Psikolog Forensik ( Forensic Psychology )

Psikolog Forensik ( Forensic Psychology )

Dewasa ini, Psikolog sering dipanggil ke arena pengadilan untuk menyediakan opini tentang kasus–kasus yang terjadi. Psikolog klinis memiliki memiliki peluang lebih besar untuk dipanggil kedalam pengadilan. Saran yang diberikan oleh Psikolog biasanya sangat dipertimbangkan oleh para pengacara dan hakim. Ahli Psikologi kognitif mungkin ditanyakan untuk melakukan tes keabsahan atau tidaknya ”repressed memories”(Loftus,1993). Seorang pengacara yang sedang membela kliennya mungkin akan mencoba menghadirkan ahli mengenai persepsi untuk melakukan tes tentang faktor yang mampu memberikan pengaruh terhadap tingkat realibilitas dari ucapan saksi. Psikolog memiliki pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan di pengadilan.
Beberapa psikolog yang memfokuskan diri mereka dalam pengadilan dan mengidentifikasi mereka sebagai spesialis forensik atau psikolog forensik. Dalam keterkaitan antara kesalahan dengan sistem tindak pidana, pertanyaan umum yang ditemui oleh psikolog forensik ialah: “Apakah terdakwa bisa dihadirkan di persidangan? Dan bagaimana keadaan mental dari terdakwa ketika melakukan tindakan kriminal?” Psikologi forensik juga dilibatkan diluar pengadilan, contohnya ialah psikolog forensik mungkin akan memeriksa penjaga penjara atau riwayat pengunjung yang mungkin memberikan perhatian terbesar dari terdakwa. Dalam litigasi sipil, psikolog forensik mungkin akan mengevaluasi riwayat dari keadaan mental si terdakwa.

Definisi
Jika semua psikolog dapat masuk ke persidangan, lalu apa artinya psikolog forensik? Thomas Grisso, psikolog forensik yang cukup terkenal menawarkan sebuah definisi untuk mewakili psikolog forensik yaitu : ”psikolog forensik ialah semua psikolog, eksperimental atau klinis, yang fokus dalam memnghasilkan atau mengkomunikasikan penelitian psikologi atau assessment suatu informasi yang berguna untuk diajukan di pengadilan” (Griso,1987,p.831). Definisi dari Dr. Grisso menekankan tentang pentingnya penelitian keilmuan untuk psikologi forensik. Psikolog forensik mungkin akan mencari faktor psikologis apa yang berpengaruh dan menjelaskannya dalam persidangan untuk mendapatkan hasil terbaik. Seorang psikolog forensik yang kompeten mungkin akan menjadikan pengetahuannya akan psikologi sebagai dasar dari berbagai opininya di pengadilan.
Sekarang jumlah psikolog forensik mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Tahun 1991, divisi 41 dari APA, The American Psychology-Law Society,memberikan dukungan berupa seperangkat modul untuk psikolog forensik. Dengan tambahan modul, definisi psikologi forensik baru diajukan yaitu: ”semua psikolog yang melakukan tindakan secara profesional dengan pengetahuan yang lebih, sebagai asisten di persidangan yang memfasilitasi kesehatan mental terdakwa. Dengan kata lain psikologi forensik merupakan bagian dari psikologi terapan yang ahli dan relevan dalam membantu jalannya suatu persidangan.

Psikologi dan hukum: aliansi yang hati–hati
Walaupun pengadilan sudah sering mengarah ke para profesional kesehatan mental untuk bimbingan di dalam berbagai permasalahan yang kompleks, hubungan antara psikologi dan hukum tidak selalu harmonis. Pengacara David Bazelon menjelaskan dirinya sebagai “dissapointed lover” dalam sebuah kertas sebagai bentuk protes kehadiran psikolog dalam pengadilan. Pengacara Bazelon mengkritik psikolog untuk menawarkan pendapat yang berspekulasi jauh di luar dasar ilmiah mereka dan untuk membuat penghakiman moral yang tidak baik sebagai pujian/rekomendasi psikologis (Bazelon,1982). Beberapa periode kemudian, kesaksian psikologis telah memainkan suatu peranan yang penting di dalam kasus high-profile criminal seperti pengadilan dari john hinckley, orang yang mencoba untuk membunuh Presiden Reagan, dan Jeffrey Dalmer, yang mengaku sebagai pembunuh dan pemisahan lima belas pemuda dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Ahli kesehatan mental sering menawarkan dengan menarik bahwa adanya ketidak konsistenan dari pemaparan saksi, akan tetapi publik malah melihat itu sebagai testimony ahli yang dibayar dan tidak berdasarkan ilmu. Nilai dari temuan riset psikologis di sistem pengadilan secara umum telah disangsikan oleh beberapa orang (e.g.,Loh,1981).
Sebagian dari konflik antara psikolog dan pengacara dapat ditelusur balik ke asumsi dasar yang mendasari disiplin ilmunya masing-masing. Barangkali yang paling membedakan secara filosofi antara hukum dan psikologi adalah asumsi tentang faktor penentu dari tingkah laku manusia (Melton, Petrila, Poythress & Slobogin, 1987). Psikologi memegang suatu pandangan yang deterministic dari perilaku. Riset psikologis adalah secara umum diarahkan pada mengidentifikasi faktor, baik faktor instrinsik, lingkungan, sosial atau biologis, yang memberi pengaruh terhadap tingkah laku manusia. Ketika kita melihat di bab 3 dan 4, masing-masing dari model teoritis psikologi klinis telah menghipotesakan berbagai faktor penentu dari perilaku. Hukum, pada sisi lain, menekankan pentingnya kemauan bebas. Masing-Masing individu bertanggung jawab atas tingkah lakunya. Kapan psikolog menguraikan faktor kejiwaan yang mempengaruhi perilaku terdakwa, itu dapat nampak seolah-olah profesional sedang membantah bahwa terdakwa tidaklah bertanggung jawab untuk tindakan mereka.
Asumsi filosofis yang membuat psikologi dan hukum nampak kedua ilmu yang eksklusif. Lalu kenapa kemudian psikologi dapat masuk ke ranah hukum? Melton dan para rekan kerjanya (1987) menawarkan suatu solusi yang parsial untuk masalah itu. Jika psikolog dapat membalas godaan itu, atau dalam beberapa hal tekanan dari menguji pengacara, melafalkan dialog persidangan terakhir, baik psikologi maupun hukum tetap bisa menjadi bantuan bagi pengadilan dengan mengidentifikasi faktor yang mungkin telah mempengaruhi perilaku terdakwa. Keputusan yang sah tentang perilaku terdakwa tetap ditentukan oleh hakim atau juri. Penemuan psikolog ditafsirkan di dalam bentuk kerangka yang sah tentang kasus itu.
Perbedaan lainnya antara hukum dan psikologi adalah toleransi untuk kebimbangan (Anderton,Staulcup,&Grisso, 1980; Melton et al.., 1987). Hukum memerlukan suatu keputusan yang mewakili “kebenaran” berdasarkan bukti tersedia. Terdakwa baik bersalah maupun tidak bersalah dari suatu kejahatan. Di hukum, kesimpulan dari fakta adalah suatu all-or-none keputusan. Di dalam ilmu pengetahuan yang meneliti tingkah laku, pada sisi lain, ada suatu toleransi yang tinggi untuk kerancuan. Salah satu dari ungkapan yang paling umum digunakan di bagian diskusi dari catatan/kertas riset psikologis adalah “lebih banyak riset untuk dilaksanakan”. Faktanya, ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu pencarian tak ada akhirnya untuk kebenaran yang terakhir. Sebagian besar data ilmiah yang psikolog percaya didasarkan perbandingan antara penggolongan yang berbeda pada dimensi tertentu. Psikolog berhadapan dengan permasalahan dalam bagaimana cara menggunakan data kelompok untuk kasus. Suatu contoh akan menggambarkan dilema tersebut. Terdakwa yang kejam ditolak diberikan pembebasan bersyarat sebab profil psikologis nya tidak mengisyaratkan ia akan kembali normal sebab ia berpotensi tinggi untuk mengulangi kesalahannya. Riset studi sudah menunjukkan bahwa 40 persen dari orang dibebaskan bersyarat dengan profil yang sama mempunyai kecendrungan melakukan lagi.
Pembedaan antara filosofi ilmu hukum dan filosofi yang mendasari ilmu pengetahuan tingkah laku yang menyebabkan ketidak nyamanan yang terbesar untuk beberapa psikolog adalah asumsi tentang metode terbaik untuk mencapai kebenaran tersebut. Hukum berasumsi bahwa kebenaran adalah paling mungkin untuk di diperoleh melalui suatu proses adversial.”Logika dari jurisprudensi didasarkan dengan diam-diam asumsi yang kebenaran boleh terbaik ditemukan ketika dua para orang yang mendukung kesimpulan berbeda menghadapi satu sama lain dengan yang bernafsu, bipartisan berdebat mengenai baik buruknya soal dari kesimpulan mereka” (Anderten et al., 1980, p.764). Pengacara ” membantah” kasus mereka sebelum dipustuskan dewan juri atau hakim. Kontrasnya , ilmu pengetahuan didasarkan asumption bahwa kebenaran akan ditemukan melalui employement yang tenang dari konsisten dengan posisi seseorang teoritis. Banyak psikolog dikejutkan ketika mereka temukan diri mereka menghadapi pengacara yang bernafsu untuk mempertahankan pendapat mereka dan membuat saksi ketakutan. Kebanyakan psikolog yang bersaksi dengan frekwensi yang manapun dapat berbagi sedikitnya seseorang menghina pengalaman di mana mereka telah dibuat untuk merasakan dengan tidak dipercaya ceroboh di bawah pengujian silang yang keras (lihat Brodsky, 1991).

Saksi Ahli
Ketika psikolog nampak di dalam pengadilan dalam rangka peran profesional, mereka pada umumnya muncul seperti para saksi yang ahli. Saksi ahli dibedakan dari suatu fakta bersaksi. yang belakangan adalah umumnya hanya mampu membuktikan tentang informasi yang didapat lewat pengamatan langsung. Para saksi fakta dapat bersaksi sekitar apa yang mereka lihat, dengar, baca, cicipi, rasakan dan suka. Satu-satunya jenis pendapat penawaran yang dapat memperkuat fakta adalah mereka yang didasarkan persepsi langsung mereka dan itu memperjelas kesaksian mereka ( Stromberg et al.,1988). Saksi yang ahli, pada sisi lain, diijinkan, dan diharapkan, menawarkan pendapat kepada pengadilan. Peran dari saksi yang ahli adalah untuk menggunakan khusus pengetahuan untuk membantu hakim atau dewan juri di dalam memahami sebuah. Psikolog telah dikenali sebagai yang mampu dari menyediakan kesaksian yang ahli jika menyertakan isu dari kekacauan mental sejak 1962 (Blau,1984).
Ketika psikolog memutuskan menjadi seorang saksi ahli, pertanyaan pertama yang diajukan ialah mengenai pendidikan mereka, pelatihan, pengalaman, lisensi dan sertifikasi yang dimiliki psikolog tersebut. Pengacara yang melakukan tanya jawab sedang berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa psikolog yang menjadi saksi merupakan seorang ahli. Yang berhak menentukan kapan psikolog masuk untuk mengintervensi adalah hakim. Pekerjaan pengacara adalah untuk menimbulkan informasi diperlukan untuk menetapkan psikolog sebagai suatu saksi yang ahli.
Dikenali sebagai suatu tenaga ahli oleh pengadilan dapat menjadi ego-boosting pengalaman. Psikolog perlu untuk berhati-hati bahwa mereka tidak menyakititi privillage dari menawarkan pendapat yang ahli. Untuk contoh, psikolog boleh jadi diminta pendapat yang memerlukan kesimpulan jauh di luar dasar pengetahuan dari psikologi yang ilmiah. suatu pertanyaan seperti ” Doktor, menurut Anda Johny (5 tahun) lebih mungkin untuk menjadi suatu pemain permainan hoki profesional ketika ia ditempatkan dengan ibu nya atau bapak nya?” pertanyaan tersebut baiknya tidak dijawab langsung. Tidak ada data atas mana mendasarkan pendapat itu. Untuk memastikan bahwa Johnny akan menjadi pemain NHL lebih baik ditempatkan dengan ayahnya yang notabene mantan pmain NHL dibanding ibunya yang sudah muak dengan olahraga Hockey. Dengan cara yang sama, psikolog perlu untuk saksama tentang kebingungan pendapat profesional dan pribadi. itu akan bersifat tidak sesuai, sebagai contoh, suatu psikolog merekomendasikan bahwa seorang anak ditempatkan dengan nya ibu dibanding bapak nya karena ibunya memiliki kesamaan agama dengan psikolog tersebut.
Di area hukum kriminal, psikolog harus menghindari menawarkan pendapat kedalam isu hukum yang terjadi (APA,1978), walaupun dalam prakteknya psikolog tidak boleh mengkuti nasehat ini.

Psikologi dan Hukum Pidana
Di Amerika Serikat, terdakwa diperlukan untuk membuat permohonan dalam menanggapi biaya hukum sebelum ke pengadilan (Winick, 1983). persyaratan ini dapat ditelusuri kembali ke hukum umum Inggris. beberapa sejarah percaya bahwa konsep “kompetensi untuk diadili” memiliki akar itu dalam persyaratan ini. tampaknya bahwa pengadilan Inggris beberapa terdakwa akan berdiri diam daripada menanggapi tuduhan. pengadilan dalam kasus seperti ingin menentukan wheter para terdakwa adalah “bisu kejahatan” (yaitu, para terdakwa sedang keras kepala) atau “bisu oleh kunjungan Allah” (yaitu, para terdakwa tidak dapat menanggapi mengisi karena ia tuli, harus, atau “gila” (Melton, 1997). jika individu dianggap bisu kebencian, pengadilan berusaha untuk memaksa permohonan dengan menempatkan beban semakin berat pada dada terdakwa, tampaknya dalam upaya untuk menekan permohonan dari terdakwa. yang ditemukan bisu oleh kunjungan Allah selamat prosedur ini.
Meskipun sistem hukum kita tidak lagi menggunakan metode berat untuk mengekstrak permohonan, masalah kompetensi untuk diadili terus menjadi masalah dan dibangkitkan cukup sering (Melton, 1997: Roesch & Golding, 1987), meskipun dalam kebanyakan kasus terdakwa ditemukan kompeten untuk menghadapi persidangan. definisi hukum modern kompetensi didirikan dalam kasus tengara, Dusky v. Amerika Serikat (1960). dalam hal ini Mahkamah Agung memutuskan: itu sudah cukup bagi hakim distrik untuk menemukan “bahwa terdakwa berorientasi pada waktu dan tempat dan memiliki beberapa ingatan peristiwa,” tetapi tes harus cuaca ia memiliki kemampuan yang cukup untuk hadir berkonsultasi dengan pengacaranya dengan tingkat yang wajar pemahaman rasional dan cuaca ia memiliki pemahaman serta rasional faktual dari proses terhadap dirinya. (dikutip dalam Roesch & Golding, 1987 hal 379).
Seorang terdakwa yang cenderung menarik diri ke keadaan katatonik di bawah tekanan mungkin tidak kompeten untuk diadili dalam kasus seperti itu. Namun, terdakwa sama mungkin menjadi kompeten untuk bekerja sama dengan nya atau pengacaranya jika rencana ini adalah untuk menawar pembelaan (Roesch & Golding, 1987).
Kebanyakan terdakwa yang dinilai kompetensi untuk diadili, pada kenyataannya, ditemukan untuk menjadi kompeten. Namun, terdakwa yang ditemukan tidak kompeten menyajikan negara dengan masalah moral yang sulit: apa yang harus dilakukan dengan seseorang yang telah dituntut dengan kejahatan tetapi tidak kompeten untuk diadili? Ketika tuduhan itu tidak serius, mereka kadang-kadang jatuh dalam kesepakatan antara negara dan terdakwa dan pengacaranya atau bahwa tergugat akan mencari pengobatan. ketika tuduhan yang lebih serius – misalnya, pembunuhan – beberapa akan puas dengan solusi ini informal. biasanya, biaya yang ditangguhkan sampai waktu seperti terdakwa ditemukan kompeten untuk menghadapi mereka. defendat biasanya diserahkan ke rumah sakit jiwa untuk menerima pengobatan. sebelum 1972, sebagian besar negara bagian diperbolehkan komitmen terbatas bagi terdakwa tidak kompeten.

Kompetensi Lain dalam Proses Pidana
Kompetensi untuk diadili adalah yang paling umum, tapi tidak, hanya kompetensi terkait persoalan yang diangkat dalam kasus pidana. di Amerika Serikat, individu memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. ada situasi, bagaimanapun, di mana hak ini dibatalkan oleh negara, mungkin bertindak dalam yang terbaik dari individu yang dinilai tidak kompeten untuk membuat keputusan penting, atau melakukan tindakan spesifik, bagi dirinya sendiri. dalam kasus seperti negara memanggil parens patriae (“negara bertindak sebagai orangtua”) kekuatan untuk memutuskan atau bertindak atas nama individu (Melton, 1997).
Kenyataan hanya gangguan mental hadir, bahkan gangguan berat seperti skizofrenia, tidak dengan sendirinya berarti bahwa pengakuan terdakwa di diterima. harus ada beberapa bukti bahwa polisi mengambil keuntungan dari kondisi terdakwa. saat bersaksi dalam kasus di mana kompetensi untuk memberikan pengakuan adalah masalah, psikolog forensik mungkin menjelaskan keadaan mental terdakwa, tingkat fungsi intelektual, dan kondisi di mana ia akan sangat rentan untuk mempengaruhi oleh polisi. hakim akan mempertimbangkan bukti-bukti ini dalam menentukan apakah akan memungkinkan penuntut untuk menggunakan pengakuan terdakwa.
Amandemen Keenam pada Konstitusi Amerika Serikat memberikan semua terdakwa hak untuk penasihat hukum. Mahkamah Agung telah memutuskan, bagaimanapun, bahwa Keenam juga memberikan terdakwa hak untuk menolak nasihat dan membela diri mereka sendiri, meskipun pengadilan mengakui bahwa ini jarang kepentingan terdakwa terbaik.
Beberapa masalah kompetensi ketiga yang mungkin timbul dalam kasus pidana berkaitan dengan kompetensi saksi kejahatan yang diduga, bukan kompetensi terdakwa. kadang-kadang mengangkat pertanyaan tentang kompetensi saksi untuk bersaksi. kompetensi untuk bersaksi paling sering muncul ketika saksi adalah seorang anak, secara mental terbelakang, atau menderita gangguan mental dengan parah. kelompok ini para calon saksi, anak-anak sebagai saksi telah menerima perhatian yang paling sering. isu-isu utama untuk pengadilan kemampuan anak untuk membedakan kebenaran dan kepalsuan untuk memahami perlu memberitahu kebenaran (Melton, 1987).
Isu-isu lain beberapa kompetensi timbul dari waktu ke waktu dalam kasus pidana. pengacara pembela mungkin pertanyaannya atau kompetensi kliennya untuk mengaku bersalah atau menolak pembelaan kegilaan. dalam kasus lain, pengadilan itu sendiri dapat menimbulkan pertanyaan tentang kompetensi terdakwa untuk dihukum.

Defense Insanity
Isu yang melibatkan hukum dan kesehatan mental yang mungkin paling dikenal masyarakat umum adalah defense Insanity. Jumlah untuk liputan ini telah banyak terdapat dalam surat kabar, majalah, novel dan dibuat film tv adalah indikator akurat, defense insanity akan menjadi salah satu strategis hukum yang paling sering digunakan dalam sistem peradilan pidana. Ketika defense insanity digunakan berhasil dalam percobaan profil tinggi, seperti Jhon Hinckley, biasanya ada kemarahan publik untuk penghapusan tidak bersalah dengan alasan kegilaan (NGRI) undang-undang, disertai oleh perdebatan antara scolars hukum, profesional kesehatan mental, tamu pembicara.
Perhatian publik terhadap defense insanity telah menghasilkan, atau mungkin suatu produk, beberapa mitos yang dianut banyak tentang pertahanan. Banyak orang percaya bahwa defense insanity sangat umum digunakan, biasanya dengan terdakwa kaya, yang lolos dari hukuman untuk beberapa kejahatan keji seperti pembunuhan. Satu studi, misalnya, menemukan bahwa “rata-rata ” komunitas warga di oming YV ‘ percaya bahwa defense insanity 43 persen digunakan dalam kasus pidana saat ini; 37 persen digunakan siswa berpikir dari waktu, dan legislator pikir itu digunakan dalam 21 persen kasus ( Pasewark, Seidenzahl, & Pantle, 1981). Di Wyoming, selama periode waktu tersebut, defense insanity digunakan pada sekitar setengah dari 1 persen dari kasus pidana. Penelitian lain telah menemukan itu digunakan bahkan kurang sering pada yurisdiksi ( misalnya Cooke & Sikoski, 1974; Petrila, 1982). Defense insanity sering digunakan, tapi biasanya tidak berhasil. Perkiraan yang terbaik adalah bahwa kegilaan pertahanan berhasil sekitar seperempat dari waktu (Steadman, Keitner, Braff, & Arvanites, 1983).
Defense Insanity, karena itu, tampaknya telah dihasilkan bunga dan debat di publikasi keluar secara ilmiah dari proporsi untuk dampak praktis. Itu tidak berarti, bagaimanapun, bahwa itu adalah isu yang sepele, untuk menyerang defense insanity di jantung tanggung jawab moral yang mendasari sistem peradilan kita. Ini adalah isu yang paling kuat yang menghalangi diasumsikan oleh teori-teori psikologis perilaku manusia terhadap konsep gratis pada saat akan istem peradilan pidana kita berpijak (lihat Golding & Roesch, 1987;. Stromberg et al, 1988).
Standar NGRI. Sistem AS dan Inggris keadilan menuntut bahwa dua unsur dapat hadir untuk tindak pidana: actus reus, kinerja sukarela dari tindakan itu, dan mens rea, pilihan atau niat untuk melakukan tindakan (Smith & Meyer, 1987). Dalam pertahanan kegilaan, terdakwa berpendapat untuk tidak adanya mens rea. Konsep mens rea dapat ditelusuri kembali ke Talmud Babilonia kuno, hadir dalam hukum Yunani dan Romawi, dan dapat identifikasi dalam hukum Inggris selama Raja Henry I dari Inggris (1100-1135, lihat Golding & Roesch, 198 ‘ I. kasus yang terdokumentasi pertama pembebasan dengan alasan kegilaan terjadi pada tahun 1505 ( Stromberg et al., 1988). pada 1724, Hakim Tracy berpendapat bahwa pertahanan adalah tepat hanya jika terdakwa “tidak Maha tahu apa yang dia lakukan, lebih dari seorang bayi, dari yang kejam, atau binatang bua’ (dikutip dalam Golding & Roesch,, 1987 hal 386) tidak ada. Yang disebut “binatang liar” uji standar unti Saya abad kesembilan belas, ketika pertama, dan mungkin paling berpengaruh, standar modern untuk NGRI didirikan.
Pada tanggal 20 Januari 1843, Daniel M’Naghten mencoba untuk membunuh Robert Peel, perdana menteri Inggris. Dia dipecat pada pria yang salah, memukul sekretaris pribadi Peel, Edward Drummond, yang kemudian meninggal dari luka-luka. M’Naghten mungkin menderita skizofrenia paranoid dan juri menemukannya tidak bersalah dengan alasan kegilaan ( Golding & Roesch, 1987 Smith & Meyer, 1987; Stromberg et al, 1988).. Pembebasan M’Naghten yang menghasilkan seperti keributan publik bahwa House of Lords ditunjuk sekelompok hakim untuk mengembangkan sebuah standar untuk digunakan dalam kasus-kasus pembelaan kegilaan di masa depan. Standar M’Naghten, seperti diketahui, berbunyi sebagai berikut:
Setiap orang harus dianggap waras, dan untuk membangun pembelaan atas dasar kegilaan itu harus jelas terbukti bahwa, pada saat melakukan tindakan itu, pihak terdakwa bekerja di bawah seperti cacat alasan, dari penyakit pikiran, tidak mengetahui sifat dan kualitas dari tindakan yang ia lakukan, atau jika ia tahu, bahwa dia tidak tahu dia sudah melakukan hal yang salah ( Kasus M’Naghten itu, 1843, hal 722).

M’Naghten diadopsi di Amerika Serikat dan terus menjadi standar dalam sekitar sepertiga dari negara ( Stromberg, et al., 1988). Standar M’Naghten adalah satu sulit untuk bertemu. Jika diambil secara harfiah, hal itu mewajibkan terdakwa menunjukkan bahwa dia tidak tahu bahwa tindak pidana yang salah pada saat itu dilakukan. Ini telah dikritik karena menekankan pemahaman kognitif dan mengabaikan pengaruh persepsi, emosional, dan lainnya pada perilaku.
Pada tahun 1962, Hukum Amerika Institute ( ALI ) diproduksi Kode Model Penal, yang termasuk standar untuk pertahanan kegilaan (lihat Golding & Roesch, 1987; Melton et al, 1997;. Smith & Meyer, 1987; Stromberg et al, 1988 ). Standar ALI adalah:
Seseorang tidak bertanggung jawab atas tindak kriminal jika pada saat perilaku tersebut, sebagai akibat dari penyakit mental atau cacat, ia tidak memiliki kapasitas besar baik untuk menghargai kriminalitas ( wrongfulness ) dari tindakannya atau untuk menyesuaikan tindakannya dengan persyaratan hukum. ( dikutip dalam Smith & Meyer,, 1987 hal 388).

Standar ALI lebih liberal dari M’Naghten dalam beberapa cara. Pertama, memungkinkan untuk pengaruh faktor oncognitive pada kemampuan terdakwa untuk ” menghargai ” yang nya tindakan ay rong. Kedua, sementara M’Naghten biasanya dilihat sebagai baik / atau standar ( yaitu, orang derstands u bahwa tindakan itu salah atau tidak ), standar ALI memungkinkan untuk tidak bersalah menemukan jika orang tidak memiliki ” kapasitas besar. ” Dengan standar ALI, kemudian, beberapa kapasitas untuk menghargai wrongfulness tidak cukup. Ketiga, ia menambahkan komponen volitional dengan kapasitas Clacks standar substansial… untuk menyesuaikan perilakunya ” ) untuk M’Naghten itu murni cogr:… ive pemahaman ( Stromberg et al, 1988) Selain itu, standar ALI termasuk aveat saya ” ‘penyakit mental atau cacat ‘ Istilah tidak termasuk kelainan mani ¬ fested hanya oleh perilaku kriminal atau anti-sosial diulang ” ( dikutip dalam Smith & Meyer,, 1987 hal 388). kalimat ini efektif termasuk individu didiagnosa sebagai psikopat, atau gangguan kepribadian antisosial, dari menggunakan pertahanan standar ALI memiliki. telah diadopsi oleh banyak negara.
Pendekatan lain yang diterapkan di beberapa negara, biasanya dalam kombinasi dengan M’Naghten, adalah ” dorongan tak tertahankan ” standar. Seperti namanya, standar memungkinkan untuk pembebasan ¬ dasarkan insan dalam kasus di mana, sedangkan terdakwa mungkin telah mengerti bahwa tindakannya yang salah, ia tidak dapat menahan diri dari bertindak karena penyakit mental. Idenya adalah bahwa dorongan perilaku begitu kuat sehingga tidak dapat ditangkal dengan kekuatan kehendak ( Smith & Meyer, 1987). Kesulitan dengan standar dorongan tak tertahankan adalah bahwa hal itu sering sangat sulit untuk membedakan tindakan tak terkendali dari satu yang hanya sulit untuk mengontrol. Sebagai contoh, adalah alkohol mampu menahan dorongan untuk merampok toko minuman atau keinginan hanya sangat sulit untuk mengontrol?.

Hukuman
“Don’t do the crime, if you can’t do the time.” – sebuah istilah atau perumpamaan untuk sedikit mencegah atas pertambahan yang terus meningkat tentang angka kriminalitas dan penghuni penjara di Amerika Serikat sejak tiga dekade terakhir.
Dalam insanity defense (sebuah defense yang berbentuk kegilaan), seorang pengambil keputusan atau juri harus membuat suatu keputusan biner: guilty (perasaan bersalah) atau innocent (tidak bersalah). Beberapa perkataan dipindahkan diluar standar untuk mempertimbangkan pertahanan “diminished capacity”. Konsep dari diminished capacity (kapasitas berkurang) diaplikasikan dalam 2 (dua) cara. Yang pertama, seorang terdakwa berpendapat bahwa ia seharusnya tidak dilibatkan dalam bagian yang penting dari sebuah tuntutan, karena beberapa kecacatan secara mental dan fisik. Sebagai contoh, seorang alkoholik kronis didakwa dengan kasus penipuan pajak yang mungkin dikarenakan keadaan yang terlalu mabuk hampir di setiap waktu, ia tidak bisa merencanakan untuk mengelabui IRS.
Yang kedua adalah diminished capacity (kapasitas berkurang) yang digunakan untuk mengurangi keseriusan tuntutan. Contohnya, seorang wanita skizofrenia mungkin mengakui bahwa ia telah membunuh suaminya, namun ia berpendapat bahwa ia tidak memiliki rencana pembunuhan tersebut, argumen yang seperti demikianlah yang digunakan untuk mengurangi tuntutan akan kasus pembunuhannya tersebut.
Kasus-kasus inilah yang dapat dikategorikan dalam NGRI (Not Guilty by Reason of Insanity)
.
Evaluasi NGRI. Mengevaluasi sang terdakwa dalam kasus NGRI (Not Guilty by Reason of Insanity) merupakan sebuah usaha yang sangat menantang (challenging endeavor). Seorang psikolog forensik diberikan problem untuk menilai pernyataan tuduhan dari sebuah pemikiran pada pelanggaran yang terjadi. Setelah membuat pembelaan NGRI, terdakwa/tersangka mungkin termotivasi lebih tinggi lagi untuk mempercayakan kepada seorang klinisi tentang seberapa gila-nya mereka ketika kejadian kriminal dilakukan. Hal tersebut telah diusulkan, oleh karena itu, bahwa evaluasi kesehatan mental NGRI terdiri dari banyak wawancara terhadap terdakwa, yaitu berisi:
1. Sebuah review (ulasan) catatan klinis dari sang terdakwa;
2. Sebuah review (ulasan) catatan investigasi kriminal;
3. Wawancara saksi (witness), pengakuan, dan catatan autopsi;
4. Kronologi terjadinya kriminalitas, termasuk juga reka ulang adegan; dan
5. Wawancara dengan staff dari kesehatan mental atau bagian pengkoreksian yang pernah berhubungan dengan terdakwa tersebut.

Seperti apa pun bentuknya, hukuman kriminalitas berpikir untuk melakukan beberapa fungsi seperti di bawah ini:
1. General deterrence. Hukuman untuk pelaku pelanggar individual yang diasumsikan untuk mencoba menghalangi potensi pelanggaran hukum lainnya dalam melakukan kejahatan.
2. Individual deterrence. Setelah dihukum untuk kasus kriminal, pelaku kriminal dapat diasumsikan kedepannya akan tidak/kurang memungkinkan untuk melakukan kejahatan.
3. Incapacitation. Masyarakat akan terlindungi saat pelaku kriminalitas tersebut dipenjara.
4. Retribution. Tujuan dari ini adalah untuk memberikan mereka “just desert”. Pelaku kriminal dipaksakan untuk tidak mengalami suatu yang enak, dan harus merasakan kenyataan/rasanya menjadi seorang korban.
5. Moral outrage. Hukuman membantu masyarakat untuk lepas dari rasa frustrasi dan marah karena mereka mungkin menjadi korban. Maksudnya adalah societal catharsis.
6. Rehabilitation. Tujuan lain dengan adanya hukuman adalah untuk menyediakan kesempatan untuk perbaikan arah dari para tersangka. Ini dimaksudkan agar mereka dapat mempelajari dan mengembangkan kemampuan baru yang memungkinkan membuat mereka menjadi warga yang produktif.
7. Restitution. Hukuman dapat mengambil beberapa bentuk dari finansial dan kompensasi lainnya yang disediakan untuk korban luka atau yang kehilangan.

Civil Commitment
Beberapa kewajiban profesional menjadi beban para psikolog yang dilibatkan bagian dalam proses mengajak seseorang ke rumah sakit yang bukan berdasarkan kemauan mereka. Proses ini dinamakan civil commitment, seringkali melibatkan polisi, anggota keluarga yang putus asa, dan calon pasien yang marah dan juga mengalami kebingungan. Seorang psikolog mungkin dapat terganggu pada saat mereka tidur di tengah malam untuk evaluasi pribadi.
Civil commitment merujuk pada proses rawat inap yang terdiri dari individu dengan mentally ill (gangguan jiwa) yang mana individu tersebut tidak setuju untuk diadministrasi. Seorang psikolog memiliki hak untuk berpartisipasi pada sebagian proses hospitalisasi namun tidak secara keseluruhan.
Di abad-19, sebagian besar negara menyatakan untuk memperbolehkan involuntary hospitalization (rawat inap secara paksa). Sayangnya, pernyataan ini dibuat kabur, membuat adanya potensial untuk unsur kekerasan. Sebelum pertengahan abad ke-20, sebagian besar hukum negara dibutuhkan, hanya jika orang tersebut mengalami “mentally ill and in need of treatment” untuk rawat inap secara paksa akan terjadi:
“Proses yang dilangsungkan/disalurkan atas dasar tujuan bahwa komitmen adalah sebuah terapi, bukan hukuman. Institusi mental selama periode ini adalah terpencilnya kebijakan sosial, yang secara dasarnya diabaikan oleh para legilator, pembuat kebijakan, dan pengacara. Petugas kepolisian, rumah sakit umum, dan keluarga menuntut untuk adanya sebuah tempat yang ditujukan kepada para orang dengan mentally ill disruptive (sakit mental yang mengganggu). Sebagai hasilnya, negara berkomitmen untuk orang banyak untuk waktu yang lama, sering membangun “mega-institutions” dengan staff medis yang tidak cukup memadai, pengobatan minimal, dan kondisi hidup yang mengkhawatirkan.”

Civil Commitment Laws
Meskipun ada perbedaan pada hukum tiap-tiap Negara, tapi kriteria yang banyak di jumpai antara lain: (1) Sakit mental; (2) Membahayakan dirnya sendiri dan orang lain (3) ketidakinginan untuk persetujuan rawat inap sukarela; (4) dapat diobati, dan (5) rumah sakit harus sedikit membatasi alternatif (Stromberg et al, 1988.).
Definisi penyakit mental dalam hukum negara yang paling cocok dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (American Psychiatric Association, 1994) cukup erat, Beberapa negara bagian secara eksplisit mengecualikan beberapa gangguan seperti retardasi mental atau alcoholism. Ahli kesehatan mental biasanya paling berhak menunjukkan apakah calon pasien memenuhi kriteria ini. Kriteria yang paling menyusahkan bagi para ahli kesehatan mental adalah menentukan apakah orang tersebut, pada kenyataannya, berbahaya untuk diri sendiri atau kepada orang lain. Negara menyatakan bahwa bahaya menjadi hukum, dibandingkan dengan medis atau psikologis. Pengadilan akan menentukan apakah seseorang yang berbahaya, tetapi ahli kesehatan mental perlu dilibatkan dalam proses karena para ahli mempunyai informasi lebih mengenai seberapa bahaya kejadian tersebut. (Stromberg et al, 1988.).
Isu bahaya menyajikan pengadilan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit. Seberapa serius bahaya yang muncul?. Misalnya; apakah mengekspos alat kelamin seseorang kepada orang asing cukup berbahaya? Apakah bahaya harus ke orang lain atau dapat juga mencakup properti seperti yang dilakukan seseorang yang mengancam untuk membakar garasi tetangganya karena dia percaya bahwa itu adalah bait suci bagi pemuja iblis dirawat di rumah sakit? Kebanyakan negara mengharuskan bahaya menjadi “nyaris,” tapi definisi yang tepat masih terbuka untuk interpretasi. Apakah perlu ada bukti yang berbahaya sebelum bertindak dalam rangka rawat inap? Beberapa negara mengharuskan telah terjadi tindakan berbahaya yang terang-terangan, usaha untuk bertindak berbahaya atau suatu ancaman spesifik untuk memenuhi kriteria berbahaya.
Beberapa contoh kasus ketidakkonsistenan yang menggambarkan hasil dari kesulitan dalam menentukan bahaya. Mr barker menuduh istrinya telah melakukan perselingkuhan dengan tetangganya, pada suatu kesempatan dia semapat hendak memukul tetangganya dan pernah berdebat dengan istrinya ketika pulang mabuk dan menembakan pisto revolver kemudian pura-pura bunuh diri. Psikiater yang memeriksa Pak Baker menyatakan bahwa ia mengalami delusi. Setelah diajukan pengadilan bersama bukti-bukti penguat lainyya akhkirnya pengadilan memutuskan untuk membebaskanya.
Kebanyakan negara menyusun ketentuan untuk komitmen individu sakit mental yang tidak mengancam orang lain atau mengancam untuk menyakiti dirinya sendiri, tetapi tidak mampu untuk merawat diri mereka sendiri. Istilah “cacat serius” digunakan untuk menggambarkan perorangan tersebut (Stromberg et al., 1988). Cacat serius biasanya diartikan bahwa individu tidak dapat merawat dasar kebutuhan makanan, pakaian. atau tempat penampungan. Seseorang tidak dapat berkomitmen untuk rumah sakit kecuali bukti yang disajikan menunjukkan bahwa individu bisa mendapatkan keuntungan dari pengobatan. Mahkamah Agung memutuskan bahwa `tuli pada pria yang mengalami retardasi mental meskipun telah melakukan kejahatan tidak bisa diadakan di rumah sakit sampai ia layak untuk disidangkan. Karena ia pada dasarnya harus diobati, ini akan menjadi hukuman seumur hidup. Pasien memiliki hak untuk pengobatan. Hari ini, pengadilan mensyaratkan bahwa bukti ini menyatakan bahwa ada rencana pengobatan yang diusulkan untuk pasien disengaja dan bahwa pasien bisa mendapatkan keuntungan dari pengobatan. Kriteria akhir untuk komitmen sipil di kebanyakan negara adalah rumah sakit yang merupakan setidaknya restriktif berarti memberikan pengobatan dan melindungi pasien dan masyarakat.
Dengan munculnya obat psikotropika yang kuat. perpanjangan masa rawat inap telah membuat proses pengadilan semakin sulit. Banyak negara telah mengembangkan jangka pendek krisis program stabilisasi, perawatan hari, dan program lain untuk memenuhi kebutuhan sakit mental. Meskipun pilihan yang jarang digunakan (Miller, 1985), kebanyakan negara mengizinkan komitmen untuk pengobatan rawat jalan. Jika pasien gagal untuk mematuhi dengan pengobatan rawat jalan dan obat ekstrim. kemudian rawat inap paksa dapat dipertimbangkan.

Civil Commitment Procedures
Undang-undang negara yang paling menentukan orang-orang tertentu yang dapat memulai proses komitmen sipil. Ini biasanya termasuk petugas polisi. Ahli kesehatan mental. dan anggota keluarga (Stromberg dkk, 1988.). Untuk psikolog, ini kadang-kadang bisa berarti memulai petisi untuk evaluasi klien psikoterapi untuk komitmen ke rumah sakit. Dengan memulai permohonan rawat inap paksa. Ahli kesehatan mental mengajukan pertanyaan komitmen sipil. Bukan Ahli kesehatan yang berhak memutuskan.
Pengurungan paksa membutuhkan penilaian independen dari calon pasien. Ini evaluasi darurat biasanya terjadi di fasilitas pengobatan. tetapi beberapa komitmen, terutama di daerah pedesaan. menggunakan tim tanggap darurat yang melakukan perjalanan ke calon pasien untuk melakukan evaluasi. Sebagai contoh. anggota keluarga yang bersangkutan dapat melakukan bunuh diri.
Pengurungan ke fasilitas pengobatan sebagai hasil evaluasi darurat hanya untuk waktu yang terbatas (misalnya, tujuh hari). Dalam O’Connor V. Donaldson (1975), Mahkamah Agung memutuskan bahwa sidang harus berlangsung dalam lima sampai tujuh hari setelah masuk. Para preliminary mendengar diadakan sebelum hakim. Biasanya, dua ahli kesehatan mental yang memiliki evaluasi independen yang dilakukan pasien akan bersaksi. Fasilitas pengolahan menyajikan rencana pengobatannya, Hakim kemudian memutuskan apakah pasien memenuhi kriteria untuk melanjutkan rawat inap paksa, Sebagai hasil dari sidang ini, pasien mungkin terbatas pada fasilitas kesehatan mental untuk jangka panjang (misalnya, sampai 30 hari). Jika tambahan rawat inap yang dianggap perlu oleh staf rumah sakit, mendengar yang lain harus dilakukan. Periodik resmi dengar pendapat untuk menentukan apakah pasien terus memenuhi kriteria untuk komitmen sipil dilakukan. Jarang pasien harus berkomitmen untuk sebuah institusi mental untuk lebih dari 90 hari. Sayangnya, persidangan dapat urusan sepintas di beberapa yurisdiksi.
Reformasi dalam hukum komitmen sipil, bersama dengan munculnya antipsikotik kuat obat, telah secara dramatis mengurangi jumlah orang yang berkomitmen untuk negara dan daerah mental yang sakit. Pada suatu hari rata-rata pada tahun 1955, 560.000 warga negara Amerika Serikat itu dilakukan kepada lembaga-lembaga karena penyakit mental. Pada 1972 itu 276.000, pada tahun 1975, jumlah itu di bawah 200.000, dan pada tahun 1981 itu sekitar 138.000 (Melton et al, 1987;. Stromberg et al, 1988.).
Sementara reformasi hukum sipil telah diragukan lagi komitmen mencegah beberapa orang dari yang dirawat di rumah sakit yang sebenarnya tidak perlu, sistem saat ini di tempat untuk berurusan dengan sakit mental di negara kita jauh dari sempurna.

Child Abuse and Neglect
Pengadilan harus menyeimbangkan kepentingan negara dalam melindungi anak terhadap hak individu untuk privasi keluarga (Melton et al, 1997.). Psikolog dan profesional kesehatan mental lainnya terlibat dalam masalah hukum yang berasal dari penyalahgunaan dan penelantaran anak pada tiga fase. Pertama, hukum membutuhkan mandat pelaporan psikolog untuk melaporkan kekerasan fisik atau seksual anak, serta penelantaran, ketika mereka menjadi korban yang telah terjadi atau mungkin terjadi. Jika tuduhan penyalahgunaan didukung dan pelaku adalah orang tua atau wali, pengadilan dapat menghapus anak dari rumah atau membutuhkan pelaku untuk tinggal di tempat lain. Mandat lembaga perlindungan anak, bagaimana sebelumnya, adalah untuk melestarikan keluarga, atau ketika gangguan terjadi, untuk bekerja ke arah reunifikasi (Azar, Benjet, Fuhrman, & Cavallero, 1995). Oleh karena itu, tahap kedua di mana psikolog sering menjadi terlibat adalah membantu pengadilan menentukan apa kondisi keluarga harus bertemu untuk reunifikasi terjadi. Fase ketiga di mana para profesional kesehatan mental sering terlibat. Dalam fase ini, negara akan mengambil alih hak orang tua yang memiliki hak-hak anak tersebut . Terminasi hak orangtua adalah salah satu tindakan paling serius pengadilan sipil dapat ambil. Untuk banyak orang hukuman ini akan lebih menyakitkan daripada penjara. Dengan demikian, kriteria untuk terminasi hak orangtua cukup menuntut. Pertama, harus didemonstrasikan bahwa orang tua memang tidak layak dan tidak sehat, tidak bisa menerima intervensi dariorang lain. Kedua, harus menunjukkan bahwa negara telah menyediakan layanan yang diperlukan untuk orang tua dan bahwa baik orang tua telah gagal untuk mengambil keuntungan darilayanan atau gagal membuat kemajuan yang memadai. Ketiga, harus menunjukkan bahwa pilihan ini lebih baik dari alternatif yang tersedia untuk anak (misalnya, anak asuh atau orangtua angkat; Azar et al, 1995.;Melton et al., 1997). Pengadilan sering meminta pendapat pada ahli kesehatan mental untuk informasi untuk membantu mereka dalam menentukan apakah kriteria tersebut telah dipenuhi. Ahli kesehatan mental sering kali datang dari latar belakang budaya dan sosial ekonomi yang sangat berbeda dari keluarga yang paling sering muncul pada audiensi terminasi (American Humane Society, 1985). Perbedaan-perbedaan budaya dapat mengakibatkan salah paham, temuan yang bias yang negatif evaluasi klinisi. Azar dan koleganya (1995) menawarkan contoh untuk menggambarkan hal ini. Seorang anak Hispanik yang menurunkan mata di depan orang tuanya dapat dilihat sebagai ketakutan dari orang tua oleh evaluator yang tidak memahami bahwa sikap ini merupakan tanda yang sesuai menghormati dalam budaya anak. Mengevaluasi kecukupan layanan yang diberikan kepada sebuah keluarga adalah daerah lain di mana psikolog klinis bisa membantu pengadilan dalam membuat keputusan terminasi hak orangtua. Pendekatan perilaku untuk pelatihan orang tua telah terbukti efektif dengan orang tua yang telah menganiaya anak-anak mereka (misalnya, Azar & Twentyman, 1986). Namun, intervensi tinggi semacam ini sering tidak tersedia untuk keluarga. Keluarga yang terlibat dengan layanan perlindungan anak dapat menerima intervensi minimal atau tidak ada. Bahkan, anak perlindungan sistem di negara ini tampaknya berada dalam keadaan berantakan (Azar et al., 1995). Ahli kesehatan mental tidak mungkin memiliki dasar empiris yang di atasnya untuk menilai apakah penyedia layanan keluarga dalam kasus hak orang tua yang memadai. Tanpa beberapa data normatif tentang kemanjuran intervensi dengan tipe keluarga di bawah kondisi sikap (yaitu, intervensi diperintahkan oleh layanan perlindungan anak), dasar dari psikologis itu “kesaksian pakar” dapat dipertanyakan. Meskipun demikian, apa yang bisa lakukan adalah psikolog mendidik pengadilan tentang teori dan penelitian yang relevan, yang dapat membantu pengadilan untuk membuat lebih banyak informasi dalam pengambilan keputusan.
Mengevaluasi kesesuaian penempatan alternative bagi anak yang telah diambil dari keluarganya merupakan tugas yang sulit bagi para Ahli kesehatan mental. Tekanan hidup dalam perawatan asuh, menghadiri sidang pengadilan, dan mengetahui bahwa yang satu akan permanen terpisah dari orang tua mungkin membuatnya sangat sulit untuk menafsirkan perilaku anak dan mengevaluasi kesesuaian penempatan alternatif.
Para psikolog forensik dapat membantu menentukan apakah kriteria pengadilan kedua untuk memutuskan hak orangtua telah terpenuhi, maka tampaknya psikolog forensik dapat membantu pengadilan di dalam proses perlindungan anak, Seperti di Negara lain di mana para psikolog melayani pengadilan.

Hukum Anak dalam Perceraian
Di Amerika, tingkat perceraian terus meningkat selama 4 dekade terakhir ini. Ketika pernikahan gagal atau cerai, orangtua akan dihadapkan pada sebuah kondisi sulit dimana mereka harus memilih siapa yang akan bertanggungjawab terhadap anak mereka, dan peran apakah yang akan dimainkan seterusnya, bagi yang mendapat hak perwalian anak, ataupun yang tidak.
Di akhir abad 19, kebanyakan perwalian anak akan jatuh kepada sang ayah. Dan diawal abad 20 akhirnya pengadilan dan hukum mulai menganggap anak sebagai seorang manusia. Ketertarikan maksimal dari si anak-lah yang dijadikan landasan untuk memilih. Pada tahun kedua dan ketiga pertama dari abad 20, ketertarikan anak digantikan dengan perwalian berdasarkan tujuan latihan. Ibu biasanya diberikan perwalian, dikarenakan dilihat bahwa seorang ibu sebagai sosok natural pemberi perhatian dan kasih sayang untuk anak. Anak yang masih kecil dan kebanyakan perempuan biasanya diberikan ke ibunya, dimana remaja laki-laki biasanya diberikan ke ayahnya (Wyer Ett Al., 1987). Ironisnya dikarenakan pergerakan revolusi wanita dan kebebasan wanita yang semakin maju dan dijunjung, banyak wanita yang mulai bekerja dalam segala bidang, dan pengadilan akhirnya memutuskan bahwa tidak otomatis seorang ibu selalu bisa memberi dan menyediakan kasih sayang, fokus ke anaknya.
Pada tahun 1980, kebanyakan negara bagian memilih memakai hukum perwalian gabungan. Hukum ini menjanjikan sesuatu untuk semuanya. Ayah mendapatkan keberlangsungan pengaruh terhadap anak dan ibu tetap bisa memberikan kasih sayangnya. Disini beberapa studi mengatakan bahwa ketika seseorang mendapat perwalian dan yang satunya lagi (pasangannya) tetap bisa mengunjungi anak-anaknya, banyak kasus mengatakan kepuasan terhadap hukum gabungan perwalian ini. Tetapi beberapa studi juga mengatakan bahwa beberapa anak mengalami kesulitan ketika berpindah lingkungan rumah. Hukum wali ganda (joint custody) ini hanya berlaku jika kasus perceraian dalam satu distrik dan ketika perbedaan pada si ayah dan ibu tidak terlalu kuat, sehingga pembicaraan tentang anak mereka tetap bisa dilakukan dengan efektif.
Dibalik semua keberhasilan hukum perwalian ini, tentu saja konflik tetap ada. Beberapa kasus perbedaan pendapat dari kedua orang tua yang bercerai ini pasti ada. Sampai konflik yang lebih besar lagi. Inilah dimana para psikolog sering ditemukan terlibat.
Kualitas-kualitas terbaik dari hasil perwalian tentu saja akan dijadikan evaluasi untuk menentukan yang mana yang terbaik untuk anak dalam soal perwalian. Dalam tipikal evaluasi ini, psikolog klinis akan menganalisa kepala-kepala dari kasus ini, termasuk kedua orangtua, pertanyaan pada anak dan lingkungan keluarga. Kunjungan kerumah juga akan semakin sering. Orangtua dan anak akan ditanyakan alasan dibalik pilihan mereka. Psikolog forensik yang terlatih akan membawa pengetahuan mengenai perkembangan anak, dinamika keluarga, psikopatologi, peran kepribadian dan efek perceraian untuk dijadikan evaluasi mereka. Ketika sudah, evaluasi perwalian tersebut diberikan kepada pengadilan yang juga mempunyai bukti objektif dan informasi lainnya untuk menentukan hak perwalian tersebut. Para ahli setuju bahwa rekomendasi psikolog diperlukan dalam membahas isu utama.
Dikarenakan hal-hal tersebut, asosiasi Psikolog Amerika (APA) membuat sebuah pedoman perwalian anak yang dinamakan guideline for child custody evaluations in divorce proceedings, yang isinya terbagi 3 bab utama yaitu pedoman tujuan (tujuan evaluasi perwalian anak), pedoman umum (persiapan perwalian anak) dan pedoman prosedur (membuat evaluasi perwalian anak). Seorang psikolog yang menangani ini harus mempunyai pandangan yang luas, harus terlatih dan mempunyai skill dalam perkembangan anak dan keluarga, psikopatologi dan dinamika keluarga. Psikolog harus bisa menghandel efek dari perceraian, dan tentu saja harus mengerti juga akan hukum dan budaya dimana mereka tinggal.

The Power and Perils Of Testyfying In Court
Sangat jarang ada seorang psikolog yang dapat memberikan pendapat dalam pengadilan. Ada 4 tema pertanyaan eksaminasi mengenai itu:
1. Menyeimbangkan kualifikasi dari psikolog
2. Menyiapkan dasar dari testimoni psikologi
3. Menyingkap fakta dalam bukti, opini dan kesimpulan
4. Pertanyaan dengan hipotesi.

Training and Certification in Forensic Psychology
Psikologi forensik telah menjadi salah satu area psikologi yang berkembang paling pesat dalam dua dekade ini. Banyak psikolog klinis yang mengambil spesialisasi ke arah ini dan menghandel kasus forensik. Tidak ada lisensi psikolog forensik. Secara umum sertifikasi dalam psikologi forensik bersifat voluntary atau sukarela, walaupun di beberapa daerah mempunyainya.
Seorang psikolog akan mengambil bermacam jalan untuk mengembangkan kemampuan psikologi forensiknya. Pelajar yang ingin melanjutkan ke forensik dan mengetahuinya dari awal, biasanya akan memilih program latihan yang menggabungkan antara psikologi dan hukum. Disertasinya tentu saja mengenai interaksi dalam psikologi dan hukum.
Sertifikasi sukarela psikologi forensik disediakan dan ditawarkan oleh American Board of Forensic Psychology. ABFP membutuhkan jumlah spesifik dari hasil pengalaman kasus-kasus dalam kerja forensik dan jumlah bukti pembelajaran psikologi forensik, bukti kerja dan tes wawancara sebelum mendapatkan sertifikasi psikologi forensik.