Manajemen Konflik

Pengertian Manajemen Konflik

Kata manajemen berasal dari bahasa Italia maneggiare yang berarti mengendalikan (Haney dalam Mardianto, 2000). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), manajemen adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien untuk mencapai sasaran (http://kbbi.web.id/, diakses tanggal 7 Januari 2013). Ricky W. Griffin (dalam Juanita, 2002) menjelaskan bahwa manajemen dipahami sebagai suatu proses perencanaan, pengorganisasian dan pengkoordinasian serta pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran secara efektif dan efisien. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan sebuah tindakan yang berhubungan dengan segala usaha-usaha dalam perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian dan pengontrolan sumber daya secara efektif untuk mencapai tujuan. Sedangkan konflik menurut KBBI adalah percekcokan, perselisihan atau pertentangan (http://kbbi.web.id/, diakses tanggal 7 Januari 2013). Joel A. Digirolamo (dalam Wirawan, 2010) menjelaskan bahwa konflik merupakan proses yang diawali dengan adanya perbedaan antara dua pihak atau lebih mengenai nilai, kepentingan, keyakinan atau pengalaman terhadap suatu hal. Lebih spesifik lagi dalam kaitannya dengan organisasi Gareth R. Jones (dalam Wirawan, 2010) menjelaskan bahwa “organizational conflict” adalah perselisihan yang muncul ketika tujuan dari organisasi terhambat karena kepentingan atau tujuan yang lain. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik merupakan suatu proses antara pihak-pihak yang terlibat konflik dalam mengelola maupun mengkoordinasikan konflik dengan memanfaatkan sumber daya secara efektif guna mencapai tujuan bersama.

Pola perilaku individu dalam menghadapi konflik disebut dengan manajemen konflik (Toomey, 2005). Menurut Wirawan (2010) manajemen konflik merupakan proses pihak-pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Sedangkan Lynne Irvine (dalam Wirawan, 2010) mengatakan bahwa manajemen konflik adalah strategi organisasi dan individu yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengelola perbedaan yang ada sehingga mengurangi biaya konflik yang tidak terorganisir dengan memanfaatkan konflik sebagai sumber inovasi dan perbaikan. Demikian halnya dengan Walton, R. E.(dalam Wahyudi, 2011) yang menyatakan bahwa manajemen konflik bertujuan untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan. Criblin (dalam Wahyudi, 2011) menjelaskan bahwa manajemen konflik merupakan teknik yang dilakukan pimpinan organisasi untuk mengatur atau mengelola konflik dengan cara menentukan peraturan dasar dalam bersaing. Konflik antar individu atau antar kelompok dapat menguntungkan atau merugikan bagi kelangsungan organisasi, maka dari itu pimpinan organisasi dituntut memiliki kemampuan manajemen konflik untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas organisasi.

Gaya Manajemen Konflik

Kenneth W Thomas dan Ralp H Kilmann mengembangkan taksonomi gaya manajemen konflik berdasarkan dua dimensi. Dimensi yang pertama yaitu kerja sama (cooperativeness) yang dipahami sebagai upaya seseorang untuk memuaskan orang lain dalam menghadapi konflik dan dimensi yang kedua yaitu keasertifan (assertiveness) dipahami sebagai upaya seseorang untuk memuaskan diri sendiri dalam menghadapi konflik (Wirawan, 2010). Berdasarkan kedua dimensi ini, Thomas dan Kilmann (dalam Wirawan, 2010) mengemukakan lima jenis gaya manajemen konflik yaitu :

  1. Kompetisi (competing)

Gaya manajemen konflik dengan keasertifan tinggi dan tingkat kerja sama rendah. Gaya ini merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan dimana seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenangkan konflik dengan biaya lawannya.

  1. Kolaborasi (collaborating)

Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja sama yang tinggi. Tujuannya adalah untuk mencapai alternatif dasar bersama dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Gaya manajemen konflik kolaborasi merupakan upaya bernegosiasi untuk menciptakan solusi yang sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang terlibat konflik.

  1. Kompromi (compromising)

Gaya manajemen konflik tengah atau menengah, di mana tingkat keasertifan dan kerjasama sedang. Dengan menggunakan strategi give and take kedua belah pihak yang terlibat konflik mencari alternatif titik tengah yang memuaskan sebagian keinginan mereka. Gaya manajemen konflik kompromi berada di tengah antara gaya kompetisi dan kolaborasi.

  1. Menghindar (avoiding)

Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja sama rendah. Dalam gaya manajemen konflik ini, kedua belah pihak yang terlibat konflik berusaha menghindari konflik. Menurut Thomas dan Kilmann bentuk penghindaran tersebut bisa berupa menjauhkan diri dari pokok masalah, menunda pokok masalah hingga waktu yang tepat atau menarik diri dari konflik yang mengancam dan merugikan.

  1. Mengakomodasi (accomodating)

Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan rendah dan tingkat kerja sama tinggi. Seseorang mengabaikan kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan kepentingan lawwan konfliknya.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Gaya Manajemen Konflik

Menurut Wirawan (2010) gaya manajemen konflik yang digunakan pihak-pihak yang terlibat konflik dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah :

  1. Pengalaman menghadapi situasi konflik

Proses interaksi konflik dan gaya manajemen konflik yang digunakan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik dipengaruhi oleh pengalaman mereka dalam menghadapi konflik dan menggunakan gaya manajemen konflik tertentu.

  1. Kecerdasaan emosional

Penelitian yang dilakukan oleh Ming (dalam Wirawan, 2010) mengemukakan bahwa kesuksesan manajemen konflik memerlukan ketrampilan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa gaya manajemen konflik integrating dan compromising memiliki korelasi positif dengan kecerdasan emosional.

  1. Kepribadian

Kepribadian individu akan memengaruhi gaya manajemen konflik yang digunakan untuk menyelesaikan konflik.  Kilmann dan Thomas (dalam Millia, 2012) dalam penelitiannya yang mengkorelasikan tipe kepribadian dan gaya manajemen konflik menghasilkan kesimpulan bahwa individu dengan tipe kepribadian introvert cenderung menyukai gaya manajemen konflik akomodasi dan mengindar, sedangkan individu dengan tipe kepribadian ekstrovert cenderung menyukai gaya manajemen konflik kompetisi atau kolaborasi.

  1. Budaya organisasi dan sistem sosial

Budaya organisasi dan sistem sosial dengan norma perilaku yang berbeda menyebabkan para anggotanya memiliki kecenderungan untuk memilih gaya manajemen konflik yang berbeda.

  1. Situasi konflik dan posisi konflik

Seseorang dengan kecenderungan gaya manajemen konflik berkompetisi akan mengubah gaya manajemen konfliknya jika menghadapi situasi konflik yang tidak mungkin ia menangkan.

Daftar Pustaka

Feist, J., & Feist, Gregory. J. (2010).  Teori Kepribadian. Jilid 1. Jakarta : Salemba Humanika

Feist, J., & Feist, Gregory. J. (2010).  Teori Kepribadian. Jilid 2. Jakarta : Salemba Humanika

Catrunada, L. & Puspitawati, I. (2008). Perbedaan Kecenderungan Prokastinasi Tugas Skripsi Berdasarkan Tipe Krpeibadian Ekstrovert dan Indtrovert.

Wirawan. (2010). Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi dan Penelitian.  Jakarta: Salemba Humanika.

Wahyudi. (2011). Manajemen Konflik Dalam Organisasi. Bandung : Alfabeta, cv.

Juanita. (2002). Manajemen Konflik Dalam Suatu Organisasi. USU. Digital Library.