MAKALAH ULUMUL HADITS

BAB I
ULUMUL HADITS

A. Pengertian Ulumul Hadits
Kata-kata ulumul hadits ini terdiri dari dua kata, yaitu ilmu dan hadits. Ulumul hadits mempunyai arti ilmu yang membahas tentang seluk beluk hadits Nabi, baik dengan cara periwayatan maupun diterima dan ditolaknya suatu hadits.

B. Pembagian Ulumul Hadits
Ilmu ini dibagi menjadi dua yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah. Pengertian ilmu hadits riwayah adalah suatu yang membahas tentang pengambilan dan periwayatan dari suatu hadits baik itu berhubungan perbuatan, perkataan, ketetapan dan sifat Nabi. Obyek ilmu ini adalah perbuatan, perkataan, ketetapan, dan sifat Nabi itu sendiri. Manfaat dari ilmu ini adalah bisa menghafal hadits Nabi dan mengetahui bagaimana hadits Nabi itu tersebar di kalangan umat Islam. Pendiri ilmu ini adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Yang kedua adalah ilmu hadits dirayah yang juga bisa disebut ilmu ushulul hadits atau ilmu ushulu dirayah, tetapi yang lebih terkenal ilmu hadits dirayah. Ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah keadaan sanad dan matan. Pendiri ilmu ini adalah Al-Badhi Abu Hasan bin Khalad yang bertempat tinggal di Ramamuz Muzi. Obyek kegiatan ini adalah rawi dan guru rawi itu sendiri baik diterima atau ditolak periwayatannya.
Faedah mempelajari ilmu ini adalah setelah mempelajarinya diharapkan bisa membedakan apakah hadits itu tidak bisa dijadikan hujjah atau tidak.

1. Pengertian Sunnah atau Hadits
Arti sunnah secara etimologi berarti jalan yang tampak (ath thariqatul maslukah). Kata sunnah berasal dari akar kata sanna, yasinnu, sunnatan. Sedangkan secara terminologi ulama hadits memberikan arti yang berbeda sesuai disiplin ilmu mereka.
a. Menurut ulama hadits (ahli hadits) sunnah berarti:
مَانُقِلَ عَن نَبِى صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قِوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ غَيْرَ ذَلِكَ
b. Menurut ulama ushul fiqh (ahlu ushul fiqh) sunnah adalah:
مَانُقِلَ عَن نَبِى صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قِوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرِ الَّذِى يَتَعَلَّقَ بِالْحُكْمِ
c. Menurut ulama fiqh
مَايثاب على فعل ولايعاقىعلىتركه\طاب الله تيالى يقتض الفحل اقتظاء غير جازم
Sunnah oleh ulumul hadits disamakan dengan hadits, namun ada juga yang membedakannya. Sunnah diartikan semua ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sedangkan hadits tidak demikian (seperti definisi di atas). Sebenarnya di samping kata sunnah, hadits ada juga sebutan lain yaitu khabar atau atsar. Tetapi yang paling masyhur adalah hadits.
Dari definisi tersebut disimpulkan bahwa hadits itu dilihat dari sumber hadits ada tiga macam, yaitu:
a. Qauliyah yaitu hadits yang berhubungan dengan perkataan Nabi. Contoh:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى (متفق عليه عن ابى هريرة)
b. Fi’liyah yaitu hadits yang berhubungan dengan perbuatan Nabi. Contoh:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ (رواه البخارى عن جابر)
c. Taqririyah yaitu hadits yang berhubungan dengan ketetapan Nabi. Contoh:
لاولكن لم يكن بارض قوم فأجدن أعاقه قال خالد فاجتن زته فأكلمته ورسول الله صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لم ينه إلي (متفق عليه عن ابى هريرة)
2. Unsur-unsur yang harus ada pada hadits
Untuk membedakan dengan masalah hikmah dan lain-lain dengan hadits, para muhaditsin memberikan persyaratan. Persyaratan itu adalah sebagai berikut:
a. Adanya rawi, yaitu orang yang menyampaikan dan menuliskan dalam suatu kitab tentang sesuatu yang pernah didengar dan diterima dari seseorang (gurunya).
b. Sanad, yaitu jalan yang menyampaikan kepada matan hadits.
c. Matan, yaitu perkataan yang disebut pada akhir sanad atau sabda Nabi yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya.
Kalau tidak ada tiga unsur tersebut tidak dapat disebut hadits (belum bisa disebut hadits).
Contoh konkritnya adalah:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ المثن قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُالْوَهَّابِ الشفعى قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ عَنْ أَنَسٍ, النبى قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الْإِيمَانِ … (رواه البخارى)
روى البخارى
سند: انس-ابى قلابة-ايب-عبد الوهب الشفعى
متن: ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الْإِيمَانِ
Pandangan ulama terhadap sanad
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting, karena hadits yang diperoleh/diriwayatkan akan menyita siapa yang meriwayatkan dengan sanad suatu hadits itu dapat diterima atau ditolak sebagai dasar beragam, shahih, hasan, dhaif, dan sebagainya.
a. Imam Asyafi’i dalam buku Arrisalah mengatakan:
مثل الذى يطلب الجديث بلا اسند كمثل خاطب ليل
Perumpamaan orang yang mencari (menerima) hadits tanpa sanad, sama dengan orang yang mengumpulkan kayu api di malam hari. Pendapat Imam Syafi’i ini didasari hadits:
هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ (رواه مسلم عن ابى سر)
b. Abdullah ibn Mubarah seorang tabi’in
الاسند من الذين لولا الاسند لقول من شاء ماشاء بيننا وبين القوم ثم الاسند. مثل الذين يطلب أمر دينه بلااسناد كمثل الذي يرتقى السطح بلاسلم
c. Ibnu Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi Saw., bersambung-sambung perawi-perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah khususnya kepada orang-orang Islam.
3. Perbedaan dan persamaan hadits nabawy dengan hadits qudsi, hadits qudsi dengan Al-Qur’an
a. Perbedaan
1) Hadits qudsi bisa juga disebut hadits rabby atau hadits Ilahi, yaitu maknanya dari Allah sedangkan lafadznya dari Nabi dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a) Bala ata ykulu Allahhu ta’ala
b) Ana.
2) Sedangkan hadits Nabi itu lafadz dan maknanya dari Nabi sendiri dan tidak mempunyai ciri-ciri seperti hadits qudsi tersebut.
Contoh hadits qudsi:
عن ابى هريرة قال: قال الله تعالى عز وجل: انا عند طن عبد وانا معه حيث يذكرنى (رواه البخارى)
b. Persamaaan
Sedangkan persamaannya adalah bahwa hadits nabawiyah dan hadits qudsi adalah sama-sama bersal dari nabi dan sebagai sumber matan hadits.
4. Perbedaan dan persamaan hadits qudsi dengan Al-Qur’an
a. Pebedaan
1) Semua lafadz (ayat-ayat) Al-Qur’an adalah mu’jizat dan mutawatir, sedangkan hadits qudsi tidak demikian.
2) Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur’an memberikan pahala kepada pembacanya sepuluh kebaikan, sedangkan hadits qudsi tidak demikian.
3) Meriwayatkan Al-Qur’an tidak boleh dengan maknanya saja, mengganti lafadz yang mempunyai nama sama, sedangkan hadits qudsi tidak demikian.
b. Persamaan
Persamaan adalah bahwa Al-Qur’an dan hadits qudsi itu pesan-pesanya/maknanya Allah SWT.

5. Fungsi dan kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an
Fungsi dan kedudukan hadits terhadap Al-Qur’an itu sedikitnya ada dua fungsi:
a. Sebagai bayan tahrir, yaitu menjelaskan dan menetapkan yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183 tentang puasa. Kemudian Rasulullah menjelaskan:
صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته
b. Tafsir terhadap ayat-ayat yang masih bersifat mujmal (bukan jelas, global). Seperti dalam surat Al-Isra’ ayat 78:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (الإسراء: 78)
Dalam ayat ini belum jelas bagaimana tata cara pelaksanaan shalat, kemudian Nabi memberikan penjelasan dengan sabdanya:
صلوا كما رايتمونى اصلى (رواه البخارى ومسلم عن ملك بن مويرث)
Dalil-dalil yang mengharuskan mengikuti Nabi:
1. وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر: 7)
2. مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا (النساء: 80)
3. مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ (الأحزاب: 38)
4. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ (النور: 62)
5. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (النجم: 3)

C. Pengertian dan Macam-macam Ulumul Hadits
1. Pengertian Ulumul Hadits ialah ilmu yang berkaitan dengan hadits, baik berhubungan dengan periwayatan maupun ditolak dan diterimanya suatu hadits. Sudah macamnya banyak sekali, tetapi jika dilihat dari segi garis besarnya, cuma ada dua yaitu:
a. Ilmu hadits riwayat (riwayah)
علم يعرف اقوال النبى وافعله وتقراته وصفاته
b. Ilmu hadits dirayat (dirayah)
علم يعرف به احوال السند والمتن من حيث القبول والرد وما تصل بذالك
2. Cabang-cabang Ilmu Hadits
Besar yang tumbuh dari ilmu hadits, baik riwayah maupun dirayah adalah sebagai berikut:
1. علم رجال الحديث
2. علم جرح وتعديل
3. علم فن المبهامة
4. علم اعلال الحديث
5. علم غريب الحديث
6. علم نسح والمنسح
7. علم تلفيق الحديث
8. علم اسباب ورود الحديث

D. Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas Shahih, Hasan dan Dhaif
(Kriteria, Macam-macam dan Kehujjahannya)
Pendapat pertama yang muncul mengenai pembagian hadits dari segi kualitas, terbagi dua, kualitas shahih dan dhaif. Kualitas hasan diperkenalkan pertama kali oleh Imam Turmidzi. Secara jelas beliau memberikan batasan-batasan dasar untuk hadits hasan. Batasan-batasan tersebut kemudian diikuti oleh ulama hadits pada umumnya.
1. Hadits Shahih
a. Kriteria hadits shahih
Penentuan kriteria hadits shahih diambil dari definisi hadits shahih itu sendiri. Bahwa hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang adil lagi kuat daya ingatnya dari yang semisalnya hingga puncak akhirnya, terhindar dari syadz dan cacat.
Jadi, hal-hal yang harus dipenuhi agar menjadi hadits shahih adalah:
1) Bersambung sanadnya
Artinya tiap-tiap perawi dari perawi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.

2) Adilnya para perawi
Artinya tiap-tiap perawi itu seorang muslim, baligh bukan fasiq dan tidak pula jelek perilakunya.
3) Kuatnya hafalan para perawinya
Artinya tiap-tiap perawinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan dalam dada maupun dalam kitab.
4) Tidak ada syadz (bertentangan)
Artinya hadits itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyelisihi orang yang terpercaya dari lainnya.
5) Tidak ada cacat (illat)
Artinya hadits itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat mencederai keshahhihan hadits, sementara dhahirnya selamat dari cacat.
b. Macam-macam
1) Hadits shahih lidzatih
Yaitu hadits shahih yang memenuhi secara lengkap kriteria hadits shahih.
Contoh:
حَدَّثَنَا عَبْدُاللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِاللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةٌ فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الثَّالِثِ (رواه البخارى)
Artinya: “Bukhari berkata, “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik tanpa ikut serta orang ketiga”. (HR. Bukhari).
Hadits di atas diterima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Abdullah bin Yusuf menerimanya dari Malik, Malik menerimanya dari Nafi’, Nafi’ menerimanya dari Abdullah, dan Abdullah adalah sahabat Nabi Saw. yang mendengar Nabi Saw. bersabda. Mulai dari Bukhari sampai Abdullah (sahabat) adalah rawi-rawi yang adil, dzabit dan benar-benar bersambung. Tidak ada cacat baik pada sanad maupun pada matan. Dengan demikian hadits di atas termasuk hadits lidzatih.
2) Hadits shahih lighairih
Yaitu hadits di bawah tingkahah shahih yang menjadi hadits shahih karena diperkuat oleh hadits-hadits lain.
Contoh:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه البخارى والترمذى)
Artinya: “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Sekiranya Aku tidak menyusahkan umatku, tentu aku menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap shalat”. (HR. Bukhari dan Turmidzi).
Hadits di atas Dihitung sebagai dua buah hadits. Pertama adalah hadits Bukhari, yang dinilai sebagai lidzatih, dan kedua, hadits Turmudzi. Karena diperkuat oleh hadits Bukhari, hadits Turmudzi naik tingkatannya menjadi hadits shahih lighairih.
c. Status kehujjahan hadits
Kedudukan hadits shahih berada di bawah hadits mutawatir, yaitu hadits shahih yang pasti shahih (benar) berasal dari Rasulullah Saw. Disepakati oleh ulama sebagai hujjah, baik dalam bidang hukum, akhlak maupun akidah.
2. Hadits Hasan
a. Kriteria hadits hasan
Imam Turmudzi menjelaskan kriteria hadits hasan sebagai berikut:
وَمَا قُلْنَا فِي كِتَابِنَا حَدِيثٌ حَسَنٌ فَإِنَّمَا أَرَدْنَا بِهِ حُسْنَ إِسْنَادِهِ عِنْدَنَا كُلُّ حَدِيثٍ يُرْوَى لاَ يَكُونُ فِي إِسْنَادِهِ مَنْ يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ وَلاَ يَكُونُ الْحَدِيثُ شَاذًّا وَيُرْوَى مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ نَحْوَ ذَاكَ فَهُوَ عِنْدَنَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Artinya: “Hadits yang kami sebut hadits hasan dalam kitab ini adalah hadits yang sanadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad yang di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya tidak janggal, diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian menurut kami adalah hadits hasan”.
b. Macam-macam hadits hasan
1) Hadits hasan lizatih
Yaitu hadits yang terwujud karena dirinya sendiri, yakni karena matan dan para rawinya memenuhi kriteria hadits shahih, kecuali keadaan rawi (rawinya kurang dhabit).
Jika hadits diperkuat hadits lain, maka naik menjadi shahih lighairih.
2) Hadits hasan lighairih
Yaitu hadits dhaif yang meningkat jadi hasan karena dikuatkan oleh hadits lain. Kecuali hadits dhaif yang disebabkan oleh rawi yang dikenal pendusta atau dikenal fasiq.

c. Status kehujjahannya
Kedudukan hadits hasan berada sedikit di bawah tingkatan hadits shahih. Kedudukannya sebagai hujjah, ulama berbeda pendapat, mayoritas memberlakukan sama dengan hadits shahih, baik dalam bidang hukum, akhlak maupun akidah.
3. Hadits Dhaif
a. Kriteria hadits dhaif
Ulama memberikan batasan hadits dhaif sebagai berikut:
الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ هُوَ اْلحَدِيثُ الَّذِى لَمْ يُجْمِعُ صِفَاتِ اْلحَدِيثِ الصَّحِيْحْ وَلاَ صِفَاتِ اْلحَدِيثِ اْلحَسَنِ.
Artinya: “Hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Pada hadits dhaif, terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah Saw.
b. Macam-macam hadits dhaif
Digolongkan menjadi dua hal:
1) Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yaitu tidak adanya satu, dua atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam satu sanad, baik pada permulaan sanad, pertengahan ataupun akhirnya.
a) Hadits mursal
Hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad, yakni rawi pada tingkatan sahabat. Jadi sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
b) Hadits munqati’
Yaitu bila rawi yang gugur pada tingkat tabi’in, bukan pada sahabat, minimal gugur seorang tabi’in.
c) Hadits mudul
Yaitu hadits yang gugur dua orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya.
d) Hadits muallaq
Yaitu hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad. Termasuk juga bila semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan).
2) Hadits dhaif karena cacat pada rawi atau matan
Cacat pada rawi misalnya: pendusta, pernah dusta, fasiq, tidak dikenal, berbuat bid’ah, banyak keliru dan buruk hapalan.
Cacat pada matan misalnya: terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau lafadz hadits diputarbalikkan sehingga memberikan pengertian yang berbeda dengan maksud lafadz yang sebenarnya.
Macam-macamnya:
a) Hadits maudhu’
Yaitu hadits yang bukan hadits Rasulullah Saw. tetapi disandarkan kepada beliau oleh orang secara dusta dan sengaja atau secara keliru tanpa disengaja.
b) Hadits matruk
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh pernah berdusta (baik berkenaan hadits atau urusan lain), atau tertuduh pernah melakukan maksiat, atau lalai, atau banyak fahamnya.
c) Hadits munkar
Yaitu hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi (tidak mudah untuk diketahui) yang menjatuhkan derajatnya.

d) Hadits muallal
Yaitu hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi (tidak mudah untuk diketahui) yang menjatuhkan derajatnya.
e) Hadits mudraj
Hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian hadits itu, bisa pada sanad, matan atau keduanya.
f) Hadits maqlub
Yaitu hadits yang terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
4. Pengertian Hadits Dhaif
ما فقد شروط او اكير من شروط الصحيح او الحسن
Para muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan yakni jurusan sanad dan jurusan matan.
a. Dari jurusan sanad diperinci menjadi dua bagian pertama, terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilannya maupun hafalannya. Kedua, ketidak bersambung-sambungnya sanad, dikarenakan adanya seorang rawi atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
1) Cacat-cacat pada keadilan dan kedlabitan rawi itu ada 10 macam.
2) Tertuduh dusta, hadits dhaif yang karena rawinya tertuduh dusta, disebut hadits matruk.
3) Fasik
4) Banyak salah
5) Lengah dalam menghafal, hadits dhaif yang karena rawinya fasik, banyak salah dan lengah disebut hadits munkar.
6) Banyak waham (purbasangka). Hadits dhaig yang karena rawinya waham, disebut hadits mu’allal.
7) Menyalahi riwayat orang kepercayaan.
8) Tidak diketahui identitasnya (jahalah) hadits dhaif yang karena jahalah ini, disebut hadits mubham.
9) Penganut bid’ah: hadits dhaif yang karena rawinya penganut bid’ah disebut hadits mardud.
10) Tidak baik hafalannya. Hadits dhaif yang karena ini disebut hadits syadz dan mukhtalith.
b. Dari segi kuantitas sanad
Hadits dilihat dari jumlah sanad itu ada 3 yaitu:
1) Mutawatir yaitu:
ما رواه عدد كثير تحيل العدة تواطق هم على الكذب
Hadits mutawatir ini ada dua yaitu:
a) Mutawatir lafdzi
ما تواتر لفظه ومعنه
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه البخارى عن ابو هريرة)
b) Mutaatir maknawai
او ما تواتر معنه دون لفظه
كان يرفع يديه حدو منكبيه (رواه امام احمد وابو داود)
Contoh: hadits tentang Nabi dalam berdo’a mengangkat tangan, ada seratus hadits yang menerangkan ini dengan redaksi yang berbeda, tetapi kesimpulannya sama, yaitu bahwa Nabi dalam berdo’a mengangkat tangan.
2) Mutawatir masyhur
ما رواه الثلاثة فاكثر ولم يصل درجة التواتر
Oleh muhaditsin hadits masyhur ada tiga macam, yaitu:
a) Masyhur di kalangan muhaditsin yang lain
قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ (رواه مسلم عن حابر)
b) Masyhur di kalangan tentang
ان النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قنت بثهرا بعد الركوع على رعد ودكوان (رواه البخارى عن انس بن مالك)
Hadits ini hanya masyhur di kalangan ahli hadits.
c) Masyhur di kalangan umum
للسئل حق وان جاء على فرس (رواه احمد عن حسير بن على)
3) Hadits Ahad
هو مالم يتصل الى التواتر ل
لاَ يَنْكِحُ اِلاَّ بِوَلِىٍّ (رواه الامام احمد)
Hadits dianggap ahli hadits ahad, sehingga Imam Abu Hanifah tidak mau menggunakan hadits ini, dia lebih mengutamakan qiyas.
a) Pandangan ulama tentang hadits ahad
Pandangan ulama tentang hadits ahad ini ada beberapa pendapat. Pendapat-pendapat itu adalah sebagai berikut:
(1) Imam Syafi’i berpendapat lebih menggunakan hadits ahad daripada qiyas dalam menentukan hukum.
(2) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hadits ahad itu bisa digunakan dasar hukum dengan beberapa adanya syarat.
(3) Imam Malik dan Ibnu Hakim menerima hadits ahad sebagai dasar menentukan hukum daripada qiyas dengan:
فان السنة مقدمة على القيس
b) Sebab-sebab tertolaknya hadits karena sanadnya digugurkan (tak bersambung)
(1) Kalau yang digugurkan itu sanad pertama, maka haditsnya disebut hadits mu’allaq.
(2) Kalau yang digugurkan itu sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal.
(3) Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut, disebut hadits mudlal.
(4) Jika tidak berturut-turut, disebut dengan hadits munqathi’.
Ibnu Hajar al-Asqalany, termasuk ulama ahli hadits yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhaif untuk fadla’ilul a’mal, memberikan 3 syarat:
1) Hadits dhaif itu tidak keterlaluan, oleh karena itu hadits dhaif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah, kendatipun untuk fadla ‘ilul a’mal.
2) Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhaif tersebut masih di bawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan). Misalnya hadits dhaif Ibnu Abdil Baar dari Ibnu Umar ra. yang menjelaskan bahwa Rasulullah bersabda:
من فق على امتى اربعين حديثا من السنة حتى يؤدبها اليهم كنت له شَفِيعًا وَشَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang menghafal 40 buah hadits, sampai mau menyampaikan kepada umat, aku bersedia menjadi pemberi syafa’at dan saksi padanya, di akhir kiamat”.
Hadits dhaif ini mempunyai mutabi’ hadits shahih, ia:
قَالَ النبى صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ليبلغ الساهد منكم الغائب
“Rasulullah Saw. bersabda: hendaknya di antara kamu yang menyaksikan, menyampaikan kepada orang yang tidak menyaksikan”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam mengamalkan tidak mengitikadkan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada Nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata-mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.
3) Berhujjah dengan hadits dhaif
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhaif yang maudhu’ tanpa menyebutkan kemaudhu’annya. Adapun kalau hadits dhaif itu bukan hadits maudhu’, maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Dalam hal ini ada 3 pendapat:
Pertama, melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dhaif, baik untuk menetapkan hukum-hukum maupun memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnu Araby.
Kedua, membolehkan, kendatipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla’ilil amal) dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah (keinginan-keinginan). Pada imam seperti Ahmad bin Hanbal, Abur Rahman bin Mahdy, Abdullah bin al-Mubarok berkata:
اذا روينا الحلال والحرم والاحكام شددنا من السنايد وانتقدنا فى الرجال واذا روينا فى لفظائل والثواب والقاب تسهلن فى الاسانية وتيامحنا فى الرجال
Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya, tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa, kami permudah sanadnya dan kami perlunak rawi-rawinya.
Al-An’am ayat 164:
ولاتزر وازرة وزر احرى
5. Pengertian Hadits Maudhu’
Pengertian hadits maudhu’, sebagaimana yang telah didefinisikan oleh muhaditsin adalah:
هو المحتلجالمصنوع المنصوب الرسول الله صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زورا وبصيتنا سواء كان ذلك متعمدا ام خطأ.
Ciri-ciri ada dua yaitu ciri pada sanad dan matan hadits
a. Ciri yang terdapat pada sanad, yaitu:
1) Pengakuan dari si pembuat sendiri
2) Adanya tanda-tanda yang memperkuat penyakaan
3) Adanya tanda-tanda yang berhubungan dengan tingkah laku si pembuat.
b. Ciri-ciri yang terdapat pada matan hadits
Ciri-ciri yang terdapat pada matan itu dapat dilihat dari segi makna dan lafadz. Dari segi maknanya, maka makna hadits itu bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits mutawatir, ijma’ dan akal sehat.
ولد الزنا لا يدخل الجنة ألى سبعة ابناء
Contoh hadits maudhu’ yang bertentangan hadits mutawatir
وان كان من يسمى بهذه الاسماء (محمحد واحمد) لا تدخل النار
Contoh bertentangan dengan akal
البادنجا شفاء من كل داء
Contoh makna dan lafadznya janggal
لاتسبوا الديك فانه صديقى
c. Membuat kiasan-kiasan dan nasehat untuk menarik minat para pendengarnya.
d. Mencari muka di hadapan penguasa untuk mencari kedudukan atau mencari hadiah.
Semangat menjalankan agama tetapi tidak tahu caranya.
معلوا صبنالكم اقلهم رحمة لليتيم واغظهم على المسكين
Motif-motif yang mendorong untuk membuat hadits maudhu’
Motif-motif yang mendorong mereka membuat hadits maudhu’ dan lingkungan yang menyebabkan tumbuhnya, antara lain:
a) Mempertahankan idiologi partainya (golongannya) sendiri dan menyerang partai lawannya.
اذا رايتم معاوية على ممبارى فاقتلوه
“Apabila kamu melihat Mu’awiyah berada di atas mimbarku bunuhlah”.
b) Untuk merusak dan mengaburkan agama Islam
يترل دينا عشية عرضه على جمل اورق يصيح الكبان ويعانق لمشاة
c) Fanatik terhadap golongan, kesukuan, kedaerahan dan bahasa
ان الله اذا غضب انزل الوحي بالعربية واذا ارض انزل الوحي بالفارسية
ان الله اذا غضب انزل الوحي بالفارسية واذا ارض انزل بالعربية
سيكون رجل فى امتى يقال له أو حنيفة النعما هو صراج امتى
سيكون رجل فى امتى يقال له محمد بن ادريس هو اخر على امتى من الابليس
Upaya-upaya Ulama dalam Menyelamatkan Hadits dari Hadits Palsu
Sejak terbunuhnya Utsman bin Affan dan tampilnya Ali bin Abi Thalib serta Imamiyah yang masing-masing ingin memegang jabatan khalifah, maka umat Islam terpeah menjadi tiga kelompok yaitu Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur. Masing-masing kelompok mengaku berada dalam pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah. Untuk membela pendirian masing-masing, maka mereka membuat hadits-hadits palsu.
Orang-orang yang mula-mula membuat hadits palsu adalah golongan Syi’ah kemudian golongan Khawarij dan jumhur. Tempat mula berkembangnya hadits palsu adalah daerah Irak tempat kaum Syi’ah berpusat pada waktu itu.
Pada abad kedua, pemalsuan hadits bertambah luas dengan munculnya propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Bani Umayyah, sebagai imbangan muncul pula dari pihak Mu’awiyah ahli-ahli pemalsu hadits untuk membendung arus propaganda yang dilakukan oleh golongan oposisi, selain itu muncul juga golongan zindiq tukang kisah yang berupaya untuk menarik minat masyarakat agar mendengarkan dengan membuat kisah palsu.
Selain itu juga diusahakan pemberantasan terhadap hadits-hadits palsu oleh para ulama, yaitu dengan menunjukkan nama-nama dan oknum-oknum/golongan-golongan yang memalsukan hadits berikut hadits-hadits yang dibuatnya supaya Islam tidak terpengaruh dna tersesat oleh perbuatan mereka. Untuk itu para ulama menyusun kitab-kitab yang secara khusus menerangkan hadits-hadits palsu tersebut antara lain:
a. Kitab تذكرة الموضوعات oleh Muhammad bin Thahir al-Maqdizi (wafat tahun 507 H).
b. Kitab الاباطيل oleh Al-Hasan bin Ibrahim al-Hamdani (wafat tahun 543 H).
c. Kitab المضوعات الكبرى oleh Ibnul Jauzi Maqdizi (wafat tahun 597 H).
Di samping itu para ulama hadits membuat kaidah-kaidah atau patokan-patokan serta menetapkan ciri-ciri kongrit yang dapat menunjukkan bahwa suatu hadits itu palsu/maudhu’.

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN SUNNAH (HADITS)
DAN SISTEM PEMBUKUANNYA

Menurut sejarah perkembangan hadits adan pembukuannya dibagi menjadi 7 masa, yaitu:
A. Keadaan Sunnah/Hadits pada Masa Nabi
Pada masa ini, sunnah belum dibukukan (ditulis) karena ada larangan penulisan hadits dari Nabi dengan sabdanya:
لاَ تَكْتُبُوا عَنِّي شَيْئًا عَنِّي الْقُرْآنِ فَمَنْ كَتَبَ عَنِّي شَيْئًا غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ (رواه المسلم عن ابن مسعوح)
“Janganlah menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis apa-apa dari saya selain Al-Qur’an (yakni hadits) hendaklah menghapuskannya” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Hikmah larangan penulisan hadits, yaitu:
1. Pada waktu itu sahabat-sahabat Nabi masih banyak yang “ummu” (tidak bisa baca tulis), waktu itu Al-Qur’an masih murni, jadi Nabi khawatir terjadi percampuran antara Al-Qur’an dan hadits.
2. Nabi percaya pada kekuatan hafalan para sahabatnya dan secara tidak langsung mendidik mereka untuk percaya pada kemampuan diri sendiri.
Ada hadits yang membolehkan penulisan hadits, ialah sabda Nabi:
اكتب عنى فو الذى نفسى بيده ما خرج منى إلا حق (رواه البخارى)
“Tulislah dari saya, demi dzat yang diriku di dalam kekuasaannya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang haq (benar)”.

Beberapa pendapat dalam menghadapi dua hadits yang tempak bertentangan yaitu:
1. Pendapat jumhur “bahwa hadits yang melarang hadits itu ditulis telah dinaskah dengan hadits yang membolehkannya”.
2. Bahwa hadits yang melarang itu ditujukan kepada orang-orang yang kuat ingatannya (hafalannya), sedang hadits yang membolehkan ditujukan kepada orang yang tidak kuat hafalannya. Pendapat ini tidak tepat, sebab menganggap sahabat Abdullah bin ‘Amr dan sebagainya termasuk orang yang lemah ingatannya padahal tidak.
3. Bahwa hadits yang melarang itu berlaku bagi orang yang menulis Al-Qur’an dan hadits satu lembaran, karena dikhawatirkan bercampur keduanya.

B. Keadaan Hadits Masa Khulafaur Rasyidin (tahun 10-40 H)
Keadaan hadits juga belum dibukukan, karena para sahabat dan umat Islam menghadapi dua persoalan, yaitu:
1. Hadits hendaknya tidak dibukukan karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an, mengingat waktu itu banyak sekali orang-orang yang baru masuk Islam dari berbagai bangsa.
2. Hadits perlu dibukukan demi untuk memelihara ajaran-ajaran Nabi dan untuk memusahkan umat Islam mencari hadits-hadits Nabi, bila dibutuhkan sewaktu-waktu.

C. Keadaan Hadits Mulai Habisnya Masa Khulafaur Rasyidin Sampai Akhir Abad 1 H/Mulai 41 M sampai tahun 100 M
Pada masa ini timbul perpecahan antara umat Islam karena soal pemerintahan/politik antara Ali dan Mu’awiyah. Korban yang banyak adalah umat Islam. Diadakan perdamaian antara keduanya dengan peperangan terakhir di Shiffin. Waktu ini Islam pecah menjadi 3 golongan, yaitu:
1. Khawarij ialah golongan pemberontak yang tidak menyetujui “perdamaian dalam soal tahkim”. Golongan ini disebut ekstrim dan berusaha membunuh Ali dan Mu’awiyah, karena kedua ini dipandang salah.
2. Syi’ah ialah golongan yang sangat fanatik dan mengkultuskan pada Ali.
3. Jumhur ialah umat Islam yang tidak termasuk 1 dan 2, mereka ini terbagi menjadi tiga yaitu:
a. Golongan yang mendukung pemerintahan Ali
b. Golongan yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah
c. Golongan netral (independen) yang dapat melibatkan diri dalam peperangan dan pertentangan.
Untuk mencapai tujuan politik, mendapatkan pengaruh dan dukungan dari umat Islam, maka mereka membuat hadits palsu. Contoh:
1. Dari golongan Syi’ah, yang artinya: “siapa yang mati dan dalam hatinya ada rasa benci kepada Ali, maka hendaklah mati sebagai orang Yahudi atau Nasrani”.
2. Dari golongan Mu’awiyah, yang artinya: “orang yang terpercaya oleh Allah hanya tiga yaitu: Aku (Nabi), Jibril, dan Mu’awiyah”.
3. Dari golongan Khawarij, yang artinya: “jika kamu menerima hadits dari saya, cocokkan dahulu dengan Al-Qur’an”.
Para sahabat dan tabi’in pada masa itu berusaha mengecek kebenaran hadits-hadits itu dan berusaha menjaga kemurnian ajaran Nabi. Kemudian hasil penelitiannya diberitahukan kepada umat Islam, agar mereka dapat membedakan mana hadits yang syahid dan mana yang tidak,
Pada akhir masa ke II (mulai tahun 99-101 H), Umar bin Abdul Aziz mulai membekukan hadits, karena kuatir lenyap ajaran Nabi, karena telah banyak ulama dan tabi’in yang wafat. Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitab “Dhuha Al-Islam”, juz II bahwa orang yang pertama membukukan hadits Nabi ialah Abu Bakar bin Hazim Gubernur Madinah. Menurut ulama hadits bahwa penghimpunan hadits yang pertama adalah Ibnu Syihab az-Zuhri. Sistem pembukuan hadits pada masa ini ia si pengarang menghimpun semua hadits mengenai masalah yang sama dalam satu kitab karangan, contoh: hadits mengenai shalat saja.

D. Keadaan Hadits pada Abad II H (Tahun 101 H/Tahun 200 M)
Penulisan hadits yang dirintis oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab Az-Zuhri (tahun 100 H), diteruskan oleh ulama hadits pada masa ini (pertengahan abad II H), bersamana dengan penghimpunan ilmu-ilmu agama, antara lain ilmu fiqh, ilmu kalam. Masa ini disebut “asrul al tadwin” (masa pembukuan).
Ulama hadits yang menghimpun hadits pada masa ini adalah:
1. Ibnu Juraij (wafat tahun 150 H di Makkah)
2. Al-Auza’i di Syiria (wafat tahun 156 H)
3. Syufyan Ats Tsauri di Kufah (wafat tahun 161 H)
4. Imam Malik di Madinah (wafat tahun 179 H).
Menurut Dr. Ahmad Amin yang menjadi pelopor adalah Ibnu Juraij, karena ia lebih dhaulu wafatnya (tahun 150 H) dan tinggal di Makkah.
Sistem pembukuan hadits pada masa ini ialah si pengarang menghimpun hadits-hadits mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian bab ini dikumpulkan dengan bab lain yang berisi masalah yang lain dalam satu karangan dan dalam kitab ini masalah bercampur antara hadits dengan fatwa sahabat dan tabi’in.
Golongan pemalsu hadits pada masa ini, ada 3 yaitu:
1. Golongan politik (permulaan abad II H)
Contoh: Gerakan bawah tanah dari golongan Abbasiyah dan Syi’ah dan lain-lain, yang bertujuan merebut kekuasaan dari tangan dinasti Umayyah.
2. Golongan tukang cerita
Golongan ini besar pengaruhnya, mereka dihormati dan dipercaya.
Contoh: cerita Nabi Adam, karena tingginya, sampai kepalanya terbentur langit sehingga botak kepalanya, dan waktu diturunkan ke dunia menangisi surga sampai air matanya menjadi lautan dan dapat dilayari oleh perahu.
3. Golongan zindiq
Menciptakan hadits untuk memfitnah dan kekacaquan di kalangan umat Islam dan kepercayaan (akidah).
Contoh: Katanya Nabi pernah bersabda yang artinya “Tuhan menciptakan malaikat dari rambut dan hastanya dan rambut dadanya”.
Ulama hadits yang berhasil mengungkapkan hadits palsu yaitu:
1. Yahya bin Sa’id Al-Qaththan (wafat 189 H)
2. Abdurrahman bin Mahdi (wafat tahun 198 H).
Imam Syafi’i menolak hadits pendapat ketiga golongan tersebut (dalam kitab Al-Umm karanganb Imam Syafi’i Juz VII hal 254 dan seterusnya).

E. Keadaan Hadits dalam Abad III H
Pada masa ini timbul pertentangan antara ulama kalam (khusus dari Mu’tazilah) dengan ulama hadits tentang Apakah Al-Qur’an itu makhluk atau bukan. Mu’tazilah berpendapat Al-Qur’an itu makhluk, pendukunya adalah Makmun tahun 218 H, ulama hadits khususnya dan umat Islam yang beraliran Ahlus Sunnah pada umumnya menganggap bid’ah membicarakan hal itu.
Banyak ulama yang dipenjara, disiksa antara lain Ahmad bin Hambal, yang tidak mengikuti pendapat khalifah Makmun, Al-Mu’tashim dan Watsiq ulama hadits juga menghadapi tantangan kaum zindiq dan golongan yang sangat fanatik kepada bahasanya sendiri, bangsanya dan golongannya serta madzhabnya sendiri bahkan ada yang membuat hadits palsu. Hadits palsu yang dibuat oleh Ma’mun in Ahmad al-Harawi, motifnya memuju Abu Hanifah (dari Persia) dan mencela Syafi’i (dari Arab).

Masa ini dianggap amsa paling sukses dalam pembukuan hadits, karena:
1. Ulama hadits berhasil memisahkan hadits Nabi dari yang bukan hadits (fatwa sahabat dan tabi’in).
2. Berhasil mengadakan penyaringan yang sangat teliti terhadap apa saja yang dikatakan hadits Nabi, masa ini disebut ashrul jami’ wat tashih (masa menghimpun dan mentashih hadits).
Pada masa ini lahir kitab-kitab hadits yang kemudian diakui sebagai kitab hadits yang mu’tamad oleh umat Islam, seperti:
1. Kitab Al-Jamius Shahih oleh Bukhari (194-256 H)
2. Kitab Al-Jamius Shahih oleh Muslim (204-261 H)
Kitab-kitab ini disebut Ash-Shahihain.
3. Kitab sunan oleh Nasa’i (215-303 H)
4. Kitab sunan oleh Abu Dawud (202-276 H)
5. Kitab sunan oleh Tirmidzi (209-269 H)
6. Kitab sunan oleh Ibnu Majah (209-276 H)
Kitab yang enam itab ini semuanya dikenal dengan nama assittah atau akutubussittah. Sistem pembukuan hadits pada masa ini ada 3 sistem, yaitu:
1. Pengarang menanggapi dan menjawab semua serangan atau celaan tersebut dengan alasan yang kuat sehingga dapat menjaga nama baik ulama hadits dan membersihkan hadits-hadits yang telah dicacatnya. Ulama hadits yang mengarang sistem ini ialah:
a. Ibnu Qutaibah
b. Ali bin Al-Madani
2. Pengarang menghimpun hadits secara “musnad” yakni menghimpun semua hadits dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah-masalahnya (isi hadits) dan nilainya, (ada yang shahih, hasan dan dhaif). Kitab hadits yang disusun dengan sistem ini misalnya:

a. Musnad oleh Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
b. Musnad oleh Ahmad bin Rawahaih (161-238 H).
3. Pengarang menghimpun hadits-hadits secara bab-bab seperti kitab fiqh dan tiap bab memuat hadits-hadits yang sama maudhu’nya/masalahnya. Misal: bab shalat, bab zakat, dan sebagainya. Sistem pembukuan hadits yang ketiga ini menurut nilainya dibagi 2 macam:
a. Hanya menghimpun hadits yang shahih saja
Contoh: Imam Bukhari/Muslim dalam kitab Shahihain
b. Menghimpun hadits yang shahih dan tidak shahih (hasan)
Contoh: Imam Nasa’i cs. dalam kitab-kitab sunan.

F. Keadaan Hadits Mulai Permulaan Abad VI H Sampai Tahun 656 H
Menurut Adz-Dzahabi, tahun 300 H dipandang sebagai tahun pemisah antara ulama Mutaqaddimin dan Mutaakhirin, sebab karya ilmiah mereka dalam lapangan hadits berbeda. Perbedaannya adalah sebagai berikut:
1. Ulama Mutaqaddimin (yang hidup sebelum 300 H), karya ilmiah mereka yang berupa kitab hadits itu sepenuhnya tas usaha menghimpun, penilaian sendiri (atas kemampuan sendiri).
2. Ulama Mutaakhirin (yang hidup sesudah 300 H), menghimpun hadits dengan berpegang pada kitab yang sudah ada, usaha mereka terbatas pada penyusunan hadits secara lebih sistematis.
Masa VI ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Keadaan Hadits pada Abad IV H
Hadits ini dihimpun atas usaha sendiri:
a. Al-Hakim
Menurut Adz-Dzahabi, ¾ hadits Al-Hakim benar-benar shahih dan ¼ dhaif. Beliau pernah menjadi hakim.

b. Ad-Daruquthni
Karangannya: Al-Ilzaamaatu, dan sebagainya.
c. Ibnu Hibban
Karangannya: Al-Mustadushshahii’i, dan sebagainya.
Kitab ini tidak disusun secara bab maupun secara musnad tetapi terdiri dari lima bagian:
1) Tentang perintah-perintah
2) Tentang larangan-larangan
3) Tentang berita-berita
4) Tentang hal-hal yang mubah.
5) Tentang perbuatan-perbuatan Nabi.
d. Ath-Thabrani
Karangannya: Al-Mu’jam ialah kitab hadits yang disusun menurut kitab nama sahabat Nabi atau nama guru di pengarang atau kota-kota di mana hadits itu didapat.
2. Keadaan hadits mulai bad V sampai dengan 656 H
Hadits ini terbatas pada penghimpunan dan penyusunan hadits secara sistematis/teratur. Karya ilmiah ulama hadits pada masa ini antara lain:
a. Menghimpun hadits-hadits yang terdapat dalam kitab shahihain dalam satu kitab, disusun oleh Ibnu Furat dan Al-Baghowi
b. Menghimpun hadits-hadits dari kitab sittah dalam satu kitab
Disusun oleh Ibnu Atsir Al-Jazari dalam kitab:
جامع الاصول لأحاديث الرسول
c. Menghimpun hadits-hadits menurut bidangnya. Hadits hukum oleh Ibnu Taimiyah diambil dari hukum dari kitab sittah dan kitab musnad Ahmad bin Hambal diberi syarah oleh Imam Syaukani.
d. Pengarang menyusun kitab “Al-Athraf” ialah suatu kitab hadits di mana pengarang menyebutkan sebagian (permulaan) dari tiap hadits itu dapat menunjukkan sisanya/kelanjutannya, antara lain:
1) Athraf ash-Shahihain oleh Abu Na’in Ahmad bin Abdullah Al-Asfahany (wafat tahun 430 H).
2) Athraf As-Sunan Al-Arba’ah oleh Ibnu Asakir (wafat tahun 571 H) dalam 3 jilid dan disusun secara alfabetis.
3) Athraf al-Kutub as-Sittah oleh Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi (wafat tahun 508 H).

G. Keadaan Hadits Mulai Tahun 656 H Sampai Sekarang
Pemerintahan Abbasiyah jatuh dengan jatuhnya ibukota Baghdad di tangan bangsa Tartar (656 H), pemerintahan Abbasiyah pindah ke Kairo Mesir, khalifahnya hanya simbol sedang yang berkuasa adalah raja Mesir dan Mamalik. Akhir abar VII H, Turki menguasai daerah Islam kecuali daerah bagian Barat (Maroko). Pertengahan abad IX, Turki berhasil merebut Constantinopel dan dijadikan ibukota kemudian menaklukkan Mesir dan menyenyapkan khalifah Abbasiyah, khalifah Islam dipindahkan di Constantinopel dan sejak ini Turki dan sebagainya khalifah.
Cara ulama hadits meriwayatkan hadits pada masa ini:
1. Penerimaan dan penyampaian hadits-hadits dilakukan dengan jalan surat-menyurat dan ijazah maksudnya memberi izin kepada murid untuk meriwayatkan hadits-hadits yang ditulis oleh seorang guru dalam kitabnya.
2. Umat Islam tidak lagi meneliti pribadi perawi hadits (sanad) bahkan sanad dipelajari sekedar untuk mendapat berkahnya.
3. Dengan imla’ hadits yaitu seorang ahli hadits duduk di masjid pada hari Jum’at biasanya kemudian ia menguraikan hadits baik tentang nilainya, sanadnya, dan sebagainya, kepada hadirin dan mereka mencatatnya.
Ulama hadits yang melakukan imla’ hadits seperti:
1. Zainudin Al-Iraqi
Mulai mengimla’kan hadits tahun 796 H lebih dari 400 tempat.
2. Ibnu Hajar
Memberikan imla’ hadits lebih dari 1000 tempat.
3. As-Sakhawi, murid Ibnu Hajar
Memberikan imla’ lebih dari 600 tempat.
Pada masa ini ada tiga negara di mana umat Islam besar perhatiannya terhadap sunnah, yaitu:
1. Mesir
Pada pemerintahan Mamalik, besar sekali perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan dan ulamanya. Mereka mendirikan universitas, lembaga inilah dan keagamaan serta mendatangkan ulama dari jauh dengan diberi fasilitas dan dana yang cukup. Lapangan ilmiah dan ilmu hadits mengalami kemajuan pesat sampai awal abad X H (sampai jatuhnya Mamalik di Mesir). Penguasa yang berjasa dalam lapangan hadits yaitu: raja Adh-Dgahir Barquq dan Al-Muayyid. Mesir merupakan negeri pusat perkembangan hadits, fiqh dan bahasa.
2. India
Ulama India pada pertengahan abad 10 H, dengan gigih dan berani mengarang kitab-kitab yang isinya membela kebenaran dan kesucian Islam dari firnah dan serangan yang dilancarkan oleh orientalis dan golongan Kristen dan sebagainya.
3. Saudi Arabia
Raja yang besar perhatiannya untuk menerbitkan kitab-kitab hadits yaitu raja Abdul Aziz As-Sa’udi. Untuk penyiaran agama termasuk hadits, mereka mendirikan:

a. Fakultas Syari’ah di Makkah dan Madinah
b. Fakultas Sastra di Riyadh
c. Menerbitkan kitab-kitab seperti tafsir Al-Bahuwi dan lain-lain.
Karya ilmiah ulama hadits pada masa ini dan sistem penyusunannya adalah sebagai berikut:
1. Kitab Zawaid ialah kitab hadits di mana pengarang menghimpun hadits-hadits yang ada dalam satu kitab hadits tertentu dalam satu karangan dan hadits-hadits terdapat di kitab-kitab lainnya.
Contoh:
a. Kitab karangan Syihabuddin Ahmad Al-Bushiri (wafat 852 H)
b. Kitab karangan Nuruddin Abu Hasa Ali Al-Haitamy (wafat 911 H)
2. Menghimpun hadits dari beberapa kitab hadits dalam satu karangan. Kitab ini diambil dari hadits yang ada di kutub sittah dan kitab lain (disusun Imam Suyuti, wafat 911 H).
3. Menghimpun hadits-hadits menurut bidangnya, misalnya bidang hukum. Contoh:
a. Kitab “Bulughul Maram” oleh Ibnu Hajar terdiri dari 1.400 hadits.
b. Kitab “Subulus Salam” oleh Imam Ash-Shan’any terdiri dari 4 juz.
4. Menghimpun hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh, tafsir, tasawuf dan sebagainya, kemudian meneliti/mencari sumber sanadnya dan memberikan penilaian pada hadits-hadits tersebut. Cara ini disebut “takhrij”. Kegiatan ulama dalam lapangan hadits hanya sampai abad XII H. Mulai abad XIII H sampai sekarang sudah tidak ada kegiatan yang berarti dari ulama dalam lapangan hadits.

BAB III
ALIRAN INGKARUS SUNNAH

Aliran inkar sunnah demikian nama ini biasa disebut karena ajaran-ajarannya yang mengingkari keberadaan sunnah Nabi. Kata inkar berasal dari bahasa Arab artinya menentang, menilak, meniadakan (tidak mengadakan). Kata tersebut sudah lazim digunakan dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Jadi inkaru as sunnah artinya menolak atau meniadakan sunnah. Maksudnya tidak menggunakan as sunnah sebagai dasar dan sumber hukum dalam Islam.
Pada hakekatnya aliran inkar as sunnah dapat dibagi dalam tiga kelompok secara garis besa, yaitu:
1. Inkaru as sunnah secara mutlaq
2. Inkaru ba’dli (sebagian) as sunnah
3. Inkaru as sunnah bighairi thariqi manqul
Dalam penulisan ini kami akan menguraikan ajaran dan pokok-pokok pikiran ketiga kelompok tersebut dan dari tulisan ini pikiran-pikiran yang timbul tentang dapat dan tidaknya as sunnah itu dijadikan dasar dan sumber hukum dalam Islam, akan dapat diketahui, hujjah dan dalil mana yang dijadikan pegangan mereka masing-masing.
A. Inkaru As Sunnah Secara Mutlaq
Aliran ini menolak seluruhnya yang menyangkut as sunnah sebagai dasar dan sumber hukum artinya mereka hanya menggunakan hujjah dari wahyu ilahi (Al-Qur’an) dan hujjah dari dalil aqli. Secara ringkas dasar dan pokok-pokok pikiran inkaru as sunnah secara mutlaq adalah sebagai berikut:
1. Taat kepada Allah, Allah itu ghaib, taat pada rasul, rasulpun telah wafat. Jadi tidak ada jalan kedua-duanya untuk melaksanakan taat dengan arti yang sesungguhnya.
2. Allah telah mengajarkan Al-Qur’an kepada rasul. Rasul telah mengajarkan kepada manusia. Al-Qur’an itulah satu-satunya yang masih ada. Allah dan Rasul-Nya menunggal di dalam ajaran agama.
3. Al-Qur’an adalah omongan Allah dan omongan Rasul. Mentaati Al-Qur’an berarti mentaati Allah dan Rasul. Itulah artinya taat kepada Allah dan kepada Rasul.
4. Tugas Rasul hanya menyampaikan dan mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia, bukan menerangkan yang akan menimbulkan pengertian hukum baru, seperti yang dikenal dengan sebutan as sunnah dan al hadits.
5. Keterangan Al-Qur’an itu ada di dalam Al-Qur’an itu sendiri. Jadi tidak perlu dengan keterangan yang disebut as sunnah atau al hadits.
6. Semua keterangan yang datang dari luar Al-Qur’an adalah hawa, jadi hadits Nabi pun termasuk hawa, karena itu tidak dapat diterima sebagai hujjah dalam agama.
7. Apa yang disebut hadits-hadits Nabi itu tidak lain hanya dongeng-dongeng tentang Nabi yang didapat dari mulut ke mulut.
8. Rasul tidak ada hal mengenai urusan perintah agama, olehnya dibawakan ayat yang artinya sebagai berikut: “Tidak ada (haq) wewenang bagi kamu tentang urusan (perintah) sedikitpun” (QS. Ali Imran ayat 128).
9. Perbedaan Muhammad sebagai rasul dan Muhammad sebagai manusia biasa, dinyatakan:
a. Apabila Muhammad menyampaikan, membaca, mengajarkan Al-Qur’an dan hikmah di saat itu Muhammad sebagai Rasul.
b. Sedang apabila tidak demikian, dalam arti Muhammad sedang melakukan segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari dengan segala fi’il qaulnya, di saat itu Muhammad sebagai manusia biasa.

10. Semua manusia telah tersesat sebelum mendapat wahyu, termasuk Muhammad Saw. Dalil yang dikemukakan adalah ayat yang artinya sebagai berikut “Dan ingatlah kepadanya seperti yang telah kami tunjukkan kepadamu dan sesungguhnya kamu (Muhammad) sebelumnya benar-benar orang tersesat”. (QS. Al-Baqarah: 198).
11. Di dalam agama perbuatan lahiriyah merupakan pelengkap batiniyah atau iman.
12. Shalat itu cukup dengan dzikir, jadi tidak mesti dengan rukuk, sujud, baca fatihah, tasyahud, salam dan lain-lain.
Pendapat yang dimunculkan oleh aliran inkaru as sunnah secara mutlaq ini bila kita cermati merupakan kecerobohan dan kadangkala berpikir misalnya:
a. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an mereka menafsirkannya hanya sebagian-sebagian.
b. Pendapat-pendapatnya yang dikemukakan menurut pengertian dan kemampuan mereka sendiri tanpa menggunakan perangkat-perangkat yang lain untuk memahami suatu permasalahan.
c. Mengaburkan pengertian Islam yang mengarah kepada penghancuran Islam dari dalam.
Demikian pokok-pokok pikiran dan ajaran as sunnah secara mutlaq yang apabila dicermati akan sangat membayakan bagi perkembangan dan kemurnian ajaran Islam, dan kiranya perlu mendapat perhatian serius oleh kita sebagai generasi muslim masa depan.

B. Inkaru Ba’dli (Sebagian) As Sunnah
Inkaru as sunnah adalah suatu paham yang hanya mengakui hadits-hadits yang mutawatir saja, mereka tidak melaksanakan (beramal) ataupun berhujjah dengan menggunakan hadits selain hadits yang mutawatir. Dan mereka juga tidak mau percaya dan berpegang kepada as sunnah terhadap berita-berita ghaib yang disampaikan Rasulullah, yang dirasakan tidak masuk akal. Seperti perjalanan Rasulullah dalam Isra’ dan Mi’raj dengan segala pengkabaran kejadian yang dilihatnya. Semuanya itu dan yang seumpamanya ditolak dan diingkari.
Kita tidak dan belum tahu dalil mana yang dijadikan hujjah oleh mereka sehingga mereka berani dasar dan acuan dalam beramal. Dengan demikian mereka menggunakan dalil aqli sebagai landasan dalam bertindak dan beramal.

C. Inkaru As Sunnah Bighairi Thariqi Manqul
Apa yang disebut inkaru as sunnah secara mutlaq dan inkaru ba’di as sunnah tersebut, adalah inbkaru as sunnah bi dzat, artinya keinkarang itu keinkaran terhadap dzat atau materi as sunnah itu. Maksudnya, as sunnah itu tidak dapat dijadikan dalil atau dasar hukum dalam kehidupan sebagai muslim.
Sedangkan inkaru as sunnah bighairi thariqi manqul yang diinkari bukan dzat as sunnah itu, tetapi thariqatnya. Yaitu jalan sampainya as sunnah itu dari Nabi kepada seseorang. Adakah sampainya hadits itu kepada seseorang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan? Antara lain, sudahkah hadits itu sampainya kepada seseorang melalui imamnya? Bersambungkah penyadaran hadits itu sejak dari Nabi sampai kepada dan pengamal hadits itu?
Jadi sesuatu hadits akan dapat diterima, apabila pengambilan hadits atau pemindahannya menurut ketentuan-ketentuan yang telah digariskan. Tetapi tidak akan diterima apabila hadits tersebut jalan pengambilan dan pemindahannya tidak menurut ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh imam, sekalipun matan atau materi hadits tersebut benar-benar dari Nabi dan rawi-rawi yang dijadikan sandaran dalam sanad mukharrij (pencatat hadits) itu pun juga sampai kepada Nabi.
Arti manqul menurut Drs. Bachroni Hartanto Ketua Direktorat Lemkari Pondok Burengan, Banjaran Kediri dikatakan bahwa manqul adalah memindahkan menurut aslinya tanpa perubahan menurut isnadul Qu’an dan hadits yang datangnya dari Amirul Mukminin. H. Nurhasan al-Ubaidah, yang sudah mendapat sanad muttashil dari gurunya yang terpercaya, sedang Al-Qur’an dan hadits itu sudah ada artinya bukan sekedar lafadz belaka.
Tegasnya seorang yang belajar atau mengamalkan sesuatu ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan as sunnah itu harus menerima Al-Qur’an dan as sunnah itu langsung dari amirnya atau dari guru yang sudah belajar kepada Amir. Sebagai kesimpulan pengertian manqul dalam pembahasan aliran inkaru as sunnah, maka dapat disimpulkan bahwa semua ajaran Islam yang bersumber dari as sunnah akan dapat diterima dan diamalkan apabila dengan jalan manqul dan akan ditolak atau diinkari apabila tidak dengan jalan manqul. Inilah yang dimaksudkan dengan pengertian “inkaru as sunnah bighairi thariqi manqul”.
Dengan mengetahui tentang aliran inkaru as sunnah maka setidaknya dapat menambah khasanah pemikiran kita. Selanjutnya kami akan mencoba memberi tanggapan sebagai bahan perenungan kita sebagai berikut:
1. Ajaran-ajaran aliran inkaru as sunnah khususnya yang secara mutlaq hanya berdasarkan atas pemikiran dan penafsiran mereka secara sepihak.
2. Kecerobohan mereka dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya sepotong-sepotong itu menghasilkan pengertian yang tidak sesuai dengan pengertian sebenarnya, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar dan sumber hukum yang kuat.
3. Periwayatan hadits yang dilakukan oleh para ulama khususnya “ulama tujuh” (Tujuh orang perawi hadits) itu sudah melalui proses seleksi yang sangat ketat.
4. Mentaati Rasul pada hakekatnya adalah mentaati Allah, sebaliknya apabila kita mengingkarinya berarti kita mengingkari Allah.

D. Penutup
Demikian hasil pemaparan kami tentang aliran inkaru as sunnah beserta ajaran dan pokok-pokok pikirannya, karena terbatasnya literatur yang ada sehingga pembahasan ini terasa jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik pembaca sekalian sangat kami harapkan.

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
A. Inkarus Sunnah Klasik
Seorang ulama tokoh generasi tabi’in (generasi kedua sesudah Nabi Saw.), Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H) menuturkan, “ketika sahabat Nabi Saw. ‘Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadits, tiba-tiba ada seorang yang memotong pembicaraan beliau. “wahai Abi Nujaid”, “demikian orang itu memanggil Imran, “Berilah kami pelaksana Al-Qur’an”.
Imran bin Husain lalu minta agar orang tersebut maju ke depan. Setelah itu beliau bertanya, “tahukah anda, seandainya anda dan kawan-kawan anda hanya memakai Al-Qur’an saja, apakah anda dapat menemukan dalam Al-Qur’an bahwa shalat zuhur itu ada empat rakaat, shalat ashar empat rakaat dan shalat maghrib tiga rakaat? Apakah anda hanya memakai Al-Qur’an saja, dari mana anda tahu bahwa thawaf (mengelilingi ka’bah) dan sa’i antara Shafa dan Marwa itu tujuh kali.
Mendengar jawaban itu orang tadi berkata, “Anda telah menyadarkan saya. Mudah-mudahan Allah selalu menyadarkan anda”, akhirnya, kata al-Hasan al-Bashri – sebelum wafat orang itu menjadi tokoh ahli fiqh.
Al-Hasan al-Bashri tidak menyebut siapa nama orang yang tidak mau diberi pelajaran hadits tadi. Namun kisah ini menunjukkan bahwa pada masa yang sangat dini sudah muncul gejala-gejala ketidakpedulian terhadap hadits di mana dalam perkembangan selanjutnya hal itu menjadi “cikal bakal” munculnya paham yang menolak hadits sebagai salah satu sumber syari’at Islam, yang kemudian lazim dengan ingkar sunnah (Inkad al-Sunnah).
Peristiwa serupa juga terjadi pada Umayyah bin ‘Abdullah bin Khalid (w. 87 H), di mana ia telah mencoba mencari semua permasalahan dalam Al-Qur’an saja. Karena tidak menemukan, akhirnya ia bertanya kepada ‘Abdullah bin Umar (w. 74 H). Katanya, “di dalam Al-Qur’an saya hanya menemukan keterangan tentang shalat di rumah dan shalat dalam peperangan (shalat al-khauf). Sementara tentang shalat dalam perjalanan saya tidak menemukannya. Bagaimana hal itu?”
‘Abdillah bin ‘Umar menjawab, “Wahai kemenakanku, Allah telah mengutus Nabi Muhammad Saw. kepada kita, sementara kita tidak mengetahui apa-apa. Karenanya, kita kerjakan saja apa yang kita lihat Nabi Saw. mengerjakannya”.
Begitulah, semakin jauh dari masa Nabi Saw. semakin banyak orang-orang yang mencari pemecahan masalah-masalah yang mereka hadapi hanya dalam Al-Qur’an saja. Sampai tokoh ahli hadits Ayyub al-Sakhiyiyani (w. 131 H) berkata, “Apabila anda mengajarkan hadits kepada seseorang, kemudian ia berkata, “ajarilah kami dengan Al-Qur’an saja, tidak usah memakai hadits”. Maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah sesat dan menyesatkan.
1. Di Iraq
Gejala-gejala ingkar sunnah seperti di atas tampaknya masih merupakan sikap-sikap individual, bukan merupakan sikap kelompok atau madzhab meskipun jumlah mereka di kemudian hari semakin bertambah. Suatu hal yang patut dicatat, bahwa gejala-gejala itu tidak tidak terdapat di negeri-negeri Islam secara keseluruhan, melainkan secara umum terdapat di Iraq. Karena sahabat ‘Imran bin Husain yang tadi itu, begitu pula Ayyub al-Sakhtiyani, tinggal di Bashra, Iraq. Demikian pula orang-orang yang disebutkan oleh Imam Syafi’i sebagai pengingkar sunnah juga tinggal di Bashrah. Karenanya, pada masa itu tampaknya di Iraq terdapat faktor-faktor yang menunjang timbulnya paham ingkar sunnah.
Dan itulah gejala-gejala ingkar sunnah yang muncul di kalangan para sahabat. Sementara menjelang akhir abad kedua hijriyah muncul pula kelompok-kelompok yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber syari’at Islam, di samping ada pula yang menolak sunnah yang bukan mutawatir saja.
2. Khawarij dan Sunnah
Dari sudut kebebasan, kata Khawarij adalah bentuk jamak dari kata kharij, yang berarti “sesuatu yang keluar”. Sementara menurut pengertian terminologis Khawarij adalah kelompok atau golongan yang keluar dan tidak loyal kepada pimpinan yang sah. Dan yang dimaksud dengan Khawarij di sini adalah golongan tertentu yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
Apakah Khawarij menolak sunnah? Ada sebuah sumber yang menuturkan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum kejadian Finah (perang saudara antara Ali bin Abi Thalib ra dan Mu’awiyah ra.) diterima oleh kelompok Khawarij. Dengan alasan bahwa sebelum kejadian itu semua para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang ‘adil (muslim yang sudah akil baligh, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya). Namun sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok Khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi Saw. sudah keluar dari Islam. Akibatnya, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat sesudah kejadian itu ditolak oleh kelompok Khawarij.
Ini adalah kesimpulan Prof. Dr. Mustafa al-Siba’i berdasarkan sumber-sumber yang terdapat dalam kitab al-Farq Baina al-Firaq karya ‘Abd. al-Qadir al-Baghdadi (w. 429 H). Sementara Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami berpendapat lain. Kata beliau, “kesimpulan al-Siba’i ini perlu ditinjau kembali. Masalahnya, kitab-kitab produk madzhab Khawarij saat ini sudah tidak dapat ditemukan lagi. Kitab-kitab mereka telah punah bersamaan dengan punahnya madzhab Khawarij itu sendiri, kecuali kelompok Ibadhiyah yang merupakan salah satu kelompok Khawarij yang jumlahnya mencapai dua puluh kelompok.
Dalam kitab-kitab produk kelompok Ibadhiyah, terdapat suatu keterangan bahwa mereka menerima hadits nabawi. Mereka juga menerima hadits-hadits yang berasal dari Ali bin Abi Thalib, Aisyah istri Nabi Saw., Usman bin Affan, Abu Hurairah, Anas bin Malik ra, dan lain-lain. Karenanya, tidak tepat apabila dikatakan bahwa semua golongan Khawarij ini menolak hadits.
3. Syi’ah dan Sunnah
Kata “Syi’ah” berarti “para pengikut” atau “para pendukung”. Sementara menurut pengertian terminologis, Syi’ah adalah golongan yang menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib ra. lebih utama daripada khalifah sebelumnya (Abu Bakar, Umar, dan Utsman), dan berpendapat bahwa Ahl al-Bait (keluarga Nabi Saw.) lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lain.
Golongan Syi’ah ini terdiri dari berbagai kelompok di mana tiap-tiap kelompok menilai kelompok yang lain sudah keluar dari Islam. Sementara kelompok yang masih eksis sekarang kebanyakan adalah kelompok Isna’asyariyah. Kelompok ini menerima hadits nabawi sebagai salah satu sumber syari’at Islam. Hanya saja ada perbedaan mendasar antara kelompok Syi’ah ini dengan golongan Ahl al-Sunnah (golongan mayoritas umat Islam), yaitu dalam hal penetapan hadits.
Golongan Syi’ah menganggap bahwa sepeninggal Nabi Saw. mayoritas para sahabat sudah murtad (keluar dari Islam), kecuali hanya beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap muslim. Karenanya, golongan Syi’ah menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tadi. Syi’ah hanya menerima hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ahl al-Bait saja.
4. Mu’tazilah dan Sunnah
Arti kebahasaan dari mata Mu’tazilah adalah “suatu yang mengasingkan diri”. Sementara yang dimaksud di sini adalah golongan yang mengasingkan diri dari mayoritas umat Islam karena mereka berpendapat bahwa seorang muslim yang fasiq (berbuat maksiat) tidak dapat disebut mukmin atau kafir. Golongan Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa orang muslim yang berbuat maksiat tetap sebagai mukmin, meskipun ia berdosa. Pendapat Mu’tazilah ini muncul pada masa al-Hasan al-Basri, dan dipelopori oleh Washil bin ‘Atha (w. 131 H).
Ada juga pendapat yang menuturkan bahwa golongan ini disebut Mu’tazilah karena, ketika Washil bin Atha sedang berguru kepada al-Hasan al-Basri di masjid Bashra, ada seorang yang bertranya tentang status orang muslim yang berbuat maksiat, sebelum al-Hasan al-Basri menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba Washil bin Atha berkata, “menurut saya, orang tersebut berada di tempat antara dua tempat (manzilah baina manzilatain), bukan mukmin dan bukan kafir”. Wahsil kemudian berdiri dan meninggalkan pengajian al-Hasan al-Basri. Ia pergi menuju suatu tiang di dalam masjid tersebut dan menerangkan pendapatnya tadi kepada orang-orang yang mengikutinya. Melihat kejadian itu, al-Hasan al-Basri berkomentar, “I’tazala ‘anna Washil” (Washil telah memisah diri dari kita). Akhirnya kelompok Washil ini disebut Mu’tazilah.
Apakah Mu’tazilah menolak sunnah? Suetkh Muhammad al-Khudhari Bik berpendapat bahwa Mu’tazilah menilak sunnah. Pendapat ini berdasarkan adanya diskusi antara Imam al-Syafi’i (w. 204 H) dengan kelompok yang mengingkari sunnah. Sementara kelompok atau aliran yang ada pada waktu di Bashra Iraq adalah Mu’tazilah. Sedangkan Prof. Dr. Ash-Siba’i tampaknya sependapat dengan pendapat al-Khudhari ini.
Imam al-Syafi’i memang menuturkan perdebatannya dengan orang yang menolak sunnah, namun beliau tidak menjelaskan siapa orang yang menolak sunnah itu. Sementara sumber-sumber yang menerangkan sikap Mu’tazilah menerima sunnah secara keseluruhan, menolak seluruhnya atau hanya menerima sebagian sunnah saja.
Ada sementara ulama Mu’tazilah yang tampaknya menolak sunnah, yaitu Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar, yang populer dengan sebutan al-Nadhdham (wafat antara 221-223 H). Ia mengingkari kemu’jizatan Al-Qur’an dari segi susunan bahasanya, mengingkari mujizat Nabi Muhammad Saw. dan mengingkari hadits yang tidak dapat memberikan pengertian yang pasti untuk dijadikan sebagai sumber syari’at Islam.
Apabila pendapat al-Nadhdham ini dapat diartikan sebagai penolakan hadits, maka tampaknya hal itu hanya pendapat pribadinya saja dan bukan merupakan pendapat resmi madzhab Mu’tazilah. Alasannya, ada ulama Mu’tazilah yang lain yang ternyata menerima hadits sebagai sumber syari’at Islam, misalnya Abu al-Husain al-Bashri dalam kitabnya al-Mu’tamad. Bahkan mayoritas ulama Mu’tazilah, misalnya Abu Al-Hudzail al-Allaf (w. 226 H) dan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab al-Jubba’i (w. 303 H), justru menilai bahwa al-Nadhdham telah keluar dari Islam.
Oleh karena itu, madzhab Mu’tazilah tidak dapat disebut sebagai pengingkar sunnah, tetapi sebaliknya, mereka menerima sunnah seperti halnya mayoritas umat Islam. Hanya saja, mungkin ada beberapa hadits yang mereka kritik apabila hal itu berlawanan dengan pemikiran madzhab mereka. Namun demikian, hal itu tidak berarti mereka menolak hadits secara keseluruhan.

5. Pembela Sunnah
Pada masa klasik Imam al-Syafi’i telah memainkan perannya dalam menuncukkan kelompok pengikut sunnah. Seperti disinggung di muka tadi, dalam kitabnya al-Umm beliau menuturkan perdebatannya dengan orang yang menolak hadits. Setelah melalui perdebatan yang pandang, rasional dan ilmiah. Pengingkar sunnah tadi akhirnya tunduk dan menyatakan menerima hadits. Karenanya, Imam al-Syafi’i kemudian diberi julukan sebagai nashir al-sunnah (pembela sunnah).
Begitulah paham ingkar sunnah pada masa klasik. Ia muncul pada masa sahabat, kemudian berkembang pada abad kedua hijriah, dan akhirnya lenyap dari peredaran pada akhir abad ketiga hijriyah. Dan baru pada abad keempat belas hijriyah paham itu muncul kembali ke permukaan, sebagai akibat adanya kolonialisme yang melanda umat Islam.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat tentang ingkar sunnah klasik, yaitu bahwa ingkar sunnah klasik kebanyakan masih merupakan pendapat perorangan di mana hal itu muncul akibat ketidaktahuan mereka tentang fungsi dan kedudukan sunnah dalam Islam. Karenanya, setelah mereka diberitahu tentang urgensi sunnah, mereka akhirnya menerimanya. Sementara lokasi ingkar sunnah klasik umumnya berada di Iraq, khususnya Basrah.
Ingkar sunnah modern memiliki karakteristik yang berbeda dengan ingkar sunnah klasik, baik dari segi sebab-sebab kemunculannya, lokasinya, bentuknya, maupun sikap-sikap personalnya setelah kepada mereka diterangkan fungsi dan kedudukan sunnah.

B. Ingkar Sunnah Modern
Semenjak abad ketiga sampai abad keempat belas hijriyah, tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan bahwa kalangan umat Islam terdapat pemikiran-pemikiran untuk menolak sunnah sebagai salah satu sumber syari’at Islam, baik secara perorangan maupun kelompok. Sementara pemikiran untuk menolak sunnah yang muncul pada abad pertama hijriyah (ingkar sunnah klasik) sudah lenyap ditelan masa pada akhir abad ketiga hijriyah.
Baru pada abad keempat belas hijriyah, pemikiran seperti itu muncul kembali ke permukaan, dan kali ini dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dengan ingkar sunnah klasik. Apabila ingkar sunnah klasik muncul di Bashrah, Iraq akibat ketidaktahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan sunnah, maka ingkar sunnah modern muncul di Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia.
Apabila ingkar sunnah klasik masih banyak bersifat perorangan dan tidak menamakan dirinya sebagai mujtahid atau pembaharu, maka ingkar sunnah modern banyak yang bersifat kelompok yang terorganisir, sementara tokoh-tokohnya banyak yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid atau pembaharu.
Apabila para pengingkar sunnah pada masa klasik mencabut pendapatnya setelah mereka menyadari kekeliruannya, maka pada pengingkar sunnah pada masa modern banyak yang bertahan pada pendiriannya, meskipun kepada mereka telah diterangkan urgensi sunnah dalam Islam. Bahkan di antara mereka ada yang tetap menyebarkan pemikirannya secara diam-diam, meskipun penguasa setempat telah mengeluarkan larangan resmi terhadap aliran tersebut.
1. Syeikh Muhammad Abduh
Kapankah aliran ingkar sunnah modern itu lahir? Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami menuturkan bahwa ingkar sunnah modern lahir di Kairo, Mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh (1266-1323 H/1849-1905 M). Atau dengan kata lain, Syeikh Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali melontarkan gagasan ingkar sunnah pada masa modern. Pendapat Zami ini masih diberi catatan, apabila kesimpulan Abu Rayyah dalam kitabnya Adwa a’ala al-Sunnah al-Muhammadiyah itu benar.
Abu Rayyah menuturkan bahwa Syeikh Muhammad Abduh berkata, “Umat Islam pada masa sekarang ini tidak mempunyai imam (pimpinan Islam) selain Al-Qur’an, dan Islam yang benar adalah Islam pada awal sebelum terjadinya fitnah (perpecahan)”. Ia juga berkata, “Umat Islam sekarang tidak mungkin bangkit selama kitab-kitab ini (maksudnya kitab-kitab yang diajarkan di Al-Azhar dan sejenisnya) masih tetap diajarkan. Umat Islam tidak mungkin maju dengan semangat yang menjiwai umat Islam abad pertama, yaitu Al-Qur’an dan semua hal selain Al-Qur’an akan menjadi kendala yang menghalangi antara Al-Qur’an dan ilmu serta amal”.
2. Sedikit Perbendaharaan Hadits
Abu Rayyah dalam menolak sunnah banyak merujuk kepada pendapat Syeikh Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha, sehingga kedua tokoh ini, khususnya Syeikh Muhammad Abduh disebut-sebut sebagai pengingkar sunnah. Namun benarkah Syeikh Muhammad Abduh mengingkari sunnah? Seperti diturutkan di atas, Prof. Dr. Azami masih belum memasuikan hal itu, karena ia hanya menukil pendapat Abu Rayyah yang belum pada dipastikan kebenarannya.
Sementara Prof. Dr. Mustafa al-Siba’i secara tidak langsung menuduh Syeikh Muhammad Abduh sebagai pengingkar sunnah. Al-Siba’i mengakui keunggulan-keunggulan Syeikh Muhammad Abduh, bahkan menilainya sebagai filosof Islam. Namun di sisi lain, Al-Siba’i menilai Abduh sebagai orang yang sedikit perbendaharaan haditsnya.
Menurut Al-Siba’i, Syeikh Muhammad Abduh memiliki prinsip bahwa yang paling ampuh untuk membela Islam adalah logika dan argumen yang rasional. Berangkat dari prinsip ini Abduh kemudian mempunyai penilaian yang lain terhadap sunnah dan para rawinya berikut dalam memandang kedudukan sunnah itru sendiri. Pendapat Abduh ini akhirnya dijadikan argumen kuat oleh Abu Rayyah dalam mengingkari sunnah.
Sebenarnya keterangan Abduh sebagaimana yang dikunil Abu Rayyah itu mahasiswa perlu ditinjau kembali. Masalahnya, boleh dengan Abduh ketika mengatakan hal itu didorong oleh semangat yang menggebu-gebu untuk membumikan Al-Qur’an, sehingga ia sampai berpendapat bahwa selain Al-Qur’an tidak ada gunanya sama sekali. Dan Abduh kemudian dituduh sebagai pengingkar sunnah.
Sementara itu ada suatu hal yang sudah kongkrit tentang Syeikh Muhammad Abduh dalam kaitannya dengan hadits, yaitu ia menolak hadits ahad untuk dijadikan dalil dalam masalah akidah (tauhid). Hadits ahad adalah hadits yang dalam setiap jenjang periwayatannya (tabaqah al-ruwat) hanya terdapat maksimal sembilan orang rawi. Sebaliknya, hadits mutawatir adalah hadits yang dalam setiap jenjang periwayatnnya terdapat minimal sepuluh orang rawi. Menurut Muhammad Abduh, untuk masalah-masalah akidah hanya dapat dipakai hadits-hadits mutawatir saja. Apakah orang yang menolak hadits ahad dalam masalah akidah dapat disebut sebagai pengingkar sunnah? Tampaknya para ulama belum satu pendapat dalam masalah ini.
3. Sayyid Rasyid Ridla
Pemikiran Syeikh Muhammad Abduh dalam “menolak” sunnah ini kemudian dikuti oleh Dr. Taufiq Shidqi di mana ia menulis dua artikel dalam majalah al-Manar nomor 7 dan 12 tahun ke IX dengan judul Islam adalah Al-Qur’an itu sendiri. Sambil mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, Taufiq Shidqi mengatakan bahwa Islam tidak memerlukan sunnah.
Pendapat Taufiq Shidqi ditanggapi positif oleh Sayyid Rasyid Ridla, di mana antara lain ia mengatakan, “dalam masalah ini ada suatu hal yang perlu dikaji ulang, yaitu apakah hadits yang mereka sebut sebagai sunnah qauliyah itu merupakan agama yang syari’at yang umum, meskipun hal itu tidak merupakan aturan-aturan yang harus dikerjakan, khususnya pada masa-masa awal? Apabila kita menjawab “ya”, maka ada pertanyaan besar yang perlu kita jawab, yaitu mengapa Nabi Saw. justru melarang penulisan apapun selain Al-Qur’an? Begitu pula para sahabat, kenapa mereka mereka tidak menulis hadits, bahkan para ulama dari kalangan mereka seperti para khalifah juga tidak terpanggil untuk memperhatikan dan melestarikan hadits”.
Sayyid Rasyid Ridla tampaknya sangat mendukung pemikiran Taufiq Shidqi. Bahkan ia berpendapat bahwa hadits-hadits yang sampai kepada kita dengan riwayat yang mutawatir, seperti jumlah rakaat shalat, puasa, dan lain-lain, harus diterima dan hal itu disebut aturan agama secara umum. Tetapi hadits yang periwayatannya tidak mutawatir, hal itu disebut aturan agama secara khusus di mana kita wajib menerimanya.
Begitulah pendapat dan pemikiran Sayyid Rasyid Ridla tentang hadits. Namun demikian belakangan ia mencabut pendapatnya itu, bahkan dikenal sebagai pembela hadits. Al-Siba’i menuturkan, “pada awalnya Sayyid Rasyid Ridla terpengaruh dengan pemikiran Syeikh Muhammad Abduh. Ia sama seperti gurunya dalam masalah hadits dan banyak tidak mengetahui ilmu-ilmu hadits”.
Tetapi sesudah Syeikh Muhammad Abduh wafat di mana Sayyid Rasyid Ridla menerima tongkat estafet pembaharuan, ia banyak mendalami ilmu-ilmu fiqh, hadits, dan lain-lain, sehingga Sayyid Rasyid Ridla menjadi tempat bertanya umat Islam seluruh dunia. Karenanya, pengetahuannya tentang hadits kemudian semakin dalam, sehingga akhirnya ia menjadi pengibar panji-panji sunnah di Mesir.
Al-Siba’i yang sering berkunjung ke rumah Sayyid Rasyid Ridla ketika yang terakhir ini sudah memasuki usia senja, menegaskan bahwa Sayyid Rasyid Ridla adalah orang yang paling gigih membela sunnah. Dan seandainya ia masih hidup ketika Abu Rayyah itu diterbitkan, pastilah Sayyid Rasyid Ridla menjadi orang pertama kali menghancurkan pemikiran-pemikiran Rayyah.
4. Ahmad Amin
Ronde berikutnya, pada tahun 1929 Ahmad Amin menerbitkan bukunya Fajr al-Islam di mana ia mengulas masalah hadits dalam satu bahasan khusus (Bab VI pasal 2). Sayang tulisannya justru mengacaukan antara yang hak dna batil, bahkan memberikan keraguan tentang hadits. Sementara ia tetap pada pendiriannya sampai wafat.
Kemudian pada tahun 1353 H (1933 M) Ismail Adham mempublikasikan bukunya tentang sejarah hadits. Ia berkesimpulan bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab shahih (antara lain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) tidak dapat dipertanggung jawabkan sumbernya. Menurutnya, hadits-hadits itu secara umum diragukan autentisitasnya, bahkan banyak yang palsu.
Ketika masyarakat memprotes, Ismail Adham menjawab lewat majalah al-Fath bahwa pendapatnya itu telah disetujui oleh tokoh-tokoh ulama antara lain Ahmad Amin. Ahmad Amin memang tidak membantah pembelaan Ismail. Ahad itu, bahkan ia mengatakan bahwa protes masyarakat terhadap Ismail Adham itu merupakan pemasungan kreatifitas dan kebebasan berpikir, dan hal itu akan menjadi batu pengganjal dalam penelitian ilmiah.
Begitulah, dan akhirnya tongkat esfafet ingkar sunnah di Kairo dipeang oleh Abu Rayyah lewat bukunya Adhwaa ala al-Sunnah al-Muhammadiyah (soroti terhadap sunnah Muhammadiyah) seperti disinggung di depan. Hanya saja Abu Rayyah tidak memberikan pendapat-pendapat yang baru. Ia hanya mengulang kembali pendapat-pendapat para pendahulunya seperti Taufiq Shidqi, Rasyid Ridha dan Ismail Adham seraya mendakwakan dirinya sebagai mujtahid. Sementara ulama yang paling banyak membuat pikiran-pikiran Abu Rayyah adalah Prof. dr. Mustafa Al-Siba’i dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyrr’al Islam.

5. Organisasi Ahlul Qur’an
Pada abad lalu anak benua India sepenuhnya berada di bawah penjajah Inggris. Ketika umat Islam mengumumkan jihad untuk melepaskan diri dari penjajah, pihak Inggris menyadari bahwa semangat jihad dapat membahayakan eksistensi mereka. Karenanya, meskipun perjuangan umat Islam dapat dipatahkan, pihak Inggris membikin kelompok “ulama muslimin” yang mau memberikan fatwa bahwa Islam tidak mewajibkan jihad. Hal itu dengan cara mengkritik hadits-hadits yang berkaitan dengan jihad. Garragh Ali dan Mirza Ghulam Ahmad adalah tokoh-tokoh kelompok ini.
Begitu pula nama-nama seperti ahmad Khan, abdullah al-Jakr, Ahmad al-Din dan lain-lain tercatat sebagai orang-orang yang menodai sunnah Nabi. Dan terakhir dan yang paling radikal adalah Ghulam Ahmad Parwez yang mendirikan organisasi bernama Ahl Al-Qur’an (keluarga Al-Qur’an). Nama ini sangat menarik, tetapi isinya justru menyesatkan. Parwez yang pendapatnya hanya mengekor Taufiq Shidqi menolak hadits secara keseluruhan biak yang ahad maupun yang mutawatir. Ia berkata bahwa Al-Qur’an hanya menyuruh kita untuk mengerjakan shalat, sementara tentang bagaimana kita melakukan shalat, hal itu terserah kepada kepala negara untuk menentukannya.
6. Menara Ilmu dan Peradaban
Mengapa aliran ingkar sunnah modern justru lahir di Mesir dan India (Pakistan)? Padahal dua negeri ini merupakan pusat-pusat penyebaran ilmu dan peradaban Islam pada masa modern. Sejak Baghdad dihancurkan oleh Hulagu pada abad ketujuh hijriyah, Kairo merupakan pusat penyebaran ilmu dan peradaban Islam sampai sekarang. Karenanya, agar ilmu dan peradaban Islam itu tidak tersiar ke seluruh penjuru dunia “menara pemancar” itu harus dihancurkan lebih dahulu.
Sementara Pakistan yang sejak awal berambisi untuk menerapkan syari’at Islam dalam berbagai sektor kehidupan juga dipandang sebagai negara yang berpotensi untuk menyumbangkan peradaban Islam. Karenanya, Pakistan juga harus dibantai lebih dahulu agar tidak dapat mengembangkan potensinya itu. Maka tidaklah heran apabila ingkar sunnah modern justru lahir di Mesir dan Pakistan, karena pihak lawan-lawan Islam sangat merasa berkepentingan dengan kedua negara tersebut. Sedangkan aliran-aliran ingkar sunnah yang muncul di tempat-tempat lain, tampaknya hanya merupakan percikan-percikan dari Mesir dan Pakistan.
Namun kiranya Allah berkehendak lain. Apabila Imam al-Syafi’i telah berhasil melumpuhkan aliran ingkar sunnah pada masa klasik maka muncullah para pakar hadits kontemporer seperti al-Siba’i, Azami, dan lain-lain telah membikin argumentasi ingkar sunnah modern hancur berkeping-keping. Sehingga keberadaan hadits sebagai sumber syari’at Islam tetap dapat dilestarikan sampai sekarang.

BAB IV
NAMA-NAMA RAWI HADITS

Pengertian Sahabat
Sahabat adalah orang pernah bertemu dengan Nabi, dia beriman kepada beliau dan mati dalam keadaan beriman. Namun ada sebagian ulama’ menambah definisi tersebut, yaitu:
1. Dia lama berkumpul dengan Nabi Saw.
2. Dan dia pernah mengikuti peperangan dengan Nabi Muhammad Saw.

Dasar-dasar Keadilan Sahabat
Menurut Ahlul Sunnah wal Jamaah bahwa semua sahabat itu adalah adil baik sahabat dewasa maupun sahabat kecil tanpa harus mempersoalkan mereka yang terlibat dalam peperangan seperti peperangan Mu’awiyah dengan Ali ra. Hal ini didasarkan bahwa mereka itu semua orang-orang yang senantiasa menjalankan perintah dan senantiasa menjauhi larangan Allah dan senantiasa menjalankan shalat, puasa, zakat, dan lain-lain. Di samping itu juga berdasarkan beberapa ayat dan hadits Muhammad Saw., di antaranya:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (البقرة: 143)
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (QS. Al-Baqarah: 143).
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (ال عمران: 110)
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Ali Imran: 110).
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا… (الفتح: 29)
Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya…”. (QS. Al-Fath: 29).
Sedangkan hadits Nabi Muhammad Saw. di antaranya:
خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Artinya: “Sebaik-baik masa adalah masaku dan orang-orang setelah aku”. (HR. Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud).
اللَّهَ فِي أَصْحَابِي لَا تَتَّخِذُوهُمْ غَرَضًا بَعْدِي فَمَنْ أَحَبَّهُمْ فَبِحُبِّي أَحَبَّهُمْ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ فَبِبُغْضِي أَبْغَضَهُمْ وَمَنْ آذَاهُمْ فَقَدْ آذَانِي وَمَنْ آذَانِي فَقَدْ آذَى اللَّهَ
Artinya: “Allah itu senantiasa dalam melindungi sahabatku, maka janganlah kamu menjadikan untuk kepentingan dunia sesudah aku nanti. Barang siapa mencintai mereka, maka dia sama dengan mencintai aku, maka aku akan emncintai mereka. Barang siapa membenci mereka, maka dia sama saja membenci aku, maka aku akan membenci dia. Dan barang siapa menyakiti mereka sama saja menyakiti aku, dan barang siapa menyakiti aku maka Allah akan menyakiti dia. Dan barang siapa menyakiti Allah, maka Allah akan menyiksa dia”. (HR. Imam Turmudzi, Ibnu Majah dari Abdullah bin Mughofal).

Cara Mengetahui apakah dia itu sahabat atau bukan
Para ahli hadits memberikan cara:
1. Berita itu sudah bersifat mutawatir, bahwa dia adalah seorang sahabat, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan lain-lain.
2. Sahabat itu terkenal, seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Shomam bin Tsa’labah, dan lain-lain.
3. Ada pengakuan dari sahabat itu sendiri
4. Adanya pengakuan dari tabi’in, bahwa memang dia itu adalah sahabat. Sedangkan tabi’in ini dapat dipercaya.

Sahabat yang Banyak Memberikan Fatwa
1. Ibnu Abas
2. Umar bin Khattab
3. Ali bin Abi Thalib
4. Ubai bin Ka’ab
5. Zaid bin Tsabit
6. Abu Darda’
7. Ibnu Mas’ud
8. Abdullah bin Mas’ud

Sahabat yang Banyak Meriwayatkan Hadits
1. Abu Hurairah, dia meriwayatkan hadits sejumlah 5.374 hadits dan 300 rawi yang meriwayatkannya.
2. Ibnu Umar, meriwayatkan hadits 2.730 hadits
3. Anas bin Malik, meriwayatkan hadits 2.286 hadits
4. A’isyah, meriwayatkan hadits 2.210 hadits
5. Ibnu Abbas, meriwayatkan hadits 1.660 hadits
6. Jabir bin Abdullah, meriwayatkan hadits 1.540 hadits
Para ahli hadits berpendapat jika terjadi pertentangan riwayat di antara para sahabat itu maka yang dimenangkan adalah A’isyah, karena beliaulah yang lebih dekat kepada Nabi Saw.

Pengertian Tabi’in
Tabi’in adalah seorang yang pernah bertemu dengan sahabat dan beriman kepada Nabi Muhammad Saw. dan mati dalam keadaan Islam.

A. Sahabat yang Mendapat Gelar Al-Muktsirun fi Ar-Riwayah
1. Abu Hurairah (21 SH – 59 H = 602 M – 679 M)
Abu Hurairah adalah gelar atau nama kunyah (كنية) yang diberikan oleh Rasulullah Saw. karena sikapnya yang sangat menyayangi kucing perliharaannya. Sedang nama aslinya sebelum masuk Islam adalah ‘Abd Syams ibn Sakhr. Ketika beliau masuk Islam Nabi Muhammad Saw. menggantinya dengan ‘Abdur Rahman ibn Sakhr Al-Dausi At-Tamimi (dari bani Daus ibn Adnan) Al-Yamani. Beliau seorang sahabat yang digelari para ulama dengan Al-Imam/al-Faqih al-Mujtahid dan Al-Hafidz. Beliau termasuk sahabat yang dido’akan Rasulullah Saw. mempunyai hafalan yang kuat.
Abu Hurairah masuk Islam pada 7 Muharram (629 M) pada waktu kampange menentang Khaibar. Sumber lain mengatakan beliau masuk Islam sebelum hijrah atas dorongan Thufail ibn ‘Amir. Semenjak itu beliau selalu beserta Nabi Saw. serta menjadi ketua Jama’ah Al-Shuffah.
Beliau dikenal sebagai sosok sahabat yang amat sederhana dalam kehidupan materi, wara’ dan taqwa. Hidupnya diabadikan untuk senantiasa beribadah pada Allah SWT. Pernah diangkat sebagai pegawai di Bahrain masa khalifah Umar ibn Khattab. Tapi karena kebiasaannya yang banyak meriwayatkan hadits bertentangan dengan kebijakan khalifah, maka beliau dibebas tugaskan. Masa khalifah Ali dan Abi Thalib beliau menolak diangkat sebagai pegawai, namun masa Mu’awiyah beliau menerima jabatan gubernur di Madinah.
Hadits yang diterimanya diriwayatkan oleh sekitar 800 orang dari kalangan sahabat dan tabi’in. Hadits yang diriwayatkan sebanyak 5374 buah hadits, dengan ini beliau adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Di samping menghafal, beliau juga mencatat hadits-hadits dari Rasulullah Saw.
Karena banyaknya beliau meriwayatkan hadits, maka ada yang mendukung dan juga menggugat ke’adalahan beliau, di antara gugatan-gugatan itu adalah:
a. Abu Hurairah Rakus
b. Syaikh Al-Madhirah
Rakus kalau makan hidangan berupa daging dan susu.
c. Masa bersama Nabi yang membingungkan, antara 3 tahun/50 bulan.
d. Ikhsar hadits.
Masa yang singkat dalam meriwayatkan hadits.
Polemik ini terus berkepanjangan yang menggugat dan yang membela beliau. Namun ingat, Rasulullah yang mendo’akan agar beliau diberi kekuatan hafalan.
2. Abdullah ibn Umar (10 SH – 74 H = 618 – 694 M)
Beliau lahir setelah peristiwa pengangkatan Muhammad sebagai Rasulullah Saw. biasa disebut dengan “Ibn Umar” masuk Islam bersama ayahnya saat usia 10 tahun (sebagian pendapat berkata 13) merupakan salah satu dari 4 sahabat yang bergelar “Abadillah”. Menurut Malik bin Anas, beliau adalah sahabat yang mengetahui sepenuhnya berbagai urusan yang dihadapi Rasulullah Saw. dan para sahabatnya.
Menurut pandangan ulama dari sahabat dan tabi’in, pribadinya mencerminkan seorang ulama yang menghadarpkan ridha Allah SWT. semata. Serta beliau tidak mau turut campur dengan fitnah yang terjadi di masanya, di kalangan sahabat dikenal sebagai peneladan segala gerak gerik Rasulullah.
Beliau menerima hadits langsung dari Rasulullah Saw. dan dari sahabat lainnya di kalangan sahabat periwayatannya dalam hadits menduduki peringkat kedua yaitu 2630 buah hadits.
Di antara silsilah sanadnya yang paling tinggi nilainya yang sampai pada Abdullah bin Umar melalui Malik bin Anas dari Nafi’, sedang yang paling lemah melalui Muhammad Abdullah ibn Al-Qasim dari ayahnya dari kakeknya.
Di samping menghafal, beliau juga menulis hadits yang diterimanya dalam beberapa risalahnya dan juga oleh para ulama yang menerima riwayat darinya.

3. Anas ibn Malik (10 SH – 93 H = 612 M – 912 M)
Nama lengkapnya Anas ibn Malik ibn An-Nadr dan Dam-dam ibn Zaid ibn Haram ibn Jundub ibn Amir ibn Ganam ibn Addi ibn An-Najar Al-Anshari. Dikenal dengan sebutan “Abu Hamzah” dan “Ibn Sulaim” (menurut Abu Hurairah) sahabat yang terakhir meninggal di Basrah.
Beliau hidup bersama Rasulullah Saw. sebagai pembantu yang dipersembahkan oleh ibunya (Ummu Sulaim) di usia 10 tahun. Beliau menerima hadits secara langsung dari Rasulullah dan dari sahabat lainnya.
Beliau menempati peringkat ketiga dalam banyaknya periwayatan hadits, yaitu 2286 buah hadits, dalam riwayat lain 2236 hadits, 2276 hadits.
Silsisalh sanad yang sampai padanya yang tertinggi nilainya melalui Malik ibn Anas dari ibn Shihab Az-Zuhri. Sedang yang paling lemah melalui Daud ibn Al-Muhabbir dari ayahnya dari Abban ibn Abi Yazid.
Di hari wafatnya, Qatadah mengatakan “pada hari ini telah lenyak ½ ilmu”.
4. Siti ‘Aisyah Al-Shiddiqiyah (9 SH – 58 H = – 668 M)
Beliau adalah istri Rasulullah Saw. putra Abu Bakar As-Shiddiq. Menurut ayah Hisyam tidak ada sahabat yang sepandai ‘Aisyah dalam hal mengetahui diturunkannya ayat-ayat Al-Qur’an hal yang diwajibkan dan disunnahkan, peristiwa-peristiwa penting dan yang lainnya. ‘Aisyah dalam menyampaikan hadits kerap kali sebab Nabi mengeluarkan hadits dalam kontek maksud dan tujuan yang ditentukan. Beliau meriwayatkan hadits sebanyak 2210 buah hadits menempati urutan keempat.
Silsilah sanad yang paling tinggi nilainya yang sampai padanya melalui Yahya ibn Sa’id dari Ubaidillah ibn ‘Amr ibn Hafidz dari Al-Qashim ibn Muhammad.

Hadits-hadits dan fatwa-fatwa yang diralat ‘Aisyah dibukukan setidaknya oleh:
a. Imam badruddin Al-Zarkasyi dalam kitab Al-Ijabat li Iradi Maistadrakatu ‘Aisyah “’Aka As-Shahabah”.
b. Jalal Ad-Din As-Suyuthi aina Al-Ishabah fi Istidrak “’Aisyah ‘ala As-Shahabah”.
5. Abdullah ibn Abbad (3 SH – 68 H = 616 M – 687 M)
Beliau putra paman Rasulullah Saw. Al-Abbas ibn Abdul Muththalib ibn Hasyim ibn Manaf al-Makki al-Madaniyati al-Tha’ifi sedang ibunya saudara Maimunah istri Rasulullah Saw. yaitu Ummu Al-Fadhl Lubabah binti Al-Harits Al-Hilaliyah beliau meninggal di Tha’if.
Beliau ahli dalam fiqh, tafsir Al-Qur’an, bahasa Arab, syair, ilmu hisab, dan ilmu waris. Rasulullah Saw. mendo’akan beliau:
اللهم فى الدين واللهم التأويل
Meriwayatkan hadits sebanyak 1660 buah hadits, peringkat kelima. Silsilah hadits yang tinggi nilainya melalui Ibn Shihab Az-Zuhri dari Ubaidillah ibn Abdullah ibn Utbah. Silsilah yang paling lemah melalui Shalih.
6. Jabir ibn Abdillah (16 SH – 78 H = 604 M – 698 M)
Nama lengkapnya Jabir ibn Abdullah ibn Amar ibn Haram ibn Tsa’labah Al-Khazraji Al-Anshari As-Salami. Beliau mendapat gelar Al-faqih Al-Imam dan mufti Madinah. Ke mana saja beliau pergi selalu dikunjungi masyarakat yang ingin mengambil ilmu darinya dan meneladani ketakwaannya.
Dalam periwayatan hadits di jajaran sahabat beliau menduduki peringkat ke-6 dengan 1540 buah hadits. Silsilah sanad yang paling tinggi nilainya melalui Sufyan ibn Uyainah dari Amr ibn Dinar.
Beliau meninggal di Madinah dan merupakan orang terakhir yang meninggal dari maqamat sahabat.
7. Abu Sa’id Al-Khudry (8 SH – 74 H = 607 M – 693 M)
Nama aslinya adalah Sa’ad ibn Malik ibn Sinan Al-Khudry Al-Khazraji Al-Anshari. Abu Said Al-Khudry adalah gelar yang diberikan padanya.
Saat usia 13 tahun dia dibawa ayahnya pada Rasulullah Saw. untuk ikut perang Uhud namun ditolak karena masih kecil. Beliau ikut perang 12 kali. Beliau menerima hadits langsung dari Nabi Saw. serta dari sahabat lainnya dalam jajaran periwayatan hadits beliau ada di rangking ketujuh dengan 1170 hadits.

B. Sebagian Sahabat yang Ternama
1. Abdullah bin Ma’ud
Sahabat yang berhasil membunuh Abu Jahal, Rasulullah memberi kesaksian beliau akan masuk surga kelak.
2. Abdullah bin Amr bin Al-Ash
Salah seorang dari Abdillah yang ahli fiqh. Masuk Islam sebelum ayahnya, hadits yang diriwayatkannya 700 buah hadits.
3. Abu Dzar Al-Ghifari (281 hadits)
Nama aslinya Jumdab bin Junadah beliau seorang yang zuhud tidak pernah punya simpanan makanan untuk hari esok.
4. Sa’ad bin Abi Waqqash
Mendapat julukan “Abu Isqaq”, sahabat yang mendapat kabar gembira akan masuk surga, watag tahun 55 H.
5. Mu’adz bin Jabal
Mendapat julukan “Abu Abdurrahman” ahli fiqh. Sabda Nabi: “dialah paling mengerti halal haram”.
6. Abu Darda’ (179 hadits)
Nama asli Uwainir bin Zaid bin Qais. Seorang sahabat dari suku Khazraj. Rasulullah menyebutnya prajurit berkuda paling baik. Wafat pada tahun 32 H di Damaskus.

C. Pentadwin dan Pentakhrij Hadits
Yaitu upaya pembukuan hadits dan serta penerapan suatu hadits shahih atau tidak. Di antara pentadwin dan pentakhrij hadits secara sekilas biografinya:
1. Umar ibn Abdul Aziz (61 H – 101 H)
Beliau cucu sahabat Umar bin Khattab dari Ummu Ashim. Beliaulah penggagas tadwin. Beliau menginstruksikan pada Abu Bakar ibn Muhammad ibn hazim, Gubernur Madinah, dan Muhammad ibn Muhammad ibn Shihab Al-Zuhri. Namun hasilnya tadwinnya tidak sampai pada generasi berikutnya.
2. Abu Bakr ibn Muhammad ibn Hazm (17 H)
Kapan dilahirkan tidak jelas, sedang wafat antara 117 H dan 120 H. Beliau termasuk golongan ulama tsiqoh.
3. Ibnu Shihab Al-Zuhri (50 H – 125 H)
Beliau mendapat gelar Al-Hafidz Al-Madani, Al-Faqih, Alim Al-Hijaz wa Al-Syam, dan seorang pemimpin dunia. Hasil karyayanya dalam tadwin lebih lengkap dari Abu Bakr ibn Muhammad ibn Hazm.
4. Al-Ramahurmuzi (265 H – 360 H)
Nama ini dinisbatkan tempat kelahirannya, terletak sebelah barat daya Iran. Beliaulah yang pertama menyusun suatu ilmu hadits secara lengkap sebagai disiplin ilmu.
5. Imam Malik ibn Anas (93 H – 179 H)
Nenek moyangnya yaitu Abu Amir seorang sahabat yang selalu mengikuti seluruh peperangan di zaman Nabi, kecuali perang Badar. Beliau mendapat gelar Amirul Mukminin fi Al-Hadits. Menurut suatu riwayat, ia berada di rahim ibunya selama tiga tahun. Mendapat siksaan fisik karena fatwanya bertentangan dengan kebijakan Gubernur Madinah. Karya terkenalnya Al-Muwaththa’ (tempat berpijak) dijadikan sebagai kitab undang-undang peraidilan oleh para qadhi.
6. Imam As-Syafi’i (150 H – 204 H)
Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad ibn Idris, lahir di Ghozzah tepi pantai Palestina Selatan. Usia tujuh tahun sudah hafal Al-Qur’an murid dari Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.
Saat di Baghdad fatwanya disebut Qaul Qadim. Sedang di Mesir fatwanya disebut Qaul Jadid. Mendapat gelar Nashir Al-Hadits (penolong memahamkan hadits) hingga Imam Ahmad mengatakan “Andai kata tidak ada Imam Syafi’i sungguh aku dengan mengenal cara memahami hadits”.
7. Imam Ahmad ibn Hanbal (164 H – 241 H)
Ayahnya seorang mujtahid di Basrah. Selama hidupnya beliau menghafal lebih dari sejuta hadits. Beliau merupakan pelopor penkombinasian fiqh dengan hadits. Murid setia dari Imam Syafi’i serta mempunyai tulisan dua belas macam yang dikuasai di luar kepala. Beliau dituduh sebagai sumber dari pendapat bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Karya terbesarnya Musnad Al-Kabir.
8. Imam Bukhari (194 H – 256 H)
Beliau lahir di Bukhara, wilayah Uzbekistan, karya terbesarnya yaitu Shahih Bukhari.
9. Imam Muslim (204 H – 261 H)
Dilahirkan di Naisabur, wilayah Iran Timur Laut. Karya terbesarnya adalah Shahih Muslim.
10. Imam Abu Dawud (202 H – 275 H)
Dilahirkan di Sijistani, daerah antara Iran dan Afganistan. Karya terkenalnya Sunan Abu Dawud.
11. Imam At-Tirmidzi (200 H – 279 H)
Dilahirkan di Turmudz, daerah pinggir kota utara sungau Amuderiya sebelah utara Iran. Karya terkenalnya Sunan At-Tirmidzi.
12. Imam Nasa’i (215 H – 303 H)
Dilahirkan di daerah Nasa’, wilayah Khurasan. Karya terkenalnya Sunan Al-Kubro atau Sunan An-Nasa’i.
13. Imam Ibnu Majah (207 H – 273 H)
Dilahirkan di Qazwin, wilayah Iran. Karya terkenalnya adalah Sunan Ibnu Majah.

BAB V
ISTILAH-ISTILAH YANG DIGUNAKAN OLEH RAWI
DI AKHIR HADITS

Para ahli hadits dalam akhir hadits menyebut di akhir sebuah hadits adalah sebagai berikut:
1. Marfu’, adalah hadits yang sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad Saw. baik berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan Nabi baik sanad itu bersambung maupun tidak.
Marfu’ ini ada dua macam, yaitu:
a. Marfu’ Tasrih, yaitu rawi menjelaskan bahwa hadits melibatkan Nabi Muhammad Saw., seperti: Nabi bersabda, dari Nabi Muhammad Saw.
b. Marfu’ Hukmi, yaitu bahwa rawi itu tidak menjelaskan bahwa hadits melibatkan Nabi, namun sahabat mengatakan: minnasunnahti kadha wa kada.
2. Maukuf, adalah hadits yang sanad hanya kepada sahabat Nabi Muhammad Saw. bisa jadi berupa perkataan maupun perbuatan baik sanadnya itu bersambung maupun terputus.
Seperti: Ibnu Umar ra. berkata demikian……… Ibnu Umar berbuat demikian…… Sedangkan hukum maukuf itu menurut Prof. Dr. Fatkhurrahman adalah kategori hadits dhaif.
3. Mursal, adalah hadits yang dikatakan oleh seorang tabi’in dari Nabi, seperti tabi’in berkata: bersabda …………. Nabi melakukan demikian …………
4. Gharib, adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sanad sendirian.
Contoh hadits, yang artinya: “budak yang merdeka daging seperti nasab, maka tidak boleh dijual dan dihibahkan. Hadits ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Dina dari ibnu Umar. Dia seorang diri. Sedangkan hukum hadits adalah kadang-kadang shahih, hasan, dan dhaif.

5. Munkar dan Ma’ruf
Hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang dhaif yang bertentangan dengan rawi yang dhaif lebih rendah. Contoh:
Artinya: “Barangsiapa menjalankan shalat, menunaikan zakat, menunaikan haji, menjalankan puasa dan menghormati tamu, maka dia akan masuk surga”. (HR. Ibnu Majah).
Hadits ini dianggap munkar sebab Habib meriwayatkan hadits ini bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hatim yang dia lebih tsiqoh. Oleh karena itu hadits yang dari Habib disebut hadits mungkar sedangkan hadits dari Abi Hatim dan sebagainya dengan hadits ma’ruf.
6. Mubham, adalah hadits yang dalam sanad atau matannya terdapat seorang yang disebutkan, seperti seorang perempuan, seorang laki-laki.
Hadits ini ada dua, yaitu:
a. Mubham fil Matni
b. Mubham fil Sanad
Contoh hadits Mubham fil matni:
Artinya: “Bahwa Nabi Muhammad Saw. mlihat seorang laki-laki yang shalat di belakang shaf sendirian, maka Nabi Muhammad Saw. memerintahkan orang itu untuk mengulangi shalatnya”. (HR. Abu Dawud dari Waabishah bin Ma’bad ra.).
Contoh mubham fil sanad: seorang rawi berkata: “seorang laki-laki telah memberi khabar kepada kami”.

BAB VI
CARA-CARA PENYUSUN KITAB HADITS
DALAM MENYEBUTKAN NAMA RAWI

1. أخرجه السبعة, maksudnya: hadits itu diriwayatkan oleh tujuh orang rawi, yaitu Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah.
2. أخرجه الستة, maksudnya: hadits itu diriwayatkan oleh enam orang rawi, yaitu tujuan orang tersebut, kecuali Imam Ahmad.
3. أخرجه الخمسة, maksudnya: hadits itu diriwayatkan oleh enam tujuh rawi, dikurangi Imam Bukhari dan Muslim.
4. أخرجه الأربعة, maksudnya: hadits itu diriwayatkan oleh Imam empat, yaitu Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah.
5. أخرجه الأربعة واحمد, maksudnya: hadits itu diriwayatkan oleh empat Sunan, ditambah Ahmad.
6. أخرجه الثلاثة, maksudnya: hadits itu diriwayatkan oleh tiga orang rawi, yaitu Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Nasa’i (Ashaabusnan kecuali Ibnu Majah).
7. أخرجه الشيخان, maksudnya: hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
8. أخرجه الجماعة, maksudnya: hadits itu diriwayatkan oleh ahli hadits yang jumlahnya banyak.
9. رواه الشيخان, ialah hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
10. رواه الثلاثة, ialah hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Dawud.
11. رواه الأربعين, ialah hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi.
12. رواه الخمسة, ialah hadits itu diriwayatkan oleh Imam tersebut di atas, ditambah An-Nasa’i.
13. رواه اصحاب السنة, ialah hadits itu diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Imam Nasa’i.
14. متفق عليه, ialah hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muislim dan Imam Ahmad, dan jika hadits itu diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim disebut: أخرجه البخارى ومسلم
Di samping itu juga terdapat istilah-istilah yang lain di antaranya:
1. على شروط البخارى ومسلم, maksudnya: jika rawi-rawi sanad hadits terdapat dalam hadits Bukhari dan Imam Muslim itu dapat dalam sanad hadits ahli lain.
2. على شروط البخارى, maksudnya: jika rawi-rawi sanad hadits Bukhari itu terdapat dalam hadits ahli lain.
3. على شروط مسلم, maksudnya: jika rawi-rawi sanad hadits Muslim itu terdapat dalam hadits ahli lain.
4. طريق الترجيح, ialah jika terdapat beberapa hadits atau riwayat sah yang dhahirnya kelihatan bertentangan, lalu mencari keterangan yang paling kuat.
5. الجماع, ialah mengkompromikan dua hadits yang kelihatan bertentangan.
6. التعارض, ialah dua hadits yang satu dengan yang lain bertentangan.
7. الناسح والمنصوح, ialah hadits yang dimansukh/dihapus.

BAB VII
METODE MUHADITSIN DALAM
MEMAHAMI HADITS NABI

Para ulama ahli hadits dalam memahami hadits Nabi ini dibagi dalam dua periode, yaitu:
A. Mutaqdimin
Untuk menjaga otentitas/keaslian dan validitas suatu bangunan hadits, ulama hadits periode mutaqodimin ini tidak semata-mata hanya mengandal: akurasi daya ingat yang kuat dan dokumentasi catatan yang teruji, integritas individu penyampai hadits dan ketersambungan sanad, tetapi juga memandang signifikansi tersambungnya bangunan riwayat hadits dari syad dan illat. Hadits dengan kualitas seperti inilah yang bisa dijadikan sandaran argumentasi dalam beragama.
Secara umum, mekanisme dalam memahami hadits Nabi Muhammad Saw. melalui tahapan sebagai berikut:
1. Memperhatikan kualitas hadits
Ulama hadits mutaqadimin menganggap penting, di mana kajian dalam memahami matan suatu hadits dilakukan setelah sanad matan hadits telah diketahui kualitasnya. Kajian dalam memahami matan dilakukan setelah sanad hadits itu memang berkualitas shahih, hasan atau asal dha’ifnya tidak terlalu, jika sanadnya sudah diketahui sudah terlalu, maka tidak perlu dikaji matannya, sebab tidak akan banyak memberi manfaat.
2. Mencermati susunan redaksional matan
Tidak jarang diketemukan perbedaan redaksi matan hadits yang memiliki kesamaan arti. Hal ini terjadi akibat toleransi ar-riwayat bi al-makna, rawi rupa, atau mis-konsepsi terhadap riwayat yang diterima dari gurunya. Menurut muhaditsin, perbedaan redaksional yang tidak mengakibatkan perbedaan arti – asalkan sanadnya sama-sama shahih – dapat ditoleransi. Dalam kasus seperti ini, mekanisme kajian yang dilakukan dengan melakukan komparasi sekian matan yang memiliki kesamaan substansi. Sehingga dapat diketahui, mana di antara sekian matan hadits itu yang pantas dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Di samping itu, mekanisme komparasi semacam ini dapat mengungkapkan kejanggalan matan, di antaranya 1) al-Idraj, 2) al-Qalb, 3) at-Tashif wa Tahrif, 4) az-Ziyadah, dan sebagainya.
3. Meneliti dan memahami substansi matan
Dalam meneliti dan memahami kandungan matan hadits, realitasnya diketemukan keragaman acuan pendekatan, ada yang disepakati dan ada yang menyisakan polemik di antara ulama hadits. Acuan yang disepakati sebagai pendekatan dalam memahami maksud matan hadits ada dua, yaitu Al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara acuan dalam memahami substansi matan hadits yang sampai sekarang masih menjadi polemik di antara ulama antara lain: a) logika (akal sehat), b) fakta historis, c) pokok-pokok ajaran Islam, d) ijma’ (konsensus ulama), e) qiyas (analogi), f) perilaku sahabat, dan lain-lain.

B. Hermeneutika Sebuah Paradigma Baru Dalam Memahami Hadits
Sebagai sebuah teks, hadits Nabi menghadapi problem yang sama sebagaimana yang dihadapi oleh teks-teks lainnya, seperti Al-Qur’an dan kitab-kitab suci yang lain, teks pasti tidak bisa mempresentasikan keseluruhan gagasan dan situasional sang empunya. Karena dalam alam yang berbeda yang satu pada dataran alam ghaib dan satu sisi berada dalam alam empiris. Demikian juga teladan Nabi sebagai wacana yang dinamis dan kompleks dituliskan, maka penyempitan dan pengeringan makna dan nuansa tidak bisa dihindari. Berdasar struktur berfikir yang seperti ini, maka perumusan metodologi pemahaman dan penafsiran hadits menjadi sangat urgen dalam rangka pencarian kembali teks-teks hadits sehingga menjadi wacana yang hidup dan mampu berdialog dengan zaman yang selalu berubah. Di sinilah hadits bersinggungan dengan problem Hermeneutika.
Secara terminologis Hermeneutika diartikan sebagai penafsiran ungkapan-ungkapan dan anggapan dari orang lain, khususnya yang berbeda jauh dari rentang sejarah. Dewasa ini Hermeneutika sering diartikan penafsiran terhadap teks yang berasal dari lingkungan sosial dan historis yang berbeda dengan lingkungan yang ketika sebuah teks itu diturunkan. Dengan demikian Hermeneutika mengarahkan agar teks yang sedang dipelajari mempunyai arti sekarang dan di sini, sehingga sebuah teks tersebut mengarah secara terbuka menuju sekarang dan di sini.

C. Tokoh-tokoh Pemikir Hermeneutika Hadits
1. Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawiy (Ulama Mesir mantan Rektor Al-Azhar Mesir, ahli Fiqh Kontemporer)
Dalam rangka memahami makna hadits dan menemukan signifikasi kontekstualnya al-Qardhawiy menganjurkan beberapa prinsip dalam penafsiran hadits:
a. Memahami sunnah berdasarkan petunjuk Al-Qur’an.
b. Menghimpun hadits yang topiknya sama.
c. Memahami hadits berdasarkan latar belakang kondisi dan tujuan (asbaabul wurud).
d. Pendekatan linguistik. Seorang penafsir hadits harus menggunakan pendekatan historis terhadap makna lafadz-lafadz hadits yang sesungguhnya pada saat hadits yang bersangkutan muncul dan penggeseran-penggeseran makna yang menjadi pada bentangan sejarah berikutnya.

2. Prof. Dr. Syuhudi Ismail (Guru besar Hadits UIN, Ulama’ Indonesia)
Dalam memahami hadits itu harus dipagami ketika Nabi berbuat, berkata dan menetapkan itu beliau sebagai apa: sebagai Nabi dan Rasul, Kepala Negara, Kepala Masyarakat, sebagai Hakim, sebagai suami, sebagai ayah dan sebagai kakek.
3. Prof. Dr. Muhammad Iqbal (Ulama’ dari Pakistan, Sastrawan dan pembaharu pemikiran dalam Islam)
Menurut Iqbal ketika seseorang hendak mengambil pelajaran dari hadits adalah bagaimana membedakan hadits-hadits yang membawa konsekuensi hukum dan yang tidak membawa konsekuensi hukum. Kemudian harus diteliti pula sejauhmana hadits-hadits hukum tersebut mengandung kebiasaan bangsa Arab pra Islam yang membiarkan beberapa kasus tetap berjalan dan beberapa kasus yang lain yang telah dimodifikasi oleh Nabi.
4. Prof. Dr. Fazlur Rahman (Ulama’ dari Pakistan kemudian hijrah ke Amerika).
Bagi penafsir hadits harus dipahami bahwa hadits itu adalah:
a. Sunnah Nabi lebih tepat jika dipandang sebagai konsep pengayoman daripada bahwa hadits mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat spesifik secara mutlak.
b. Bahwa sunnah adalah merupakan petunjuk arah daripada serangkaian peraturan-peraturan yang telah ditetapkan secara pasti.
Oleh karena itu penafsiran situasional melalui studi historis dalam rangka mencairkan hadits-hadits ke dalam bentuk sunnah yang hidup ini kami membuat kita dapat menyimpulkan norma-norma darinya.

D. Tipologi Ulama’ dalam Memahami Hadits
Secara garis besar tipologi ulama’ dalam memahami hadits Nabi dapat diklasifikasi ada dua tipologi:
1. tekstualitas, yaitu tipologi pemahaman yang mempercayai hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam tanpa memperdulikan proses panjang pengumpulan hadits dan proses pembentukan ajaran orotodoks/normatif. Tipologi yang demikian ini oleh ahli sosiologi dikategorikan sebagai tipologi pemikiran yang ahistoris (tidak mengenal sejarah tumbuhnya hadits dari sunnah yang timbul pada saat itu).
2. Kontekstualis, yaitu golongan yang mempercayai hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam melalui kritik-historis terhadapnya dengan melihat dan mempertimbangkan asal-usul (asbaabul wurud) hadits tersebut. (Amin Abdullahl 1996, 315).

E. Contoh Hadits tentang Isbaalur Izar
‘Ubaid bin Kholid ra. berkata: “Tatkala aku sedang berjalan di kota Madinah tiba-tiba ada seorang di belakangku sambil berkata: “Tinggikan sarungmu! Sesungguhnya hal itu lebih mendekatkan kepada ketakwaan”, ternyata dia adalah Rasulullah, aku pun bertanya kepadanya: “Wahai Rasulullah ini Burdah Malhaa (pakaian yang mahal), Rasulullah menjawab: “Tidakkah pada diriku terdapat teladan?” Mkaku melihat sarungnya hingga setengah betis”. (HR. Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad 5/364, Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashar Syamail Muhammadiyah, hal. 69).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seseorang yang memanjangkan celananya hingga melebihi mata kaki, beliau menjawab: “Panjangnya qomis, celadan dan seluruh pakaian hendaklah melebihi kedua mata kaki, sebagaimana telah tetap dari hadits-hadits Nabi Saw. (Majmu’ Fatawa 22/144).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Walhasil ada dua keadaan bagi laki-laki, dianjurkan yaitu menurunkan sarung hingga setengah betis, boleh yaitu hingga di atas kedua mata kaki. Demikian pula bagi wanita ada dua keadaan, dianjurkan yaitu menurunkan di bawah mata kaki hingga sejengkal, dan dibolehkan hingga sehasta”. (Fathul Bari 10/320).
1. Dalil-dalil Haramnya Isbal
Pertama:
ذَرٍّ أَبِى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لاَ يُكَلِّمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ.
Dari Abu Dzar bahwasannya Rasulullah bersabda: “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang peduh; Rasulullah menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang tiga kali, Abu Dzar berkata: “Merugilah mereka, siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: “Orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”. (HR. Muslim 106, Abu Dawud 4087, Dharimy 2608, Lihat Al-Irwa’: 900).

Kedua:
عَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Dari Abdullah bin Umar ra. bahwasannya Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat” (HR. Bukhari 5783, Muslim 2085).
Syaikh Salim bin I’ed Al-Hilali berkata: “Isbal karena sombong adalah dosa besar, oleh karena itu pelakunya berhak tidak dilihat oleh Allah pada hari kiamat, tidak disucikan-Nya, dan baginya adzab yang pedih”. (Manahi Syari’ah 3/206).

Ketiga:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ.
Dari Abu Hurairah bahwasannya Nabi bersabda: “Apa saja yang di bawah kedua mata kaki di dalam neraka”. (HR. Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad 2/96).

Keempat:
الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا سُفْيَانَ بْنَ سَهْلٍ لاَ تُسْبِلْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُسْبِلِينَ .
Dari Mughiroh bin Su’bah ra., adalah Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Sufyan bin Sahl! Janganlah kamu isbal, sesungguhnya Allah tidak menyenangi orang-orang yang isbal” (HR. Ibnu majah 3574, Ahmad 4/246, Thobroni dalam Al-Kabir 7909, dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shalihah 2862).

Kelima:
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَ تَبَرَكَ وَتَعَلَى لاَ يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan dan Allah tidak menyukai kesombongan”. (HR. Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishahihkan oleh Al-Albany dalam As-Shahihah 770).

Keenam:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ .
Dari Ibnu Umar berkata: “Saya lewat di hadapan Rasulullah sedangkan sarungku terjurai, kemudian Rasulullah Saw. menegurku seraya berkata: “Wahai Abdullah tinggikan sarungmu!” Aku pun meninggikannya, belia bersabda lagi: “Tinggikan lagi!” Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa menjaga sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya: “Seberapa tingginya?” “Sampai setengah betis”. (HR. Muslim 2086, Ahmad 2/33).
2. Dalil Bolehnya Isbaalul Izar, Asal Tidak Sombong
عَن ابن عمر عَن النبى قَالَ: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ: لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ .
Nabi bersabda: Barang siapa yang menyeret pakaiannya dengan perasaan sombong, maka Allah tidak akan per nah melihat dia di hari kiamat. Maka Abu Bakar bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya pakaian saya sering kali melorot ke bawah kecuali dijaganya. Maka Rasulullah menjawab: Engkau bukan termasuk orang yang sombong (HR. Bukhari dan Ibnu Umar). Bukhari Juz I.

BAB VIII
TAKHRIJUL HADITS

A. Pengertian Takhrij Hadits
Kata takhrij dari kata khorroja. Berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam satu persoalan dan dari sudut pendekatan bahasanya. Kata takhrij juga memiliki beberapa arti, pertama berarti al-istinbath mengeluarkan dari sumbernya, yang kedua berarti at-tadrib (latihan), selanjutnya at-tanjih pengarahan, menjelaskan duduk persoalan.
Arti takhrij sama dengan al-ikhraj yaitu abraz al-hadits li an-nas bidzikri mahrajil, mengungkapkan atau mengeluarkan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan para perawi yang berada dalam rangkaian sanadnya sebagai yang mengeluarkan hadits tersebut.
Menurut definisi lain, kata takhrij berarti ad-dalalah ala mashdir al-ashliyah wa azzuhu ilaiha, petunjuk yang menjelaskan kepada sumber-sumber asal hadits di sini dijelaskan siapa yang menjadi para perawi dan mudawwin yang menyusun hadits tersebut dalam suatu kitab.
Penyebutkan sumber-sumber hadits di atas bisa dengan menyebutkan sumber utama atau kitab induknya seperti kitab yang termasuk pada kutub as-sitah atau sumber-sumber yang telah diolah oleh para pengarang berikutnya yang berusaha menyusun dan menggabungkan antara kitab utama tersebut seperti kita al-jami’ baina ash-shahihain oleh al-Humaidi atau sumber-sumber yang telah berusaha menghimpun kitab-kitab hadits dalam masalah-masalah atau pembahasan khusus seperti masalah fiqh, tafsir atau tarikh.
Memberi penilaian kualitas hadits apakah hadits itu shahih atau tidak, penilaian ini dilakukan andai kata diperlukan, artinya bahwa penilaian kualitas suatu hadits dalam mentakhrijkan tidak selalu harus dilakukan.

B. Tujuan dan Kegunaan Mentakhrij Hadits
Tujuan pokok mentakhrij hadits ialah untuk mengetahui sumber asal hadits yang ditakhrij. Tujuan lainnya untuk mengetahui keadaan hadits tersebut yang berkaitan dengan maqbul dan mardudnya. Dengan kegiatan ini segala hadits-hadits yang banyak dikutip dan tersebar dalam berbagai kitab dengan pengutipan yang bermacam-macam dan terkadang tidak diperhatikan kaidah yang berlaku dapat segera diketahui. Dengan ini sehingga menjadi jelas keadaan, baik asal maupun kualitas hadits tersebut.
Sedang kegunaan takhrij di antaranya dapat mengetahui keadaan hadits sebagaimana yang dikehendaki atau yang ingin dicapai pada tujuan pokok. Kedua dapat mengetahui keadaan sanad hadits dan silsilahnya berapa pun banyaknya apakah sanad-sanad itu bersambung atau tidak. Ketiga dapat meningkatkan kualitas suatu hadits dari dhaif menjadi hasan. Karena ditemukannya syahid atau mutabi’. Keempat dapat mengetahui bagaimana pandangan para ulama’ terhadap keshahihan suatu hadits. Kelima dapat membedakan mana para perawi yang ditinggalkan atau dipakai. Keenam dapat menetapkan suatu hadits yang dipandang mubham atau tidak mubham. Ketujuh dapat menetapkan muttasil kepada hadits yang diriwayatkan dengan menggunakan adat at-tahammul wa al-ada. Kedelapan dapat memastikan identitas para perawi baik berkaitan dengan kunyak (julukan), laqab (gelar) atau nasab (keturunan) dengan nama yang jelas dan masih banyak lagi kegunaan lainnya.

C. Sejarah Takhrij Hadits
Hadits muncul dan diperlukan pada masa ulama’ mutaakhirin sedang sebelum hal ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan. Adanya pemikiran tentang ketika para ulama’ kesulitan untuk merujuk hadits-hadits yang tersebar pada berbagai kitab dengan disiplin ilmu agama yang bermacam-macam dan dari sini muncul di antara para ulama’ yang dimulai membicarakan hal itu mereka mengeluarkan hadits-hadits yang dikutip dalam kitab-kitab lain dengan merujuk kepada sumbernya.
Sedangkan ulama’ yang pertama kali melakukan takhrij menurut Mahmud Ath-Thahhan ini ialah kitab Al-Khatib Al-Baghdadi (1163 H), kemudian dilakukan pula oleh Muhammad bin Musa al-Hazimi (w. 584 H) dengan karyanya Takhrij Hadits Al-Muhadzdzab, ia mentakhrij kitab fiqh syari’ah karya Abu Ishaq Asy-Syirazi dan masih ada lagi ulama’-ulama’ lainnya.
Dari beberapa kitab di atas menurut Ath-Thahhan yang paling baik karya Al-Zaila’i yang berjudul Nashb ar-Rayah li Ahadits al-Hidayah, di dalam buku tersebut Al-Zaila’i menunjukkan cara mentakhrij hadits yang pertama disebutkannya nash hadits yang terdapat dalam kitab Al-Hidayah karya Al-Marginani. Dan disebutkan karya siapa saja dari para penyusun kitab-kitab hadits yang dinilai sebagai sumber utama dari hadits yang telah diriwayatkan dengan menyebutkan sanadnya secara lengkap.

D. Cara Mentakhrij Hadits
Pada garis besarnya ada 5 cara atau jalan untuk mentakhrij hadits:
1. Mentakhrij melalui pengenalan nama sahabat perawi
Cara ini hanya bisa dilakukan apabila telah diketahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut. Apabila nama sahabat diketahui maka pentakhrijan dapat dilakukan.
2. Mentakhrij melalui pengenalan awal lafadz pada matan
Dengan mengenal awal matan suatu hadits maka hadits dapat ditakhrij dengan menggunakan bantuan beberapa kitab hadits yang dapat merujuk kepada sumber utamanya kitab-kitab yang dimaksud ialah kitab-kitab yang memuat tentang hadits-hadits yang terkenal (Al-Musytaharah).

3. Mentakhrij melalui pengenalan kata-kata yang tidak banyak beredar dalam pembicaraan
Untuk bagian ini alat yang dipakai ialah al-Mu’jam al-Mufahras li al-fadz al-Hadits an-Nabawi oleh A.J. Wrnsink yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abd. Al-Baqi. Kitab ini disusun dengan merujuk kepada 9 kitab hadits induk yaitu: kitab Al-Jami’ Ash-Shahih, empat kitab as-Sunnah Al-Muwaththa’ Malik bin Anas musnad Ahmad bin Hanbal dan musnad Ad-Darimi. Sumber-sumber yang dijadikan rukukan diberi kode dengan (Al-Bukhari), (Muslim), (At-Tirmidzi), (Abu Dawud), (An-Nasa’i), (Ibn Majah), (Al-Muwaththa’ Malik), (musnad Ahmad bin Hanbal), (Musnad ad-Darimi).
4. Mentakhrij melalui pengenalan topik yang terkandung dalam matan hadits
Cara mentakhrij melalui pengenalan topik ini dapat dipakai oleh mereka yang banyak menguasai matan hadits dan kandungannya. Terdapat banyak kitab yang mentakhrij hadits dengan cara ini yang pada garis besarnya terdapat tiga kitab.
5. Mentakhrij melalui pengamatan terhadap ciri-ciri tertentu pada matan atau sanad.
Dengan mengenal ciri-ciri tertentu pada suatu hadits dapat menemukan dari mana hadits itu terdapat. Ciri-ciri dimaksud seperti ciri-ciri maudhu’, ciri-ciri hadits qudsi, ciri-ciri dalam periwayatan dengan silsilah sanad tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: 1995.
Fatkhurrahman, Drs. Ikhtishar Mustolatul Hadits. Bandung: Al-Ma’arif, 1997.
M. Mahfud bin Abdullah Attamimi. Manhaju Dhawinadhor. Beirut: Dar Al-Fikri, 1981.
Mahmud Thoha, Dr. Tafsir Mustholahul Hadits. Beirut: Dari Qur’anul Karim, t.t.
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy. Prof. DR. Pengantar Ulumul Hadits. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993.
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy. Prof. DR. Sejarah dan Pengantar Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Ahmad Husni, Drs. Gerakan Inkarussunnah Indonesia dan Jawabannya. Jakarta: PT. Tunas Mulia, 1984.
Hafidh Hasan Mas’udi. Minhajul Muhis fi Ulumil Musthalahul Hadits. Surabaya: Andalas, t.t.
M. Bin Alwi. Al-Qawaidul Assasiyah fi Mustholahil Hadits. Surabaya: Darurahmah, t.t.
Abu daud Sulaiman bin Al-Asy’ats as-Sijistani. Sunan Abi Daud. Beirut: Dari Al-Fikr, 1410 H/1990 M.
Abu Zahroh Muhammad. Ushul Fiqh. Al-Arabi: Dar Al-Fikr, t.t.
Abu Muhammad bin Abd. Al-Mahdi bin Abd. Al-Qori bin Abd. Al-Hadi. Thuruq Takhrij Hadits Rasulullah Al-I’tisham.
Ushul At-Takhrij ma Dirasah Al-Asanid. Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd, 1430 H/ 1983 M.
Husaini Al-Munawar. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Gramedia, 1996.

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan buku Ulumul Hadits ini. Buku ini dapat dijadikan sebagai buku penunjang bagi mahasiswa IAIN, STAIN, dan PTAIS dalam mata kuliah Ulumul Hadits pada semua Jurusan/Fakultas.
Materi buku ini mengacu pada silabi Kurikulum Nasional terbaru yang dikeluarkan Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI.
Dengan selesainya buku ini, kami berharap agar para mahasiswa dapat memahami secara mendalam dan mudah tentang hal-hal yang berhubungan dengan hadits Rasulullah Saw.
Kami menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan dan kehilafan. Oleh karena itu tegur sapa dalam rangka kesempurnaan buku ini, sangat kami harapkan.

Kediri, Februari 2006

Penulis

UNTUK FAKULTAS TARBIYAH
SESUAI DENGAN SILABI TAHUN 2004

Oleh :
Drs. MUAMAL

Tahun 2006