat Asma pada Anak
mempunyai dampak negatif pada kehidupan penderitanya termasuk untuk anak, seperti menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah.
Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia telah dilakukan di beberapa pusat pendidikan, di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya kunjungan penderita asma dibawah usia 5 tahun di Instalasi Rawat Darurat pada tahun 1997 adalah 239 anak dari 8994 anak ( 2,6 %), pada tahun 2002 adalah 472 anak dari 14.926 anak ( 3,1 %) ( Data rekam medik IRD RS Dr. Soetomo Surabaya).8
Berbagai faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi asma di suatu tempat, antara lain umur, gender, ras, sosio-ekonomi dan faktor lingkungan. Faktor- faktor tersebut mempengaruhi prevalensi asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan, derajat asma dan kematian karena penyakit asma.
II.3 FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko asma dapat dibagi menjadi factor yang menyebabkan berkembangnya asma dan faktor yang memicu gejala asma atau keduanya. Faktor tersebut meliputi factor pejamu dan lingkungan. Bagaimanapun, mekanisme hal tersebut mempengaruhi perkembangan dan ekspresi asma merupakan hal yang rumit dan menarik. 1
Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma yaitu genetic asma, alergik (atopi), hipereaktivitas bronkus. Jenis kelamin dan ras. Factor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala menetap. Yang merupakan factor lingkungan yaitu allergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status ekonomi dan besarnya keluarga.1
5
Referat Asma pada Anak
II.4 PATOGENESIS ASMA
Asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit. T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.2,5
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40 % penderita asma anak dan dewasa. 7
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel plasma. Ig E melekat pada Fc reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat ( immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediator-mediator : histamin, leukotrien C4(LTC4), prostaglandin D2(PGD2), tromboksan A2, tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali ( serangan asma hilang ) dengan pengobatan.7
Setelah 6- 8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut reaksi asma lambat (late asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF yang diproduksi oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan sel-sel radang : eosinofil, basofil, monosit dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th), limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL – 3 dan granulocyte – macrophage colony – stimulating factor (GM – CSF), Thl terutama memproduksi IL – 2, IF gamma dan TNF beta sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin
6
Referat Asma pada Anak
yang terlibat dalam asma, yaitu IL – 4, IL – 5, IL – 9, IL – 13, dan IL – 16.
Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggungjawab atas terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat . Masing –masing sel radang berkemampuan
mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil memproduksi LTC4, Eosinophil
Peroxidase (EPX), Eosinophil Cathion Protein (ECP) dan Major Basic Protein
(MBP). Mediator-mediator tersebut merupakan mediator inflamasi yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi histamin, LTC4, PGD2.
Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme. Sel makrofag mensekresi
IL8, platelet activating factor (PAF), regulated upon activation novel T cell
expression and presumably secreted (RANTES) . Semua mediator diatas
merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses keradangan,
mempertahankan proses inflamasi. Mediator inlamasi tersebut akan membuat
kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan
epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada
rangsangan spesifik maupun non spesifik.Secara klinis, gejala asma menjadi
menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan
menjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang
adekuat.
1,2,5,67
7
Referat Asma pada Anak
Gambar.1 Patogenesis Asma
Remodeling Saluran Napas
Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis kan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel mati atau rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi atau perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan belum banyak diktahui yang dikenal dengn airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mucus. Kerusakan epitel bronkus adalah akibat dilepaskannya sitokin dari sel inflamasi seperti eosinofil. Kini dibuktikan bahwa otot polos saluran napas juga memproduksi sitokin dan kemokin seperti eotaxin, RANTES, GM-CSF dan IL-5, juga faktor pertumbuhan dan mediator lipid, sehingga mengakibatkan penumpukan kolagen di lamina propia.1,2
Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.2,5,6,
8
Referat Asma pada Anak
Gambar 2. Proses remodeling
Proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel bronkus yang
disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Konsekuensi klinis airway remodeling
adalah peningkatan gejala pada asma seperti hipereaktivitas jalan napas, regangan
jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak
diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus
dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah
hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum
bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan
lamina retikularis. Hal ini diduga bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum
atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera
setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah
terjadinya proses remodeling.1
II.5 PATOFISIOLOGI ASMA
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi saluran pernapasan berupa
obstruksi saluran napas yang menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat
9
Referat Asma pada Anak
kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas pada asma ; batuk, sesak dan wheezing dan disertai hipereaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan terutama pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma yang ditemukan.7,9
Proses patologi pada serangan asma termasuk adanya konstriksi bronkus, udema mukosa dan infiltrasi dengan sel-sel inflamasi (eosinofil, netrofil, basofil, makrofag) dan deskuamasi sel-sel epitel. Dilepaskannya berbagai mediator inflamasi seperti histamin, lekotriene C4, D4 dan E4, P.A.F yang mengakibatkan adanya konstriksi bronkus, edema mukosa dan penumpukan mukus yang kental dalam lumen saluran nafas. Sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi. Sumbatan jalan nafas menyebabkan peningkatan tahanan jalan nafas yang tidak merata di seluruh jaringan bronkus, menyebabkan tidak padu padannya ventilasi dengan perfusi (ventilation-perfusion mismatch). Hiperinflasi paru yang merupakan kompensasi kaibat obstruksi saluran napas menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran nafas yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran nafas, sehingga meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks. Peningkatan tekanan intratorakal mungkin mempengaruhi arus balik vena dan mengurangi curah jantung yang bermanisfestasi sebagai pulsus paradoksus.7,9
Ventilasi perfusi yang tidak padu padan, hipoventilasi alveolar, dan peningkatan kerja nafas menyebabkan perubahan dalam gas darah. Pada awal serangan, untuk mengkompensasi hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga kadar PaCO2 yang akan turun dan dijumpai alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada obstruksi jalan nafas yang berat, akan terjadi kelelahan otot nafas dan hipoventilasi alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu jika dijumpai kadar PaCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan
10
Referat Asma pada Anak
dan ancaman gagal nafas. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh otot nafas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokontriksi pulmonal, namun jarang terjadi komplikasi cor pulmonale. Hipoksia dan vasokontriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkurang atau tidak ada, dan meningkatkan resiko terjadinya atelektasis.7,9
II.6 DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI ASMA
II.6.1 Diagnosis
Diagnosis asma didasarkan oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variability yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.1
Riwayat penyakit atau gejala :
 Bersifat episodik, seringkali reversible dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi (atopi)
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) terdapat penyempitan jalan napas.1
11
Referat Asma pada Anak
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil., khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis, sangat menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya :
1. Variabilitas pada PFR atau FEVI > 15 %
Variablitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan / penurunan) hasil PFR dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas mingguan yang pemeriksaan berlangsung > 2 minggu.
2. Reversibilitas pada PFR atau FEVI > 15%
Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PFR atau FEVI setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan > 20 % pada FEVI (PD20 atau PC20) setelah provokasi bronkus dengan metakolin atau histamin.6
Penggunaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu diupayakan, karena selain untuk mendukung diagnosis juga untuk mengetahui keberhasilan tatalaksana asma. Berhubung alat tersebut tidak selalu ada, maka Lembar Catatan Harian dapat digunakan sebagai alternatif karena mempunyai korelasi yang baik dengan faal paru. Lembar Catatan Harian dapat digunakan dengan atau tanpa pemeriksaan PFR.
Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons terhadap pemberian obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak baik, sebelum memikirkan diagnosis lain, maka perlu dinilai dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah penghindaran terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta
12
Referat Asma pada Anak
ketaatan pasien baik. Bila semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar. Maka perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis bukan asma.5
Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah foto Rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji provokasi. Selain itu mungkin juga perlu diperiksa foto Rontgen sinus paranasalis, uji keringat, uji imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan tindakan bronkoskopi.6
Di Indonesia, tuberkulosis (TB) masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai dan salah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu uji tuberkulin perlu dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun yang bukan asma (lihat alur diagnosis asma, ). Dengan cara tersebut di atas, maka penyakit tuberkulosis yang mungkin bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan diterapi. Pasien TB yang memerlukan steroid untuk pengobatan asmanya, steroid sistemik jangka pendek atau steroid inhalasi tidak akan memperburuk tuberkulosisnya karena sudah dilindungi dengan obat TB. Menurut pengamatan di lapangan,sering terjadi overdiagnosis TB dan underdiagnosis asma, karena pada pasien anak dengan batuk kronik berulang sering kali yang pertama kali dipikirkan adalah TB, bukan asma.5
Berdasakan alur diagnosis asma anak, setiap anak yang menunjukkan gejala batuk dan / atau wheezing maka diagnosis akhirnya dapat berupa :
1. Asma
2. Asma dengan penyakit lain
3. Bukan asma
13
Referat Asma pada Anak
14
Referat Asma pada Anak
II.6.2 Klasifikasi Derajat Penyakit
Pedoman Nasional Asma Anak membagi asma anak menjadi 3 derajat penyakit, dengan kriteria yang lebih lengkap dibandingkan Konsensus Internasional, seperti dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Parameter klinis, kebutuhan obat dan faal paru
Asma episodik jarang
Asma episodik sering
Asma persisten
Frekuensi serangan
< 1x/bulan > 1x/bulan
Sering
Lama serangan
< 1 minggu ≥ 1 minggu Hampir sepanjang tahun, tidak ada remisi Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan malam Tidur dan aktifitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu Pemeriksaan fisis diluar serangan Normal (tidak ditemukan kelainan) Mungkin terganggu (ditemukan kelainan) Tidak pernah normal Obat pengendali (anti inflamasi) Tidak perlu Perlu Perlu Uji faal paru (di luar serangan) PEF/FEV1 > 80%
PEF/FEV1 60-80%
PEF/FEV1 < 60% Variabilitas 20-30% Variabilitas faal paru (bila ada serangan) Variabilitas > 15%
Variabilitas > 30%
Variabilitas > 50%
15
Referat Asma pada Anak
Sebagai perbandingan, GINA membagi derajat penyakit asma menjadi 4, yaitu Asma Intermiten, Asma Persisten Ringan, Asma Persisten Sedang, dan Asma Persisten Berat. Dasar pembagiannya adalah gambaran klinis, faal paru dan obat yang dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit. Dalam klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEVI untuk penilaiannya.6
Konsensus Internasional III juga membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan keadaan klinis dan kebutuhan obat menjadi 3, yaitu, Asma episodik jarang yang meliputi 75 % populasi anak asma, Asma episodik sering meliputi 20 % populasi, dan Asma persisten meliputi 5 % populasi. Klasifikasi asma seperti ini juga dikemukakan oleh Martin dkk dari Melbourne asthma Study Group.6
II.7 PENATALAKSANAAN ASMA
II.7.1 Tujuan Tatalaksana
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai adalah :6
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya. Tatalaksana asma mencakup edukasi terhadap pasien dan atau keluarganya tentang penyakit asma dan penghindaran terhadap faktor pencetus serta
16
Referat Asma pada Anak
medikamentosa. Medikamentosa yang digunakan dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu pereda (reliever) dan pengendali (controller).
II.7.2 Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).2,6 Obat pereda ada yang menyebutnya pelega, atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering disebut sebagai obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respitorik kronik. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat-obat pengendali diberikan pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten.2,6
Di luar serangan, pemberian obat controller tergantung pada derajat asma. Pada asma episodik jarang, tidak diperlukan controller, sedangkan pada asma episodik sering dan asma persisten memerlukan obat controller.
Pada serangan asma akut yang berat :
– Berikan oksigen
– Nebulasi dengan -agonis ± antikolinergik dengan oksigen dengan 4-6 kali pemberian.
– Koreksi asidosis, dehidrasi dan gangguan elektrolit bila ada
– Berikan steroid intra vena secara bolus, tiap 6-8 jam
– Berikan aminofilin intra vena :
o Bila pasien belum mendapatkan amonifilin sebelumnya, berikan aminofilin dosis awal 6 mg/kgBB dalam dekstrosa atau NaCl sebanyak 20 ml dalam 20-30 menit
17
Referat Asma pada Anak
o Bila pasien telah mendapatkan aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan separuhnya.
o Bila mungkin kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml
o Selanjutnya berikan aminofilin dosis rumatan 0,5-1 mg/kgBB/jam
– Bila terjadi perbaikan klinis, nebulasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan pemberian steroid dan aminofilin dapat per oral
– Bila dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat -agonis (inhaler atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.
II.7.2.a Asma Episodik Jarang
Asma Episodik Jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator β-agonis inhaler kerja pendek (Short Acting β2-Agonist, SABA) atau golongan santin kerja cepat bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan.5,6 (Evidence A) Anjuran memakai inhaler tidak mudah dilakukan mengingat obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia disemua daerah. Di samping itu pemakaian obat inhaler (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) memerlukan teknik penggunaan yang benar (untuk anak besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya.6 Bila obat inhaler tidak ada/tidak dapat digunakan, maka β-agonis diberikan per oral. (evidence D).
Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator makin kurang perannya dalam tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat β-agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping.13 Di samping itu penggunaan β-agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin. (Evidence C).
18
Referat Asma pada Anak
Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak seperti terlihat dalam klasifikasi asmanya tidak menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma ringan.13 Jadi secara tegas PNAA tidak menganjurkan pemberian pemberian obat controller pada Asma Episodik Jarang. Hal ini sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid inhaler dosis rendah, atau kromoglikat inhaler.6 (Evidence A). Apabila tatalaksana Asma Episodik Jarang sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 4-6minggu, maka tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering. Konig menemukan bukti bahwa dengan mengikuti panduan tatalaksana yang lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi pada Asma Episodik Jarang, ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada kelompok tersebut paling sedikit yang mengalami perbaikan derajat asma.14 Di lain pihak, Asma Episodik Sering yang mendapat kromoglikat, dan Asma Persisten yang mendapat steroid inhaler, menunjukkan perbaikan derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya dari Asma Persisten menjadi Asma Episodik Sering atau Asma Episodik Jarang, bahkan sampai asmanya asimptomatik.
II.7.2.b Asma Episodik Sering
Apabila penggunaan β-agonis inhaler sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.2,6 (Evidence A) pada awalnya, anti-inflamasi tahap pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan dosis minimum 10 mg 2-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah terkendali, pemeberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3
19
Referat Asma pada Anak
kali perhari. Penelitian terakhir, Tasche dkk,15 mendapatkan hasil bahwa pemberian kromolin kurang bermanfaat pada terlaksana asma jangka panjang. Dengan dasar tersebut PNAA revisi terakhir tidak mencantumkan kromolin (kromoglikat dan nedokromil) sebagai tahap pertama melainkan steroid inhaler dosis rendah sebagai anti-inflamasi (Lampiran). (Evidence A)
Tahap pertama obat pengendali adalah pemberian steroid inhaler dosis rendah yang biasanya cukup efektif. Obat steroid inhaler yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid inhaler adalah setara dengan 100-200 ug/hari budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang.2,10,13
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakuakn setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid inhaler dosis rendah tidak respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid inhaler sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid inhaler dihentikan penggunaannya.2,6,13
20
Referat Asma pada Anak
Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rintis dan sinusitis. Telah dibuktikan bahwa penatalaksanaan rintis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.16
II.7.2.c Asma Persisten
Cara pemberian steroid inhaler apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid inhaler diturunkan sampai dosis terkecil yang masih optimal.6
Dosis steroid inhaler yang masih dianggap aman adalah setara budesonid 400 ug/hari. Di atas dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800 ug/hari agaknya mulai berpengaruh terhadap poros HPA (hipotalamus-hipotesis-adrenal) sehingga dapat berdampak terhadap pertumbuhan. Efek samping steroid inhaler dapat dikurangi dengan penggunaan alat pemberi jarak berupa perenggang (spacer) yang akan mengurangi deposisi di daerah orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik dan meningkatkan deposisi obat di paru.17 Selain itu untuk mengurangi efek samping steroid inhaler, bila sudah mampu pasien dianjurkan berkumur dan air kumurannya dibuang setelah menghirup obat.
Setelah pemberian steroid inhaler dosis rendah tidak mempunyai respons yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan steroid yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau terapi steroid inhaler dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriene Receptor (ALTR)(1,3). (Evidence A) Yang
21
Referat Asma pada Anak
dimaksud dosis medium adalah setara dengan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.5 (Evidence D)
Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. (Evidence A) yang dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan >400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.5 (Evidence D)
Penambahan LABA pada steroid inhaler telah banyak dibuktikan keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas hidupnya.2,5,6, Apabila dosis steroid inhaler sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan steroid inhaler atau alternatif di atas telah dijalankan. (Evidence B) Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat.12 Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat.18,19
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi. Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada rekomendasi.
Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya ketotifen dan setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan asma tipe rinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan kototifen
22
Referat Asma pada Anak
sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan karena
tidak mempunyai manfaat yang berarti.
20
(Evidence A)
Apabila dengan pemberian steroid inhaler dicapai fungsi paru yang
optimal atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid
dapat dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa
mengendalikan dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa
mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda
tetap diteruskan.
6
II.7.3 Cara Pemberian Obat
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena
perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Dmeikian juga kemauan
anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat
inhaler biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan
berulang kali. Tabel berikut memperhatikan anjuran pemakaian alat inhalasi
disesuakan dengan usianya.
23
Referat Asma pada Anak
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik. Sebaliknya deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang baik. (Evidence B) Obat inhaler dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler; memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.5,6
Sebagian alat bantu yaitu spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Bayhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau botol minuman, atau menggunakan botol dengan dot yang talah dipotong untuk anak kecil dan bayi.5 (Evidence D) .
II.7.4 Prevensi dan Intervensi Dini
Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama dokter, khususnya spesialis anak dalam menangani anak asma. Pengendalian lingkungan, pemberian ASI eksklusif minimal 4 bulan, penghindaran makanan berpotensi alergenik, pengurangan pajanan terhadap tungau debu rumah dan rontokan bulu binatang, telah terbukti mengurangi manifestasi alergi makanan dan prevalens asma jangka panjang diduga ada tetapi masih dalam penelitian.2,5,6
Penggunaan antihistamin non-sedatif seperti ketotifen dan setirizin jangka panjang dilaporkan dapat mencegah terjadinya asma pada anak dengan dermatitis atopik. Obat-obat di atas tidak bermanfaat sebagai obat pengendali asma (controller). Tindakan dini pada asma anak berdasarkan pendapat bahwa keterlambatan pemberian obat pengendali akan berakibat penyempitan jalan napas yang ireversibel (airway remodeling).5
Faktor Alergi dan Lingkungan
Saat ini telah banyak bukti bahwa alergi merupakan salah satu faktor penting berkembangnya asma. Paling tidak 75-90% anak asma balita terbukti
24
Referat Asma pada Anak
mengidap alergi, baik di negara berkembang maupun negara maju. Atopi merupakan faktor risiko yang nyata untuk menetapnya hiperreaktivitas bronkus dan gejala asma. Derajat asma yang lebih berat dapat diperkirakan dengan adanya dermatitis atopik. Terdapat hubungan antara pajanan alergen dengan sensitisasi. Pajanan yang tinggi berhubungan dengan peningkatan gejala asma pada anak.21 (Evidence A)
Pengendalian lingkungan harus dilakukan untuk setiap anak asma. Penghindaran terhadap asap rokok merupakan rekomendasi penting. Keluarga dengan anak asma dianjurkan tidak tidak memelihara binatang berbulu, seperti kucing, anjing, burung. Perbaikan ventilasi ruangan, dan penghindaran kelembaban kamar perlu untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungaunya.5,6 (Evidence A)
Perlu ditekankan bahwa anak asma sering kali menderita rinitis alergika dan/atau sinusitis yang membuat asmanya sukar dikendalikan. Deteksi dan diagnosis kedua kelainan itu diikuti dengan terapi yang adekuat akan memperbaiki gejala asmanya.5,16
II.8 Prognosis
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45 hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan lamanya pemantauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut maka kemungkinan menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada keadaan bukan flu.5,16
25
Referat Asma pada Anak
BAB III
KESIMPULAN
 Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam dan dini hari.Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, brvariasi dan seringkali bersifat reversible dengan atau tanpa pengobatan.
 Prevalensi asma meningkat di seluruh dunia. Hal ini di-sebabkan terutama oleh pengetshuan yang rendah mengenai asma, pedoman dan pelaksanaan pengelolaan asma yang tidak lengkap atau sistimatis, serta sangat kurangnya data dan perencanaan lanjutan.
 Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).Relievers merupakan obat yang digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul, sedangkan controller untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respitorik kronik.
 Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal
26
Referat Asma pada Anak
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunnegoro,dkk. Asma : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta : Penerbit FKUI.2004
2. Warner JO. Asthma- basic mehanisms. Dalam: Naspitz CK, Szefler SJ, Tinkelman DG, Warner JO,Eds. Textbook of Pediatric Asthma; edisi ke 1. Martin Dunitz Ltd, London2001;19-33.
3. Stempel DA. The pharmacologic management of childhood asthma. Pediatr Clin N Am 2003;50:609-29.
4. GINA. Global Strategy for Asthma Management and Prevention.2006
5. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta; 2004
6. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for asthma. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.
7. Setiawati,landia, MS Makmuri. Tatalaksana Asma Jangka Panjang pada Anak. Divisi Pulmonologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair / RSU Dr. Soetomo Surabaya .2006
8. Beasley R, Keil U, Mutius E, Pearse N and ISAAC steering committee. World wide variation in prevalence of symptoms asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. Lancet 1998; 351:1225-32.
9. Sharma.Girish D.Asthma.eMedicine Pediatrics.Updated sep9, 2009.
10. AIRE. Asthma prevalence in Europe. Asthma insight and reality. in Europe Executive Summary. http://www.asthma.ac.psiweb.com.executive /mn-exe-summary-prevalence.html
11. Elias JA,Lee Cg, Zheng T, Ma B, Horner RJ, Zhu Z. New insights into the pathogenesis of asthma. J.Clin Invest 2003;111:291-7.
12. Platts-Mills TAE, Sporik RB, Chapman MD, Heymann PW. The role of domestic allergens. Dalam: The rising trends in asthma, Edisi ke 1. John Wiley & sons : New York 1997. 173-90.
27
Referat Asma pada Anak
13. Warner JO, Naspitz CK, Cropp GJA. Third International Pediatric Consensus Statement on the Management of Childood Asthma. Pediatr Pulmonol 1998; 25:1-17.
14. Konig P. Evidence for benefits of early intervention with non-steroidal drugs in asthma. Pediatr Pulmonol 1997; 15:34-9.
15. Tasche MJA, Uijen JHJM, Bernsen RMD, de Jongste JC, van der Wouden JC. Inhaled disodium cromoglucate (DSCG) as maintenance therapy in children with asthma: a systematic review. Thorax 2000; 55:913-20.
16. Sundaru H. United allergic airway disease: konsep baru penyakit alergi saluran napas.Dalam: Naskah lengkap Penedidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV.FKUI:Jakarta2001:21-30.
17. Barry PW, Fouroux B, Pederson S, O’Callaghan C. Nebulizers in childhood. Eur Respir Rev 2000; 10: 527-35.
18. Greshman NH, Wong HH, Liu JT, Fahy JV. Low-dose and high-dose fluticasone propionate in asthma:effects during and after treatment. Eur Respir J 2000; 15: 11-6.
19. Barnes N. Specific problems: steroid-induced side-effects. Dalam: O’Byrne PM, Thomson NC Eds. Manual of asthma management. Edisi ke2 .WB Saunders:London 2001:577-87.
20. Loftus BG, Price JF. Long-term placebo-controlled trial of ketotifen in the management of preschool children with asthma. J Allergy Clin Immunol 1987; 79: 350-5.
21. Martinez FD. Links between peditric and adult asthma. J Allergy Clin Immunol 2001; 107: S449-55.
28
Referat Asma pada Anak