Manajenen Berbasis Sekolah sebagai Paradigma Baru Pengelola Pendidikan

Manajenen Berbasis Sekolah sebagai Paradigma Baru Pengelola Pendidikan

Sistem pendididikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air. Mengapa demikian? Karena sistem birokrasi selalu menempatkan kekuasaan sebagai faktor yang paling menentukan dalam prosespengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi yang “menggurita” sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah, bahkan terkesan semakin buruk dalam era desentralisasi ini. Ironisnisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realita pendidikan berada pda tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka adalah dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan objective di masing-masing sekolah. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kekuasaan birokrasi persekolahan telah membuat sistem pendidikan kita tidak pernah berhenti dari keterpurukan.
Kekuasaan birokrasi jugalah yang menjadi sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendididkan disekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat dan merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru pada pemerintah untuk diangkat pada sekolah tersebut. Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan yang berkelanjutan (subtainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa bertanggung jawab dalam pemeliharaan serta operasional pendidikan sehari-hari. Namun, keluarnya Impres SDN No. 10/1973 adalah titik awal dari keterpurukan siste pendidikan, terutama sistem pendidikan/ persekolahan Ditanah Air. Pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang sebelumnya milik masyarakat sekarang menjadi milik pemerintah dan dikelola sepenuhnya secara birokrasi bahkan sentralistis. Sejak itu secara perlahan “rasa miliki” sekolah dari masyarakat menjadi pudar bahkan akhirnya menghilang. Peran masyarakat yang sebelumnya “bertanggung jawab”, dan mulai berubah menjadi hanya “berprtisipasi” terhadap pendidikan, selanjutnya masyarakat menjadi “asing” terhadap sekolah. Semua sumber daya pendidikan ditanggung oleh pemerintah dan sekolah tidak ada alasan bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi apalagi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan disekolah.

Pergeseran paradigma pengelola pendidikan dasar dan menengah telah tercermin dalam visi pembangunan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN No. 10/1999: “ mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan bangsa yang beraklah mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin, bertangggung jawab, terampil, serta menguasai ilmu pengetahuan dan tehnologi”. Amanat GBHN ini menyiratkan suatu kekhawatiran yang mendalam dari berbagai komponem bangsa terhadap prestasi sistem pendidikan nasional yang kini tampak mulai menurun dalam mempersiakan SDM yang tangguh dan mampu bersaing di era tanpa batas kedepan.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memang bisa disebut suatu pergeseran paradigma dalam pengelola pendidikan, namun tidak berarti paradgma ini “baru” sama sekali, karena sebelumnya kita pernah memiliki Inpres No. 10/1973. Sekolah-sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya di perankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai pegelola dan pelaksana pada setiap sekolah yang juga tidak terpisakan dari lingkungan masyarakat. MBS bermaksud “mengembalikan” sekolah kepada pemiliknya, yaitu masyrakat, yang diharapkan akan merasa bertanggung jawab kembali sepenuhnya terhadap penyelenggaraan penddikan di sekolah-sekolah.
Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan masyarakatlah yang paling mengetahui berbagai persoalan pendidikan yang dapat menghambat peningkatan mutu kependidikan. Dengan demikian, merekalah yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan yang bermutu relavandengan kebutuhan masyarakat. Hanya kepala sekolah yang mengetahui apakah guru-guru berkerja dengan baik, apakah buku-buku kurang, apakah perpustakaan yang digunakan, apakah sarana pendidikan masih latyak pakai dan sebagainya. Kepala sekolah dapat “berunding” dengan masyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk dalam mengatasi kekurangan sarana an prasarana pendidikan.
Disisi lain, hanya gurulah yang paling memahami, mengapa prestasi belajar murid-muridnya menurun, mengapa sebagian murid bolos atau putus sekolah, metode mengajar apakah yang efektif, apakah kurikulum dapat dlaksanakan, dan sebagainya. Guru-guru dan kepala sekolah dapat bekerja sama dalam memecahkan masalah-masalah yang menyangkut proses pembelajaran tersebut. Untuk itu, kepela sekolah dan guru-guru harus dkembangkan kemampuannya dala melakukan kajian dan analisis agar semakin peka dan memahami dengan cepat cara-cara pemecah masalah pendidikan disekolahnya masing-masing.
Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga tidak perlu diangkat ke tingkat pemerintah daerah apalagi ke