MUJAHADAH (Perjuangan Melawan Hawa Nafsu )

MUJAHADAH (Perjuangan Melawan Hawa Nafsu )

(Bagian IV . Kajian ke 40)
7. Perlunya Pelembutan Hawa Nafsu
Sekalipun kekuasaan hawa nafsu sangat efektif, tetapi akal manusia mampu mengatur dan mengarahkan dengan cara memperkuat posisi dan peranannya dalam jiwa manusia. Jika suatu saat peranan akal melemah dan hawa nafsu lolos dari genggamannya, maka ia pasti tetap menempati posisi sebagai yang memerintah dan melarang, menghukum dan menolak. Sedangkan hawa nafsu hanya dapat membuat kebingungan dan membangkitkan was was dalam jiwa.
Sadar bahwa sekalipun hawa nafsu memiliki daya yang sangat kuat dan berperan aktif efektif dalam kehidupan manusia. Tetapi manusia untuk menyempurnakan, mematangkan dan menempatkan peran akal tidak pernah terhempas. Hal ini disebabkan manusia memang terdiri dari akal dan hawa nafsu.
Manusia selalu berada dalam satuan tarik menarik kedua faktor ini. Fluktuasi keduanya berakibat langsung pada manusia. Semuanya itu sebenarnya tergantung pada manusianyasendiri. Dalam sejarah mana ia memfungsikan atau mendwifungsikan akal dalam kehidupannya.
Memang manusia berbeda sekali dengan binatang. Binatang tidak memiliki akal yang dapat mengatur dunianya, langkah langkahnya secara total dikemudikan oleh hawa nafsu. Ia sepenuhnya tunduk kepada hawa nafsunya dan sikapnya termanifestasikan melalui faktor hawa nafsunya saja.
Hasil pertarungan antara akal dan hawa nafsu inilah yang akan menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan manusia. Manusia dalam pertarungan ini, terpecah menjadi dua kelompok , yaitu kelompok orang orang yang takwa dan kelompok orang yang fasik. Dan perilaku manusia menjadi dua yaitu takwa dan fujur (keji).
Takwa merupakan kemenangan akal atas hawa nafsu, sehingga masuk kedalam kelompok “ashabul yamin” (kelompok kanan), sebaliknya fujur merupakan kekalahan akal (iman) atas hawa nafsu, sehinga masuk dalam kelompok “ashabussimal”(kelompok kiri). Perbedaan kelompok ini bersifat hakiki, substansional, menentukan nasib.
Sesungguhnya takwa itu dapat melunakkan, melemah melembutkan syahwat dan hawa nafsu seseorang. Dengan takwa, jiwa yang syahwat dan hawa nafsu menjadi qonaah, Syahwatpun menjadi lemah lembut seakan akan mati.
Semua manusia, bertakwa atau tidak, sama sama memiliki hawa nafsu dan syahwat. Hanya bedanya yang bertakwa mampu secara aktif menguasai dan mengatur hawa nafsu dan syahwatnya. Sedangkan manusia yang tidak bertakwa. Secara pasif dikuasai dan diatur oleh syahwat dan hawa nafsunya. Dalam kondisi bagaimanapun manusia tetap berikhtiar. Ikhtiar artinya melakukan penekanan dan pelatihan atas hawa nafsu dan syhwatnya atau sebaliknya menuruti kehendak dan tuntutan hawa nafsu dan syahwatnya.
Mari kita perhatikan firman Allah swt.
ولكن حبب اليكم الايمان وزينه فى قلوبكم وكره اليكم الكفر والفسوق والعصيان. الحجرات 70
“Tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.” (QS. Al Hujurat (49) 7)
Dari ayat diatas menjelaskan bahwa Allah swt. menanamkan rasa benci kepada kefsikan dalam hati orang beriman dan ahli takwa, begitu pula menanamkan rasa benci terhadap kedurhakaan.
Muhammad Amin Al Kurdi (2003: 145)menjelaskan bahwa nafsu itu akan tunduk dan patuh sehingga menjadi lembut atas tiga hal yaitu:
1. Mencegah syahwat (dengan mengurangi makanannya), karena hewan liar hanya dapat jinak jika makanannya di kurangi.
2. Menanggung beban perintah perintah ketaan, karena binatang liar jika makanannya dikurangi dan bebannya ditambah, ia menjadi hina, kecil dan rendah kekuatannya sehingga ia tunduk dan patuh.

3. Hendaknya minta pertolongan Allah swt. untuk mengalahkannya, hendaknya merendahkan diri kepadaNya, agar Allah berkehendak untuk mengalahkannya.
Hamka (199: 120-121) menjelaskan bahwa orang dalam memerangi hawa nafsu dan syahwat ada tiga tingkatan yaitu:
1. Orang yang dirinya kalah dengan hawa nafsu dan syahwatanya. Bahkan menuhankan hawa nafsu dan syahwatnya. Firman Allah swt.
افرايت من اتخذ هواه. الفرقان 43
Adakah engkau lihat (Muhammad) orang yang mengambil hawa nafsu nya menjadi Tuhan. (QS. Al Furqon (25) 43)
2. Peperangan antara keduanya silih berganti, menang dan kalah, jatuh dan tegak, orang yang berperang berganti kalah dan menang, inilah yang patut disebut mujahadah. Jika mati dalam perjuangan itu, matinya mati syahid. Karena orang mati syahid bukan hanya bagi mereka yang berperang menghadapi musuh yang kafir/ tampak saja, tetapi juga musuh batin/ hawa nafsu, dan memerangi hawa nafsu itu lebih berat dari pada memerangi musuh yang nampak atau kelihatan.
Nabi saw. bersabda:
رجعنا من الجهاد الاصغر الى الجهادالاكبر
Kita kembali dari peperangan yang paling kecil menuju ke peperangan yang lebih besar.
Setelah dintanya sahabat menjawab bahwa yang dimaksud الجهاد الاكبر adalah جهاد النفس (memerangi hawa nafsu) yang paling berat.
Nabi saw. bersabda:
ليش الشديد بالصرعة انما الشديد من يملك نفسه عند الغضب.رواه ابو داود
“Orang kuat bukanlah orang yang menang bergulat, tetapi yang dikatakan orang yang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan diri ketika marah.” (HR. Abu Daud)
Derajat yang kedua ini adalah derajat pertengahan.
3. Orang dapat mengalahkan hawa nafsunya, sehingga ia yang memerintah hawa nafsu, bukan hawa nafsu yang memerintahnya., dan tidak diperbudak hawa nafsu.
Rasulullah saw. bersabda:
ما من احد الا وله شيطان ولى شيطان وان الله قد اعا ننى على شيطانى حتى ملكته. رواه ابن الجوزى عن ابن عبد الرحمن السلم
“Tidak seorangpun diantara kita yang tidak bersetan, saya sendiri pun ada juga bersetan, tetapi sesungguhnya Allah telah menolong saya menghadapi setan saya itu sehingga ia saya belokkan.” (HR. Ibnu Jauzi)
Umar bin Khattab juga mendapat derajat yang hampir setingkat ini, karena Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Umar:
والذى نفسىبيده ما لقيت الشيطان قط سالكا فجا الا سلك فجا غير فجك. رواه البخارى ومسلم
“Demi Tuhan yang menguasai diriku didalam tanganNya, tidaklah bertemu engkau dengan setan pada suatu jalan, melainkan menyingkirlah setan itu kepada jalan lain yang tidak engkau lalui.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Derajat yang ketiga ini adalah derajat para Nabi dan Wali. Yang dimaksud dengan wali yaitu Waliur Rahman, yang disebut dalam al Qur’an yang telah taqarrub kepada Allah dengan amal ibadahnya, bukan wali menurut sebagian umat yang telah diperjual belikan oleh ulama yang mengubah ubah pelajaran agama.
Perlu disadari bahwa memerangi hawa nafsu itu suatu perjuangan yang benar- benar berat, maka jika kurang hati hati tentu akan tergelincir dan kalah, sehingga akan diperbudak oleh hawa nafsunya.
8. Tingkatan Hawa Nafsu
Muhammad Amin Al Kurdi (2003:143-146) menjelaskan bahwa ditinjau dari pengaruhnya terhadap mujahadah,maka nafu itu ada tujuh tingkatan yaitu:
1. Nafsu al Ammarah
Yaitu nafsu yang cenderung kepada karakter karakter biologis, cenderung kepada kenikmatan kenikmatan, syahwat yang terlarang oleh agama dan menarik hati kepada kerendahan. Ia adalah tempat kembali berbagai sumber kejahatan dan sumber akhlak tercela, seperti sombong, tamak, dengki, mesum, pemarah kikir dan dendam. Pada tingkatan ini nafsu biasanya belum memasuki “Mujahadah.”
2.Nafsu al Lawwamah
Yaitu nafsu yang bercahaya dengan sinar hati, Kadang ia patuh terhadap akal, terkadang tidak, kemudian ia menyesali dan mencela dirinya. Nafsu ini adalah sumber penyesalan, karena ia adalah permulaan hawa nafsu, kekeliruan dan rakus.
3.Nafsu al Muthmainnah
Yaitu nafsu yang bercahaya oleh sinar hati sehingga bersih dari sifat sifat yang tercela. Ia tenang menuju kesempurnaan kesempournaan, dan tenang adalah awal kesempurnaan. Ketika sang penempuh jalan akhirat meletakkan kaki didalamnya maka dianggap masuk anggota penempuh jalan (sufi). Karena itu ia telah pindah dari keberanekaan menuju kepada kemantepan dan kemapanan. Orang yang memiliki nafsu muthmainnah ini sedang mabuk. Ia berbicara dengan banyak orang padahal ia jauh dari mereka, sebab kala itu ia begitu bergantungnya kepada Allah.
4.Nafsu Mulhimah
Yaitu nafsu dimana Allah swt. memberikan ilham pengetahuan, sikap tawadhu’, sifat menerima dan kedermawanan. Karena itulah nafsu ini menjadi sumber kesabaran, sanggup menanggung rasa sakit dan bersyukur.
5.Nafsu Radhiyah
Yaitu nafsu yang ridha akan segala yang berasal Allah Ini seperti firman Allah swt.
رضى الله عنهم ورضوا عنه . البينه 8
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepadaNya.”
(QS.Al Bayyinah (98) 8)
Tandanya adalah selalu menerima dan menikmati kebingungan.
6. Nafsu Mardhiyah yaitu nafsu yang diridhai Allah. Padanya nampak keridhaan Allah kepadanya, seperti karomah ‘ ikhlas dan dhikir. Pada tingkatan ini orang penempuh jalan akhirat menginjakkan kakinya pertama kali dalam mengenal Allah dengan sebenar – benarnya, dan didalamnya tampaklah “Tajalli al ‘AlaNya”
7. Nafsu Al Kamilah
Yaitu nafsu yang memiliki cirri cirri dan karakter karakter kesempurnaan yang semakin tinggi dan berefek, sehingga nafsu ini dapat mengajak manusia kembali kejalan Allah, menunjuki serta menyempurnakan akhlak mereka. Posisi nafsu adalah posisi menampakkan nama nama Allah dan sifat sifat Allah ( maqam tajalli asma dan sifat). Kondisi nafsu ini bersama Allah berjalan menuju Allah, kembali dari Allah, dan kembali menuju Allah. Pengetahuan pengetahuannya diperoleh dari Allah swt.