Pengertiann Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove dikenal sebagai hutan yang mampu hidup beradaptasi pada lingkungan pesisir yang sangat ekstrim seperti salinitas yang berubah-ubah (2-22‰ hingga mencapai 38‰), akan tetapi keberadaan ekosistem mangrove rentan terhadap perubahan lingkungan, misalnya terjadinya angin, erosi dan abrasi (Bengen, 2000). Perubahan lingkungan tersebut disebabkan adanya tekanan ekologis yang berasal dari alam dan manusia. Bentuk tekanan ekologis yang berasal dari manusia umumnya berkaitan dengan pemanfaatan mangrove seperti konversi lahan menjadi pemukiman, pertambakan dan pariwisata. Secara umum mangrove cukup tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan lingkungan. Namun demikian, permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove berasal dari keinginan manusia untuk mengkonversi area hutan mangrove menjadi areal pemukiman, tambak dan pertanian. Selain itu, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. 

Pengertian Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas  atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh di perairan asin (Nybakken, 1992; Santoso, 2000). Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nontji, 1987).

Bengen (2000) men definisi kan hutan mangrove sebagai suatu vegetasi hutan yang tumbuh dan berkembang dengan baik disepanjang pantai, muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan ini berada di titik pertemuan antara laut dan darat dengan ekosistem yang mempunyai bermacam macam fungsi. Sedangkan menurut Giesen et al (2006), mangrove dapat didefinisikan sebagai tipe vegetasi yang terdapat di lingkungan laut dan perairan payau. Secara umum dibatasi zona pasang-surut, mulai dari batas air surut terendah hingga pasang tertinggi. Santoso (2000)mendefinisikan ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri.

Pembagian Zonasi Hutan Mangrove

Ekosistem mangrove sangat rumit karena terdapat banyak faktor yang saling mempengaruhi, baik dari dalam maupun diluar pertumbuhan dan perkembangannya.  Berikut ini merupakan pembagian zona hutan mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi dari arah laut kedaratan (Arief, 2003).

  1. Zona Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove. Pada zona ini tanah agak berpasir dan lumpur berpasir dan berkadar garam tinggi.
  2. Zona Rhizophora, terletak dibelakang zona Avicennia dan Sonneratia. Pada zona ini tanah berlumpur lembek dengan kadar garam lebih rendah.
  3. Zona Bruguiera, terletak dibelakang zona Rhizophora. Pada zona ini tanah berlumpur agak keras dan perakaran tanaman lebih peka.
  4. Zona Nypah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini jarang ada bila tidak terdapat air tawar yang mengalir.

Fungsi Mangrove

Ekosistem mangrove memiliki beberapa fungsi penting, diantaranya fungsi biologi, fisik, kimia dan  lainnya. Menurut Santoso dan Arifin (1998) fungsi fisik mangrove yaitu menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari proses erosi, menahan tiupan angin kencang dari laut ke darat, menahan sedimen dan juga sebagai kawasan penahan rembesan air laut ke darat. Adapun fungsi kimia mangrove yaitu sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen dan juga berfungsi sebagai penyerap karbondioksida. Sedangkan fungsi biologi mangrove yaitu sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari serasah (daun, ranting, dahan, bunga dan buah yang gugur). Sebagian detritus ini dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh fauna makrobenthos pemakan detritus, sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi unsur hara yang berperan dalam penyuburan perairan (Taqwa, 2010). Sedangkan  secara ekologis mangrove berperan sebagai daerah asuhan, daerah mencari makanan dan daerah pemijahan bermacam biota perairan (ikan, udang dan kerang-kerangan) (Sjöling et al, 2005).

Fungsi mangrove secara ekonomis yaitu sebagai sumber devisa negara, penghasil kayu, penghasil bahan baku industri (misalnya kertas dan obat-obatan) dan juga berfungsi sebagai tempat penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting dan lain sebagainya. Selain itu, mangrove juga berfungsi sebagai kawasan wisata alam pantai, pendidikan, konservasi, dan penelitian (Santoso dan Arifin, 1998).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mangrove

Menurut Indriyanto (2006), ada beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan  mangrove di suatu lokasi adalah :

  • Fisiografi pantai

Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh (Santoso,2000).

  • Pasang

Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhiperubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan menurun pada saat air laut surut (Indriyanto, 2006).

  • Gelombang dan Arus

Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan. Gelombang dan arus berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh. Gelombang dan arus juga mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari runoff daratan dan terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut (Indriyanto, 2006).

  • Iklim

Iklim mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, suhu, dan angin. Cahayaberpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik mangrove. Cahayajuga berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol. Selain itu, suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan daun mangrove. Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20 ̊C dan jika suhu lebih tinggi maka produksi daun baru menjadi berkurang. Selain faktor cahaya dan suhu, angin juga mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove (Indriyanto, 2006).

  • Suplai air tawar dan salinitas

Ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) mengendalikan efisiensi metabolik vegetasi hutan mangrove. Ketersediaan air tawar tergantung dari frekuensi dan volume air sistem sungai dan irigasi dari darat, frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut serta tingkat evaporasi ke atmosfer. Walaupun spesies vegetasi mangrove memiliki mekanisme adaptasi yang tinggi terhadap salinitas, namun bila suplai air tawar tidak tersedia, hal ini akan menyebabkan kadar garam tanah dan air mencapai kondisi ekstrim sehingga mengancam kelangsungan hidupnya (Dahuri, 2003).

Produksi Serasah

Guguran daun, biji, batang dan bagian lainnya dari mangrove sering disebut serasah (Spurr dan Burton, 1980 dalam Munir, 2004). Mangrove mempunyai peran penting bagi ekologi yang didasarkan atas produktivitas primernya dan produksi bahan organik yang berupa serasah, dimana bahan organik ini merupakan dasar rantai makanan. Serasah dari tumbuhan mangrove ini akan terendap di dasar perairan dan terakumulasi terus menerus dan akan menjadi sedimen yang kaya akan unsur hara, yang merupakan tempat yang baik untuk kelangsungan hidup fauna makrobenthos (Taqwa, 2010).

Produktivitas perairan pada umumnya tergantung pada zat hara yang berasal dari serasah yang ada di perairan tersebut. Detritus yang berasal dari pohon mangrove tersebut akan dimakan oleh pemakan detritus seperti Amphipida. Pemakan detritus ini akan dimakan oleh larva ikan, kepiting, udang dan lain-lain, sehingga terjadi proses makan memakan hingga tingkat yang lebih tinggi. Dengan kata lain, detritus organik merupakan sumber energi yang penting bagi hewan estuaria dan juga merupakan penyokong pertumbuhan mangrove.

Kerapatan mangrove sangat mempengaruhi produksi serasah. Semakin tinggi kerapatan mangrove, maka produksi serasah semakin besar. Besarnya produksi serasah mempengaruhi jumlah detritus dan unsur hara yang dihasilkan. Banyaknya detritus berpengaruh terhadap banyaknya fauna benthos yang memanfaatkannya sebagai makanan. Begitu juga sebaliknya semakin rendah kerapatan pohon maka semakin rendah produksi serasahnya. Serasah yang jatuh akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme menjadi detritus. Semakin banyak serasah yang dihasilkan dalam suatu kawasan mangrove maka semakin banyak pula detritus yang dihasilkan. Detritus inilah yang menjadi sumber makanan bernutrisi tinggi untuk berbagai jenis organisme perairan (khususnya detritifor) yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh organisme tingkat tinggi dalam jaring jaring makanan (Zamroni dan Rohyani, 2007).

Tabel 2.1. Rata- rata Produksi Serasah Mangrove (ton/ha/tahun) di beberapa daerah.

Lokasi Jenis Mangrove Total serasah (g/m2/hari)   Objektif Sumber :
Teluk Sepi, Lombok. 1. R. mucronata

2. R. apiculata

3. S.alba

4. R.stylosa

5. Aegiceras sp.

1,46

0,48

0,47

0,24

0,0054

Menghitung produksi serasah mangrove. Zamroni danRohyani, 2008.
Blanakan, Subang (Jawa Barat) 1. A.marina

2. R.apiculata

1,75

4,95

Menghitung jatuhan serasah mangrove. Rachman dan Siarudin, 2006.

Dari Tabel 2.1diketahui bahwa produksi serasah di Teluk Sepi sebesar 2,67g/m2/hari dengan kontribusi Rhizophora mucronata terbesar 1,46g/m2/haridan yang memiliki total serasah yang paling minim yaitu Aegiceras sp sekitar 0,0054g/m2/hari. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rachman dan Siarudin (2006), Avicennia marina memiliki produksi serasah tertinggi dibandingkan Rhizophora Apiculata karena di daerah Blanakan ini didominasi oleh Avicennia marina.

Jenis mangrove yang sama dengan umur berbeda akan memiliki laju produksi serasah yang berbeda pula. MenurutZamroni dan Rohyani (2007), R. apiculata memiliki serasah daun yang lebih banyak pada jenis mangrove yang lebih tua atau optimum. Apabila umur mangrove melebihi titik optimum, maka serasah yang jatuh akan berkurang, karena pada batang mangrove tua, bagian dalamnya mulai keropos sehingga tajuk pohon mulai menyempit, dan produksi serasah berkurang. Penelitian Sediadi (1991) pada tegakan Rhizophora menunjukkan jumlah jatuhan serasah meningkat secara nyata sesuai dengan pertambahan umur dan jumlah maksimum akan didapat pada usia 10 tahun. Tegakan di atas 10 tahun tidak menghasilkan perbedaan nyata. Penelitian Zamroni dan Rohyani (2007), berdasarkan hasil pengamatan rata-rata diameter batang R. apiculata di kawasan mangrove Dusun Selindungan (Pantai Sekotong bagian barat) sebesar 14,51 cm (10,19-22,61 cm) memiliki produksi serasah daun sebesar 1,85 g/pohon/hari, sedangkan rata-rata diameter batang R. apiculata di Teluk Sepi (Pantai Sekotong bagian selatan) sebesar 12,12 cm (10,51-16,24 cm) memiliki produksi serasah daun sebesar 1,67 g/pohon/hari. Produksi serasah daun R. apiculata yang memiliki umur yang hampir sama pada tempat berbeda memiliki laju produksi serasah yang hampir sama pula.

            Serasah daun memberikan kontribusi yang terbesar (2,34 g/m2/hari atau 87,56%) diikuti oleh organ reproduktif (bunga dan buah) (0,3g/m2/hariatau 11,33%) dan ranting (0,04g/m2/hari atau 1,54%). Tingginya kontribusi daun terhadap produktivitas serasah yang dihasilkan terkait dengan salah satu bentuk adaptasi tumbuhan mangrove untuk mengurangi kehilangan air agar dapat bertahan hidup pada kondisi kadar garam tinggi. Persentase guguran serasah daun berkorelasi positif dengan salinitas perairan ekosistem mangrove, semakin tinggi salinitas perairan maka semakin tinggi pula produksi serasah mangrove (Affiandi, 1996).

Menurut Murdiyanto (2003), terdapat 3 cara mangrove untuk bertahan terhadap air garam:

  • Mangrove menghindari penyerapan garam berlebihan dengan cara menyaring melalui bagian akarnya,
  • Secepatnya mengeluarkan garam yang masuk ke dalam sistem pepohonan melalui daun.
  • Menumpuk kelebihan garam pada kulit pohon dan daun tua lalu segera digugurkan.

DAFTAR PUSTAKA

 Arief, A. 2003. Hutan Mangrove, Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

 Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB, Bogor.

 Brown, M. S. 1984. The Mangrove Ecosystem: Research Methods. Snedaker, C, Samuel and Snedaker, G, Jane. UNESCO.

 Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Penerbit PT Gramedia Pusaka Utama. Jakarta.

 English, S. Wilkinson, C. dan Baker, V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. 2nd Edition. Townsville: Australia Institute of Marine Science.

 Indriyanto, 2006. Ekologi Hutan. Penerbit PT Bumi Aksara. Jakarta.

Santoso. N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Nasional Pengembangan System Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.

 Munir, A.M. 2004. Pendugaan Produktivitas Serasah Hutan Mangrove di Pulau Gili Sulat, Nusa Tenggara Barat.IPB : Bogor. Skripsi.

 Murdiyanto, B. 2003. Mengenal, Memelihara, dan Melestarikan Ekosistem Bakau. Jakarta: Direktotat Jenderal Perikanan Tangkap DepartemenKelautan dan Perikanan.

 Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.

 Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan dari Marine Biology an Ecological Approach oleh M. Eidman. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Rachman, E. dan Siarudin, M. 2006. Biomassa Lantai Hutan dan Jatuhan Serasah di Kawasan Mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat. Balai Penelitian utama Ciamis.

Santoso, N. dan Arifin H.W. 1998. Rehabilitas Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove).Jakarta, Indonesia.

 Santoso. N. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Nasional Pengembangan System Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.

 Sediadi, A. 1991. Pengaruh Hutan Bakau terhadap Sedimentasi di Pantai Teluk Jakarta. Prosiding Seminar IV Ekosisitem Mangrove. Jakarta, Panitia Nasional Program MAB-LIPI.

 Sjöling, S. Salim, M, M. Thomas, J, L. dan Jasson J.K. 2005. Benthic Bacterial Diversity and Nutrien Processes in Mangrove: Impact of Deforestation. Journal Estuarine Coastal and Shelf Science 63.397-406.

 Taqwa, A. 2010. Analisis Produktivitas Primer Fitoplankton dan Struktur Komunitas Fauna Makrobenthos berdasarkan Kerapatan Mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan  Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Tesis.

 Zamroni, Y. dan Rohyani, I. S. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Jurnal Biodiversitas. Universitas Mataram. Mataram. Volume 9 No 4 Tahun 2008. 284- 287.

Zamroni, Y. dan Rohyani, I. S. 2007. Produksi Serasah Hutan Mangrove di Perairan Pantai Dusun Selindungan, Lombok Barat. Seminar Nasional Perkembangan MIPA dan Pendidikan MIPA Menuju Profesionalisme Guru dan Dosen. Universitas Mataram, Mataram, 3 November 2007.