Pengertian dan Deskripsi Nekton

Pengertian dan Deskripsi Nekton  | Komponen-komponen di ekosistem perairan berdasarkan cara hidupnya adalah bentos, perifiton, plankton, dan nekton. Salah satu komponen yang memiliki variasi organisme yang sedikit dalam suatu perairan adalah nekton dan memiliki peranan cukup penting dalam rantai makanan suatu perairan (Umar, 2012).

Nekton adalah organisme laut yang dapat bergerak atau berenang sendiri dalam air sehingga tidak bergantung pada arus laut yang kuat atau gerakan air yang disebabkan oleh angin. sebagai contohnya adalah ikan, cumi-cumi, udang, kepiting, mamalia dan reptil laut (Alfiah, 2011).

Banyaknya nekton yang tertangkap pada hutan mangrove sebagian besar berada pada tingkatan juvenile dan remaja. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi biologi kawasan mangrove sebagai kawasan pemijah (spawning ground) atau asuhan (nursery ground) bagi udang, ikan, kepiting, kerang dan sebagainya yang kemudian setelah dewasa akan kembali ke lepas pantai (Saparinto, 2007).

Irwanto (2006), juga menjelaskan bahwa berbagai hewan seperti, reptil, ampibi, mamalia, datang dan hidup walaupun tidak seluruh waktu hidupnya dihabiskan di habitat mangrove. Berbagai jenis ikan, ular, serangga dan lain-lain seperti burung dan jenis hewan mamalia lainnya dapat bermukim di sini. Sebagai sifat alam yang beraneka ragam maka berbeda tempat atau lokasi habitat mangrovenya akan berbeda pula jenis dan keragaman flora maupun fauna yang hidup di lokasi tersebut.

Salah satu ikan yang sering di jumpai dan bertahan lama hidup pada hutan mangrove adalah ikan Gelodok (Periopthalmus argentilineatus) dan ikan Teri (Stolephorus indicus) (Latupapua, 2011). Pamungkas (2009), juga menjelaskan bahwa banyak sekali jenis ikan pelagik maupun demersal yang hidup di laut. Tetapi pada awal daur hidupnya, hidup di daerah mangrove atau estuari. Ikan yang bernilai ekonomis tinggi seperti Kakap (Lates calcasifer), Sembilang (Plotusus canius), Belanak (Mugil Sp) dan Bandeng (Chanos chanos) menghabiskan awal siklus hidup meliputi stadia telur, larva dan benih pada habitat mangrove.

Kepiting juga membantu dalam penyebaran seedling dengan cara menarik propagul ke dalam lubang tempat persembunyiannya ataupun pada tempat yang berair. Aktivitas kepiting ini sangat baik dalam distribusi dan konstribusi pertumbuhan dari seedling mangrove. Disamping itu juga berperan sebagai pemangsa detritus, dimana ia mampu merobek atau memperkecil serasah (Pramudji, 2001).

Parameter Fisika-Kimia Kehidupan Nekton

Muara sungai merupakan wilayah yang banyak mengandung zat hara yang dialirkan oleh sungai ke laut juga dipengaruhi oleh berbagai proses fisika dan kimia

perairan lainnya seperti: pasang surut, arus, suhu dan salinitas. Pengaruh fisika dan kimia tersebut akan mengakibatkan daerah muara memiliki dinamika fluktuasi kualitas perairan dan produktivitas yang tinggi (Odum, 1971).

Menurut Barus (2004), arus mempunyai peranan yang sangat penting terutama pada perairan mengalir. Hal tersebut berhubungan dengan penyebaran organisme air dan mineral yang terdapat di dalam air sehingga arus merupakan faktor pembatas bagi jenis nekton untuk memperoleh makanan karena plankton-plankton yang merupakan makanan bagi nekton tidak dapat bertahan dan cendrung untuk terbawa arus. Kecepatan aliran air mengalir akan bervariasi secara vertikal, semakin ke bagian dasar sungai arus semakin melambat.

Kedalaman merupakan salah satu parameter fisika, dimana semakin dalam perairan maka intensitas cahaya yang masuk semakin berkurang. Kedalaman merupakan wadah penyebaran suatu organisme akuatik seperti nekton dan sebagainya (Lumbanbatu, 1983).

Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikel partikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air menjadi rendah, sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan dan mempengaruhi nekton pada waktu memijah (Nybakken, 1992).

Menurut Simaremare (2007), suhu berperan sebagai pengatur proses metabolisme dan fungsi fisiologis organisme, suhu juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang baik bagi pertumbuhannya. Perubahan temperatur akan mengubah pola sirkulasi stratifikasi dan gas terlarut sehingga akan mempengaruhi kehidupan dalam air.

Salinitas merupakan salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi proses biologi dan secara langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme antaara lain akan mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan, dan daya kelangsungan hidup (Adrianto, 2006).

Dissolved Oxyde (DO) atau oksigen terlarut yaitu jumlah mg/L gas oksigen yang terlarut dalam air dan merupakan faktor penting sebagai pengatur metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Pengaruh oksigen terlarut terhadap fisiologis air terutama adalah dalam proses respirasi. Keadaan perairan dengan kadar oksigen yang sangat rendah berbahaya bagi organisme akuatik karena semakin rendah kadar oksigen terlarut, semakin tinggi toksisitas (daya racun). Adapun kadar oksigen terlarut di perairan alami biasanya < 10 mg/L (Effendi, 2003).

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter yang menentukan produktivitas perairan dan sebagai kualitas air yang mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan kimia di dalam air (Rifai et.al., 1993 ). Pescod (1973), menjelaskan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7-8,5.

Kepadatan dan Kenekaragaman Nekton di Hutan Mangrove

Salah satu indikator dari optimal dan lestarinya kondisi hutan mangrove adalah stabilnya struktur dan komposisi serta tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang dimiliki oleh hutan mangrove tersebut. Keanekaragaman jenis merupakan parameter yang digunakan dalam mengetahui suatu komunitas, parameter ini mencirikan kekayaan jenis dan keseimbangan dalam suatu komunitas. Ekosistem dengan keanekaragaman rendah adalah tidak stabil dan rentan terhadap pengaruh tekanan dari luar dibandingkan dengan ekosistem yang memiliki keanekaragaman yang tinggi (Boyd, 1999).

Menurut Gonawi (2009), dalam ekologi biasanya digunakan indeks keanekaragaman sebagai ukuran kondisi suatu ekosistem yang mungkin dipengaruhi oleh berbagai gangguan lingkungan. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa populasi dari spesies-spesies terbentuk secara bersama-sama, berinteraksi satu dengan lainnya, juga terhadap lingkungan dalam berbagai cara dimana hal tersebut menentukan jumlah spesies yang ada serta kelimpahan relatifnya.

Keanekaragaman hayati adalah suatu ukuran untuk mengetahui keanekaragaman kehidupan yang berhubungan erat dengan jumlah suatu komunitas (Kottelatat et al., 1993). Keanekaragaman jenis (H’), keseragaman (E), kepadatan (K) dan dominasi (C) merupakan indeks yang sering digunakan untuk mengevaluasi keadaan suatu lingkungan perairan berdasarkan kondisi biologi dan digunakan untuk mengukur stabilitas suatu komunitas.

Menurut Nurcahyadi (2000), keanekaragaman spesies terdiri atas dua komponen yaitu jumlah spesies yang ada (umumnya mengarah ke kekayaan spesies) dan kelimpahan relatif spesies mengarah ke keseragaman. Keanekaragaman pada umumnya diukur dengan memakai pola distribusi beberapa ukuran kelimpahan (individu atau produktivitas) di antara spesies.

Suatu lingkungan yang stabil dicirikan oleh kondisi yang seimbang dan mengandung kehidupan yang beranekaragam tanpa ada suatu spesies yang dominan (Odum, 1971). Menurut Krebs (1972), ekosistem yang baik mempunyai ciri-ciri keanekaragaman jenis yang tinggi dan penyebaran jenis individu yang hampir merata di setiap perairan. Perairan yang tercemar pada umumnya kekayaan jenis relatif rendah dan di dominasi oleh jenis tertentu.

Dominasi jenis sering terjadi karena beberapa hal antara lain adalah kompetisi pakan alami oleh jenis tertentu yang disertai perubahan kualitas lingkungan, tidak seimbangnya antara predator dan mangsa sehingga terjadi kompetisi antar jenis. Sejumlah besar nekton yang di perairan sungai, membentuk komunitas yang berbeda-beda dan tiap jenis nekton memiliki spesialisasi dan mampu memanfaatkan pakan dengan seefisien mungkin, karena persaingan antara jenis dalam memperoleh pakan alami (Gonawi, 2009).

Secara umum nilai kualitas vegetasi menunjukkan bahwa vegetasi di mangrove tergantung yang memiliki nilai lebih baik, dilihat dari keanekaragaman, kekayaan jenis serta kemerataan. Hal ini berkolerasi positif dengan struktur komunitas ikan dengan jumlah serta keanekaragaman yang tinggi, sedangkan faktor  yang  mempengaruhi keanekaragaman rendah yaitu kelimpahan yang rendah pula. Adapun perbandingan jumlah dengan kelimpahan relatif, menunjukkan bahwa keberadaan mangrove memiliki kontribusi positif terhadap keberadaan struktur komunitas ikan, karena kondisi mangrove sangat penting dalam penyangga kehidupannya maka biota air sangat bergantung dari kondisi mangrove (Sewiko, 2011).

Soviana (2004), juga menyatakan perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah yang dipengaruhi oleh kerapatan mangrove itu sendiri. Kholifah et al (2014), mengatakan bahwa faktor yang menyebabkan hubungan antara kerapatan mangrove terhadap kepadatan kepiting bakau adalah keseimbangan antara kemampuan perkembangbiakan kepiting bakau terhadap perkembangbiakan hutan mangrove tersebut. Keeratan hubungan antara kerapatan mangrove dengan kepadatan kepiting bakau dapat dilihat dari besarnya koefisien korelasi (r) dan koefisien determinasi (R2).

DAFTAR PUSTAKA

Adrianto, L. 2006. Sinopsis Pengenalan Konsep dan Metodologi Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB.

Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN, Bangkok. Thailand.

Alfiah, T. 2011. Pencemaran Lingkungan. Laporan, Teknik Lingkungan. ITATS.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. USU Press, Medan: IV + 164 hlm.

Basmi, H. J. 2000. Plankton Sebagai Indikator Kualitas Perairan Bogor. Skripsi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Bengen, D. G. 2001. Sinopsis : Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB, Bogor.

Bornes, R. S. K. 1974. Estuarine Biology. Edward Arnold Ltd. London. Hal 34.

Boyd, C.E. 1999. Codes of practice for responsible shrimp farming. Global Aquaculture Alliance, St. Louis, MO USA. 36 pp.

Brower, J. E. dan J. H. Zar. 1977. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Brown Co Publisher, Iowa, USA.

Dinas Kelautan dan Perikanan. 2012. Potensi Ekosistim Laut, Pesisir dan Pulau Kecil Kabupaten Pidie. Aceh: Sekretariat Aceh Green.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengolahan Sumberdaya Hayati Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanysius.

English, S,. Wilkinson, C,. Baker, V. 1998. Survey manual for tropical marine resource. Townsville, Autralian Institute of Marine Science.

Gonawi, G. R. 2009. Habitat dan Struktur Komunitas Nekton di Sungai Cihideung-Bogor, Jawa Barat. Skripsi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Daya Hewan Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian 23 (1): 15-21.

Gwilliam, E. 2005. Nekton Monitoring 1984 to 2005 and Response to Restoration. [online] Tersedia: www.wellfleetma.org. [2 januari 2010].

Heriyanto, N. M., E. Subiandono. 2012. Komposisi Dan Struktur Tegakan, Biomassa dan Potensi Kandungan Karbon Hutan Mangrove Di Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 9, No. 1: 023-032.

Indra. 2011. Hutan Mangrove NAD dan Opsi Pengelolaan Kedepan. Banda Aceh: Makalah, Ekonomi Sumber Daya.

Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove. www.irwantoshut.com. Diakses 5 Februari 2009.

Kawaroe, M., G. B. Dietriech, E. Muhammad, dan B. Mennofetria. 2001. Kontribusi Ekosistem Mangrove Terhadap Struktur Komunitas Ikan di Pantai Utara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Pesisir dan Lautan Indonesian. ISSN: 1410-7821, Vol. 3, No. 3. Jurusan Perikanan, Universitas Haluoleo, Kendari dan Institut Pertanian Bogor.

Kholifah, S., T. S. Raza’i dan A. Zulfikar. 2014. Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kepadatan Kepiting Bakau (Scylla sp) Di Kampung Gisi, Desa Tumbeling, Kabupaten Bintan. Skripsi, Manajemen Sumberdaya Perairan. FIKP Umrah.

Kottelatat, M., A. J Whitten., S.N. Kartikasari., dan S. Wirjoatmodjo. 1993. Fres Water Fishes of Westren Indonesia and Sulawesi-Ikan Air Tawar indonesia bagian Barat dan Sulawesi. (Edisi Dwi Bahasa). Periplus Edition LTD., Hongkong. 377 p.

Krebs C. J. 1972. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper and Rows Publisher. 694 p.

Krebs, C. 1985. The Experimental Analysis Of Distribution And Abudance. Second Editions. Harper And Row Publisher. New York.

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor: PT. Penerbit Institut Pertanian Bogor.

Latupapua, M. J. J. 2011. Keanekaragaman Jenis Nekton di Hutan Mangrove Kawasan Segoro Anak Taman Nasional Alas Purwo. ISSN: 1907-7556, Vol. VI, No. 2.

Lovelock, C. 1999. Field Guide To the Mangrove Of Queenslan (Second ed.). Queensland: Australian Institute Of Marine Science.

Lumbanbatu, D. T. F. 1983. Ekologi Umum. Jurusan MSP, FPIK. IPB.

Nurcahyadi, W. 2000. Keanekaragaman Sumberdaya Hayati Ikan di DAS Cikiniki

dan Cisukawayana, Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat. Skripsi. Progaram Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. FPIK. IPB. Bogor.

Nybakken, J. W. 1992. Marine Biologi: An Ecological Approach. 3rd Edition. Harper CollinsCollege Publishers.

Odum, E. P. 1971. Fundamental of Ecology. Oxford of University.W.B Saunders Publishing Company Ltd, Japan.

Pamungkas, S. 2009. Struktur Komunitas Larva dan Benih Ikan Pada Ekosistem Mangrove Dengan Umur Vegetasi Yang Berbeda Di Teluk Awur Jepara. Semarang: Skripsi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. UNDIP.

Pandiangan, S. L. 2009. Studi Keanekaragaman Ikan Karang di Kawasan Perairan Bagian Barat Pulau Rubiah Nanggroe Aceh Darussalam. Skripsi, Departemen Biologi, FMIPA. USU-Medan.

Pasengo, Y. L. 1995. Studi Dampak Limbah Pabrik Plywood Terhadap Kelimpahan dan Keanekaragaman Fitoplankton di Perairan Dangkang Desa Barowa Kecamatan Bua Kab. Luwu. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Pescod, N. B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream for Tropical Countries, Asian Institute of Technology. Bangkok. Sgh.

Pramudji. 2001. Ekosistem Hutan Mangrove dan Peranannya Sebagai Habitat Berbagai Fauna Akuatik. Balai Litbang Biologi Laut. Puslit Oseanografi-LIPI, Jakarta: Oseana, Vol. XXVI, No. 4.

Pramudji. 2008. Mangrove di Indonesia dan Upaya Pengelolaannya. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Ekologi Laut. P2O-LIPI. 31 hal.

Rifai, S. A. N., N. Sukaya, Z. Nasution. 1993. Biologi Perikanan. Edisi 1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Santoso, H. 2000. Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove. Makalah Disampaikan Pada Lokal Karya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.

Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Hutan Mangrove. Effhar dan Dahara Prize, Semarang.

Sewiko, R. 2011. Keberadaan Ekosistem Mangrove Terhadap Struktur Komunitas Ikan Di Pesisir Kabupaten Subang, Jawa Barat. Skripsi, Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjajaran.

Simaremare, F. 2007. Studi Kelimpahan dan Struktur Komunitas Fitoplankton di Perairan Danau Toba Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara. Skripsi, Sarjana Biologi FMIPA, UNIMED. Medan.

Snedaker, S.C. 1978. Mangrove: Their values and Perpetuation. Nature and Resources.

Soviana, W. 2004. Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla sp) Di Teluk Buo, Kecamatan Bungus Teluk Kabung Padang, Sumatera Barat. Skripsi, Universitas Sumutra Utara.

Umar, M. R.  2012. Penuntun Praktikum Ekologi Umum. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Wahyudewantoro, G., Haryono. 2011. Ikan Kawasan Mangrove pada Beberapa Sungai di Sekitar Taman Nasional Ujung Kulon, Pangelang; Tinjauan Musim Hujan. Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik. ISSN 1411-0903, Vol. 13, No. 2.

Welly, M., W. Sanjaya, I. N. Sumerta, D. N. Anom. 2010. Identifikasi Flora dan Fauna Mangrove Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan. Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I. ITC dan BPHMWI.