Pembelajaran Kontekstual

Latar belakang lahirnya pembelajaran kontekstual

Penerapan pembelajaran kontekstual di Amerika Serikat bermula dari pandangan para ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916 mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang behubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran berakar dari paham progresivisme John Dewey. Intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila apa yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang mereka ketahui, serta proses belajar akan lebih produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar disekolah.

Pokok-pokok pandangan progresivisme antara lain:

  1. Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru.
  2.  Anak harus bebas agar bisa berkembang wajar
  3. Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar
  4. Guru sebagai pembimbing dan peneliti
  5. Harus ada kerja sama antara sekolah dan masyarakat
  6. Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen.

Selain teori progresivisme diatas, teori kognitif juga melatarbelakangi filosofi pembelajaran konstekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala kegiatan dikelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. Siswa menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual unttuk membengkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi.

Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi konstruktivisme berkembang. Dasarnya pengetahuan dan ketrampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Siswa harus mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya.

Melalui landasan filosofi konstruktivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui mengalami bukan menghafal.[1]

Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang akan dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target pengguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Dan itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita.[2]

Pendekatan kontekstual (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat dan nantinya sebagai tenaga kerja. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil.

Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.

Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari “apa kata guru”. Begitulah peran guru dikelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.[3]

Tujuan dari pembelajaran konstektual

Pembelajaran kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran lain, kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus merubah kurikulum dan tatanan yang ada.[4]

Pembelajaran kontekstual mengasumsikan bahwa secara alamiah pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang, dan itu dapat terjadi melalui pencarian hubungan yang masuk akal dan bermanfaat. Perpaduan materi pelajaran dengan konteks keseharian siswa di dalam pembelajaran kontekstual akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam dimana siswa kaya akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikannya. Siswa mampu secara independen menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang belum pernah dihadapi, serta memiliki tanggung jawab yang lebih terhadap belajarnya seiring dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuan mereka.

Pendekatan pembelajaran kontekstual dalam proses belajar mengajar diharapkan berlangsung alamiah dalam membentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.

Ketika pembelajaran kontekstual diterapkan, maka akan menciptakan ruang kelas yang di dalamnya siswa menjadi peserta aktif bukan hanya pengamat pasif, yang bertanggung jawab terhadap belajarnya. Pembelajaran kontekstual akan sangat membantu guru untuk menghubungkan materi mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa untuk membentuk hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dengan kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, masyarakat dan Negara.

Karakteristik pembelajaran kontekstual

Menurut Johnson (2002:24) dalam Nur Hadi menyebutkan ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran kontekstual, yaitu:

A. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connection)

Dalam pembelajaran ini seharusnya siswa dapat mengatur dirinya sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).

B. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significan work)

Dalam pembelajaran ini siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.

C. Belajar dengan berdasarkan pada peraturan yang dibuat sendiri (self regulated learning)

Dalam pembelajaran ini siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya/ hasilnya yang bersifat nyata.

D. Bekerja sama (collaborating)

Dalam pembelajaran ini siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara aktif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.

E. Berfikir aktif dan kreatif (criticalandcreativethinking)

Dalam pembelajaran ini siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif dapat menganalisa, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan dan menggunakan logika dan bukti-bukti.

F. Mengasuh dan memelihara pribadi siswa (nurturingtheindividual)

Siswa memelihara kepribadiannya yaitu mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri, siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa, siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.

G. Mencapai standar yang tinggi (reahinghighstandards)

Dalam pembelajaran ini siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi, mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “exellence”.

H. Menggunakan penilaian autentik (usingauthenticassesment)

Dalam pembelajaran ini siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata dalam rangka untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya siswa boleh menyampaikan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa inggris dengan mendesain sebuah mobil. Merencanakan menu sekolah atau membuat penyajian perihal emosi manusia.[5]

Selain itu dapat diidentifikasi ada enam kunci dasar dalam pembelajaran kontekstual, yaitu:

  1. Pembelajaran bermakna, pemahaman, relevansi dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa di dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran dirasakan terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, jika mereka merasakan berkepentingan untuk belajar demi kehidupannya di masa yang akan datang. Prinsip pembelajaran ini sejalan dengan pembelajaran bermakna (meaningful learning).
  2. Penerapan pengetahuan, adalah kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tatanan kehidupan dan fungsi di masa datang atau masa yang akan datang.
  3. Berfikir tingkat tinggi, siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berfikir kritis dan berfikir kreatifnya dalam pengumpulan data, memahami suatu isu dan pemecahan suatu masalah.
  4. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar, isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, provinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dunia kerja.
  5. Respon terhadap budaya, guru harus memahami dan menghargai nilai kepercayaan dan kebiasaan siswa, teman, pendidik, dan masyarakat tempat ia dididik. Ragam individu dan budaya suatu kelompok serta hubungan antara budaya tersebut akan mempengaruhi pembelajaran dan sekaligus akan berpengaruh terhadap cara mengajar baru. Setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan didalam pembelajaran kontekstual, yaitu individu siswa, kelompok siswa baik sebagai tim atau keseluruhan kelas, tatanan sekolah dan besarnya tatanan komunikasi kelas.
  6. Penilaian autentik, penggunaan berbagai strategi penilaian (misalnya penilaian proyek/tugas terstruktur, kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubrik, daftar cek, pedoman observasi dan sebagainya) akan merefleksikan hasil belajar sesungguhnya.[6]

Pembelajaran kontekstual/CTL menempatkan siswa dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peran guru. Sehubungan dengan hal tersebut maka pendekatan kontekstual/CTL harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut:

A. Belajar berbasis masalah

Bahwasannya pendekatan pengajaran harus menggunakan masalah dunia nyata sebagai sutau konteks bagi siswa untuk belajar tentang berfikir kritis dan ketrampilan memecahkan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Dalam hal ini siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah yang mengintegrasikan ketrampilan dan konsep dari berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesiskan, dan mempresentasikan penemuannya kepada orang lain.

B. Pengajaran autentik

Bahwa dalam pembelajaran kontekstual/CTL pendekatan pengajaran harus memperkenankan siswa untuk mepelajari konteks bermakna. Siswa harus mengembangkan ketrampilan berfikir dan pemecahan masalah yang penting dalam konteks kehidupan nyata.

C. Belajar berbasis inquiri

Bahwa pengajaran berbasis inquiri adalah suatu strategi yang berpusat pada siswa dimana kelompok siswa ke dalam suatu isu atau mencari jawaban-jawaban terhadap isi pertanyaan melalui suatu prosedur yang digariskan secara jelas. Pengajaran inquiri ini dibentuk atas dasar diskoveri, sebab seorang siswa harus menggunakan kemampuannya berdiskoveri dengan kemampuan lainnya. Dalam inquiri, seseorang bertindak sebagai seorang ilmuan, melakukan eksperimen, dan mampu melakukan proses mental berinquiri.[7]

D. Belajar berbasis proyek

Yaitu suatu pembelajaran yang membutuhkan suatu pendekatan komprehensip dimana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran dan melakukan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenalkan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam membentuk pembelajarannya dalam bentuk nyata.

F. Belajar berbasis kerja

Yaitu suatu pembelajaran yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali ditempat kerja. Jadi dalam hal ini, tempat kerja dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa.

G. Belajar berbasis jasa layanan

Pembelajaran ini memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan antara pengalaman dan pembelajaran akademik. Dengan kata lain, pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagai ketrampilan untuk memenuhi kebutuhan di dalam masyarakat melalui tugas terstruktur dan kegiatan lainnya.

H. Belajar kooperatif

Pembelajaran ini memerlukan suatu pendekatan pengajaran melalui suatu kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar.

Konsep pembelajaran kontekstual

Falsafah yang melandasi sistem pembelajaran kontekstual adalah konstruktivisme. Yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya menghafal tetapi siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Dan bahwa pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan ketrampilan yang dapat diterapkan.

Dari teori tersebut diatas, dijelaskan bahwa aktifitas belajar siswa yang lebih komunikatif dan produktif adalah siswa mengkonstruksikan pengalamannya sendiri. Hasil dari pada pembelajaran kontekstual ini diharapkan akhirnya lebih memiliki makna bagi anak didik untuk dapat memecahkan persoalan dan dapat berfikir kritis, dan melakukan observasi serta menarik kesimpulan dalam kehidupan jangka panjangnya. Dalam konteks seperti itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dan bagaimana mencapainya. Dengan mereka menyadari apa yang dipelajarinya akan berguna bagi hidupnya nanti.

Model pembelajaran kontekstual masih belum diterapkan dalam dunia pendidikan, karena model pembelajaran ini tergolong masih baru. Dan model pembelajaran ini masih diujicobakan pada sekolah-sekolah yang sudah memenuhi syarat untuk menerapkannya.

Dalam pembelajaran ini siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa, siswa harus mampu mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Karena esensi dari pada teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.

Dengan dasar itu, maka pembelajaran kontekstual harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan “menerima” pengetahuan. Dalam proses pembelajaran ini siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Bagi siswa untuk benar-benar mengerti dan menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi dirinya sendiri dan selalu bergulat dengan ide-ide. Dalam pembelajaran ini tugas guru tidak hanya menuangkan sejumlah informasi ke dalam benak siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa.

Landasan berfikir dalam pembelajaran ini berbeda dengan landasan pembelajaran yang lain dalam hal tujuan pembelajaran. Kaum obyektivis lebih menekankan pada hasil pembelajaran yang berupa pengetahuan. Sedangkan dalam pembelajaran kontekstual strategi lebih diutamakan di banding seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.  Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan cara: a. menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; b. memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri; c. menyadarkan siswa agar menerapkan strategi dalam belajar.[8] Untuk mendapatkan gambaran secara jelas tentang perbedaan kontekstual yang berpijak pada pandangan konstruktivisme adalah sebagai berikut:[9]

Perbedaan pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran tradisional

No Pembelajaran kontekstual Pembelajaran Tradisional
1 Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran Siswa adalah penerima informasi secara pasif
2 Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok diskusi, saling mengkoreksi Siswa belajar secara individual
3 Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau disimulasikan Pembelajaran sangat abstrak
4 Perilaku dibangun atas kesadaran sendiri Perilaku dibangun atas kebiasaan
5 Ketrampilan di kembangkan atas dasar pemahaman Ketrampilan dikembangkan atas dasar latihan
6 Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri Hadiah untuk perilaku baik adalah pujian atau angka
7 Seseorang tidak melakukan perbuatan jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan Seseorang tidak melakukan perbuatan jelek karena takut dihukum
8 Belajar diajarkan dengan pendekatan komunikatif, yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata Belajar diajarkan dengan pendekatan struktural, rumus diterangkan sampai faham, kemudian dilatihkan
9 Pemahaman rumus dikembangkan atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa Rumus itu ada diluar diri siswa, yang harus diterangkan, diterima, dihafal dan dilatihkan
10 Pemahaman rumus itu relatif berbeda antara siswa yang satu dengan siswa yang lain, sesuai dengan skemata siswa Rumus adalah kebenaran absolut, hanya ada dua kemungkinan, yaitu pemahaman rumus yang salah/ pemahaman rumus yang benar
11 Siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran Siswa secara pasif menerima rumus/kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, menghafal), tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran
12 Pengetahuan yang dimiliki manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri. Pengetahuan dengan cara memberi arti dan memahami pengalamannya Pengetahuan adalah penangkapan terhadap serangkaian fakta, konsep atau hukum yang berada diluar diri manusia
13 Karena itu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri, sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu dikembangkan (tentative&inclompite) Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan bersifat final
14 Siswa diminta bertanggung jawab memonitor dan mengembangkan pembelajaran masing-masing Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran
15 Penghargaan terhadap pengalaman siswa sangat diutamakan Pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa
16 Hasil belajar diukur dengan berbagai cara, proses belajar, hasil karya, penampilan, rekaman tes dan lain-lain Hasil belajar diukur hanya dengan tes
17 Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan setting Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas
18 Penyesalan adalah hukuman bagi perilaku jelek Sangsi adalah hukuman dari pelaku jelek
19 Perilaku baik berdasarkan motivasi instrinsik perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik
20 Seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yng terbaik dan bermanfaat Seseorang berperilaku baik karena terbiasa melakukan begitu. Kebiasaan itu dibangun dengan hadiah yang menyenangkan

[1] Nur Hadi, Pembelajaran Konstektual (Malang: UM Press, 2004), hal. 9

[2] http: //www.bpgupg.go.id/bulletin/akademik.php

[3] Departemen Pendidikan Nasional, Pendekatan Kontekstual(Jakarta: direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2002), hlm. 2

[4] Ibid., hlm. 2

[5] Nur Hadi, Pembelajaran Konstektual (Malang: UM Press, 2004), hlm. 13-14

[6] Ibid., hal. 14-15

[7] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 219

[8] Ibid., hlm. 34

[9] Ibid., hlm. 35