PARASIT DAN PENGARUHNYA TERHADAP DARAH

dr. Wita Pribadi
Bagian Parasitologi dan Ilmu Penyakit Umum
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta
PENDAHULUAN

Di negara-negara yang beriklim panas yang sedang giat membangun, masih banyak penduduk yang dihinggapi parasit. Faktor-faktor yang menguntungkan untuk berkembangnya parasit adalah :(I) kurang pengetahuan tentang kebersihan (2) keadaan sosiaI ekonomi rendah. Parasit yang mengambil makanannya dari manusia secara langsung maupun tidak langsung dapat mengakibatkan kelainan pada tubuh manusia sebagai hospes, termasuk kelainan pada darah. Berat ringannya kelainan darah ini tergantung pada : (1) species parasit; (2) jumlah parasit yang masuk dalam tubuh; (3) lamanya infeksi, dan (4) respons daripada hospes. Gangguan darah antara lain dapat dilihat pada leukosit dan pada eritrosit.

PENGARUH PADA LEUKOSIT
Infeksi cacing kadang-kadang menyebabkan leukositosis
ringan. Sering-sering leukositosis ini tidak bersifat absolut.
Peninggian jumlah leukosit pada infeksi cacing disebabkan
oleh meningkatnya salah satu komponen daripada sel darah
putih yaitu sel eosinofil. Parasit cacing, terutama yang terdapat
dalam
jaringan tubuh,
antara lain Trichinella spiralis,
Strongyloides stercoralis, Toxocara (yang menyebabkan vis-
ceral larva migrans), Ancylostoma braziliense (yang menyebab-
kan cutaneous larva migrans), Filaria, Schistosoma, mempu-
nyai kutikula dan ekskreta yang bersifat antigenik dan mem-
bentuk zat anti dari golongan IgE. Zat anti ini dapat dihubung-
kan dengan meningkatnya jumlah sel eosinofil dalam darah.
Kelainan inilah yang disebut eosinofilia atau hipereosinofilia
seperti yang terdapat pada sindrom Loeffler dan eosinofilia
tropis.
Sindrom Loeffler
Sindrom ini adalah sekumpulan gejala yang terdiri dari
infiltrasi sel eosinofil dalam paru-paru yang bersifat sementara,
batuk, sesak napas menyerupai asma dan jumlah sel eosinofil
dalam darah dan sputum meningkat.
Etiologi. — Dalam tahun 1932 Loeffler menghubungkan
sindrom ini dengan infeksi cacing Ascaris. Kemudian penyakit
infeksi parasit lain, poliarteritis nodosa, eosinofilia tropis,
reaksi alergi terhadap penisilin, sulfonamida, PAS, preparat
arsen organik, infeksi jamur, dan lain-lain telah dilaporkan se-
bagai penyebab sindrom ini (Knowles, 1970). Istilah “PIE
syndrome” (Pulmonary Infiltration with Eosinophilia) diguna-
kan untuk gejala infiltrasi paru-paru dan eosinofilia dalam da-
rah yang dihubungkan dengan penyakit-penyakit lain.
Patogenesis yang pasti masih belum jelas. Sindrom ini me-
rupakan suatu fenomen hipersensitivitas yang dapat disebab-
kan oleh migrasi larva Ascaris dalam paru-paru atau migrasi
larva dari kulit ke paru-paru dan kemudian mati dan tidak
berhasil mencapai usus. Sering tidak ditemukan telur dalam
tinja, tetapi kadang-kadang terdapat larva dalam sputum pen-
derita. Walaupun larva cacing tetap berada dalam kulit ataupun
dalam paru-paru, reaksinya tetap sama. Infiltrat dalam paru-
paru dan eosinofilia dalam darah merupakan suatu reaksi
alergik terhadap larva; ini sesuai dengan meningginya kadar
IgE dalam serum. Bercak-bercak tidak teratur dengan diameter
beberapa milimeter sampai 5 cm tersebar di seluruh paru-paru,
terdiri dari jaringan kolagen yang di antara sel-selnya terdapat
sel eosinofil, sel plasma, limfosit dan sel raksasa.
• Gejalanya pada umumnya ringan, akan tetapi pada banyak
kasus dilaporkan adanya asma bronkial.
• Diagnosis sindrom Loeffler sulit ditegakkan dengan pasti.
Gambaran klasik menunjukkan gambaran Rontgen dengan ba-
yangan infiltrat dalam paru-paru yang cepat meluas untuk
kemudian menghilang dalam waktu kurang lebih tiga minggu.
Jumlah sel eosinofil dalam darah meninggi, dalam sputum di-
temukan sel eosinofiI dan kadang-kadang ditemukan larva
cacing, bila penyebabnya adalah cacing. Disamping itu reaksi
serologi dapat menunjang diagnosis ini.
Penyakit ini biasanya sembuh dengan sendirinya dalam
waktu kurang lebih tiga minggu.
Eosinofilia tropis
Eosinofilia tropis adalah suatu sindrom yang menyerupai
sindrom Loeffler, tetapi gejalanya lebih berat dan berlangsung
lebih lama. Sindrom ini juga bersifat alergik, ditandai dengan
hipereosinofilia antara 20 — 90% (4000 per mm
3
atau lebih),
batuk keras dan serangan asma. Pada 50% kasus terdapat
splenomegali (Fine, 1979).
Eosinofilia tropis merupakan suatu respons alergik terhadap
berbagai parasit cacing yang berhubungan erat dengan jaringan
hospes. Telah dibuktikan bahwa satu macam eosinofilia tropis
disebabkan oleh cacing filaria manusia atau binatang yang
tersembunyi dalam tubuh hospes. Keadaan ini disebut fila-
riasis occult, karena mikrofilarianya tidak dapat ditemukan
dalam darah tepi (Lie dan Sandosham, 1969)
Filariasis occult (tersembunyi). — Filariasis occult untuk perta-
ma kali dilaporkan oleh Meyers dan Kouwenaar (I939) dan
Bonne (I939) di Indonesia. Kemudian dilaporkan dari Afrika,
Brazil, India, Filipina, Muangthai, Vietnam, Singapore dan
Curacao.
Gejala kliniknya terutama adalah hipereosinofilia, pembe-
saran kelenjar limfe, batuk-batuk dan asma. Hipereosinofilia
yang hampir selalu ditemukan pada penyakit ini sangat tinggi
(2000 — 4000 per mm
3
). Sebaliknya, kelenjar limfe tidak se-
lalu membesar. Batuk-batuk kronis dapat dihubungkan dengan
serangan asma yang biasanya pada malam hari. Gambaran
Rontgen paru-paru menunjukkan bercak-bercak milier yang
khas untuk eosinofilia tropis.
Kelainan patologik sangat khas. Kelenjar limfe yang mem-
besar menunjukkan suatu hiperplasia folikel limfe dan sel re-
tikular. Benjolan-benjolan kecil berwarna kuning-kelabu de-
ngan diameter 1 — 2 mm tersebar di seluruh jaringan kelenjar
dan mengandung gumpalan sel eosinofil. Di tengah gumpalan
tersebut kadang-kadang tampak mikrofilaria atau sisa-sisa
mikrofilaria yang diliputi sel hialin. Gambaran ini disebut ben-
da Meyers-Kouwenaar. Bila limpa, paru-paru atau hati terkena,
benjolan-benjolannya lebih besar (sampai 5 mm).
Hipereosinofilia dan serangan asma merupakan gejala alergi
yang timbul pada orang-orang yang hipersensitif. Reaksi alergi
pada filariasis occult ditujukan pada mikrofilaria — bukan pa-
da larva atau cacing dewasanya — sehingga mikrofilaria dihan-
curkan dalam alat-alat dalam (limpa, paru-paru atau kelenjar
limfe). Menurut Ottisen (1979) eosinofilia tropis pada filaria-
sis occult merupakan reaksi imunologik hiperresponsif terha-
dap cacing tersebut. Zat antifilaria dari semua jenis dan kelas
meninggi, kadar IgE dan jumlah sel eosinofil meningkat. Ge-
jala klinik dan hasil Iaboratorium menunjukkan adanya peran-
an respons hipersensitivitas segera (immediate hypersensiti-
vity): Penderita ini — melihat spesifitas zat anti IgE — telah
disensitisasi secara alergik terhadap semua antigen filaria, teru-
tama yang berasal dari mikrofilaria yang memegang peranan
penting dalam etiologi filariasis occult.
• Diagnosis pasti filariasis occult dapat dibuat bila ditemukan
mikrofilaria dalam benda Meyers-Kouwenaar di alat-alat da-
lam. Titer IgE yang tinggl dan penyembuhan dengan obat di-
etilkarbamazin terhadap cacing filarianya merupakan indikasi
kuat bahwa ini adalah suatu filariasis occult.
PENGARUH PADA ERITROSIT
Beberapa parasit mempunyai peranan penting sebagai pe-
nyebab kelainan darah yang berupa anemia. Anemia dapat di-
sebabkan antara lain oleh (I) defisiensi zat besi karena kehi-
angan darah menahun yang terjadi pada infeksi cacing tam-
bang, dan (2) penghancuran eritrosit pada penyakit malaria.
Infeksi cacing tambang
Penyakit cacing tambang disebabkan oleh infeksi cacing
lncylostoma duodenale atau Necator americanus. Walaupun
acing-cacing ini panjangnya hanya 1 cm dan halusnya seperti
benang jahit, tiap cacing dapat mengisap darah dari mukosa
sus halus sebanyak 0,05 — 0,5 ml setiap hari untuk mengam-
bil oksigen yang dibutuhkannya. Cacing dewasa berpindah-pin-
dah tempat di daerah usus halus dan tempat lama yang diting-
galkan mengalami perdarahan lokal. Jumlah darah yang hi-
Iang setiap hari tergantung pada (1) jumlah cacing, terutama
yang secara kebetulan melekat pada mukosa yang berdekatan
dengan kapiler arteri; (2) species cacing : seekor A. duodenale
yang lebih besar daripada N. americanus mengisap 5
x
lebih
banyak darah; (3) lamanya infeksi.
Gejala klinik penyakit cacing tambang berupa anemia yang
diakibatkan oleh kehilangan darah pada usus halus secara kro-
nik. Terjadinya anemia tergantung pada keseimbangan zat besi
dan protein yang hilang dalam usus dan yang diserap dari ma-
kanan. Kekurangan gizi dapat menurunkan daya tahan terha-
dap infeksi parasit. Beratnya penyakit cacing tambang tergan-
tung pada beberapa faktor, antaza lain umur,

wormload,

lamanya penyakit dan keadaan gizi penderita.
Penyakit cacing tambang menahun dapat dibagi dalam tiga
golongan :
(I).
Infeksi ringan dengan kehilangan darah
yang
dapat di-
atasi tanpa gejala, walaupun penderita mempunyai daya
tahan yang menurun terhadap penyakit lain.
(II). infeksi sedang dengan kehilangan darah yang tidak dapat
dikompensasi dan penderita kekurangan gizi, mempu-
nyai keluhan pencernaan, anemia, lemah, fisik dan men-
taI kurang baik.
(III). infeksi berat yang dapat menyebabkan keadaan fisik
buruk dan payah jantung dengan segala akibatnya.
Penyelidikan terhadap infeksi cacing tambang pada peker-
ja-pekerja di beberapa tempat di Jawa Barat dan di pinggir ko-
ta Jakarta, menunjukkan bahwa mereka semua tennasuk go-
Iongan I(Kazyadi dkk., 1973). Reksodipoetro dkk., (1973)
telah memeriksa 20 penderita cacing tambang dengan infeksi
berat; hemoglobin berkisar antara 2,5 — 10,Og % pada 17 pen-
derita, defisiensi zat besi terdapat pada semua penderita yang
anemia. Disamping itu terdapat kelainan pada leukosit yaitu
hipersegmentasi sel neutrofil pada sebagian besar penderita
yang diperiksa. Perubahan tersebut disebabkan oleh defisiensi
vit. B
12
dan/atau asam folat.
• Diagnosis penyakit cacing tambang dapat dilakukan dengan
menemukan telur cacing tambang dalam tinja.
• Pengobatan penyakit cacing tambang dapat dilakukan de-
ngan berbagai macam anthelmintik, antara lain
befenium
hidroksinaftoat, tetraldoretilen, pirantel pamoat dan meben-
dazol. Bila cacing tambang telah dikeluarkan, perdarahan akan
berhenti, tetapi pengobatan dengan preparat besi (sulfas
ferrosus) per os dalam jangka waktu panjang dibutuhkan un-
tuk memulihkan kekurangan zat besinya. Di samping itu ke-
adaan gizi diperbaiki dengan diet protein tinggi.
Malaria
Malaria adalah penyaklt protozoa yang ditularkan melalui
tusukan nyamuk Anopheles, ditandai dengan menggigil, panas,
anemia dan splenomegali.
Penyakit malaria disebabkan oleh protozoa dari genus
Plasmodium. Diketahui empat species yang dapat menginfek-
si manusia, P. vfvax menyebabkan malaria vivax atau tertiana;
P. falciparum menyebabkan malaria falciparum atau tropica;
P. malariae menyebabkan malaria malariae atau quartana;
P. ovale menyebabkan malaria ovale yang ringan dan jazang di-
jumpai. Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa beberapa species
malaria pada kera dapat ditularkan kepada manusia dan sebalik-
nya parasit malaria pada manusia dapat ditularkan kepada ke-
ra.
Parasit malaria hidup dalam-sel di sel hati dan di dalam
eritrosit. Eritrosit dihancurkan pada saat sporulasi, yaitu pada
saat schizont malaria pecah dan merozoit keluar dari eritrosit
untuk menyerang eritrosit lain. Eritrosit yang dihinggapi pa-
rasit dapat dihancurkan oleh fagosit yang berusaha untuk
mengatasi infeksi pazasit ini. P. vivax lebih suka menyerang
eritrosit muda (retikulosit), sedangkan P. falciparum dapat
menyerang eritrosit muda maupun tua. Oleh karena penghan-
curan ini maka timbul anemia. Derajat anemia pada malaria
tidak sesuai dengan derajat parasitemianya (WHO, 1968).
Eritrosit yang dihinggapi parasit dan eritrosit nonnal dihancur-
kan. Mekanismenya belum jelas. Ada tiga hipotesa yang dike-
mukakan oleh WHO (1968) :(1) adanya zat hemolitik yang di-
hasilkan oleh parasit sendiri atau yang dikeluazkan oleh ja-
ringan; (2) hipersplenisme yang menyertai malaria menyebab-
kan meningkatnya eritrofagositosis dan (3) peranan zat anti.
Hipotesa ketiga rupanya memegang peranan penting. Mung-
kin zat anti bereaksi tidak hanya dengan eritrosit yang dihing-
gapi pazasit, tetapi juga dengan eritrosit normal sehingga ter-
jadi hemolisis. Di samping itu, auto-antibodi eritrosit juga ter-
libat dalam proses ini (WHO, 1975).
Blackwater fever (febris icterohemoglobinuria). — Blackwater
fever merupakan komplikasi malaria falciparum yang berba-
haya. Gejalanya ialah menggigil , panas, hemolisis intravaskular
hebat, ikterus, hemoglobinuria, kolaps dan kadang-kadang
insufisiensi ginjal dan uremia.
Patogenesis hemolisis intravaskular ini masih belum jelas.
Kemungkinan pazasit P. falciparum sendiri dan obat kina me-
rupakan faktor utama. Peranan kompleks-imun yang beredar
dalam darah dan reaksi hipersensitivitas yang berhubungan
dengan obat (kina) yang dapat menghancurkan eritrosit perlu
diselidiki lebih lanjirt (WH0,1975).
Diagnosis penyakit malaria dilakukan dengan pemeriksaan
dazah tepi untuk menemukan pazasitnya dalam eritrosit.
Penyakit malaria dapat diobati dengan klorokuin, amodia-
kuin, proguanil, klorproguanil , pirimetamin, primakuin, dan
lain-lain. Hingga sekarang di Indonesia klorokuin tetap meru-
pakan obat pilihan pertama. Penggunaan obat kombinasi
sulfadoksin dan pirimetamin (Fansidaz) sebaiknya terbatas
pada malaria falciparum yang resisten terhadap klorokuin.
Pembatasan ini perlu untuk mencegah timbulnya resistensi
P. falciparum terhadap obat kombinasi ini yang masih diperlu-
kan sebagai pertahanan kedua bila terjadi resistensi terhadap
obat klorokuin.