PLURALITAS MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA MAKALAH ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR (ISBD)

MAKALAH
ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR (ISBD)
“ PLURALITAS MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA”

DI SUSUN OLEH
Margaretha Fantri D.P 13 2010 084
Ivan Argianto 21 2011 616
Sartika Pongsilurang 80 2009 143
Kristinda Puji Verawatie 80 2009 114

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2012
PENDAHULUAN

Membahas mengenai “pluralitas masyarakat dan kebudayaan di Indonesia” ini menyadarkan kepada setiap insane bahwa suatu perspektif social-budaya telah terbentuk menurut minat luas para pemikir humaniora yang dalam hal ini kebanyakan berlatar belakang akademik sosiologi dan antropologi. Minat social lebih member penekanan perhatian pada fenomena masyarakat, yang diimajinasikan sebagai sebuah satuan social, serta interaksi-interaksi atau relasi-relasi social yang mengiringinya. Relasi ini dapat berlangsung secara intra-sosial (di dalam sebuah satuan social), dan inter-sosial (yang terjadi diantara dua atau lebih satuan social). Minat antropolog lebih member penekanan perhatian pada fenomena kebudayaan, yang diimajinasikan sebagai perangkat gagasan, aturan-aturan, dan keyakinan-keyakinan yang dimiliki bersama masyarakat, yang melandasi interaksi-interaksi.
Dan pada dasarnya kita juga berbicara mengenai kemajemukan tradisi masyarakat. Artinya, tradisi mengacu pada suatu system nilai, system makna dan system tingkah laku. Pada dasarnya kebudayaan berkebutuhan ganda. Pada satu pihak tiap kebudayan akan mempertahankan diri, sementara di pihak lain kebudayaan juga memerlukan perubahan. Sebagai sebuah kepribadian dan identitas kolektif, kebudayaan tidak pernah tertutup, melainkan terbuka, dinamis, dan sanggup menerima dan mencerna perubahan dan perkembangan secara kreatif, khas, sesuai dengan nilai-nilai yang mendasari tingkah laku komunitas pendukungnya. Mengikuti pandangan Soedjatmoko (dalam Kleden, 1984; xix), dengan konsep otonomi dan kebebasan, kebudayaan sebagai otonomi beraspek statis, bertahan terhadap perubahan; sedangkan kebudayaan sebagai kebebasan beraspek dinamis, mendorong perubahan.
Dalam bab ini kita akan membahas lebih dalam mengenai pluralitas kebudayaan nusantara, system pengelolaan pluralitas kebudayaan di Indonesia, dan mengembangkan perspektif multikulturalisme untuk mengelola pluralitas kebudayaan d Indonesia.
1. Kebudayaan Nusantara
Proses tertanamnya budaya asing di Indonesia tak pernah sampai tuntas. Sebabnya adalah kerena pengaruh budaya asing harus berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan setempat yang sudah terbentuk, dan norma-norma budaya asing tak dapat menggeser sama sekali atau mengganti norma-norma adat dalam masing-masing budaya kebudayaan Nusantara, khususnya kebudayaan jawa. Dengan demikian,dalam realitanya, hasil dialektika antara pengaruh-pengaruh besar yaitu islam dan adat, islam dan hindu, maupun ortodoksi dan reformasi dalam islam sendiri banyak menerangkan munculnya dan pengelompokan partai politik kemudian, dimana setiap pengelompokan sebetulnya menunjukkan apakah suatu pengaruh dalam kebudayaan besar ini lebih berhasil mempertahankan otonominya atau memanfaatkan kebiasaan untuk menerima perubahan. Contohnya di Indonesia atau lebih tepatnya di Jawa, Muhamadiyah lebih memperlihatkan pengaruh reformasi, NU (Nahdatul Ulama) lebih memeperlihatkan ortodoksi.
Basis terbentuknya kehidupan kesukubangsaan adalah (enisitas) yang dengan identitas bahasa (dan seringkali juga agama?) mereka masing-masing hidup tersebar di sekian banyak pulau maupun kepulauan yang membentuk wilayah Nusantara. Indonesia merupakan ‘crossroads (Carrefour) of people and cultures’ (persimpangan lalu-lintas arus gerak berbagai corak bangsa dan budaya) yang membuahkan terbentuknya persilangan atau kebudayaan. Ciri pokok masyarakat Nusantara yang kemudian dikenal sebagai masyarakat Melayu merupakan perbauran manusia dari berbagai ras dan daerah asal dengan ciri Bhinneka Tunggal Ika. Sebagaimana dilukiskan oleh Vlekke (dalam Simbolon, 2006: 402-403), di suatu desa di Indonesia tampak penduduk yang jelas bertampang Semit (Timur Tengah), dan yang lebih tua diantara mereka menyerupai tampang raja-raja Assyria (Syria) yang berjenggot, seperti dapat dilihat dalam patung-patung peninggalan Niniveh (Kekaisaran Syria Kuno). Di desa tetangga, tampak penduduk yang sama jelasnya bertampang Negroid (Kulit Hitam).
Hibdriditasi, pemabaruan, mestizo-isasi kebudayaan dalam bidang seni musik, sebagaimana dikaji oleh Budi Setiono (2003: 198-200), menunjukkan bahwa campursari merupakan ‘jenis musik baru’ yang berkembang luar biasa di era 80-an. Bahkan campur sari bisa dikatakan bertumbuh hampir sebanding dengan penyebaran musik pop barat yang sarat modal dan teknologi. Perkembangan luar biasa campur sari menjadikan induk lokalnya seolah-olah tenggelam olehnya. Fenomena Hibriditasi kebudayaan yang merupakan proses perkembangan rangkaian kebudayaan Indoensia yang berkembagn sebagai produk kelompok masyrakat penghuni Nusantara, khususnya Jawa, antara lain juga menghasikan kebudayaan yang disebut sebagai ‘kebudayaan indis’ (Soekiman, 200: 26-124).
Pengaruh kebudayaan barat (BelandaI) dalam hal gaya hidup Eropa dan Indonesia yang meliputi seluruh aspek tujuh unsur universal budaya menimbulkan budaya baru di bidang arsitektur, penggunaan bahasa, cara berpakaian, cara makan, kelengkapan alat perabot rumah tangga, mata pencaharian hidup, kesenian, agama/kepercayaan, dan pengharapan atas waktu. Dalam membangun rumah tempat tinggal gaya indis, golongan pengusaha atau pedagang berperan cukup besar. Bagi kalangan masyrakat Jawa, bentuk rumah tinggal dengan ukuran besar dan halaman,luas,ragam hias mewah dan perabotan merupakan tolak ukut derajad dan kejayaan.
Dalam hal Bahasa, kebudayaan Indis menghasilkan bahasa campuran Melayu dan Belanda. Dalam hal tata boga, masyrakat mulai mengenal dan menghidangkan makanan keluarga dengan perlengkapan dan menu campuran Erop dan Jawa seperti beafstik,resoulles,soep dan sebagainya. Dalam hal kelengkapan alat perabitan rumah tangga, masyarakat (khususnya kaum priyayi) mulai mengenal kelengkapan yang disebut meubelair yang berupa perkakakas seperti,meja,kursi dan almari.
Bidang keseniam, masyarakat mengenal motif ragam hias Eropa beserta arti simbolik di belakangnya, mengenai tata ruang pementasan pertunjukan di atas panggung,mengenai fabrikasi alat-alat seperti penenu dan pendokumentasian karya seni.
2. Mengelola Pluralitas Kebudayaan di Indonesia
Pengelolaan pluralitas kebudayaan sebagai sebuah kebijakan kebudayaan adalah berbicara tentang tujuan – tujuan suatu masyarakat, yang tertanam dalam gerak maju kehidupannya, yang sama – sama merumuskan dan member arah kehidupan kebudayaan, agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman ( Zoedjatmoko, 1948:104-120)
Untuk tujuan tersebut:
a. Masyarakat Indonesia perlu kesadaran dan penyadaran diri sebagai sebuah bangsa yang perlu berpartisipasi dalam pembangunan. Mereka terlibat dalam menentukan arah kemana pembangunan akan dituju.
b. Proses demokratisasi perlu dipertahankan dengan pusat – pusat kebudayaan di daerah yang menyertai tumbuhnya kebebasan berekspresi, keadilan, kesejahteraan ekonomi, tertib hokum yang member rasa aman. Pengelolaan perbedaan cultural harus berjalan demokratis yang memperkaya berbagai paham dalam kebijakan pengelolaan keragaman budaya.
Dalam pengelolaan kebudayaan terdapat berbagai paham yang pernah berlaku :
1. Kebijakan kebudayaan yang berwatak ‘nasionalistis ius solis’
Bersifat integrasionis , melakukan pemisahan ketat antara ruang privat dan ruang publik setiap warga Negara mesti berperilaku dengan berpedoman pada ketentuan kebudayaan nasional
2. Kebijakan kebudayaan dengan berwatak ‘nasionalitas ius sanguinis’
Hanya mengakui satu budaya nasionalyang mesti dianut oleh warga Negara yang pengakuannya berdasarkan asas darah keturunan etnik.
3. Kebijakan yang berwatak ‘melting pot’
Berbagai ragam budaya beraduk rata dalam sebuah wadah, tanpa intervensi Negara.
4. Kebijakan yang berwatak ‘monokulturalisme’
Menciptakan kesatuan dan stabilitas nasional seluruh keanekaragaman tradisi budaya yang ada diintregasikan kedalam satu bentuk budaya dominan, yang berasal dari etnik dominan yang sangat terobsesi juga dengan pembentukan kebudayaan nasional.
5. Kebijakan yang berwatak ‘multikulturalisme’
Paham yang mengedepankan diversitas cultural, keragamn budaya. Kebijakan kebudayaan berbasis pada pengakuan atas hak warga Negara yang berada dalam status kolektif sebagai kelompok etnis.
3. Pengembangkan Perspektif Multikulturalisme
Demi pengelolaan pluralitas kebudayaan di Indonesia, pemikiran multikulturalisme Bhiku Parekh sebagaimana terurai dalam buku terjemahan Indonesianya yang berjudul Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik (2008). Masyarakat moderen Barat yang beliau amati mengklasifikasikan dirinya atau menggolongkan sosial budayanya dengan cara oposisi biner, yaitu pembagian berdasarkan ciri-ciri saling kontras, saling berkebalikan, bahkan saling berlawanan atau bertentangan (cf. Levi-Strauss, 1967; Koentjaraningrat, 1987: 208-235). Dalam struktur berpikir oposisi biner masyarakat modern/Barat mengkontraskan bahwa (a) di satu sisi ada kebudayaan nasional, di sisi lain ada kelompok berbeda; (b) di satu sisi ada kelompok lama-mapan, di sisi lain ada kelompok pendatang baru; (c) di satu sisi ada kelompok pendiri republik, di sisi lain ada kelompok imigran; (d) di satu sisi ada Amerikanisme (budaya dan identitas Amerika), di sisi lain ada budaya kaum pinggiran; dan (e) di satu sisi ada kulit putih (mainstream), di sisi lain ada kulit hitam.
Pandangan oposisi biner dilanjutkan dengan pandangan vertikalisme yang melihat realitas sosial dalam tataran hirarkis dimana yang satu diletakkan pada peringkat lebih tinggi atau lebih kuat daripada yang lain. Pandangan oposisi biner dapat dilanjutkan pula dengan pandangan dualisme konsentrikal yang melihat realitas sosial dalam pola hubungan pusat dan pinggiran (relasi sosial center – periphery), dimana yang satu diletakkan pada posisi tengah yang dipandang lebih kuat dari pada yang lain yang ada di pinggiran yang dipandang lebih lemah. Pandangan sosio-kultural dualisme diadik vertikalis maupun pandangan dualisme konsentrikal pusat – pinggiran ini (cf. Koentjaraningrat, 1987: 208-235) membuahkan paradigma ketidaksetaraan budaya, rasisme budaya, arogansi budaya, hegemoni budaya, dominasi budaya, yang membutakan pandangan tentang kesetaraan budaya. Paradigma ini juga membutakan realitas budaya alternatif dalam kenyataan keragaman budaya. Untuk mengatasi persoalan mental yang berstruktur pikir oposisi biner ini maka untuk mendekonstruksinya (membongkarnya) dengan semangat post-modernisme muncullah ide multikulturalisme, yang Bikhu Parekh tegaskan sebagai sebuah perspektif tentang kehidupan manusia dimana pihak yang dipandang lemah dapat berjuang demi pelestarian dan pengakuan kesetaraan budaya yang berbasis eksistensi etnisitas mereka.Dalam fakta imanensi keragaman budaya muncul kesadaran transendensi melakukan dialog, saling belajar, antar budaya, dengan harapan memperoleh hasil bahwa ‘kekurangan/kelemahan/keterbatasan dalam satu budaya dapat ditutup oleh kelebihan satu budaya yang lain’. Bagi Bikhu Parekh, pendidikan multikultural perlu dipraktekkan demi menghindari pendidikan yang berwatak eropasentrisme yang abai terhadap eksistensi budaya lain, yang berwawasan sempit dan yang tidak kritis dalam hal sudut pandang kultural. Dialog terbuka antar kesetaraan budaya memang perlu demi terhindarnya manusia dari kesalahan penganutan sebuah isme.
Dengan modal semangat rohani (spiritual capital) gerakan intelektual post-modernisme yang menyala-nyala, multikulturalisme menganut keyakinan bahwa realitas bersifat plural, majemuk, beragam, termasuk realitas budaya. Demikian pula mereka berkeyakinan bahwa power ada dimana-mana, termasuk power yang terkandung dalam beragam realitas budaya. Mereka anti konsep yang mereka pandang palsu; anti kategori yang mereka pandang represif; dan anti identifikasi yang mereka pandang membelenggu. Sebaliknya mereka pro keanekaragaman; pro gerak; dan pro pluralitas yang membawa semboyan ‘hargailah liyan, the other! sesuai dengan kekhususan setiap humanitas. Bagi mereka, modernisme peradaban Barat berwatak rasisme, menyebarkan gap kaya – miskin; industrialisasinya berwatak diskriminatif; urbanisasinya menyebabkan pengangguran, inflasi dan stagnasi ekonomi; kemajuan teknologinya tak mampu memecahkan segala persoalan manusia dan lingkungan, malah melahirkan sikap konsumerisme berlebihan. Bagi mereka, negara ibarat teater politik, yang memuja rasionalitas instrumental dan memuja sentralisasi kekuasaan belaka. Bagi mereka, modernisme mereduksi realitas sosial yang pada dasarnya bersifat plural dan relasional; bersifat non-perspektif dan non-sistematik. Namun mereka cenderung pro strukturalisme yang berjuang bagi kesetaraan, pro etnometodologi, pro populisme dan pro hermeneutika. Mereka tidak berambisi menemukan ultimate reality sebagai sumber dan akar segala eksistensi. Yang ingin mereka lihat sekedar relasi antar unsur yang ada dalam realitas sosial yang pluralistik, yang serba relatif, dan yang termarjinalkan.
Dan yang perlu dikritisi lebih lanjut oleh Bikhu Parekh adalah bahwa penelitian-penelitian budaya dunia ketiga sudah begitu banyak dilakukan oleh para antropolog Barat, dan pula analisis mereka bersifat emik, dimana kebudayaan dipahami sebagai sistem makna sebagaimana dihayati dalam hidup sehari-hari oleh masyarakat dunia ketiga sebagai subyek yang diteliti. Dalam konteks penelitian tentang demokrasi atau proses demokratisasi di Indonesia. Dengan demikian penelitian tidak lagi semata-mata berkutat pada pengukuran berjalannya proses demokratisasi menurut standard definisi Barat, tetapi berlanjut pada makna demokrasi secara konkrit bagi kemaslahatan kehidupan sehari-hari anggota masyarakat biasa, dan bukan bagi warga lapisan elit saja. Persoalannya sejauhmana hasil-hasil penelitian tersebut sudah dimanfaatkan untuk dialog antar budaya yang produktif, yang saling memperkaya pengalaman hidup, sehingga individualisme Barat yang dirasa sudah mengancam keutuhan dan integrasi sosial masyarakat bisa belajar dari kolektivisme Timur demi perbaikan diri.

Kesimpulan
Sebagai sebuah kepribadian dan identitas kolektif, kebudayaan beraspek statis; bertahan terhadap perubahan, namun juga beraspek dinamis; mendorong perubahan. Dialektika antara budaya arus utama di Indonesia melahirkan politik aliran yang dapat dibedakan sebagai kelompok reformis dan kelompok konservasionis. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia merupakan “crossroads (Carrefour) of peoples and cultures’; ‘persimpangan lalu-lintas arus gerak berbagai corak bangsa dan budaya’, yang membuahkan terbentuknya persilangan atau hibriditasi kebudayaan, yang menampak dalam berbagai tataran materialisasi perwujudan, dari aspek ciri fisik ras, etnisitas, dan daerah asal, hingga aspek ciri kognitif-afektif serta perilaku budaya yang mencakup unsur bahasa, kesenian, gaya hidup seperti cara berpakaian, cara makan, dan cara memenuhi kelengkapan alat perabot rumah tangga, dll.
Dalam pengelolaan pliralitas kebudayaan di Indonesia, harus berjalan secara demokratis, partisipatoris, dan memberi kesempatan setiap warga negara Indonesia untuk mampu mencapai tingkat kesadaran bahwa Indonesia lebih luas dari lingkungan sendiri. Mentalitas kesadaran budaya demikian mampu melintasi garis-garis pemisahan kesukuan dan keagamaan yang diharapkan justru membangun kesadaran kebudayaan daerah disamping kesadaran kebudayaan nasional, serta memperkokoh kepribadian daerah di dalam keaneka-ragaman kebudayaan nasional Indonesia. Disini terdapat pemikiran multikulturalisme Bhiku parekh patut memperoleh perhatian. Semangat transendentalisme imanen-nya menegaskan bahwa multikulturalisme merupakan sebuah perspektif tentang kehidupan manusia diaman pihak yang dipandang lemah dapat berjuang demi pelestarian dan pengakuan kesetaraan budaya yang berbasis eksistensi etnisitas mereka. Dalam hal ini sikap hormat pada martabat manusia/sesama, liyan, the other, menjadi kunci yang mendasari sikap transcendental tersebut. Dengan dasar sikap tersebut, muncul harapan bahwa ‘kekurangan/kelemahan dalam satu budaya dapat ditutup oleh kelebihan satu budaya yang lain’.