MEMAHAMI AKUNTABILITAS DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)

As far back as the 1830 when public was used to establish a national education system ‘some were concerned that the spending of public money should be properly supervised and controlled, and others were dissatisfied with the practical aspects such as the poor quality of the teachers’ (Lawton and Gordon 1987, p.7).

Pada tahun 1976 Prime Minister Callaghan mengusulkan bahwa pendidikan sudah seharusnya lebih akuntabel kepada masyarakat dan kecenderungan umum bahwa isu-isu pendidikan seharusnya terbuka telah membuka ruang bagi untuk menanggapinya, sekalipun itu bersifat non-profesional.” (Gipps and Golstein, 1983 dalam Rita Headington, 2000).

Di Indonesia akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan, juga masih menempuh jalan panjang. Ketika terjadi perubahan mendasar dalam sistem pendidikan, isu akuntabilitas sepertinya memperoleh nafas baru. Sekolah-sekolah sebagai basis penerapan manajemen pendidikan dituntut harus mampu mewujudkan akuntabilitas bagi publik.

Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas itu? Menurut Slamet (2005:5), “Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan penyelenggara organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau kewajiban untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Sementara Zamroni (2008:12) mendefinsikan akuntabilias “is the degree to which local governments have to explain or justify what they have done or failed to do.” Lebih lanjut dikatakan bahwa “Accountability can be seen as validation of participation, in that the test of whether attempts to increase participation prove successful is the extent to which people can use participation to hold a local government responsible for its action.” Pendapat Zamroni mengenai akuntabilitas dikaitkan dengan partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya dapat terjadi jika ada partisipasi dari stakeholders sekolah. Semakin kecil partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah, maka akan semakin rendah pula akuntabilitas sekolah.
Jadi, kalau disimpulkan akuntabilitas adalah kemampuan sekolah
mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang diperoleh sebagai hasil partisipasi dari stakeholders.

Rita Headington berpendapat bahwa “Accountability has moral, legal and financial dimensions and operates at all levels of the education system.” Ketiga dimensi yang terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan menuntut tanggung jawab dari sekolah untuk mewujudkannya, tidak saja bagi publik tetapi pertama-tama harus dimulai bagi warga sekolah itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Rita Headington (2000:83), “Teacher have a moral and legal responsibility to provide appropriate educational experiences for pupils and to report to parents and other professionals.” Headington menekankan akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal (aturan) guru memiliki tanggung jawab bagi siswa maupun orang tua siswa untuk mewujudkan proses pembelajaran yang baik. Tidak saja guru tetapi juga badan-badan yang terkait dengan pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh Headington (2000:83), “The head teacher and governing body have a legal responsibility to ensure the finances of the school are used effectively to benefit pupils’ education.”

Untuk siapa guru bertanggung jawab? Pertanyaan ini diajukan oleh Headington, Ia menjawabnya:
Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing work which is interesting and challenging, maintaining pupils’ involvement and helping them make progress in their learning. Secondly, teacher are accountable to pa rents, both legally and morally, for the educational development of their children. The most evident mechanism for this through the formal reporting channel and through the provision of information about pupils’ progress whenever necessary.” Thirdly , teacher are accountable to their fellow professionals, in and beyond the school, through the provision of accurate and appropriate information from which pupils educational progress can be tracked, measured and compared. To in activities and discussion which develops shared professional understanding and enhances good practice.”(2000:84)

Pendapat Headington memberi tekanan pada akuntabilitas kinerja pembelajaran. Di Indonesia, juga di Negara-negara yang telah menerapkan MBS, terjadi kekacauan dalam memahami MBS, bahwa seringkali aspek pembelajaran dipahami terpisah dengan MBS. Hal ini sebenarnya telah diingatkan oleh David D. Mars; dalam Susan Mohrman (1994:225), “That changes in the locus of decision-making within SBM should be designed and implemented as part of systemic reform-not as and innovation in and of itself. Conversely, avoid implementing SBM as an isolated innovation.”

Apa yang dikatakan oleh David Marsh merupakan sebuah peringatan keras akan bahaya kekacauan dalam penerapan MBS. Bahwa MBS tidak dipahami sebagai sebuah inovasi yang terpisah dari pembelajaran.

Jadi, kalau Rita Headington memberi tekanan akuntabiltas pada aspek pembelajaran yang dimotori oleh guru, maka sebenarnya ini adalah bagian hakiki dalam penerapan MBS yang tidak boleh diabaikan oleh sekolah.