Pengertian Definis Apendisitis

BAB II
KOSEP MEDIS

A. Defenisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing ( apendiks ). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum). Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedahsegera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. (Wim de jong et al. 2005).
Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.
Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain :
1. Apendisitis akut
Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan bawah.
2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis ganggrenosa di tutupi pendinginan oleh omentum.
3. Apendisitis perforata
Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan keterlambatan diagnosa merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya perforasi apendiks.
4. Apendisitis rekuren
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan, namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi sekitar 50%.
5. Apendisitis kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik.

B. Klasifikasi
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2) Fekalit
3) Benda asing
4) Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.

b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.
d. Apendissitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan akut.
e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
f. Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan

C. Etiologi
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidayat, 2004).
Apendiks merupakan organ yang belum diketahui fungsinya tetapi menghasilkan lender 1-2 ml perhari yang normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lender dimuara apendiks tampaknya berperan dalam pathogenesis apendiks. (Wim de jong et al. 2005).
Menurut klasifikasi :
1. Apendiksitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteria. Dan factor pencetusnya disebabkan oleh sumbatan lumen apendiks. Selain itu hyperplasia jaringan limf, fikalit (tinja/batu),tumor apendiks, dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan dan juga erosi mukosa apendiks karena parasite (E. histolytica).
2. Apendiks rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila serangan apendiksitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun apendiksitis tidak pernah kembali kebentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut.
3. Apendiksitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopis (fibrosis menyeluruh di dinding apendiks, sumbatan parsial atau lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik), dan keluhan menghilang setelah pendiktomi.

D. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).

E. Manifestasi Klinik
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendiksitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium disekitar umbilicus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kana bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatic setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini di anggap berbahaya karenabisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga di sertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 sampai 38,5 derajat celcius.
Kemungkinan apendisitis dapat diyakinkan dengan menggunakan skor Alvarado :
The Modified Alvarado Score score
Gejala Perpindahan nyeri dari uluhati ke perut kanan bawah
Mual muntah
Anoreksia 1
1
1
Tanda Nyeri di perut kanan bawah
Nyeri lepas
Demam di atas 37,5 derajat celsius 2
1
1
Pemeriksaan lab Leukositosis
Hitung jenis leukositosis shift to the left 2
1
Total 10
Interprestasi dari Modified Alvarado Score :
1-4 : sangat mungkin bukan apendisitis
5-7 : sangat mungkin apendisitis akut
8-10 : pasti apendisitis akut
System skor di buat untuk meningkatkan cara mendiagnosis apendisitis. Selain gejala klasik,ada beberapa gejala lain tergantung pada letakapendiks ketika meradang apendisitis. Timbulnya gejala ini tergantung pada letak apendiks ketika meradang.
Berikut gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kea rah perut kanan bawah atau nyeri timbul saat melakukan gerakan seperti berjalan ,bernafas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m. psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis.
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rectum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rectum, sehingga peristaltic meningkat, pengosongan rectum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
3. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Hubungan patofisiologi dan manifestasi klinis apendisitis : (wim de jong )
Kelainan patologi Keluhan dan tanda
Peradangan awal

Kurang enak uluhati/daerah pusat, mungkin kolik.

Apendisitis mukosa

Nyeri tekan kanan bawah (rangsangan autonomic)
Radang di seluruhketebalan inding

Nyeri sentral pindah ke kanan bawah, mual dan muntah.
Apendisitis komplit radang peritoneum parietale apendiks

Rangsangan peritoneum local (somatic), nyeri pda gerak aktif dan pasif, defans muskuler local
Radang alat/jaringan yang menempel pada apendiks

Genitalia interna, urter, m. psoas mayor, kantung kemih, rectum.

Apendisitis gangrenosa

Demam sedang, takikardi, mulai toksik, leukositosis
Perforasi
nyeri dan defan muskuler seluruh seluruh perut
Pembungkusan
1. tidak berhasil s.d.a + demam tinggi, dehidrasi, syok, toksik
2. berhasil Masa perut kanan bawah, keadaan umum berangsur membaik
3. Abses Demam remiten, keadaan umum toksik, keluhan dan tanda setempat.

Menurut Arief Mansjoer (2002), keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2 – 12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise dan demam yang tak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri.
Menurut Suzanne C Smeltzer dan Brenda G Bare (2002), apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri tekan terasa di daerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.
Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2000), manifestasi klinis apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual, dan seringkali muntah
2. Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian bawah otot rektus kanan
3. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri tekan, spasme otot, dan konstipasi serta diare kambuhan
4. Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah , yang menyebabkan nyeri kuadran kiri bawah)
5. Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien biasanya ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan neutrofil diatas 75 %. Sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.
2. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga appendicitis akut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendicalith serta perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.
4. Pemeriksaan USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya.
5. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.

G. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).
Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah sebagai berikut:
1. Tindakan medis
a. Observasi terhadap diagnosa
Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis, sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun melalui mulut. Bila diperlukan maka dapat diberikan cairan aperviteral. Hindarkan pemberian narkotik jika memungkinkan, tetapi obat sedatif seperti barbitural atau penenang tidak karena merupakan kontra indikasi. Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di ulangi secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda lokalisasi kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.
b. Intubasi
Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau toksitas yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi kubah lambung jika diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi dengan pipa tetap terpasang.
c. Antibiotik
Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan toksitas yang berat dan demam yang tinggi .
2. Terapi bedah
Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik lainnya. Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang direncanakan secara dini baik mempunyai praksi mortalitas 1 % secara primer angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini tampaknya disebabkan oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.
3. Terapi pasca operasi
Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan pernapasan angket sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

H. Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7 oC atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer dan Barre, 2002).

I. Pencegahan
1. Diet tinggi serat akan sangat membantu melancarkan aliran pergerakan makanan dalam saluran cerna sehingga tidak tertumpuk lama dan mengeras.
2. Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.

J. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit apendisitis sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada (Mansjoer, 2000).

BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.
2. Lingkungan
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita akan lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.
3. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi, bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang memperberat dan memperingan.
4. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
b. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka juga akan terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg (Blumberg sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
d. Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
5. Perubahan pola fungsi
Data yang diperoleh dalam kasus apendisitis menurut Doenges (2000) adalah sebagai berikut :
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : Malaise
b. Sirkulasi
Tanda : Takikardi
c. Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal. Diare (kadang-kadang)
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan. Penurunan atau tidak ada bising usus
d. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah
e. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney (setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada apendiks). Keluhan berbagai rasa nyeri/ gejala tak jelas (berhubungan dengan lokasi apendiks, contoh : retrosekal atau sebelah ureter)
Tanda : Perilaku berhati-hati; berbaring ke samping atau telentang dengan lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak. Nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal
f. Pernapasan
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal
g. Keamanan
Tanda : Demam (biasanya rendah).
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta pelebaran sekum.

B. Diagnosa
Menurut Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern dalam Buku Saku Diagnosis Keperawatan NANDA NIC NOC (2011), diagnosa keperawatan pre operatif pada penderita apendisitis akut adalah sebagai berikut:
1. Kekurangan volume cairan tubuh
2. Hipertermi
3. Nyeri akut
4. Hambatan mobilitas fisik
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
6. Ansietas

C. PATHWAY

D. Intervensi
Menurut Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern dalam Buku Saku Diagnosis Keperawatan NANDA NIC NOC (2011), intervensi yang biasa muncul pada penderita apendisitis akut pre operatif adalah sebagai berikut:
1. Kekurangan volume cairan tubuh
Batasan Karakteristik
Subjektif
Haus
Objektif
a. Perubahan status mental
b. Penurunan turgor kulit dan lidah
c. Penurunan haluaran urine
d. Kulit dan membran mukosa kering
e. Hematokrit meningkat
f. Suhu tubuh meningkat
g. Kelemahan
h. Peningkatan frekuensi nadi, penurunan tekanan darah, penurunan volume dan tekanan nadi.
Faktor yang berhubungan
a. Kehilangan volume cairan aktif
b. Asupan cairan yang tidak adekuat
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC
a. Kekurangan volume cairan akan teratasi ditandai dengan keseimbangan cairan, keseimbanagn elektrolit dan asam basa, hidrasi yang adekuat, dan status nutrisi: asupan makanan dan cairan adekuat.
b. Keseimbangan elektrolit dan asam basa akan dicapai dibuktikan dengan :
1) Memiliki konsentrasi urine yang normal
2) Tidak mengalami haus abnormal
3) Memiliki asupan cairan oral dan atau intravena yang adekuat
4) Memiliki keseimbangan asupan dan haluaran yang seimbang dalam 24 jam.
5) Menamilkan hidrasi yang baik (membran mukosa lembap, mampu berkeringat.
Intervensi NIC
a. Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
b. Observasi khususnya terhadap kehilangan cairan yang tinggi elektrolit, misalnya diare
c. Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan cairan (misalnya kadar hematokrit, BUN, albumin, protein total, osmolalitas serum, dan berat jenis urine).
d. Pantau status hidrasi misalnya kelembapan membran mukosa, keadekuatan nadi, dan tekanan darah ortostatik.
e. Kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu
f. Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mengatur keseimbangan cairan
g. Memberikan dan memantau cairan dan obat intravena
h. Membantu dan menyediakan asupan makanan dan cairan dalam diet seimbang
i. Timbang berat badan setiap hari dan pantau kecendrungannya
j. Tentukan jumlah cairan yang masuk dalm 24 jam, hitung asupan yang diinginkan sepanjang sif siang, soreh, dan malam
k. Anjurkan melakukan higiene oral secara sering
l. Kolaborasi pemberian terapi IV sesuai program.
2. Hipertermi
Batasan Karakteristik
Objektif
a. Kulit merah
b. Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal
c. Frekuensi napas meningkat
d. Kejang atau konvulsi
e. Kulit teraba hangat
f. Takikardi
g. Takipneu
Faktor yang Berhubungan
a. Dehidrasi
b. Penyakit atau trauma
c. Ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk berkeringat
d. Pakaian yang tidka tepat
e. Obat atau anastesia
f. Terpajan lingkungan yang panas (jangka panjang)
g. Aktivitas yang berlebihan
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC
a. TTV dalam rentang normal
b. Pasien akan menunjukkan termoregulasi
c. Melaporkan tanda dan gejala dini hipertermia
d. Menjelaskan tindakan untuk mencegah atau meminimalkan peningkatan suhu tubuh.
Intervensi NIC
a. Pantau TTV
b. Pantau hidrasi (misalnya turgor kulit, kelembapan membran mukosa)
c. Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan suhu lingkungan
d. Regulasi suhu NIC:
Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai kebutuhan
Pantau warna kulit dan suhu
e. Anjurkan asupan cairan oral, sedikitnya 2 liter per hari
f. Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan mengenali secara dini hipertermia (misalnya sengatan panas, keletihan akibat panas)
g. Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan selimut saja
h. Berikan kompres hangat untuk mengatasi demam
i. Kolaborasi pemberian obat antipiretik.
3. Nyeri akut
Batasan Karakteristik
Subjektif
Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan (nyeri) dengan isyarat
Objektif
a. Posisi untuk menghindari nyeri
b. Perubahan tonus otot (dengan rentang dari lemas, tidak bertenaga sampai kaku
c. Perubahan selera makan
d. Perilaku ekspresif (misalnya gelisah, merintih, menangis, peka terhadap rangsang, dan menghela napas panjang)
e. Wajah topeng (nyeri)
f. Perilaku menjaga atau sikap melindungi
g. Bukti nyeri yang dapat diamati
h. Berfokus pada diri sendiri
i. Gangguan tidur (mata terlihat kuyu, gerakan tidak teratur, atau tidak menentu dan menyeringai)
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC
a. Memperlihatkan Pengendalian Nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering atau selalu ):
1) Mengenali awitan nyeri
2) Menggunakan tindakan pencegahan
3) Melaporkan nyeri dapat dikendalikan
b. Melaporkan Tingkat Nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: sangat berat, berat, sedang, ringan atau tidak ada):
1) Ekspresi nyeri pada wajah
2) Gelisah atau ketegangan otot
3) Durasi episode nyeri
4) Merintih dan menangis
5) Gelisah

SKALA NYERI
Nilai Skala Nyeri
0 Tidak nyeri
1 Seperti gatal, tersetrum / nyut-nyut
2 Seperti melilit atau terpukul
3 Seperti perih
4 Seperti keram
5 Seperti tertekan atau tergesek
6 Seperti terbakar atau ditusuk-tusuk
7 – 9 Sangat nyeri tetapi dapat dikontrol oleh klien dengan aktivitas yang biasa dilakukan.
10 Sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol oleh klien.
Keterangan : 1 – 3 (Nyeri ringan)
4 – 6 (Nyeri sedang)
7 – 9 (Nyeri berat)
10 (Sangat nyeri)
Intervensi NIC
a. Kaji tingkat nyeri dengan menggunakan skala 0-10
b. Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri dan respon pasien
c. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, imajinasi tebimbing, terapi musik, terapi bermain, distraksi, kompres hangat atau dingin sebelum, setelah, dan jika memungkinkan , selama aktivitas yang menimbulkan nyeri, sebelum nyeri terjadi atau meningkat, dan bersama penggunaan tindakan peredaan nyeri yang lain.
d. Lakukan perubahan posisi, massase [punggung dan relaksasi
e. Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang menyangkutn aktivitas keperawatan
f. Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman dengan melakukan pengalihan melalui TV, radion, dan interaksi dengan pengunjung
g. Kolaborasi pemberian analgesik sesuai program terapi
4. Hambatan mobilitas fisik
Batasan Karakteristik
Objektif
a. Penurunan waktu reaksi
b. Kesulitan membolak-balik tubuh
c. Dispnea saat beraktivitas
d. Perubahan cara berjalan (misalnya, penurunan aktivitas dan kecepatan berjalan, kesulitan utnuk memulai berjalan, langkah kecil, berjalan dengan menyeret kaki, pada saat berjalan badan mengayun ke samping)
e. Pergerakan menyentak
f. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik kasar
g. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus
h. Keterbatasan rentang pergerakan sendi
i. Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
j. Ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas aktivitas kehidupan sehari-hari)
k. Melambatnya pergerakan
l. Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi.
Faktor yang Berhubungan
a. Perubahan metabolisme sel
b. Indeks massa tubuh di atas persentil ke-75 sesuai usia
c. Gangguan kognitif
d. Kepercayaan budaya terkait aktivitas sesuai usia
e. Penurunan kekuatan, kendali, atau massa otot
f. Keadaan alam perasaan depresi atau ansietas
g. Keterlambatan perkembangan
h. Ketidaknyamanan
i. Intoleransi aktivitas dan penuruna kekuatan dan ketahanan
j. Kaku sendi atau kontraktur
k. Defesiensi pengetahuan tentang nilai aktivitas fisik
l. Kurang dukungan lingkungan fisik atau sosial
m. Keterbatasan ketahanan kardiovaskular
n. Hilangnya integritas struktur tulang
o. Medikasi
p. Gangguan muskuloskeletal
q. Gangguan neuromuskular
r. Nyeri
s. Program pembatasan pergerakan
t. Keengganan untuk memulai pergerakan
u. Gaya hidup yang kurang gerak atau disuse atau melemah
v. Malnutrisi (umum atau selektif)
w. Gangguan sensori persepsi
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC
Memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan dengan indikator:
Keseimbangan
Koordinasi
Performa posisi tubuh
Pergerakan sendi dan otot
Berjalan
Bergerak dengan mudah
Aktivitas Keperawatan
Tingkat 1
a. Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan di rumah dan kebutuhan terhadap peralatan pengobatan yang tahan lama
b. Ajarkan pasien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas
c. Ajarkan dan bantu pasien dalam proses berpindah (misalnya dari tempat tidur ke kursi)
d. Rujuk ke ahli terapi fisik untuk program latihan
e. Berikan penguatan positif selama aktivitas
f. Bantu pasien untuk menggunakan alas kaki antiselip yang mendukung untuk berjalan
g. Pengaturan posisi (NIC):
1) Ajarkan pasien bagaimana menggunakan postur dan mekanika tubuh yang benar saat melakukan aktivitas
2) Pantau ketepatan pemasangan traksi
Tingkat 2
a. Kaji kebutuhan belajar pasien
b. Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan dari lembaga kesehatan di rumah dan alat kesehatan yang tahan lama
c. Ajarkan dan dukungpasien dalam latihan ROM aktif atau pasif untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
d. Instruksikan dan dukung pasien untuk menggunakan trapeze atau pemberat untuk meningkatkan serta memperthanakan kekuatan ekstremitas atas
e. Ajarkan teknik ambulasi dan berpindah yang aman
f. Instruksikan pasien untuk menyangga berat badannya
g. Instruksikan pasien untuk memperhatikan kesejajaran tubuh yang benar
h. Gunakan ahli terapi fisik dan okupasi sebagai suatu sumber untuk mengembangkan perencanaan dan mempertahankan atau meningkatkan mobilitas
i. Berikan penguatan positif selama aktivitas
j. Awasi seluruh upaya mobilitas dan bantu pasien, jika diperlukan
k. Gunakan sabuk penyokong saat memberikan bantuan ambulasi atau perpindahan.
Tingkat 3dan 4
a. Tentukan tingkat motivasi pasien untuk mempertahankan atau mengembalikan mobilitas sendi dan otot
b. Gunakan ahli terapi fisik dan okupasi sebagai sumber dalam perencanaan aktivitas perawatan pasien
c. Dukung pasien dan keluarga untuk memandang keterbatasan dengan realistis
d. Berikan penguatan positif selama aktivitas
e. Berikan analgesik sebelum memulai latihan fisik
f. Susun rencana yang spesifik, seperti:
1) Tipe alat bantu
2) Posisi pasien
3) Cara memindahkan dan mengubah posisi pasien
4) Jumlah personel yang dibutuhkan untuk memobilisasi pasien
5) Peralatan eliminasi yang diperlukan (misal, pispot, urinal, dan pispot fraktur)
6) Jadwal aktivitas
g. Pengaturan posisi (NIC):
1) Pantau pemasangan alat traksi yang benar
2) Letakkan matras atau tempat tidur terapeutik dengan benar
3) Atur posisi dengan kesejajaran tubuh yang benar
4) Letakkan pada posisi terapeutik
5) Ubah posisi pasien yang imobilisasi minimal setiap dua jam berdasarkan jadwal spesifik
6) Letakkan tombol pengubah posisi tempat tidur dan lampu pemanggil dalam jangkauan pasien
7) Dukung latihan ROM aktif atau pasif, jika diperlukan.
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Batasan Karakteristik
Subjektif
a. Kram abdomen
b. Nyeri abdomen
c. Menolak makan
d. Persepsi ketidakmampuan untuk mencerna makanan
e. Melaporkan perubahan sensasi rasa
f. Merasa cepat kenyang setelah mengomsumsi makanan
Objektif
a. Diare atau steatore
b. Bising usus hiperaktif
c. Kurangnya minat terhadap makanan
d. Membran mukosa pucat
e. Tonus otot buruk
f. Menolak untuk makan
g. Kelemahan otot untuk menelan atau mengunyah
Faktor yang Berhubungan
a. Kesulitan mengunyah atau menelan
b. Intoleransi makanan
c. Faktor ekonomi
d. Kebutuhan metabolik tinggi
e. Kurang pengetahuan dasar tentang nutrisi
f. Hilang nafsu makan
g. Mual dan muntah
h. Pengabaian oleh orang tua
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC
a. Selera makan: Keinginan untuk makan ketika dalam keadaan sakit atau sedang menjalani pengobatan
b. Memperlihatkan status gizi yang adekuat
c. Mengungkapkan tekad untuk mematuhi diet
d. Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
e. Melaporkan tingkat ekergi yang adekuat.
Tujuan dan Kriteria Hasil menurut Wilkinson (2007)
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan ebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil: asupan makanan dan cairan adekuat, zat gizi terpenuhi, asupan cairan oral atau IV dapat terpenuhi dengan baik, serta mencapai berat badan ideal
Intervensi NIC
a. Kaji faktor pencetus mual dan muntah
b. Catat warna, jumlah, dan frekuensi muntah
c. Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan
d. Manajemen nutrisi NIC:
1) Ketahui makanan kesukaan pasien
2) Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
3) Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
4) Timbang pasien pada interval yang tepat
e. Ajarkan orang tua dan anak tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal
f. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya
g. Berikan makanan dalam porsi sedikit tetapi sering dengan makanan yang bervariasi
h. Membantu pasien untuk makan
i. Kolaborasi pemberian obat antiemetik dan atau analgesik sebelum makan atau sesuai dengan jadwal yang dianjurkan.
6. Ansietas
Batasana Karakteristik
Perilaku
a. Penurunan produktivitas
b. Mengekspresikan kekhawatiran akibat perubahan dalam peristiwa hidup
c. Gerakan yang tidak relevan (misalnya mengeret kaki, gerakan lengan)
d. Gelisah
e. Memandang sekilas
f. Insomnia
g. Kontak mata buruk
h. Resah
i. Menyelidik dan tidak waspada
Afektif
a. Gelisah
b. Kesedihan yang mendalam
c. Distres
d. Ketakutan
e. Perasaan tidak adekuat
f. Fokus pada diri sendiri
g. Peningkatan kekhawatiran
h. Iritabilitas
i. Gugup
j. Gembira berlebihan
k. Nyeri dan peningkatan ketidakberdayaan yang persisten
l. Marah
m. Menyesal
n. Perasaan takut
o. Ketidakpastian
p. Khawatir
Fisiologis
a. Wajah tegang
b. Insomnia
c. Peningkatan keringat
d. Peningkatan ketegangan
e. Terguncang
f. Gemetar atau tremor di tangan
g. Suara bergetar
Parasimpatis
a. Nyeri abdomen
b. Penurunan tekanan darah
c. Penurunan nadi
d. Diare
e. Pingsan
f. Keletihan
g. Mual
h. Gangguan tidur
i. Kesemutan pada ekstremitas
j. Sering berkemih
k. Berkemih tidak lampias
l. Urgensi berkemih
Simpatis
a. Anoreksia
b. Eksitasi kardiovaskuler
c. Diare
d. Mulut kering
e. Wajah kemerahan
f. Jantung berdebar-debar
g. Peningkatan tekanan darah
h. Peningkatan nadi
i. Peningkatan refleks
j. Peningkatan pernapasan
k. Dilatasi pupil
l. Kesulitan bernapas
m. Vasokontriksi superfisial
n. Kedutan otot
o. Kelemahan
Kognitif
a. Kesadaran terhadap gejala-gejala fisiologis
b. Blocking pikiran
c. Konfusi
d. Penurunan lapang pandang
e. Kesulitan untuk berkonsentrasi
f. Keterbatasan kemampuan untuk menyelesaikan masalah
g. Keterbatasan kemampuan untuk belajar
h. Takut terhadap konsekuensi yang tidak spesifik
i. Fokus pada diri sendiri
j. Mudah lupa
k. Gangguan perhatian
l. Tenggelam dalam dunia sendiri
m. Melamun
n. Kecendruangan untuk menyalahkan orang lain
Faktor yang Berhubungan
a. Terpajan toksin
b. Hubungan keluarga/hereditas
c. Transmisi dan penularan interpersonal
d. Krisis situasi dan maturasi
e. Stres
f. Penyalahgunaan zat
g. Ancaman kematian
h. Ancaman atau perubahan pada status peran, fungsi peran, lingkungan, status kesehatan, status ekonomi, atau pola interaksi
i. Ancaman terhadap konsep diri
j. Konflik yang tidak disadari tentang nilai dan tujuan hidup yang esensial
k. Kebutuhan yang tidak terpenuhi
Tujuan dan Kriteria Hasil NOC
a. Ansietas berkurang
b. Kemampuan untuk fokus pada stimulus tertentu
c. Memiliki TTV dalam batas normal
d. Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan meskipun mengalami kecemasan
Intervensi NIC
a. Kaji tingkat ansietas pasien
Skala Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) dalam penilaian kecemasan (ansetas) terdiri dari 14 item, meliputi:
1) Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung.
2) Merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.
3) Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri dan takut pada binatang besar.
4) Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak pulas dan mimpi buruk.
5) Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit konsentrasi.
6) Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hoby, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.
7) Gejala somatik : nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak stabil dan kedutan otot.
8) Gejala sensorik : perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah dan pucat serta merasa lemah.
9) Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan detak jantung hilang sekejap.
10) Gejala pernapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik napas panjang dan merasa napas pendek.
11) Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan panas di perut.
12) Gejala urogenital : sering keneing, tidak dapat menahan keneing, aminorea, ereksi lemah atau impotensi.
13) Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma berdiri, pusing atau sakit kepala.
14) Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek dan cepat.
Cara Penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori:
0 = tidak ada gejala sama sekali
1 = Ringan / Satu dari gejala yang ada
2 = Sedang / separuh dari gejala yang ada
3 = berat / lebih dari ½ gejala yang ada
4 = sangat berat / semua gejala ada
Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item 1-14 dengan hasil:
1) Skor < 14 = tidak ada kecemasan.
2) Skor 14 – 20 = kecemasan ringan.
3) Skor 21 – 27 = kecemasan sedang.
4) Skor 28 – 41 = kecemasan berat.
5) Skor 42 – 56 = panik.
b. Gali bersama pasien tentang teknik yang berhasil dan tidak berhasil menurunkan ansietas di masa lalu
c. Berikan informasi tentnag gejala ansietas
d. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan aperasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas
e. Yakinakan kembali pasien melalui sentuhan, dan sikap empatik secara verbal dan nonverbal secara bergantian
f. Dorong pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi serta izinkan pasien untuk menangis
g. Bermain dengan anak atau bawa anak ke tempat bermain anak di rumah sakit dan libatkan anak dalam permainan
h. Kolaborasi pemberian obat untuk menurunkan ansietas.

Menurut marilyb E. Doaenges Diagnosa keperawatan post operasi apendiktomi adalah :
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri luka operasi b.d. terputusnya kontinuitas jaringan.
2. Resiko infeksi b.d. prosedur invasif
3. Keterbatasan aktifitas b.d. nyeri pasca operasi, penurunan kekuatan dan ketahanan sekunder akibat efek susunan saraf pusat dari anestesi.
4. Kurang pengetahuan b.d. kurangnya informasi perawatan post operasi
5. Resiko terhadap kekurangan cairan b.d. masukan cairan tidak adekuat akibat mual, status puasa, depresi susunan saraf pusat atau kurangnya akses cairan.
INTERVENSI :
1. Gangguan rasa nyaman : nyeri luka operasi b.d. terputusnya kontinuitas jaringan.
Tujuan : persepsi subyektif pasien tentang ketidaknyamanan menurun, klien tidak menunjukkan indikator-indikator nyeri non verbal, respon verbal seperti menangis atau meringis tidak ada.
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Kaji dan dokumentasikan kualitas, lokasi, dan durasi nyeri

2. Ajarkan tehnik untuk pernafasan diafragma lambat
3. Bantu posisi klien untuk kenyamanan yang optimal: posisi semi fowler, beberapa pasien menemukan kenyamanan pada posisi miring dengan lutut ditekuk, sedangkan yang lain merasa hilang dengan posisi terlentang dengan bantal di bawah lutut.
4. Ajarkan klien untuk memberi tahanan ringan dengan tangan atau bantal pada luka operasi saat batuk
5. Berikan therapi obat analgesik sesuai kebutuhan klien
1. Berguna dalam pengawasan keefek-tifan obat, kemajuan penyembuhan, perubahan pada karakteristik nyeri menunjukkan terjadinya abses/ peritonitis, memerlukan evaluasi medik dan intervensi
2. Menurunkan stress dan membantu relaks otot yang tegang
3. Gravitasi melokalisasi eksudasi inflamasi dalam abdomen bawah atau pelvis. Menghilangkan ketegangan otot abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang

4. Tahanan ringan mengurangi ketegangan otot abdomen saat serangan batuk
5. Analgesik menghilangkan nyeri, mempermudah kerjasama dengan intervensi terapi lain seperti: ambulasi, batuk

2. Resiko infeksi b.d. prosedur invasif
Tujuan : klien bebas dari infeksi dengan kriteria normotemia, berorientasi terhadap waktu dan tempat, tidak ada eritema, insisi yang hangat atau drainase dari sisi insisi
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Observasi tanda-tanda Vital

2. Evaluasi luka operasi terhadap bukti infeksi: eritema, hangat, bengkak, drainage purulent, penyembuhan lambat
3. Perhatikan warna, karakter dan bau drainage, laporkan bila drainage ball busuk atau abnormal
4. Ganti balutan sesuai program dengan menggunakan tehnik steril, cegah kontaminasi silang dari luka pada klien
5. Cegah transmisi agen infeksi dengan mencuci tangan dengan baik sebelum dan sesudah merawat klien
6. Beli makanan yang berkualitas: asupan karbohidrat, protein, dukung klien untuk makan secara bertahap
7. Berikan therapi antibiotik sesuai indikasi 1. Dugaan adanya infeksi / terjadinya sepsis, abses, dan peritonitis dapat meningkatakan metabolisme dan tanda-tanda vital
2. Sebagai deteksi dini terhadap adanya infeksi

3. Cairan drainage yang busuk atau abnormal mengindikasikan adanya proses infeksi
4. Mencegah resiko penyebaran infeksi

5. Mencuci tangan dengan baik menurunkan resiko penyebaran infeksi

6. Karbohidrat dan protein penting dalam proses penyembuhan luka

7. Menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang sudah ada sebelumnya) untuk, menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga abdomen

3. Keterbatasan aktifitas b.d. nyeri pasca operasi, penurunan kekuatan dan ketahanan sekunder akibat efek susunan saraf pusat dari anestesi.
Tujuan : Klien dapat mobilisasi secara optimal dengan kriteria kemampuan untuk bergerak di tempat tidur, berpindah dan ambulasi secara mandiri atau dengan bantuan minimal.
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Kaji mobilitas fisik pra operasi dengan mengevaluasi koordi-nasi dan kekuatan otot, kontrol dan masa
2. Bantu klien untuk ambulasi segera mungkin setelah pembedahan sesuai indikasi
3. Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan ADL
4. Dekatkan alat-alat yang dibutuhkan oleh klien
5. Jelaskan pentingnya gerakan ditempat tidur dan ambulasi pada penurunan komplikasi pada pasca operasi 1. Nyeri pasca operasi dan efek anestesi menurunkan ketahanan otot

2. Ambulasi dini penting dalam peningkatkan normalisasi fungsi organ
3. Mengurangi resiko mobilisasi yang tidak diperlukan
4. Meminimalkan aktifitas klien

5. Penjelasan dapat membantu agar klien kooperatif dengan intervensi perawat

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).
Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain :
1. Apendisitis akut
2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)
3. Apendisitis perforata
4. Apendisitis rekuren
5. Apendisitis kronis
Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan faktor pencetus terjadinya penyakit ini.
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.

B. Saran
Jagalah kesehatan dengan minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C dan Hackley, JiAnn C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
_____________2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.
Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn E.dkk.2000 .Rencana Asuhan Keperawatan & Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III.Alih Bahasa: I Made Kriasa.EGC.Jakarta.