MENGARUNG ASA DITANAH BERLUMPUR

Tulisan/Artikel ini adalah kiriman dari saudara:

M. Yusdin*

*Adalah Pemilik Blog www.perskapolitani.blogspot.com

*Adalah Jurnalis pena biru UKM PERSKA POLITANI PANGKEP

Terik matahari kian mencekam kulit, teriakan ombak terus terdengar, tapi angin sepoi masih membelai wajah dengan manis dan lembut, pertanda hidup  selalu saja pada titik keseimbangan, sebuah titik dimana kaki dan jiwa bisa berpijak tenang,

Tubuh itu melepas energi, menyebarkannya ke tangkai dayung sampan  menampar-nampar ombak-ombak kecil, mendorong perahu mungil yang kelihatan terbuat dari kayu berumur tua dan mulai lapuk, dengan sebuah upaya menyerap asa hidup di ombak dan ditanah belumpur, untuk sebuah hidup yang sempurna.

Bangsa yang yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Indonesia dalam sejarah kemerdekaannya telah mencatat begitu banyak pahlawan yang mengabdikan hidupnya untuk bangsa ini, Dijaman sekarang ini telah begitu banyak putra-putri bangsa yang memiliki jiwa yang sama untuk mengabdikan hidupnya bagi Negara meski bukan peran kemerdekaan yang menjadi medianya melainkan peran kemerdekaan melawan kemiskinan, kebodohan dan ancaman perpecahan.

Mereka inilah yang melanjutkan memelihara hati nurani bangsa yang besar ini (MTGW Metro TV). Begitu banyak pengorbanan yang dipersembahkan para pahlawan untuk Negara tercinta ini, begitu banyak tetesan keringat dan darah bercucuran hanya untuk mempertahankan hak kepemilikan sumberdaya alam yang kita miliki yang nantinya bisa dipergunakan serta dimanfaatkan anak cucu bangsa untuk kesejahteraannya.
 
Negara tercinta Indonesia merupakan Negara besar yang memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah, tak terkecuali di daratan maupun  di lautan. Tidak ada sesosok pun yang bisa menyangkal hal yang demikian, akan kekayaan alam Negara ini. Tapi yang sangat memiriskan dan menyayat hati ketika melihat potret Warga Negara kita, yang bergelut dalam tangkai dayung sampan maupun warga Negara yang bergelut melawan terik matahari yang membakar kulit dalam dunia lumpur,  melawan alam, mencari sesuap nasi untuk orang yang menunggunya dalam pembaringan basah.

Sangat memperihatinkan dan begitu sangat membingungkan, Indonesia yang sebagian besar wilayahnya adalah daerah perairan yang begitu kaya akan sumber daya tapi penduduknya yang mengarungi hidupnya dan hidup kelurganya masih tertatih-tatih untuk mendapatkan apa yang diharapkan. Bergelut dalam obyektifitas sumber daya alam yang bisa digunakan untuk kesejahteraan tapi mengapa justru kemiskinan yang dirasakan sebagian besar orang-orang yang mengarungi hidup dalam dunia sumber daya yang begitu kaya tersebut.
 
Pengangguran orang-orang ilmuan dalam dunia perikanan begitu banyak yang tidak bisa mendayagunakan keahlian yang dimiliki untuk kehidupannya,meskipun notabenenya mereka memiliki keahlian lebih. Terlebih lagi dengan orang-orang yang kehidupannya dalam dunia perikanan  yang kurang memiliki pengetahuan serta pemahaman Modern dalam konteks mengelolah sumber daya perairan. Mereka hanya tahu bagaimana mendapatkan sesuap nasi untuk dirinya dan keluarganya tanpa peduli terjangan terik panas yang begitu menyengat dan mesti setiap harinya hanya menggali hidup dikubangan lumpur dengan bermodalkan sebuah Asa yang tersisa.

“Hidup tak mampu mati tak mau”. Demikianlah istilah atau gambaran yang sering diberikan oleh orang untuk menggambarkan betapa miskinnya kehidupan nelayan. Menyebut profesi nelayan khususnya nelayan tradisional tak terkecuali dikabupaten pangkep, orang akan selalu menghubungkannya dengan kehidupan yang serba susah, hidup pas-pasan. Gambaran ini nampaknya sangat kontradiksi dengan potensi pesisir dan laut Indonesia yang begitu besar, laut Indonesia termasuk yang paling luas di dunia. Dengan keluasan, yang diperkirakan kurang lebih 5,8 juta kilometer dengan panjang garis pantai seluruhnya 80,790 kilometer atau 14 % panjang garis pantai di dunia, apalagi di kabupaten pangkep yang begitu panjang garis pantainya dan memiliki begitu banyak pulau yang kaya akan sumber daya perairan. Namun anehnya nelayan tetap hidupnya sangat memprihatinkan.

Dengan daerah kepulauan, tentunya jumlah masyarakat kabupaten pangkep sangat banyak yang menggantungkan hidupnya dengan menjadi nelayan, tentu sebuah pertanyaan besar yang sebaiknya kita pecahkan sama-sama, mengapa kehidupan nelayan kita tetap serba pas-pasan bahkan mungkin boleh dikatakan miskin sedangkan potensi pesisir di kabupaten pangkep ini cukup besar…??? Dengan daerah kepulauan yang begitu kaya akan sumber daya, hal yang demikian tidak seharusnya terjadi. Ataukah memang para nelayan kita telah menelan pil takdir kemiskinan dari Tuhan, atau mungkin nelayan kita malas, atau sebuah kemungkinan pula nelayan kita hanya menggunakan teknologi yang begitu sederhana.

Para ahli berlomba-lomba menganalisis persoalan tentang kontradiksinya kekayaan laut dengan kehidupan nelayan di Indonesia pada umumnya, Diantaranya menyatakan bahwa kemiskinan nelayan disebabkanoleh akibat kekurangan modal, penggunaan teknologi yang rendah, terikat dengan daratan, tantangan alam yang besar, hubungan patron client di antara pelaku produksi, kebiasaan pembagian produksi, bantuan kredit yang relatif kecil dan lain sebagainya. Begitu banyak lagi analisis yang dikemukakan oleh berbagai kalangan ahli dengan menyaksikan kemiskinan yang dialami oleh nelayan.

Dengan analisis yang diberikan oleh berbagai kalangan ahli tersebut, apakah sudah menjawab kemiskinan yang dialami oleh nelayan, khususnya nelayan di kabupaten pangkajene dan kepulauan ini?

Berbicara mengenai kemiskinan nelayan, sebuah sumber menyatakan bahwa Kemiskinan yang dialami Oleh nelayan khususnya nelayan tradisional berada dalam tataran sistem pengelolaan negara secara menyeluruh dengan sistemnya yang otoriter dan refresif yang mempunyai hubungan atas pada tiga persoalan yaitu struktur pengelolaan pesisir dan laut, persoalan kebijakan pengelolaan pesisir dan laut, serta budaya pengelolaan pesisir dan laut yang dibangun oleh pemerintah sebelumnya. Salah satu contoh kekurang tepatan dari tataran system pengelolaan daerah pesisir oleh Negara adalah motorisasi dibidang teknologi penangkapan ikan seperti pemakaian alat tangkap trawl atau pukat harimau. Ketika itu pemerintah beranggapan dengan adanya motorisasi alat tangkap kepada nelayan tradisional, diharapkan kehidupan ekonominya meningkat. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Trawl atau pukat harimau yang disalurkan melalui kredit oleh pemerintah ternyata lebih dikuasai oleh para tengkulak atau pemilik modal. Dan yang lebih memprihatinkan alat tangkap trawl ternyata mendorong terjadinya kerusakan ekosistem dasar laut, terjadi penangkapan ikan yang berlebihan, monopoli distribusi pemasaran hasil oleh para tengkulak dan sebagainya.

Sebuah keputusan memang sebaiknya perlu dipikirkan dan dipecahankan bersama agar miminimalisir golongan yang nantinya akan dirugikan dengan keputusan sepihak tersebut. Saat ini pemerintah mungkin sebaiknya memikirkan suatu konsep perubahan dibidang kelautan dan perikanan, yang tujuannya jelas yaitu untuk mengembalikan atau menempatkan kembali nelayan tradisional sebagai pelaku subjek yang bukan lagi sebagai obyek dibidang kelautan dan perikanan. Dan yang lebih penting adalah meningkatkan posisi tawar nelayan tradisional dalam rangka menjamin keberlangsungan kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan lingkungan, sehingga mereka tidak lagi menjadi kelompok masyarakat yang marginal.

Persoalan kemiskinan nelayan seharusnya tidak sekedar diletakkan pada persoalan ekonomi semata tapi perlu pula kita lihat dari sudut sudah sejauh mana saat ini pemerintah melangkah dan mengayungkan tangannya untuk menjawab persoalan pelik yang dialami nelayan. menengok dari pemaparan tersebut, perlu digarisbawahi bahwa nelayan tradisional di kabupaten pangkep, adalah bagian dari rakyat Indonesia yang juga berhak untuk menentukan keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara. Atas dasar itu, sebagai bagian dari rakyat maka sudah sepantasnya hak-hak nelayan tradisional dijamin dan dilindungi oleh negara maupun pemerintah.