PRINSIP PENGAWETAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MIKROBA

Cara yang paling penting untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri, kapang. dan kamir adalah melalui pengawetan pangan seperti pemanasan; pendinginan; pengeringan; penambahan asam, gula dan garam; pengasapan; pembnangan udara; penambahan bahan kiniia, dan radiasi. Namun perlu ada keseimbangan dalam penerapan prinsip pengawetan tersebut agar tidak menyebabkan kerusakan pada bahan pangan yang diawetkan. Berikut prinsip-prinsip pengawetan dan pengaruhnya terhadap mikroba.

a. Pemanasan

Umumnya bakteri, kapang, dan kamir paling baik tumbuh pada suhu antara 16 sampai 37°C. Mikroba yang tahan panas atau termofil mungkin tnasih dapat tumbuh pada kisaran suhu 65 sampai 82°C. Umumnya bakteri akan mati pada suhu antara 82 sampai 93°C. Meskipun demikian, spora bakteri tidak akan mati pada suhu air mendidih 100°C selama 30 menit. Untuk lebih meyakinkan bahwa semua mikroba mati, suhu harus dinaikkan sampai 121°C dengan pemanasan uap dan bahan pangan dipertahankan pada suhu ini selama 15 menit atau lebih.

Pemanasan pada suhu seperti ini dapat dilakukan dengan uap di bawah tekanan sampai 15 Psi di dalam suatu retort atau autoclave.

Contoh pemanasan dengan suhu tinggi adalah pengalengan pangan. Dalam proses ini, suhu dan waktu proses ditetapkan sedemikian rupa sehingga kombinasinya dapat membunuh spora bakteri yang paling tahan panas. Ada tiga cara pemanasan atau proses termal yang umum dilakukan di dalam pengolahan pangan, yaitu : blansir (blanching), pasteurisasi, dan sterilisasi komersial.

Blansir adalah proses pemanasan yang dilakukan pada suhu kurang dari 100°C selama beberapa menit dengan menggunakan air panas atau uap. Contoh blansir misalnya mencelupkan sayuran atau buah di dalam air mendidih selama 3 sampai 5 menit. Tujuan utamanya adalah untuk menginaktifkan enzim yang terdapat secara alami di dalam bahan pangan, misalnya enzim polifenolase yang menimbulkan pencoklatan.

Pasteurisasi adalah proses pemanasan yang dilakukan dengan tujuan untuk membunuh mikroba patogen atau penyebab penyakit seperti bakteri penyebab TBC, disentri, diare, dan penyakit perut lainnya.

Panas yang diberikan pada pasteurisasi harus cukup untuk membunuh bakteri-bakteri patogen tersebut, misalnya pasteurisasi susu harus dilakukan pada suhu 60°C selama 30 menit. Panas pada suhu 60°C selama 30 menit setara dengan pemanasan pada suhu 72°C selama 15 detik. Pasteurisasi yang terakhir ini sering disebut proses HTST (High Temperature Short Time) atau pasteurisasi dengan suhu tinggi dalam waktu singkat. Di samping pada produk susu, pasteurisasi juga umumnya dilakukan pada produk sari buah-buahan asam.

Pada pasteurisasi hanya bakteri patogen yang dibunuh, sedangkan bakteri lainnya yang lebih tahan panas bisa saja masih hidup di dalam bahan pangan yang dipasteurisasi itu. Dengan demikian, meskipun bakteri ini tidak menimbulkan penyakit tetapi jika tumbuh di dalam produk pangan dapat menyebabkan kerusakan atau kebusukan. Oleh karena itu, produk-produk yang sudah dipasteurisasi harus disimpan di lemari es sebelum digunakan, dan tidak boleh tergeletak pada suhu kamar karena sebagian mikroba yang masih hidup dapat melangsungkan pertumbuhannya. Di dalam lemari es masa simpan produk pasteurisasi seperti susu atau sari buah umumnya hanya dua minggu.

Pemanasan dengan sterilisasi komersial umumnya dilakukan pada bahan pangan yang sifatnya tidak asam atau lebih dikenal dengan bahan pangan berasam rendah. Yang tergolong dalam bahan pangan berasam rendah ini adalah bahan pangan yang mempunyai pH lebih besar dari 4.5, misalnya seluruh bahan pangan hewani seperti daging, susu, telur, dan ikan, beberapa jenis sayuran seperti buncis dan jagung.

Bahan pangan berasain rendah mempunyai risiko untuk mengandung spora bakteri Clostridium botulinum yang dapat menghasilkan toksin mematikan jika tumbuh di dalam makanan kaleng. Oleh karena itu spora ini harus dimusnahkan dengan pemanasan yang cukup tinggi. Sterilisasi komersial adalah pemanasan pada suhu di atas 100°C, umumnya 121.1 °C, dengan menggunakan uap air selama waktu tertentu dengan tujuan untuk memusnahkan spora bakteri patogen tennasuk spora bakteri Clostridium botulinum. Dengan demikian, sterilisasi komersial ini hanya digunakan untuk mengolah bahan pangan berasam rendah di dalam kaleng, seperti kornet, sosis, dan sayuran dalam kaleng.

Susu steril dalam kotak adalah contoh produk lainnya yang diproses dengan sterilisasi komersial. Akan tetapi prosesnya berbeda dengan pengalengan. Susu steril dalam kotak diproses dengan pengemasan aseptik, yaitu suatu proses sterilisasi kontinyu di mana produk susu yang sudah disterilkan dimasukkan ke dalam kotak yang sudah disterilkan dalam lingkungan yang juga aseptik. Proses pengemasan aseptik umumnya digunakan untuk sterilisasi komersial produkproduk yang bentuknya cair.

Produk yang sudah diproses dengan sterilisasi komersial harus disimpan pada kondisi penyimpanan yang normal, yaitu pada suhu kamar. Harus dihindari penyimpanan pada suhu yang lebih tinggi (sekitar 50°C), karena bukan tidak mungkin jika ada spora dari bakteri yang sangat tahan panas masih terdapat di dalam kaleng dapat tumbuh dan berkembangbiak di dalamnya dan menyebabkan kebusukan.

b. Pendinginan dan Pembekuan

Umumnya bakteri, kapang, dan kamir tumbuh baik pada kisaran suhu antara 16 sampai 37°C. Bakteri psikrofilik dapat tumbuh di bawah suhu ini sampai 0°C, yaitu pada titik beku air atau di bawahnya. Meskipun demikian, di bawah suhu 10°C pertumbuhan bakteri akan semakin lambat dengan semakin rendahnya suhu. Pada saat air dalam bahan pangan membeku seluruhnya, maka tidak ada lagi pembelahan sel bakteri. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa di dalam sebagian bahan pangan, air tidak membeku sampai pada suhu -9.5°C atau di bawahnya karena adanya gula, garam, asam, dan senyawa terlarut lainnya yang dapat menurunkan titik beku air.

Lambatnya pertumbuhan mikroba pada suhu yang lebih rendah ini menjadi dasar dari proses pendinginan dan pembekuan dalam pengawetan pangan.

Satu hal yang penting yang harus diingat adalah bahwa pendinginan dan pembekuan tidak mampu membunuh semua mikroba. Oleh karena itu pada saat dicairkan kembali (thawing), sel mikroba yang tahan terhadap suhu rendah akan mulai aktif kembali dan dapat menimbulkan masalah kebusukan pada bahan pangan yang bcrsangkutan.

c. Pengeringan

Pertumbuhan mikroba yang baik umumnya pada saat kandungan air sekitar 80% air. Air ini diperoleh dari bahan pangan tempat tumbuhnya. Jika air yang terdapat dalam bahan pangan tersebut dihilangkan, maka tidak ada lagi air yang dapat digunakan untuk tumbuhnya, sehingga mikroba tidak dapat tumbuh dan berkembangbiak.

Bakteri dan kamir umumnya membutuhkan air relatif lebih banyak untuk pertumbuhannya dibandingkan dengan kapang. Kapang sering ditemukan tumbuh pada pangan setengah basah di mana bakteri dan kamir sulit tumbuh. Sebagai contoh pada buah-buahan kering atau roti, umumnya kapang masih dapat tumbuh dengan subur. Oleh karena mikroba sangat membutuhkan air untuk pertumbuhannya, maka menurunkan kadar air bahan pangan dengan cara pengeringan merupakan metode pengawetan yang efektif terhadap serangan mikroba. Pengeringan pangan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan pengeringan buatan menggunakan alat pengering.

Seperti halnya pada pembekuan, pengeringan baik parsial maupun penuh tidak membunuh semua mikroba yang ada dalam bahan pangan yang dikeringkan tersebut. Meskipun bakteri tidak dapat tumbuh pada pangan kering, tetapi jika pangan kering tersebut dibasahkan kembali, maka pertumbuhan mikroba akan kembali terjadi, kecuali jika pangan tersebut segera dikonsumsi atau segera disimpan pada suhu rendah.

d. Pemberian Asam

Asam pada konsentrasi yang cukup dapat menyebabkan kerusakan protein, yang disebut denaturasi. Oleh karena sel mikroba terbentuk dari protein, maka pemberian asam pada bahan pangan dapat menghambat pertumbuhannya. Sebagian mikroba lebih peka terhadap asam dari mikroba lainnya, sehingga asam yang dihasilkan oleh sejenis mikroba dalam suatu proses fermentasi akan menghambat pertumbuhan jenis mikroba lainnya dalam bahan pangan tersebut.

Asam dapat juga dengan sengaja ditambahkan dalam bentuk senyawa kimia seperti asam sitrat dan asam fosfat ke dalam minuman. Perlu diperhatikan bahwa umumnya derajat keasaman pada bahan pangan yang dapat diterima secara organoleptik umumnya tidak pernah cukup untuk menghambat pertumbuhan mikroba secara keseluruhan. Oleh karena itu selalu ada proses pengawetan tambahan terhadap bahan-bahan pangan sejenis ini.

Kombinasi pemberian asam dengan pemanasan memberikan pengaruh pemusnahan mikroba yang lebih tinggi. Sebagai contoh, bahan pangan yang mempunyaii pH lebih rendah umumnya membutuhkan waktu sterilisasi yang relatif lebih singlkat pada suhu yang sama dibandingkan dengan bahan pangan yang mempunyai (pH lebih tinggi.

e. Pemberian Gula dan Garani

Gula dan garam merupakan bahan yang efektif untuk pengawetan pangan karena sifatnya yang dapat menarik air dari dalam sel mikroba sehingga sel menjadi kering karena proses yang disebut osmosis.

Jenis mikroba yang berbeda mempunyai kepekaan terhadap osmosis oleh gula atau garam yang berbeda pula. Kapang dan kamir umumnya lebih toleran terhadap gula dan garam daripada bakteri. Oleh karena itu, umumnya dalam pangan yang bergula seperti jem atau jeli, kapang atau kamir kadang-kadang ditemukan, sedangkan bakteri tidak dapat tumbuh.

f. Pengasapan

Proses pengawetan yang ditimbulkan pengasapan terjadi karena kombinasi beberapa faktor. Asap sebagai hasil pembakaran kayu mengandung sejumlah formaldehida dan senyawa lainnya yang bersifat sebagai pengawet. Di samping itu, dalam pengasapan juga ada faktor panas yang diberikan yang berfungsi membunuh mikroba. Demikian juga, pengasapan menyebabkan bahan pangan yang diasap menjadi kering karena menguapnya air dari dalam bahan pangan yang juga memberikan pengaruh pengawetan.

Pengasapan selain untuk tujuan pengawetan juga bertujuan untuk memberikan citarasa asap yang khas pada bahan pangan. Jika pemberian citarasa lebih diutamakan, sering pengasapan ini dikombinasikan dengan metode pengawetan yang lainnya, misalnya dengan pengalengan atau pendinginan dan pembekuan.

g. Pembuangan Udara

Membuang udara dari kemasan yang berisi bahan pangan merupakan salah satu cara pcngawetan karena mikroba pembusuk yang aerobik membutuhkan udara khususnya oksigen untuk hidupnya. Selain itu, membuang udara dari kemasan pangan juga dapat mencegah terjadinya oksidasi minyak dan lemak. Cara-cara yang sudah dipraktekkan untuk menghindari kontak oksigen dengan bahan pangan misalnya pemberian pelapis lilin pada keju atau meiapisi bahaii pangan dengan film plastik elastis yang kedap oksigen. Cara-cara lainnya adalah mengganti udara dalam kemasan dengan gas nitrogen, atau memasukkan tablet penyerap oksigen ke dalam kemasan.

h. Penambahan Bahan Tambahan Pangan

Bahan tambahan pangan yang bersifat sebagai pengawet diantaranya yaitu asam benzoat atau natrium benzoat, asam sorbat, natrium atau kalsium propionat, dan sulfur dioksida. Asam atau natrium benzoat umum ditambahkan ke dalam pangan berkadar gula tinggi seperti sirop, jem jeli, minuman, dan sebagainya. Natrium dan kalsium propionat sering ditambahkan ke dalam produk bakeri seperti roti, biskuit dan sejenisnya. Sedangkan sulfur dioksida sering ditambahkan sebagai pemutih meskipun senyawa ini juga berfungsi sebagai pengawet, misalnya pada produk-produk kering putih seperti tepung pisang, manisan pala, dan sebagainya. Perlu diingat bahwa bahan tambahan pangan berupa pengawet ini hanya diperbolehkan digunakan dalam dosis tertentu saja.

i. Radiasi

Pertumbuhan mikroba dapat dihambat dengan berbagai jenis radiasi seperti radiasi sinar-X, radiasi ultra-violet, dan radiasi ionisasi yang disebut iradiasi. Dengan dosis tertentu radiasi dapat mematikan mikroba dan menginaktifkan enzim dalam bahan pangan. Radiasi ionisasi atau iradiasi dengan sinar-y sekarang sudah umum dilakukan untuk berbagai jenis bahan pangan mentah dari mulai rempah-rempah sampai udang beku.