Membumikan Paradigma Holistik Dalam Memecahkan Kegalauan Kondisi Kesehatan Di Indonesia

MEMBUMIKAN PARADIGMA HOLISTIK DALAM MEMECAHKAN KEGALAUAN KONDISI KESEHATAN DI INDONESIA

OLEH:

AIDA AYU CHANDRAWATI

Fakultas Kedokteran  – Universitas Hasanuddin

Makassar – Indonesia

Saya  mengawali tulisan ini dengan sebuah kalimat yang dikutip dari sebuah film berjudul Patch Adam : “Jika kita berperang melawan penyakit , maka kita lawan penyakit yang bernama perbedaan dan misi seorang dokter bukanlah untuk mencegah kematian tetapi meningkatkan kualitas hidup. Jika kau mengobati manusia kau akan menang tak peduli hasilnya”. Demikianlah seharusnya seorang dokter dalam menjalani profesinya. Sebuah profesi yang sangat menentukan nasib sebuah bangsa di masanya yang akan datang. Bayangkanlah jika semua orang bisa selalu dicegah untuk sakit, dan diupayakan untuk  sehat. Ditambah lagi jika sehat diperuntukkan semua golongan tanpa terkecuali. Tentu saja tak akan ada istilah “sakit bukan untuk orang miskin”. Namun pada kenyataannya tidak demikian untuk negeri ini.  Saat ini Indonesia sangat labil. Indonesia sedang “galau” dengan masalah-masalah yang datang dari segala aspek kehidupan. Termasuk masalah kesehatan yang tidak sedikit. Masalah kesehatan merupakan salah satu bagian dari “lingkaran setan” yang menghantui masalah-masalah rakyat indonesia. Apa-apa saja elemen-elemen lingkaran setan di negeri ini?? Tidak lain yaitu masalah pendidikan, masalah kesehatan, masalah ekonomi, dan masalah sosial. Jika setiap masalah tersebut dijabarkan, maka jangan kaget jika kita mengetahui betapa banyaknya masalah dinegeri ini. Kita tidak bisa memandang atau menyelesaikan masalah-masalah tersebut secara parsial atau satu-persatu tanpa mengkaitkan satu sama lain. Sudah saatnya kita membumikan paradigma holistik dalam setiap masalah di Indonesia.

Berpandangan holistik artinya lebih memandang aspek keseluruhan daripada bagian-bagian, bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, nonmekanistik, nonlinier. ( Husain Heriyanto,2010). Artinya ketika kita ingin menyelesaikan masalah kesehatan, mestilah kita mengkajinya dari aspek-aspek yang lain.

Membahas masalah kesehatan di negeri ini membutuhkan waktu yang tidak singkat. Menurut saya, masalah adalah fenomena yang telah terjadi yang tidak sesuai dengan harapan. Tulisan ini akan membahas mengenai masalah-masalah kesehatan termasuk masalah tenaga kesehatan yang mengakibatkan semakin merosotnya kualitas kesehatan bangsa,  dan memaparkan beberapa solusi.

Marilah kita berangkat dari fenomena-fenomena kesehatan apa saja yang telah terjadi. Mengutip dari surat kabar Bandung Kompas yang diterbitkan pada tanggal 5 Juni 2007, Fakultas kedokteran di Indonesia setiap tahunnya meluluskan lebih dari 100 dokter. Namun, hanya sekitar 10 persen yang diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) melalui tes PNS di Depertemen atau Dinas Kesehatan. Sisanya bekerja di klinik-klinik atau menjadi pengangguran terselubung. “Dokter banyak dibutuhkan di desa, terutama di daerah terpencil. Namun, kebutuhan tersebut sulit terpenuhi sejak penyebaran dokter berstatus pegawai tidak tetap atau PTT ke berbagai pelosok tidak lagi menjadi sebuah keharusan. Sementara itu, di kota justru banyak dokter menganggur karena tak dapat tempat untuk bekerja dan tak mampu membuka praktik. Berdasarkan data tahun 2005, dari 39,9 juta penduduk Jawa Barat, hanya ada 994 puskesmas. Jika dirata-rata, satu puskesmas melayani 40.202 orang. Padahal, idealnya satu puskesmas melayani 30.000 orang. Tenaga kesehatannya pun masih kurang. Dari 994 puskesmas di Jabar, hanya ada 10 dokter spesialis, 1.622 dokter umum, 656 dokter gigi, dan 7.651 perawat. Rasio jumlah dokter dan penduduk masih 1 berbanding 24.637. Padahal, sesuai aturan Departemen Kesehatan, rasio idealnya 1 berbanding 2.500”. Masalah berikutnya adalah mengenai UKDI. Setelah mahasiswa kedokteran melewati jenjang pre klinik dan koas, mereka belum bisa bernapas lega ataupun sorak-sorak bergembira karena bisa langsung membuka praktik. Mereka wajib mengikuti UKDI atau Ujian Kompetensi Dokter Indonesia.  Namun sayangnya, banyak lulusan FK yang tidak bisa kerja atau buka praktik karena tidak memiliki sertifikat UKDI. Soal-soalnya merupakan skenario-skenario dari setiap sistem yang telah dipelajari saat pre klinik dan koas. Sebenarnya UKDI memiliki segi positif dan negatif. Dilihat dari segi positifnya, dokter-dokter akan lebih mendalami ilmunya karena harus belajar lagi dari awal dengan waktu yang lebih singkat. Namun di sisi lain, UKDI merupakan salah satu kurangnya dokter di Indoneisa. Mengapa? Hal ini karena banyak dokter yang tidak lulus UKDI, bahkan takut sebelum mencoba.Ada lagi masalah yang terjadi di kalangan dokter-dokter yang telah memiliki gelar spesialis. Ternyata, Indonesia tak hanya membutuhkan banyak dokter spesialis namun fasilitas-fasilitas yang bisa menunjang praktik dokter di rumah sakit secara merata. Fasilitas rumah sakit khususnya di desa-desa tidak memadai akibatnya, dokter spesialis tidak bisa bekerja optimalsehingga dokter spesialis enggan mengabdi bahkan banyak yang kabur . Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada pemerataan kesehatan di negeri ini.

Belum selesai mengenai masalah belum maksimalnya pemerataan pelayanan kesehatan, timbul lagi masalah baru. Biaya ke dokter dan biaya obat mahal. Fakta tersebut mengingatkan saya dengan sebuah argumen dari Bondan Winarno,penikmat kuliner, yang dicantumkan di sebuah tulisan oleh Jamie Simatupang dari blog kompasiana di negeri kita: Orang miskin dilarang sakit! Artinya: sakit adalah ranah orang kaya saja. Jika ada yang miskin tapi sakit, maka siap-siap semakin miskin karena harus membayar biaya perobatan yang melebihi jatah makan keluarga sebulan. Terlebih sakit berat. Kalau tidak mampu ya mati.” Seperti itulah gambaran diskriminatif terhadap si miskin. Rumah sakit mengategorikan ruang-ruang perawatan berdasarkan kemampuan membayar dan bukannya berdasarkan jenis penyakit. Kendati pasien terkena penyakit TB (tubercolosis) tapi uang tidak cukup, maka bersiaplah untuk tidur di kelas ekonomi yang bisa berdempetan dengan penderita diare atau bahkan di kelas super ekonomi yaitu di lorong-lorong rumah sakit. Namun jika hanya mengalami pusing ringan tapi berkantong tebal, maka bisa menempati ruang VIP. Kenyataan ini masih terus berlangsung dan malah sering dijadikan tolok ukur dalam menentukan strata sosial. Ketika dirawat di rumah sakit, orang akan ketahuan status ekonominya.Bagaimana dengan biaya ke dokter praktik? Tak jauh beda mahalnya. Pegang sedikit sana-sini, Rp100.000,00 atau Rp200.000,00 terlebih yang spesialis. Apalagi banyak dari mereka ini seperti makhluk setengah dewa yang melihat segala persoalan dari segi medis saja. Yang non medis, bukan urusan mereka. Padahal profesi dokter mestinya juga berfungsi sosial.Menurut saya, masalah mahalnya biaya kesehatan dapat dikaitkan dengan biaya pendidikan yang tidak murah. Biaya masuk kedokteran sangat mahal sehingga pola pikir sebagian besar  dokter hanya mencari uang, dan ia hanya akan mau melayani pasien dengan kemampuan membayar, sementara pasien dari rakyat kecil hanya akan berakhir di pintu depan rumah sakit. Jalur SNMPTN telah menjadi jalur keberuntungan bagi orang-orang yang memiliki mimpi masuk fakultas kedokteran. Mengapa tidak? Hampir semua fakultas kedokteran negeri di Indonesia hanya memberi kuota sekitar 5 persen untuk lulusan SNMPTN. Jadi, jika dalam setahun fakultas kedokteran menerima 200 mahasiswa, hanya sepuluh sampai dua puluh mahasiswa dari lulusan SNMPTN, dan sisanya masuk melalui jalur non subsidi yang mewajibkan peminat kedokteran membayar ratusan juta. Itupun belum tentu lulus karena sumbangan masuk kedokteran harus dirangking terlebih dahulu. Siapa yang bayar paling mahal, tentulah lulus. Bisa dikatakan bahwa penerimaan mahasiswa baru merupakan bisnis yang menggiurkan. Entah uang bermilyaran tersebut benar-benar untuk biaya mahasiswa tersebut selama kuliah atau mungkin masuk di kantong orang-orang di belakang layar.  Beruntung tahun ini dibuka jalur SNMPTN undangan, namun kuotanya tetap tidak sampai 20 persen. Biaya untuk menuntut ilmu yang sangat besar ini menjadikan pola pikir mahasiswa kedokteran untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya ketika menjadi dokter kelak. Bahkan ada anggapan bahwa biaya ke dokter sepantasnya mahal karena ilmunya pun mahal.

Segala sesuatu pasti ada sisi baiknya, begitu pula dengan pemerintah Indonesia. Seburuk-buruknya kinerja pemerintah kita, untunglah mereka masih memikirkan nasib rakyat miskin. Fasilitas yang benar-benar dirasakan sebagai fasilitas pemerintah adalah jaminan kesehatan masyarakat miskin. Jaminan yang benar-benar hebat karena diberikan tanpa syarat apapun kecuali keterangan miskin dari rt/rw,kelurahan dan kecamatan. Namun lagi-lagi fasilitas ini tidak berjalan optimal dengan alasan banyak penduduk yang belum disensus. Banyak pula yang dipersulit untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Saking hebatnya, asuransi saja memberikan premi yang berbeda untuk perokok atau bukan, pekerjaan berisiko atau bukan. Tapi di jamkesmas semua bisa. Silahkan merokok sepuasnya karena nanti kanker paru pun ditanggung, silahkan punya anak berapa saja karena nanti melahirkannya gratis, silahkan kebut-kebutan di jalan raya karena kalau anda kecelakaan biaya perawatannya juga gratis. Lain lagi jika berobat ke rumah sakit swasta.  Jangan protes jika biaya pelayanan kesehatan di rumah swakit swasta mahal, karena jamkesmas tidak berlaku di sana. Tapi di rumah sakit pemerintah kamarnya sering penuh, antrian operasi yang sampai berbulan-bulan, pelayanannya tidak seperti di rumah sakit swasta, dan pasti masih ada yang disuruh bayar karena ada yang tidak ditanggung oleh jamkesmas.

Semua kisah nestapa rakyat Indonesia khususnya rakyat miskin membuka mata kita semua bahwa tentu ada yang salah dengan negeri ini. Saya berpikir, rakyat masih banyak yang sakit tapi dokter sudah banyak yang kaya? Banyak dokter yang dulunya ketika masih menjadi mahasiswa adalah seorang yang idealis dan menyuarakan nasib rakyat miskin namun sekarang dengan berjuta godaan setelah lulus, para dokter kehilangan semangat baktinya kepada masyarakat.

Jernihkan pikiran dan hati untuk bersama-sama memikirkan masalah kegalauan masalah kesehatan ini. Jika masalah ini dituangkan dalam sebuah mind mapping, tentu masalah yang satu dengan yang lain memiliki keterkaitan sebab dan akibat. Kita bisa membahas masalah kesehatan dari aspek manapun dan saya mencoba membahasnya dari aspek ekonomi. Indonesia adalah Negara yang sangat kaya. Buktinya? Sadarkah kita bahwa tidak ada kasus korupsi dengan jumlah uang di bawah seratus juta.??? Pada pemberitaan-pemberitaan di media, rata-rata jumlah uang yang dikorupsi paling sedikit ratusan juta. Jika uang-uang tersebut tidak dikorupsi dan digunakan dengan semestinya, paling tidak biaya pendidikan tidak semahal sekarang termasuk biaya masuk fakultas kedokteran. Secara umum, hal ini akan berdampak besar, termasuk mengubah pola pikir kebanyakan dokter untuk mencari uang sebanyak-banyaknya. Ujung-ujungnya biaya kesehatan bisa tereduksi seminim mungkin. Hal lain yang bisa terjadi jika uang Negara dipergunakan seefisien mungkin adalah fasilitas rumah sakit negeri akan lebih memadai dan pemerintah dapat mensejahterakan dokter-dokter dengan uang Negara. Saya yakin uang Negara yang diselundupkan para penjahat bertopeng malaikat bernama koruptor tersebut dapat menjadikan semua rumah sakit negeri di Indonesia adalah rumah sakit tipe A yang memiliki fasilitas lengkap. Dan Seharusnya “rakyat sehat, pemerintah bahagia” bukan “rakyat sakit, pemerintah bahagia”. Biaya kesehatan yang terjangkau akan memulihkan kembali kondisi kegalauan di negeri ini.

Biaya pendidikan dan kesehatan terjangkau dengan memulihkan roda perekonomian disertai dengan pengawasan. Seperti itulah cara pandang holistik yang diperlukan untuk menuntaskan berbagai masalah di negeri ini. Mahasiswa kedokteran tidak hanya menyuarakan masalah kesehatan saja. Mahasiswa ekonomi tidak hanya menyuarakan masalah ekonomi saja, melainkan mari bersama menyuarakan dan memperjuangkan semua masalah yang timbul dari berbagai aspek kehidupan. Karena sekali lagi, semua aspek kehidupan (pendidikan, kesehatan, ekonomi, social) merupakan aspek-aspek yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Semua rakyat akan berpendidikan (termasuk cerdas mencari lapangan pekerjaan) dan meminimalisir jumlah orang sakit serta menurunkan angka kematian. Semua akan berujung dengan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.