Makalah Republik Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.487 pulau oleh karena itu ia disebut juga sebagai Nusantara.Dengan populasi sebesar 237 juta jiwa pada tahun 2010, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam. Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik, dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden yang dipilih langsung.
Ibu kota negara ialah Jakarta. Indonesia berbatasan darat dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara tetangga lainnya adalah Singapura, Filipina, Australia, dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India.
Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Suku Jawa adalah suku terbesar dengan populasi mencapai 41,7% dari seluruh penduduk Indonesia. Semboyan nasional Indonesia, “Bhinneka tunggal ika” (“Berbeda-beda tetapi tetap satu”), berarti keberagaman yang membentuk negara. Selain memiliki populasi padat dan wilayah yang luas, Indonesia memiliki wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia.
Indonesia hanya memiliki satu bahasa nasional atau bahasa negara, yakni Bahasa Indonesia. Campur tangan negara terhadap bahasa nasional diselenggarakan melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Indonesia memiliki lebih dari 721 bahasa daerah. Di antara ratusan bahasa daerah tersebut, yang paling banyak sebarannya adalah di Papua dan Kalimantan, sedangkan yang paling sedikit adalah di pulau Jawa. Menurut jumlah penuturnya, bahasa daerah yang paling banyak digunakan di Indonesia berturut-turut adalah: Jawa (80 juta penutur), Melayu-Indonesia, Sunda, Madura, Batak, Minangkabau, Bugis, Aceh, Bali, Banjar.
Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia kepada para pelajar mulai jenjang pendidikan dasar. Meski demikian, dengan berbagai alasan terdapat upaya untuk menghapus pelajaran bahasa Inggris di tingkat sekolah dasar.
Indonesia memiliki bendera kebangsaan yaitu bendera merah putih dan lagu kebangsaan yaitu Indonesia Raya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah kemerdekaan Indonesia?
2. Bagaimana asal muasal dan sejarah nama Negara Indonesia
3. Bagaimana kisah dibalik bendera merah putih?
4. Bagaimana pembuatan bahasa kebangsaan Indonesia?
5. Bagaimana pembuatan lagu kebangsaan Indoneia?
6. Bagaimana pendidikan moral karakter Indonesia dalam pembelajaran?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah kemerdekaan Indonesia
2. Untuk mengetahui asal muasal dan sejarah nama Negara Indonesia
3. Untuk mengetahui kisah dibalik bendera merah putih
4. Untuk mengetahui pembuatan bahasa kebangsaan Indonesia
5. Untuk mengetahui pembuatan lagu “Indonesia Raya”
6. Untuk mengetahui pendidikan moral karakter Indonesia dalam pembelajaran

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Indonesia
Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.487 pulau, oleh karena itu ia disebut juga sebagai Nusantara (“pulau luar”, di samping Jawa yang dianggap pusat).

Dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam.

Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik, dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden yang dipilih langsung. Ibukota negara ialah Jakarta. Indonesia berbatasan darat dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara tetangga lainnya adalah Singapura, Filipina, Australia, dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India.

Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa lainnya. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting setidaknya sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya di Palembang menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India.

Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra.

Setelah berada di bawah penjajahan Belanda, Indonesia yang saat itu bernama Hindia-Belanda menyatakan kemerdekaannya di akhir Perang Dunia II. Selanjutnya Indonesia mendapat berbagai hambatan, ancaman dan tantangan dari bencana alam, korupsi, separatisme, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang pesat. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Suku Jawa adalah grup etnis terbesar dan secara politis paling dominan.

Semboyan nasional Indonesia, “Bhinneka tunggal ika” (“Berbeda-beda tetapi tetap satu”), berarti keberagaman yang membentuk negara. Selain memiliki populasi padat dan wilayah yang luas, Indonesia memiliki wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia.

Indonesia juga anggota dari PBB dan satu-satunya anggota yang pernah keluar dari PBB, yaitu pada tanggal 7 Januari 1965, dan bergabung kembali pada tanggal 28 September 1966 dan Indonesia tetap dinyatakan sebagai anggota yang ke-60, keanggotaan yang sama sejak bergabungnya Indonesia pada tanggal 28 September 1950.

Selain PBB, Indonesia juga merupakan anggota dari ASEAN, APEC, OKI, G-20 dan akan menjadi anggota dari OECD.

2.2 Sejarah Kemerdekaan Indonesia
Pada Maret 1945 Jepang membentuk sebuah komite untuk kemerdekaan Indonesia. Setelah perang Pasifik berakhir pada tahun 1945, di bawah tekanan organisasi pemuda, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang pada saat itu sedang bulan Ramadhan.

Setelah kemerdekaan, tiga pendiri bangsa yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir masing-masing menjabat sebagai presiden, wakil presiden, dan perdana menteri. Dalam usaha untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda mengirimkan pasukan mereka.

Usaha-usaha berdarah untuk meredam pergerakan kemerdekaan ini kemudian dikenal oleh orang Belanda sebagai ‘aksi kepolisian’ (Politionele Actie), atau dikenal oleh orang Indonesia sebagai Agresi Militer.[23] Belanda akhirnya menerima hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949 sebagai negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat setelah mendapat tekanan yang kuat dari kalangan internasional, terutama Amerika Serikat.

Mosi Integral Natsir pada tanggal 17 Agustus 1950, menyerukan kembalinya negara kesatuan Republik Indonesia dan membubarkan Republik Indonesia Serikat. Soekarno kembali menjadi presiden dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden dan Mohammad Natsir sebagai perdana menteri.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pemerintahan Soekarno mulai mengikuti sekaligus merintis gerakan non-blok pada awalnya, kemudian menjadi lebih dekat dengan blok sosialis, misalnya Republik Rakyat Cina dan Yugoslavia. Tahun 1960-an menjadi saksi terjadinya konfrontasi militer terhadap negara tetangga, Malaysia (“Konfrontasi”), dan ketidakpuasan terhadap kesulitan ekonomi yang semakin besar.

Selanjutnya pada tahun 1965 meletus kejadian G30S yang menyebabkan kematian 6 orang jenderal dan sejumlah perwira menengah lainnya. Muncul kekuatan baru yang menyebut dirinya Orde Baru yang segera menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai otak di belakang kejadian ini dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah serta mengganti ideologi nasional menjadi berdasarkan paham sosialis-komunis. Tuduhan ini sekaligus dijadikan alasan untuk menggantikan pemerintahan lama di bawah Presiden Soekarno.

Jenderal Soeharto menjadi presiden pada tahun 1967 dengan alasan untuk mengamankan negara dari ancaman komunisme. Sementara itu kondisi fisik Soekarno sendiri semakin melemah. Setelah Soeharto berkuasa, ratusan ribu warga Indonesia yang dicurigai terlibat pihak komunis dibunuh, sementara masih banyak lagi warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri, tidak berani kembali ke tanah air, dan akhirnya dicabut kewarganegaraannya. Tiga puluh dua tahun masa kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, sementara masa pemerintahan Soekarno disebut Orde Lama.

Soeharto menerapkan ekonomi neoliberal dan berhasil mendatangkan investasi luar yang besar untuk masuk ke Indonesia dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar, meski tidak merata.

Pada awal rezim Orde Baru kebijakan ekomomi Indonesia disusun oleh sekelompok ekonom lulusan Departemen Ekonomi Universitas California, Berkeley, yang dipanggil “Mafia Berkeley”.[25] Namun, Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya dipaksa turun dari jabatannya setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan kondisi ekonomi negara yang memburuk pada tahun 1998.

Dari 1998 hingga 2001, Indonesia mempunyai tiga presiden: Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Pada tahun 2004 pemilu satu hari terbesar di dunia[26] diadakan dan dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono.

Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan pertikaian bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah berusaha untuk mendapatkan kemerdekaan, terutama Papua. Timor Timur akhirnya resmi memisahkan diri pada tahun 1999 setelah 24 tahun bersatu dengan Indonesia dan 3 tahun di bawah administrasi PBB menjadi negara Timor Leste.

Pada Desember 2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda dua gempa bumi besar yang totalnya menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat Gempa bumi Samudra Hindia 2004 dan Gempa bumi Sumatra Maret 2005.) Kejadian ini disusul oleh gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam Pantai Pangandaran dan sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006 yang tidak kunjung terpecahkan.
2.3 Asal Muasal dan Sejarah Nama Negara Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: “Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur”)), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (“Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia”).

Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain.

Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (“nesos” dalam bahasa Yunani berarti “pulau”). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris): “… Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi “Orang Indunesia” atau “Orang Malayunesia””.

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa).

Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago (“Etnologi dari Kepulauan Hindia”).

Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago (“Kepulauan Hindia”) terlalu panjang dan membingun
2.4 Bendera Merah Putih
A. Asal Usul Bendera Merah Putih
Warna merah-putih bendera negara diambil dari warna panji atau pataka Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur pada abad ke-13.[1] Akan tetapi ada pendapat bahwa pemuliaan terhadap warna merah dan putih dapat ditelusuri akar asal-mulanya dari mitologi bangsa Austronesia mengenai Bunda Bumi dan Bapak Langit; keduanya dilambangkan dengan warna merah (tanah) dan putih (langit).

Karena hal inilah maka warna merah dan putih kerap muncul dalam lambang-lambang Austronesia dari Tahiti, Indonesia, sampai Madagaskar. Merah dan putih kemudian digunakan untuk melambangkan dualisme alam yang saling berpasangan.

Catatan paling awal yang menyebut penggunaan bendera merah putih dapat ditemukan dalam Pararaton; menurut sumber ini disebutkan balatentara Jayakatwang dari Gelang-gelang mengibarkan panji berwarna merah dan putih saat menyerang Singhasari. Hal ini berarti sebelum masa Majapahit pun warna merah dan putih telah digunakan sebagai panji kerajaan, mungkin sejak masa Kerajaan Kediri.

Pembuatan panji merah putih pun sudah dimungkinkan dalam teknik pewarnaan tekstil di Indonesia purba. Warna putih adalah warna alami kapuk atau kapas katun yang ditenun menjadi selembar kain, sementara zat pewarna merah alami diperoleh dari daun pohon jati, bunga belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), atau dari kulit buah manggis.

Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera merah putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai panji-panji merah putih. Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih.

Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII.[3] Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.

Di zaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone.Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.[5] Panji kerajaan Badung yang berpusat di Puri Pamecutan juga mengandung warna merah dan putih, panji mereka berwarna merah, putih, dan hitam[6] yang mungkin juga berasal dari warna Majapahit.

Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda. Kemudian, warna-warna yang dihidupkan kembali oleh para mahasiswa dan kemudian nasionalis di awal abad 20 sebagai ekspresi nasionalisme terhadap Belanda. Bendera merah putih digunakan untuk pertama kalinya di Jawa pada tahun 1928.

Di bawah pemerintahan kolonialisme, bendera itu dilarang digunakan. Bendera ini resmi dijadikan sebagai bendera nasional Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan diumumkan dan resmi digunakan sejak saat itu pula.
B. Arti Warna Bendera Merah Putih
Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti berani, putih berarti suci. Merah melambangkan raga manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan jiwa dan raga manusia untuk membangun Indonesia.

Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip dengan warna gula jawa (gula aren) dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan ini adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih).

Sejak dulu warna merah dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu darah yang tumpah ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai lambang ayah, yang ditanam di gua garba.
C. Peraturan Tentang Bendera Merah Putih
Bendera negara diatur menurut UUD ’45 pasal 35, UU No 24/2009, dan Peraturan Pemerintah No.40/1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia
Bendera Negara dibuat dari kain yang warnanya tidak luntur dan dengan ketentuan ukuran:

. 200 cm x 300 cm untuk penggunaan di lapangan istana kepresidenan;
. 120 cm x 180 cm untuk penggunaan di lapangan umum;
. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di ruangan;
. 36 cm x 54 cm untuk penggunaan di mobil Presiden dan Wakil Presiden;
. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di mobil pejabat negara;
. 20 cm x 30 cm untuk penggunaan di kendaraan umum;
. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kapal;
. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kereta api;
. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di pesawat udara;dan
. 10 cm x 15 cm untuk penggunaan di meja.
Pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara dilakukan pada waktu antara matahari terbit hingga matahari terbenam. Dalam keadaan tertentu, dapat dilakukan pada malam hari.
Bendera Negara wajib dikibarkan pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus oleh warga negara yang menguasai hak penggunaan rumah, gedung atau kantor, satuan pendidikan, transportasi umum, dan transportasi pribadi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Bendera Negara wajib dikibarkan setiap hari di
. istana Presiden dan Wakil Presiden;
. gedung atau kantor lembaga negara;
. gedung atau kantor lembaga pemerintah;
. gedung atau kantor lembaga pemerintah nonkementerian;
. gedung atau kantor lembaga pemerintah daerah;
. gedung atau kantor dewan perwakilan rakyat daerah;
. gedung atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
. gedung atau halaman satuan pendidikan;
. gedung atau kantor swasta;
. rumah jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
. rumah jabatan pimpinan lembaga negara;
. rumah jabatan menteri;
. rumah jabatan pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian;
. rumah jabatan gubernur, bupati, walikota, dan camat;
. gedung atau kantor atau rumah jabatan lain;
. pos perbatasan dan pulau-pulau terluar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
. lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia; dan
. taman makam pahlawan nasional.

Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah dapat dipasang pada peti atau usungan jenazah Presiden atau Wakil Presiden, mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden, anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, anggota dewan perwakilan rakyat daerah, kepala perwakilan diplomatik, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia yang meninggal dalam tugas, dan/atau warga negara Indonesia yang berjasa bagi bangsa dan negara.

Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.
Setiap orang dilarang:
1. merusak, merobek, menginjak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan kehormatan Bendera Negara;
2. memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial;
3. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara; dan memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.

2.5 Bahasa Indonesia
A. Sejarah Bahasa Indonesia
Pemuda-pemudi Indonesia pada masa pergerakan berhasil menyelenggarakan Kongres Pemuda Indonesia. Dalam kongres tersebut tercetuslah ikrar bersama yang lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda . Ikrar Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada tanggal 28 Oktober 1928 itu salah satu butirnya adalah menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Adapun bunyi ikrar lengkap pemuda Indonesia yang dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda itu adalah sebagai berikut.

Teks Sumpah Pemuda
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku
bertumpah darah yang satu,Tanah Air Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Secara historis bahasa Indonesia berakar pada bahasa Melayu Riau sebab bahasa yang dipilih sebagai bahasa nasional itu adalah bahasa Melayu, yang sudah menjadi lingua franca di pelabuhan-pelabuhan perniagaan yang tersebar di wilayah Nusantara, yang kemudian diberi nama bahasa Indonesia.

Alasan dipilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional adalah sebagai berikut.

• ‪Bahasa Melayu telah berabad-abad lamanya dipakai sebagai lingua franca (bahasa perantara atau bahasa pergaulan di bidang perdagangan) di seluruh wilayah Nusantara.‬‬‬‬‬
• ‪Bahasa Melayu memunyai struktur sederhana sehingga mudah dipelajari, mudah dikembangkan pemakaiannya, dan mudah menerima pengaruh luar untuk memerkaya dan menyempurnakan fungsinya.‬‬‬‬‬
• Bahasa Melayu bersifat demokratis, tidak memperlihatkan adanya perbedaan tingkatan bahasa berdasarkan perbedaan status sosial pemakainya, sehingga tidak menimbulkan perasaan sentimen dan perpecahan.‬
• Adanya semangat kebangsaan yang besar dari pemakai bahasa daerah lain untuk menerima bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.‬
• ‪Ada nya semangat rela berkorban dari masyarakat Jawa demi tujuan yang mulia‬‬‬‬

1. Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum Masa Kolonial

Meskipun bukti-bukti autentik tidak ditemukan, bahasa yang digunakan pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya pada abad VII adalah bahasa Melayu. Sementara itu, bukti-bukti yang tertulis mengenai pemakaian bahasa Melayu dapat ditemukan pada tahun 680 Masehi, yakni digunakannya bahasa Melayu untuk penulisan batu prasasti, di antaranya sebagai berikut.
o ‪Prasasti yang ditemukan di Kedukan Bukit berangka tahun 683 Masehi.‬‬‬‬‬
o ‪Prasasti yang ditemukan di Talang Tuwo (dekat Palembang) berangka tahun 686 Masehi.‬‬‬‬‬
o ‪Prasasti yang ditemukan di Kota Kapur (Bangka Barat) berangka tahun 686 Masehi.‬‬‬‬‬
o ‪Prasasti yang ditemukan di Karang Brahi (antara Jambi dan Sungai Musi) berangka tahun 686 Masehi.‬‬‬‬‬
o ‪Prasasti dengan nama Inskripsi Gandasuli yang ditemukan di daerah Kedu dan berasal dari tahun 832 Masehi.‬‬‬‬‬
o ‪Pada tahun 1356 ditemukan lagi sebuah prasasti yang bahasanya berbentuk prosa diselingi puisi (?).‬‬‬‬‬
o ‪Pada tahun 1380 di Minye Tujoh, Aceh, ditemukan batu nisan yang berisi suatu model syair tertua .‬‬‬‬‬

2. Perkembangan Bahasa Indonesia di Masa Kolonial

Pada abad XVI, ketika orang-orang Eropa datang ke Nusantara mereka sudah mendapati bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan dan bahasa perantara dalam kegiatan perdagangan. Bukti lain yang dapat dipaparkan adalah naskah/daftar kata yang disusun oleh Pigafetta pada tahun 1522. Di samping itu, pengakuan orang Belanda, Danckaerts, pada tahun 1631 yang mendirikan sekolah di Nusantara terbentur dengan bahasa pengantar.

Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan surat keputusan: K.B. 1871 No. 104 yang menyatakan bahwa pengajaran di sekolah-sekolah bumiputera diberi dalam bahasa Daerah, kalau tidak dipakai bahasa Melayu.

3. Perkembangan Bahasa Indonesia di Masa Pergerakan

Setelah Sumpah Pemuda, perkembangan Bahasa Indonesia tidak berjalan dengan mulus. Belanda sebagai penjajah melihat pengakuan pada bahasa Indonesia itu sebagai kerikil tajam. Oleh karena itu, dimunculkanlah seorang ahli pendidik Belanda bernama Dr. G.J. Niewenhuis dengan politik bahasa kolonialnya. Isi politik bahasa kolonial Niewenhuis itu lebih kurang sebagai berikut.

Pengaruh politik bahasa yang dicetuskan Niewenhuis itu tentu saja menghambat perkembangan bahasa Indonesia. Banyak pemuda pelajar berlomba-lomba mempelajari bahasa Belanda, bahkan ada yang meminta pengesahan agar diakui sebagai orang Belanda (seperti yang dilukiskan Abdul Muis dalam roman Salah Asuhan pada tokoh Hanafi). Sebaliknya, pada masa pendudukan Dai Nippon, bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Tentara pendudukan Jepang sangat membenci semua yang berbau Belanda; sementara itu orang-orang bumiputera belum bisa berbahasa Jepang. Oleh karena itu, digunakanlah bahasa Indonesia untuk memperlancar tugas-tugas administrasi dan membantu tentara Dai Nippon melawan tentara Belanda dan sekutu-sekutunya.

4. Bahasa Indonesia Setelah Kedatangan Jepang
Keadaan pengajaran bahasa Indonesia—yang oleh pihak Belanda masih disebut bahasa Melayu— di sekolah-sekolah masih terus seperti itu. Barulah perubahan drastis terjadi setelah kedatangan Jepang ke Indonesia, awal Maret 1942. Jepang mengganti kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Berbagai langkah kebijaksanaan pemerintahan pendudukan Jepang yang segera dijalankan adalah menghapus semua jejak pemerintah Belanda. Di dalamnya, termasuk juga persoalan bahasa.
Instruksi dari Panglima Perang Bala Tentara Dai Nippon yang dimuat bersamaan dengan edisi pertama surat kabar Asia Raja‚ (29 April 1942/2602) misalnya, jelas merupakan pengumuman pemerintah Jepang mengenai kebijaksanaan yang akan dijalankan di wilayah Indonesia. Butir keenam dari sepuluh butir maklumat itu berbunyi sebagai berikut: “Nama-nama negeri dan kota diseloeroeh poelaoe Djawa jang mengingatkan kepada zaman pemerintah Belanda almarhum ditoekar dengan nama-nama menoeroet kehendak ra’jat.”
Pengumuman sejenis, baik yang menyangkut pemberlakuan kebijaksanaan politik pemerintah pendudukan Jepang, instruksi-instruksi, peraturan-peraturan, maupun rencana perayaan hari-hari tertentu yang dianggap dapat memberi semangat bagi perjuangan bangsa- bangsa Asia (baca: Jepang). Hal ini kerap kali mengisi lembaran-lembaran halaman surat kabar Asia Raja.
Bagi pemerintah pendudukan Jepang, dalam soal bahasa yang akan digunakan dalam urusan kedinasan, memang tidak ada pilihan lain, selain memilih bahasa Indonesia. Pemerintah Jepang sendiri melarang digunakannya bahasa Belanda, Inggris, atau bahasa negara-negara yang pro-Sekutu. Se- mentara itu, bahasa Jepang sendiri sama sekali belum dikenal masyarakat Indonesia. Wajar jika kemudian pemerintah Jepang menentukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang digunakan dalam berbagai urusan, baik kedinasan, maupun urusan lain di luar itu. Langkah pertama yang dilakukan Pemerintah Jepang adalah menerjemahkan buku-buku yang berbahasa pro-Sekutu ke dalam bahasa Indonesia, termasuk di dalamnya bidang peristilahan.
Sebagai realisasi dari kebijaksanaan itu, tanggal 26 Oktober 1942, dibentuklah Komisi Istilah Bahasa Indonesia. Salah satu tugas utamanya adalah menciptakan istilah- istilah dalam bahasa Indonesia untuk menggantikan istilah-istilah bahasa Belanda dan Inggris. Karya penting yang dihasilkan komisi ini adalah terkumpulnya 7000 istilah baru bahasa Indonesia. Penerbit Kebangsaan Poestaka Rakyat, Jakarta, lalu menerbitkannya sebagai Kamoes Istilah dalam dua jilid (I: Kamoes Istilah: Asing— Indonesia, terbit 1945, II: Kamoes Istilah: Indonesia—Asing, terbit 1947) dengan Kata Pengantar Sutan Takdir Alisjahbana.
Kebijaksanaan Jepang yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam pemerintahan dan kehidupan sosial-politik telah menempatkan bahasa Indonesia menjadi begitu penting. Sebulan setelah Jepang menguasi wilayah Indonesia, pemerintah Jepang segera menerbitkan sejumlah surat kabar dan majalah berbahasa Indonesia. Pada bulan Mei 1942, pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan perintah bahwa semua toko, restoran, sekolah, perusahaan, perhimpunan, dan sebagainya diharuskan mengganti papan nama, tulisan dan reklame dengan yang berbahasa Jepang atau Indonesia.
Begitu pula, pada tahun 1942 itu, E. St. Harapan, penyusun Kitab Arti Logat Melajoe, diminta segera menyusun kembali kamus itu. Terbitlah pada tahun itu Kamoes Indonesia yang sebenarnya lebih merupakan edisi revisi Kitab Arti Logat Melajoe karena di dalamnya memang ada penambahan beberapa entri. Inilah kamus pertama yang memakai kata Indonesia dalam dunia perkamusan Indonesia. Kamus yang tebalnya 452 halaman itu disusun hanya dalam waktu 70 hari. Waktu yang relatif singkat untuk penyusunan sebuah kamus. Namun, tampak juga di sini bahwa kebutuhan kamus bahasa Indonesia waktu itu begitu mendesak untuk segera menghapus segala pengaruh bahasa Belanda.
Mengenai bahasa Indonesia di persekolahan, pemerintah Jepang tetap menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, di samping dipelajari juga sebagai mata pelajaran, berdampingan dengan pelajaran bahasa Jepang. Dalam usaha mempercepat penduduk Indonesia mempunyai kemahiran bahasa Jepang, di hampir semua media massa yang terbit waktu itu disediakan pula rubrik-rubrik pelajaran bahasa Jepang dengan terjemahan atau penjelasannya dalam bahasa Indonesia.
B. Sejarah Penggunaan Bahasa Melayu
Ketika dunia persekolahan belum dikenal masyarakat di wilayah Nusantara ini, orang dengan latar belakang etnis lain, pada mulanya belajar bahasa Melayu sekadar untuk tujuan praktis, yaitu agar dapat berkomunikasi, baik dengan penduduk Melayu sendiri, maupun etnis-etnis lain yang non-Melayu. Pandangan ini juga disadari benar oleh orang asing yang datang ke wilayah Nusantara. Para pedagang dan missionaris lebih memilih belajar dan mempelajari bahasa Melayu daripada bahasa daerah lain, mengingat bahasa Melayu –sebagai lingua franca—sudah dikenal luas penduduk dan menyebar ke berbagai pelosok Nusantara. Sejumlah prasasti dan bukti lain yang menyatakan hal tersebut dengan mudah dapat kita sebutkan.
Jauh sebelum bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, bahasa Melayu sudah dipergunakan sebagai bahasa penghubung dan bahasa perniagaan yang penyebarannya telah melewati wilayah Nusantara. Bahkan, orang-orang Portugis yang hendak berniaga, menekankan pentingnya pengetahuan bahasa Melayu jika ingin mencapai hasil yang baik dalam perniagaannya. Bahasa Melayu yang disebutnya sebagai bahasa Latin dari Timur, digunakan untuk kepentingan praktis, yaitu menyampaikan missi agama, perdagangan dan niaga, dan pendidikan yang berhubungan dengan itu.
Menjelang akhir abad ke-16, Jan Huygen van Linschoten selepas kunjungannya ke wilayah Nusantara, menyatakan bahwa bahasa Melayu telah sedemikian masyhurnya di kawasan ini. Lebih daripada itu, bahasa Melayu telah dianggap sebagai bahasa yang sehormat-hormatnya dan sebaik- baiknya dari segala bahasa di Timur. Dalam Itinerario (1596), Linschoten menyatakan bahwa “yang tidak berbahasa Melayu di Hindia-Belanda, dia tidak bisa turut serta seperti bahasa Perancis untuk kita.”
Selanjutnya, dikatakan bahwa pada tahun 1596, bahasa Melayu merupakan bahasa hasil ramuan, tetapi pada akhir abad ke-16, bahasa ini telah demikian maju sehingga menjadi bahasa budaya dan perhubungan. Oleh karena itu, seperti dikutip A. Teeuw, “Setiap orang yang ingin ikut serta dalam kehidupan antarbangsa di kawasan itu mutlak perlu mengetahui bahasa Melayu.”
Di dalam Gambaran tentang Malaka (Beschrijvinghe van Malakka), pendeta Francois Valentijn yang bertugas di Ambon selama lebih dari dua windu (1685—1695 dan kembali lagi ke Ambon 1707—1713) mengungkapkan pandangannya tentang bahasa Melayu pada masa itu sebagai berikut:
Bahasa mereka disebut bahasa Melayu…Bahasa ini tidak hanya dipergunakan di daerah mereka, tetapi juga dipergunakan di mana-mana untuk bisa saling mengerti dan untuk dipakai di mana pun di seluruh Hindia, dan di semua negara di Timur, seperti halnya dengan bahasa Perancis atau Latin di Eropa … orang yang bisa bahasa itu tidak akan kebingungan karena bahasa ini dikenal sampai dimengerti. Orang yang tidak bisa berbicara bahasa ini akan dianggap sebagai orang Timur yang kurang pendidikan.
Sebelumnya, Valentijn juga mengungkapkan pandangannya yang positif mengenai bahasa Melayu: “Bahasa itu indah, bagus sekali, merdu bunyinya, dan kaya, yang di samping bahasa Portugis, merupakan bahasa yang dapat dipakai di seluruh Hindia sampai ke Parsi, Hindustan, dan negeri Cina.” Begitu pentingnya bahasa Melayu di kawasan ini sehingga—seperti tampak dari pernyataan Valentijn—pujian terhadap bahasa Melayu terkadang terkesan berlebihan.
Meskipun demikian, pandangan orang-orang asing itu didasarkan pada fakta bahwa dibandingkan dengan bahasa daerah lain yang tersebar di kepulauan Nusantara ini, bahasa Melayu justru sudah begitu dikenal luas, baik oleh penduduk pribumi dari etnis-etnis non-Melayu, maupun orang asing yang datang ke kepulauan ini. Hal itu dikatakan pula oleh Gubernur Jenderal J.J. Rochussen (1845—1851) setelah ia melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa pada tahun 1850.
Bahasa Melayu itu lingua franca seluruh kepulauan Hindia ini, bahasa yang dipakai oleh sekalian orang yang masuk golongan bermacam-macam bangsa dalam pergaulannya bersama: orang Melayu dengan orang Jawa, orang Arab dengan orang Tionghoa, orang Bugis dengan orang Makasar, orang Bali dengan orang Dayak.
Demikianlah, orang asing, dan terutama bangsa Eropa yang datang ke Nusantara, mempelajari bahasa Melayu. Pada awalnya, mereka lebih menekankan pada tujuan praktis, yaitu sebagai sarana untuk mempermudah berkomunikasi dengan penduduk pribumi.
Dalam perkembangannya, mengingat bangsa Eropa, khasnya Belanda, mempunyai kepentingan tertentu dalam menjalankan politik kolonial, maka pandangan terhadap bahasa Melayu tidak lagi sekadar untuk berkomunikasi, tetapi untuk melanggengkan kekuasaannya. Atas dasar kenyataan itu, tidak dapat lain penguasaan bahasa Melayu menjadi salah satu syarat penting bagi pejabat pemerintah yang hendak bertugas di wilayah ini.
Dalam hal itulah, kedudukan bahasa Melayu di wilayah Nusantara menjadi makin penting dipelajari. Untuk mewujudkan gagasan itu, Gubernur Jenderal J.J. van Rochussen mengusulkan agar bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa pengantar yang dipakai di kepulauan Nusantara. Gagasannya ini tentu saja makin mempercepat penyebaran bahasa Melayu bagi penduduk dan orang-orang asing yang datang ke wilayah ini.
Sementara itu, masuknya pengaruh Islam ke Nusantara, jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, menyertakan pula tradisi penulisan huruf Jawi, Pegon, atau yang lebih umum dikenal dengan huruf Arab—Melayu. Dalam hal ini, meskipun masyarakat di beberapa daerah, sudah mengenal dan menggunakan huruf daerahnya, tetapi mereka menerima juga huruf Arab untuk menulis bahasa daerahnya. Itulah sebabnya, ketika orang-orang Eropa memperkenalkan huruf Latin, huruf-huruf itu tidak serta-merta diterima begitu saja. Bagi orang-orang Eropa, khususnya Belanda, penulisan bahasa Melayu dengan huruf Arab menimbulkan masalah tersendiri. Mereka lebih mudah belajar bahasa Melayu dengan huruf Latin daripada dengan huruf Arab.
Seperti dikatakan van Ronkel berikut ini: “Berbicara dalam bahasa Melayu merupakan hal biasa bagi kami. …sayangnya orang Belanda yang dapat “membaca” (mengerti huruf Arab) masih sangat langka.” Dengan demikian, saat itu, komunikasi tertulis dalam bahasa Melayu yang dilakukan orang-orang Eropa dengan penduduk pribumi terutama golongan bangsawan dan raja-raja, lebih banyak menggunakan huruf Latin. Sebaliknya, penduduk pribumi atau bangsawan yang belum dapat mengenal huruf Latin, masih menggunakan Arab-Melayu.
Sesungguhnya usaha untuk memperkenalkan bahasa Barat (Latin) pada awalnya berkaitan dengan politik bahasa yang dimaksudkan, agar aparat pemerintah kolonial tidak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan penduduk pribumi. Dalam hubungan itulah, maka pada tahun 1818 ditetapkan bahwa salah satu tugas pemerintah Hindia Belanda adalah “Merencanakan langkah yang tepat untuk menyebarluaskan pengetahuan bahasa Melayu, Jawa, dan bahasa-bahasa lainnya di antara penduduk bangsa Eropa.”
Dua tahun selepas pemerintahan peralihan Inggris (1811—1816), usaha penyebarluasan huruf Latin dalam bahasa Melayu, diimplementasikan di dalam hampir semua peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Tujuan lain dari usaha itu adalah sebagai langkah yang mendorong pemutusan bahasa Melayu dari asosiasi pengaruh Islam yang terikat oleh pemakaian huruf Arab. Selepas itu, sejumlah peraturan pemerintah menetapkan betapa penting penguasaan bahasa Melayu bagi aparat pemerintah. Hal itu merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi, jika mereka hendak menjalankan tugas-tugas pemerintahan.
Gubernur Jenderal Van der Capellen (1816—1826) misalnya, membuat sejumlah peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan bahasa ambtenar Eropa. Di Sekolah Marine, di Semarang (1818), mulai diajarkan bahasa Jawa dan Melayu, di samping bahasa Belanda, Perancis, dan Inggris. Keputusan Gubernemen, 25 Maret 1819, secara tegas mewajibkan para ambtenar agar mereka dalam waktu setahun harus mampu menyelesaikan pekerjaan mereka tanpa bantuan seorang penerjemah. Bagi asisten-residen, sekretaris dan para pengawas di pemerintahan dalam negeri, dalam waktu dua tahun harus dapat membaca dan mengerti bahasa daerah (termasuk bahasa Melayu).
Kebijaksanaan pemerintah mengenai pentingnya penguasaan bahasa Melayu ini kemudian dilanjutkan lagi oleh Gubernur Jenderal H.M. de Kock (1826—1830) yang mengeluarkan peraturan No. 16, 14 April 1826 bahwa semua ambtenar sipil dan militer yang bertugas di pos-pos sipil wajib mempelajari buku tata bahasa Melayu dan kamus Melayu karya W. Marsden.
Dalam keputusan pemerintah No. 38, 22 November 1827 dinyatakan bahwa kenaikan pangkat di dalam dinas tergantung kepada taraf pengetahuan bahasa Melayu dan Jawa. Kedudukan bahasa Melayu menjadi semakin penting sebagai bahasa administrasi dan birokrasi pemerintahan selepas Gubernur Jenderal D.J. de Eerens (1836—1840) mengeluarkan Keputusan No. 30, 22 Mei 1837.
Dalam keputusan itu, dinyatakan bahwa semua permohonan, usul penempatan, atau kenaikan pangkat di lingkungan Pemerintahan Dalam Negeri harus disertai dengan ijazah yang menyatakan penguasaan bahasa Melayu dan bahasa- bahasa di Pulau Jawa (Jawa, Sunda, dan Madura). Tujuannya adalah untuk dapat mengungkapkan sesuatu dalam bahasa itu dan mampu membaca dan menulis huruf-hurufnya agar bisa berkorespondensi tentang urusan kedinasan dengan priyayi-priyayi pribumi.
Diterbitkannya sejumlah keputusan atau peraturan pemerintah yang menempatkan penguasaan bahasa Melayu sebagai salah satu syarat penting bagi pegawai pemerintah berdampak sangat luas. Bagi bahasa Melayu itu sendiri, makin mengukuhkan peranannya sebagai bahasa perhubungan, baik sebagai alat berkomunikasi antarpenduduk pribumi yang berlatarbelakang etnis non-Melayu, maupun dengan orang asing (Eropa—Belanda).
Ia juga makin memperlihatkan prestisenya sebagai bahasa ilmu pengetahuan yang mulai ramai dipelajari dan diteliti orang-orang Eropa dalam berbagai penelitian ilmiah. Bagi pihak pemerintah kolonial Belanda, peraturan itu mempelajari bahasa Melayu yang pada gilirannya memudahkan mereka dalam menjalankan tugas- tugas birokrasi pemerintahannya. Di pihak lain, pemerintah juga harus menyediakan guru dan institusi pendidikan. Itulah salah satu alasan perlunya didirikan Akademi Delft.
Dalam laporan Menteri Koloni J.C. Baud (1840—1849) kepada Raja, 28 Juni 1842 mengenai keberadaan Akademi Delft sebagai lembaga yang diharapkan dapat mencetak tenaga-tenaga ambtenar Hindia Belanda yang mempunyai pengetahuan bahasa secara baik. Ia juga mengungkapkan alasan belum perlunya bahasa Belanda diajarkan bagi penduduk pribumi. Dalam hal tersebut, ia mengingatkan kedudukan pemerintah Belanda dalam melangsungkan kekuasaannya di Hindia sebagai wilayah koloninya. Jika suatu bangsa yang dijajah selalu diajak bicara dalam bahasa asing, mereka akan senantiasa diingatkan … akan kedudukannya sebagai bawahan (Historische Nota, 1900: 23).
Di Hindia Belanda sendiri beberapa sekolah gubernemen bagi anak-anak pribumi baru didirikan pada tahun 1849 dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar, dan bahasa Melayu sebagai salah satu mata pelajaran. Sementara itu, bahasa Belanda belum diajarkan karena dianggap belum saatnya diberikan kepada anak-anak pribumi. Jika bahasa Belanda diajarkan, ia hanya akan menambah beban pendidikan saja, begitulah gagasan yang dilontarkan Baud.
Boleh jadi lantaran itu pula, maka Gubernur Jenderal J.J. Rochussen mengusulkan agar bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa pemerintahan dalam pergaulan dengan kepala-kepala pribumi. Oleh sebab itu, bahasa Melayu di sekolah-sekolah pribumi harus menjadi pelajaran penting, sementara bahasa-bahasa pribumi hanya sekadar tambahan saja. Selanjutnya, van Rochussen mengatakan:
Bahasa Melayu adalah lingua franca di seluruh kepulauan Nusantara, dipakai dalam pergaulan oleh semua orang dari berbagai bangsa. Kebanyakan orang pribumi, terutama orang Jawa, tidak merasa sulit mempelajari bahasa itu dan hampir semua priyayi di Jawa mengerti dan juga menulisnya.
1. Bahasa Melayu Pasar dan Bahasa Melayu Sekolahan
Berdasarkan keputusan Gubernemen, No. 5, 13 Maret 1849, No. 5, dinyatakan perlunya mendirikan sekolah-sekolah pribumi, terutama bagi ambtenar (priyayi) pribumi dengan bahasa pribumi sebagai bahasa pengantarnya. Sementara itu, bahasa Melayu menjadi mata pelajaran yang ditulis dengan huruf Arab dan Latin. Pada tahun 1850, Rochussen menetapkan pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah gubernemen bagi anak-anak pribumi.
Bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar dan ditempatkan sebagai mata pelajaran penting di sekolah-sekolah. Hal itu tidak hanya mengukuhkan keberadaan bahasa Melayu dalam dunia pendidikan pribumi, tetapi juga membawa bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan sehari-hari di kalangan elite (priyayi) pribumi dan bangsa Eropa, terutama Belanda. Mengenai dampak ditetapkannya bahasa Melayu di sekolah-sekolah gubernemen, Groeneboer mengatakan:
Sebagai akibat dari kurikulum untuk kedinasan di Hindia-Belanda, bahasa Melayu mencapai kemajuan yang pesat… di luar Jawa dan Madura, bahasa Melayu dipergunakan secara umum sebagai bahasa pemerintahan di dalam kedinasan, di dalam komunikasi dan korespondensi antara amtenar Eropa dan priayi- priayi di daerah, antara orang Eropa dan penduduk pribumi, tetapi juga antara orang Eropa dan amtenar pribumi dan antara kelompok orang Timur-Asing yang berdagang di mana-mana … bagian terbesarnya terdiri orang-orang Cina yang lahir di Hindia-Belanda, disebut ‘peranakan’ dan bahasa mereka adalah bahasa Melayu.
Demikianlah, tidak dapat dihindarkan terjadinya perkembangan bahasa Melayu dalam dua jalur: (1) bahasa Melayu lisan yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari di kalangan priyayi, dan masyarakat luas, termasuk Cina peranakan yang bagi golongan masyarakat ini lazim disebut bahasa Melayu pasar, dan (2) bahasa Melayu yang dipakai dalam dunia persekolahan yang secara taat asas memakai model bahasa Melayu tinggi.
Bersamaan dengan itu, perkenalan dengan alat cetak membuka kemungkinan lain bagi perkembangan bahasa Melayu. Dalam hal ini, tidak dapat diabaikan peran pengelola dan pengusaha percetakan. Terbitnya buku-buku cetak dan lahirnya sejumlah surat kabar berbahasa Melayu memper- lihatkan perkembangan bahasa Melayu dalam dua jalur itu, yaitu bahasa Melayu tinggi dan bahasa Melayu pasar.
Surat kabar berbahasa Melayu pertama, Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, terbit di Surabaya, 12 Januari 1856, memakai bahasa Melayu pasar mengingat sebagian besar isinya berupa iklan-iklan perdagangan yang sasaran pembacanya adalah para pedagang. Perhatikan sebagian keterangan yang menunjukkan isi dan sasaran pembaca surat kabar ini:
Bermoelanja kita mengloearkan kepada orang2 njang soeka batja ini Soerat Kabar, njang bergoena soeda terseboet di dalam Soerat Kabar Oostpost, jaini Soerat Kabar bahasa Melaijoe sanget didjadikan pertolongannja orang berdagang di negrie Djawa soblah timoer. Mangka segala orang berdagang njang soeka taroh satoe kabar dari dagang atawa beladjar, berseangkat, datang dari pendjoewalan barang, harga oetawa dari lain2 kabar, ija boleh kirim di kantor tjitakan ini soerat di kota Soerabaija.
Perhatikan kutipan di bawah ini yang diambil dari halaman depan surat kabar itu yang memperlihatkan banyaknya salah cetak dan ejaan yang tidak konsisten.
Harganja ini Soerat Kabar Bahasa Melaijoe dalem satoe taoen poenja moesti di bajar lebih dahoeloe, pada njang kloewarken ini soerat. Harganja kabaran njang 10 perkataan f. 1.- rec selainja zegel. Dan boleh dapet darie E. Fuhri di Soerabaija.
Pilihan pemakaian bahasa Melayu bagi surat kabar, jelas berkaitan dengan tujuan untuk menjangkau sasaran pembaca yang lebih luas. Bahasa Melayu pasar yang digunakannya tidak pula berarti ada penafikan terhadap bahasa Melayu tinggi. Masalah pemakaian bahasa Melayu tinggi atau Melayu rendah ini disadari pula oleh pengelola Soerat Chabar Betawie yang terbit setiap hari Sabtu di Betawi, April 1858. Berikut ini dikutip pernyataan mengenai hal tersebut yang terdapat dalam edisi pertama surat kabar itu:
Inie soerat chabar nantie di tjitaq separo dengan hoeroef Walanda, separo dengan hoeroef Malaijoe. Maka bahasanja inie soerat chabar tiada terlaloe tinggi, tetapi tiada lagi terlaloe rindah, soepaija segala orang boleh mengarti, siapa djoega jang mengarti bahasa Malaijoe adanja. Maka barang kali kita masoq-kan soerat pengadjaran maka di sitoe nantie membahasa Malaijoe tinggi, tetapi kita harap nantie menjatakan artienja di dalam bahasa Melaijoe rindah …
Perkembangan bahasa Melayu lewat surat-surat kabar yang kebanyakan memakai bahasa Melayu rendah itu tak hanya makin meluaskan tradisi penulisan bahasa Melayu, baik dengan huruf Arab- Melayu maupun huruf Latin. Akan tetapi, hal itu menumbuhkan kesadaran pentingnya keseragaman penulisan huruf dan ejaan bahasa Melayu yang standard. Dalam kaitan itu, pada tahun 1891, A.A. Fokker menganjurkan pemakaian bahasa Melayu—Riau yang dikatakannya:
“… bukan saja sebagai alat peradaban, tetapi juga sebagai bahasa pemersatu pemerintahan di seluruh kepulauan ini…. Akan datang suatu masa, di mana kita dapat memberi sumbangannya, yaitu bahwa setiap orang Pribumi yang telah menamatkan sekolah dasar, akan merasa malu kalau dia tidak mampu berbahasa Melayu—Riau ….”
Kalangan zending dan para pendeta, di antaranya, A. Hueting dan van der Roest, juga cenderung memilih bahasa Melayu-Riau karena dianggap sebagai bahasa Melayu yang baik.
“… agar lambat laun bahasa Melayu yang baik, yaitu bahasa Melayu-Riau diajarkan di sekolah-sekolah … sebagai bahasa yang memungkinkan berbagai suku bangsa hidup rukun sebagai saudara dan berunding tanpa cemburu dan iri hati, dan juga dapat menjadi penghubung bagi orang-orang Kristen lainnya di kepulauan ini.”
Penempatan bahasa Melayu-Riau sebagai mata pelajaran dalam dunia pendidikan telah dilakukan jauh sebelum itu, yaitu ketika bahasa Melayu diajarkan di sekolah-sekolah. Penegasan kembali pemakaian bahasa Melayu Riau itu, semata-mata karena adanya perkembangan bahasa Melayu pasar atau Melayu rendah yang banyak digunakan dalam surat-surat kabar dan dalam pergaulan sehari-hari.
Untuk menghindari terjadinya kekacauan, terutama dalam penulisan huruf dan ejaan, maka diperlukan acuan bahasa Melayu yang baik dan standard yang justru masih terpelihara dalam bahasa Melayu Riau. Penulisan kata Melajoe, misalnya, kadang kala ditulis Melaijoe, Malajoe atau Malaijoe. Keadaan itu tentu saja dapat menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu.
Oleh karena itu, sebagai usaha untuk memudahkan pembacaan dan penulisan bahasa Melayu serta agar tidak terjadi kesalahpahaman, maka pada tahun 1897, A.A. Fokker mengusulkan penyeragaman bahasa Melayu dengan huruf Latin. Dengan demikian, penyeragaman ini hanya berlaku bagi bahasa Melayu yang menggunakan huruf Latin, dan tidak bahasa Melayu yang menggunakan huruf Arab-Melayu.
2. Posisi Bahasa Melayu
Memasuki abad XX, kedudukan bahasa Melayu di semua lapisan masyarakat dan di berbagai bidang kehidupan di Hindia Belanda sungguh sudah sedemikian kokohnya. Hal itu tampak pada tahun 1896, Charles Adrian van Ophuijsen, dibantu Moehammad Ta’ib Soetan Ibrahim—guru di Kawedanan Oud Agam, asal Kota Gadang—dan Engkoe Nawawi Gelar Soetan Ma’moer—guru bantu di Sekolah Rajo—menyusun ejaan bahasa Melayu yang standard yang bersumber dari bahasa Melayu klasik, yang masih terpelihara. Berkat usaha ketiga orang itulah, tersusun Kitab Logat Melajoe; Woordenlijst voor de spelling der Maleische taal (Batavia, 1901).
Direktur Pendidikan Abendanon, tahun 1902 mewajibkan semua sekolah di Hindia Belanda untuk menggunakan buku ini sebagai pedoman ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Selain mewajibkan semua sekolah, Pemerintah Belanda juga mengimbau penerbit-penerbit swasta, terutama surat-surat kabar, agar memakai ejaan ini. Beberapa ada yang mengikuti imbauan itu dan memakai ejaan van Ophuijsen, tetapi lebih banyak yang tetap memakai bahasa Melayu pasar.
Dengan diberlakukannya ejaan van Ophuijsen di semua sekolah, maka dalam dunia pendidikan itulah bahasa Melayu tinggi menempati kedudukannya yang tetap terpelihara. Keadaan itu didukung pula oleh buku-buku bacaan sekolah yang diterbitkan Commissie voor de Inlandsce School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) yang berdiri 14 September 1908 dan tahun 1917, yang berganti nama menjadi Kantoor voor de Volkslectuur (Balai Pustaka). Komisi ini berusaha secara ketat menerbitkan buku-buku bacaan yang isinya tidak hanya harus sejalan dengan politik kolonial Belanda, tetapi juga bahasanya harus taat berpedoman pada ejaan Ophuijsen. Seperti dikatakan Nur Sutan Iskandar, “… Gubernemen Hindia Belanda menghendaki supaja buku- buku batjaan jang akan dikeluarkan Balai Pustaka harus mempergunakan bahasa Melaju Riau, bahasa sekolah, jang telah ditetapkan dalam tahun 1901 itu.”
Sementara itu, terjadinya perubahan politik di negeri Belanda berpengaruh pula terhadap kebijaksanaan Belanda di tanah jajahan. Di balik misi memberi kesejahteraan bagi penduduk pribumi di Hindia Belanda, tersimpan politik kebudayaan (politik bahasa) untuk “membelandakan” pola pikir dan perilaku bangsa terjajah. Oleh karena itu, mulailah politik itu dijalankan dengan kembali menekankan pemberian mata pelajaran bahasa Belanda di semua tingkat persekolahan. Bahasa Belanda yang semula diajarkan di sekolah-sekolah gubernemen, kini dicobakan pula di sekolah pribumi di tingkat yang lebih rendah.
Dalam kaitannya dengan usaha “pembelandaan” itu, Belanda melakukan apa yang disebut pendekatan asimilasi atau adaptasi. “Kekuasaan kolonial harus berusaha sekeras mungkin untuk menyamakan penduduk asli, jadi juga harus memberikan perlakuan yang sama seperti yang ada di negara induk. Peradaban “barat” harus menerobos masuk ke penduduk yang bukan Eropa.”
Dalam pelaksanaannya, pendekatan asimilasi atau adaptasi dilakukan pemerintah Belanda di Indonesia secara setengah-setengah. Bahasa pengantar dalam pengajaran memang menggunakan bahasa Belanda, tetapi tidak dalam rangka mempersamakan dan memperlakukan penduduk asli seperti yang ada di negara induk (Belanda), malahan tetap dalam usaha memberi keuntungan yang maksimal bagi negara induk.
… sekolah-sekolah sekuler yang dikembangkan pemerintah (kolonial: MSM) bukanlah hasil pertumbuhan lokal, melainkan hasil manipulasi kebudayaan model Barat yang berakar pada negeri asal penjajah, baik organisasinya, maupun kurikulumnya.
Hal yang menonjol dari pendekatan asimilasi atau adaptasi di bidang pengajaran itu adalah usaha menyelusupkan peradaban Barat (baca: pembelandaan). Usaha pembaratan makin gencar dilakukan melalui pengajaran bahasa Belanda. Dr. G.J. Nieuwenhuis, pakar di bidang pengajaran bahasa ini menyatakan keyakinannya, bahwa:
…penyebaran bahasa Belanda dan budaya Belanda merupakan cara yang terbaik untuk mengekalkan kepentingan ekonomi ideal kami (Belanda: MSM).
…penjebaran bahasa Belanda di Indonesia ini boekan sadja goenanja oentoek mempertahankan kepentingan negeri Belanda didaerah ini, hal itoe perloe djoega oentoek mengangkat deradjat dan nama Negeri Belanda dinegeri asing….
Kalau lambat laoen semilioen bangsa Hindia jang terpeladjar pandai berbitjara dan mengerti bahasa kita … maka boekoe Belanda, pekerdja Belanda, pikiran Belanda akan tetap mendjalankan pengaroehnja, dan barang-barang Belanda akan tetap lakoe selama waktu djadjahan ….
Kalau kita ingin memajukan persatuan Hindia-Belanda, kita harus mulai dari lapisan atas; yaitu para pemimpin, dan kita harus menjadikan satu bahasa sebagai bahasa pengikat yang mewakili kebudayaan internasional, dan itu adalah bahasa Belanda.
Jika saja sejak awalnya pemerintah Belanda tidak melakukan diskriminasi dan mengajarkan bahasa Belanda tidak semata-mata sekadar menciptakan tenaga menengah yang dapat menghubungkan dan menerjemahkan kebijaksanaan pemerintah kepada penduduk pribumi, maka mungkin saja, bagi kalangan tertentu, impian Nieuwenhuis itu dapat menjadi kenyataan. Sesungguhnya, gagasan ideal Nieuwenhuis itu lebih mudah dijalankan di atas kertas daripada diimplementasikan dalam kehidupan sosio-kultural. Sebaliknya, usaha pengajaran bahasa Belanda (pembelandaan) dirasakan makin menjauhkan kaum terpelajar bangsa Indonesia dengan rakyatnya.
Berkaitan dengan hal itu, timbul pula kesadaran akan pentingnya mempunyai bahasa sendiri. Dalam kongres kedua Boedi Oetomo (BO), tahun 1909, misalnya, dipilih bahasa Melayu sebagai bahasa bersama dalam rapat-rapat Boedi Oetoemo. Malah Ketua BO, Tirtokoesoemo mengusulkan pemakaian bahasa Melayu, supaya “semua orang Jawa bisa mengerti.” Usul itu didukung pula oleh Kartaatmadja, salah seorang anggota BO, agar seluruh pembicaraan dalam kongres menggunakan bahasa Melayu.
Surya Ningrat, tokoh nasionalis yang kemudian menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat), dalam pidatonya (preadvis) pada Kongres Pendidikan Kolonial tahun 1916, sudah menganjurkan agar bahasa Melayu—yang sudah resmi sebagai bahasa pengantar di semua tingkatan sekolah pribumi—dikembangkan lebih jauh menjadi bahasa persatuan di kepulauan Nusantara. Hanya bahasa Melayu, satu-satunya bahasa pribumi yang berpeluang dapat diterima sebagai bahasa komunikasi antaretnis. Menurut pengakuan Soekarno, sudah sejak muda ia mendukung pentingnya bahasa Melayu. Dalam pertemuan dengan kolompok belajar Tri Koro Darmo di Surabaya, tahun 1917, ia mengatakan:
“Saya berpendapat bahwa kita pertama-tama harus mempelajari bahasa kita sendiri…. Marilah kita berkonsentrasi pada kelanjutan hidup bahasa Melayu dan andaikata kita harus mempelajari salah satu bahasa asing, biarlah itu bahasa Inggris, karena sekarang pun bahasa itu telah menjadi bahasa diplomatik.
3. Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia
Pada sidang pertama saat Volksraad dibentuk, tahun 1918, Pangeran Achmad Djajadiningrat mengusulkan agar dalam Peraturan Tata Tertib Volksraad dicantumkan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar resmi yang digunakan dalam sidang-sidang Volksraad, di samping bahasa Belanda. Kemudian, dalam Kongres Pemuda Pertama (Eerste Indonesisch Jeugdcongres) 1926, Muhammad Yamin yang berpidato dalam bahasa Belanda menyampaikan gagasannya tentang bahasa Melayu sebagai berikut:
Bagi saja sendiri, saja mempoenjai kejakinan, bahwa bahasa Melajoe lambat laoen akan tertoendjoek mendjadi bahasa pergaoelan oemoem ataupoen bahasa persatoean bagi bangsa Indonesia, dan bahwa keboedajaan Indonesia dimasa jang akan datang akan terdjelma dalam bahasa itoe.
Kongres pemuda pertama itu belum menghasilkan keputusan politik yang penting, embrio tentang tanah air, bangsa, dan bahasa persatuan sudah mulai wujud. Oleh karenanya, dalam Kongres Pemuda kedua, di Jakarta, 28 Oktober 1928, diputuskanlah pernyataan politik sebagaimana yang tertuang tiga butir Sumpah Pemuda. Butir ketiga yang berbunyi: “Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia” merupakan keputusan politik yang menempatkan bahasa Melayu tidak lagi berada di dalam konteks etnisitas, melainkan dalam kerangka keindonesiaan yang bertanah dan berbangsa (Indonesia).
Dengan demikian, melalui proses yang sangat panjang kelahiran bahasa Indonesia seperti sudah ditakdirkan harus begitu. Kelahirannya tidaklah datang secara tiba-tiba sebagai sesuatu yang datang dari langit. Oleh karena itu, ia tidak dapat melepaskan diri dari masa lalu yang melatarbelakanginya. Bahasa Indonesia lahir karena ia mempunyai sejarah panjang masa lalu “sesuatu yang logish gevolg (akibat logis) dan logische voortzetting (perkembangan logis) dari masa yang silam.”
Sebagai keputusan politik, niscaya pengangkatan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia berimplikasi politik. Bagi bangsa Indonesia yang mulai menjalankan kesadaran kebangsaannya, keputusan itu membawa pengaruh positif. Sejak keputusan “menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia” hampir semua organisasi pergerakan nasional menyatakan akan menggunakan bahasa Indonesia di dalam persidangan-persidangannya.
Dengan demikian, bahasa Indonesia menjadi semacam alat politik untuk membangun persatuan keindonesiaan. Itulah sebabnya, tidak sedikit tokoh nasionalis Indonesia merasa sudah sangat terbiasa berpikir dalam bahasa Belanda daripada dalam bahasa Indonesia, di dalam forum-forum resmi mereka tetap memakai bahasa Indonesia.
Sebagai alat politik untuk menumbuhkan kesadaran keindonesiaan, anjuran pemakaian bahasa Indonesia dalam semua organisasi pergerakan seolah-olah sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan organisasi itu.
Soekarno, misalnya, dalam “Rantjangan reorganisatie Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Bangsa Indonesia (PPPKI) menekankan kembali pentingnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, “… dengan gerakan kebangsaan baroe itoe tersangkoet djuga soal bahasa jang djadi pengikat bangsa-bangsa segolongan itoe. Maka timboellah bahasa persatoean: bahasa Indonesia jang pokoknja diambil dari bahasa Melajoe.”
C. Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai dua kedudukan yang sangat penting, yaitu sebagai bahasa nasional , dan sebagai bahasa resmi/Negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional diperoleh sejak awal kelahirannya, yaitu tanggal 28 Oktober 1928 dalam Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional sekaligus merupakan bahasa persatuan.
. Secara Nasional
o ‪Lambang Kebanggaan Nasional.‬‬‬‬‬
o ‪Lambang Identitas Negara.‬‬‬‬‬
o ‪Alat pemersatu bangsa yang berbeda latar belakang sosial budaya.‬‬‬‬‬
o ‪Alat Penghubung antar budaya antar daerah.‬‬‬‬‬
. Secara Resmi
1. Bahasa resmi kenegaraan.
2. Pengantar dalam dunia pendidikan.
3. Penghubung pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah.
4. Alat pengembangan kebudayaan,ilmu pengetahuan teknologi.

D. Fungsi Bahasa Indonesia
• Fungsi khusus :
1. Pergaulan, bahasa untuk berinteraksi
2. Seni, bahasa untuk mengekspresikan seni.
3. Pengetahuan, bahaa untuk mengeksploitasi Pengetahuan.
4. Sejarah, bahasa untuk mempelajai naskah-naskah kuno.

• Fungsi Umum :
1. Bahasa adalah alat untuk berekspresi.
2. Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi.
3. Bahasa adalah alat kontrol sosial.
4. Bahasa adalah alat integrasi dan adaptasi social

E. Bahasa Sebagai Alat Ekspresi Diri dan Simbol Representasi Budaya Bangsa
Melalui bahasa, manusia dapat meng ekspresikan segala pemikiran yang dimi liki. Dalam konteks bahasa Indonesia, Soejatmoko (2009: 141) memandang bahasa Indonesia telah menjadi wadah tunggal tranformasi yang diperlukan untuk kema juan dan pembangunan. Dengan masuk nya berbagai cara penyampaian informasi, pertanyaan sekarang yang muncul adalah apa yang harus dilakukan dengan bahasa agar bahasa Indonesia sungguhsungguh diintegrasikan dalam dalam kebudayaan komunitas?
Usaha merangsang dinamika pembangunan dari bawah membuka kem bali masalah peranan dan hubungan dwi tunggal antara bahasa Indonesia dan ba hasa daerah sekaligus potensi keduanya untuk merangsang dinamika tersebut.
Diskusi tentang kaitan antara bahasa, kekuatan, dan komunitas sebenarya sudah diawali dari sekitar tahun 1970. Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions (Y ood, 2005:5) mengatakan bahwa per ubahan intelektual dibangun dalam komu nitas. Namun, Kuhn tidak bisa memberi kan penjelasan mengenai hubungan recur sif bahwa komunitas akan berperan untuk umum dan untuk dirinya sendiri juga de ngan perjuangan yang terusmenerus un tuk menemukan makna dan relevansi da lam disiplin akademis.
Fuller dalam sum ber yang sama mengemukakan konsep “pergerakan sosial” (social movement) se bagai alternatif paradigma. Dalam konsep ini, pengetahuan baru dimaknai dalam konteks perubahan intelektual dan politik dan dalam respon terhadap citra profesi yang diciptakannya sendiri. Yood (2005: 3) menambahkan uraian nya sebagai tanggapan terhadap pandang an Fuller, bahwa pengetahuan yang terus
berkembang dan berubah tidak hanya dari perkembangan ide saja tetapi juga interaksi antara ide dan publik serta interaksi antara pemikiran komunitas tentang pengetahuan dan aktualisasinya dalam bidang politik dan dunia penulisan. Pengetahuan meru pakan hal yang refleksif, dalam hubungan nya dengan pencitraan diri sekaligus per ubahan lingkungan. Hal ini membutuhkan sebuah pergerakan sosial dan intelektual dalam masyarakat yang transformatif.
Di Indonesia sebenarnya sosok Ki Hajar Dewantara sangat patut menjadi pa nutan. Dalam bukunya, Menuju Manusia Merdeka ( 2009:43) dia menyatakan bahwa pendidikan yang terdapat dalam hidup se gala makhluk disebut sebagai laku kodrat (instinct), maka hidup manusia yang ber adab bersifat usaha kebudayaan, yaitu se bagai berikut.
(1) Sebagai laku kodrat, pendidikan bersifat laku atau kejadian yang masih sederhana.
(2) Pendidikan yang berlaku sebagai insting berupa pemeliharaan terhadap anakanak serta latihanlatihan.
(3) Pendidikan bertujuan untuk memberi tuntunan pekembangan jiwa anak untuk menuju adab kemanusiaan.
(4) Mengenal sifat kodrat dan sifat ke budayaan merupakan hal penting.
Konsep dari uraian di atas sesuai un tuk diterapkan pada masyarakat Indonesia. Kondisi sosiologis dan geografis Indonesia dengan beragam suku dan budaya mesti nya harus disikapi secara arif, artinya ha rus dirancang satu sistem pendidikan yang dapat mengelaborasi kekayaankekayaan dan sumber yang ada, menghindari prak tikpraktik diskriminasi kesukuan, serta yang lebih utama adalah menguatkan pe rasaan dan pemahaman mengenai Indone sia yang mengantarkan masyarakat menuju semangat Indonesia.
Penumbuhan Semangat Kebangsaan untuk Memperkuat Karakter Indonesia melalui Pembelajaran Bahasa
Bahasa dalam hal ini memiliki peran an yang sangat penting sebagai sarana penguatan semangat kebangsaan. Kekuat an bahasa sebagai alat ekspresi diri dan simbol representasi budaya Namun, per juangan kelaskelas yang terdeskriminasi terutama di Eropa telah membawa keber hasilan gemilang dengan menggunakan sarana literasi (kebahasaan) sebagai alat perjuangan kelas seperti dari beberapa ha sil penelitian dalam buku Making Race Vi sible: Literary Research for Cultural Under standing (Greene dan Perkins (2003).
2.6 Lagu Kebangsaan “INDONESIA RAYA”

Sejarah Lagu Kebangsaan “INDONESIA RAYA”
“Indonesia Raya” sebelum 17 Agustus 1945.
1. Lagu “Indonesia Raya” adalah gubahan komponis Muda Indonesia bernama Wage Rudolph Soepratman.
2. Almarhum Wage Rudolph Soepratman adalah seorang guru dan juga pernah menjadi wartawan surat kabar “Kaoem Moeda” dan pengarang buku. Sejak kecil Soepratman gemar sekali bermain biola.
3. Wage Rudolph Soepratman adalah putra seorang sersan Instruktur Mas Senen Sastrosoehardjo. Soepratman dilahirkan di Jatinegara pada tanggal 9 Maret 1903 dan meninggal dunia pada malam selasa tanggal 16 Agustus di Surabaya.
4. Semangat nasional telah mengisi seluruh jiwa Soepratman pada waktu itu. Semangat yang berwujud kemauan ingin menciptakan Lagu Kebangsaan. Akhirnya ia dapat menciptakan Lagu Indonesia Raya.
“Indonesia Raya” setelah 17 Agustus 1945.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Lagu Indonesia Raya ditetapkan sebagai Lagu Kebangsaan. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya selama perang Kemerdekaan telah merupakan sublimasi pengorbanan perjuangan rakyat dan Pemuda Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan serta menegakkan Kemerdekaan.
Dalam Undang-Undang Dasar sementara Republik Indonesia tahun 1950 pasal 3 ayat 2 Lagu Indonesia Raya ditetapkan dengan resmi sebagai Lagu Kebangsaan Indonesia.

2.7 Pendidikan Moral Karakter Indonesia dalam Pembelajaran
(2009:34) menegaskan makna pendidikan bahwa “Pendidikan me rupakan tuntunan hidup ….. Kekuatan ko drati yang ada pada seorang anak tiada lain adalah segala kekuatan yang ada da lam hidup batin dan hidup lahir karena ke kuasaan kodrat. Kita sebagai pendidik ha nya dapat menuntun tumbuhnya kekuatan itu agar dapat memperbaiki lakunya.”
Kodrat seperti yang diutarakan oleh dewantara di atas sejalan dengan karakter dasar manusia dan inilah bagian karakter Indonesia yang digagas oleh para penda hulu. Hal ini juga menjadi bahasan menarik dalam tulisan Komarudin Hidayat (Zuchdi, 2008)bahwamanusia perlu melakukan life’s journey yaitu upaya memahami kecende rungan sifatsifat dasar watak atau karak ter manusia. Watakwatak ini disebut de ngan inner guides. Jika manusia bisa mela kukan life’s journey, maka dia akan mudah mengenali, mengendalikan, mengarahkan serta mengoreksinya.
Hal ini tentu saja me miliki hubungan dengan tantangan global yang menuntut manusia untuk mampu mengontrol dirinya agar tidak mudah ter jerumus dalam pusaran arus informasi dan teknologi yang memungkinkan adanya pe nyalahgunaan halhal yang dapat merusak pribadi, komunitas, negara, maupun dunia, misalnya pemboman di Bali, India, keru suhan daerah, konflik antar sekolah, dan sebagainya.
Seperti yang dinyatakan oleh Lickona (1991:51), pendidikan karakter harus me libatkan aspek “knowing the good” (moral knowing), “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling), dan “acting the good” (moral action). Perkembangan lanjut mengenai pendidikan karakter seperti yang dikemukakan oleh Elias (2010:47) menyata kan bahwa “aplikasi perkembangan sosial emosional dan karakter di kelas yakni ten tang mengajarkan, memraktikkan, dan me neladankan kebiasaan pribadi yang pen ting dan kehidupan masyarakat serta kete rampilan yang dipahami secara universal dapat membuat manusia menjadi pribadi yang baik. Kebiasaan ini meliputi penghar gaan, tanggung jawa, integritas, kepeduli an, keterbukaan, dan pemecahan masalah secara konstruktif”.
Dalam uraian lanjutnya, Elias menge mukakan ada delapan cara untuk mem bangun perkembangan sosial, emosional, dan karakter antara lain melakukan per bincangan tentang karakter, menunjukkan karakter pribadi, bereaksi dalam kehidup an nyata, membaca fiksi maupun nonfiksi, menulis sebagai sarana berekspresi, ber partisipasi di sekolah maupun komunitas, strategi mengajar dengan pendekatan so sial, emosional, dan karakter, serta mem bantu siswa ketika mereka membutuhkan bantuan. Masingmasing cara ini diuraikan praktiknya secara lebih detil.
Pendidikan karakter memang men jadi tema sentral arah kebijakan pendidik an nasional yang ditargetkan terlaksana dari tahun 2010 sampai tahun 2025. Dalam buku yang diterbitkan oleh Pemerintah RI tahun 2010 mengenai pembangunan karak ter bangsa, ada tiga fungsi utama pemba ngunan karakter bangsa, yakni sebagai be rikut.
. (1) Fungsi pembentukan dan pengembang 
an potensi yaitu membentuk dan me ngembangkan potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila.
. (2) Fungsi perbaikan dan penguatan yaitu untuk memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, ma syarakat, dan pemerintah untuk ikut ber partisipasi dan bertanggungjawab da lam pengembangan potensi warga ne gara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejah tera.
. (3) Fungsi penyaring, yaitu untuk memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilainilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. 
Alur pikir pengembangan pendidikan karakter telah diterbitkan oleh pemerin tah melalui Kementerian Pendidikan Na sional (2010) dan saat ini.
Pengembangan karakter mencakup berbagai dimensi kehi dupan dengan berlandaskan pada perma salahanpermasalahan bangsa, landasan fi losofi, ideologis, dan legalitas. Hal ini ter tuang dalam alur pikir pembangunan ka rakter bangsa yang dijabarkan ke dalam konteks makro pengembangan karakter.
Sistem pendidikan yang sesuai untuk menghasilkan kualitas masyarakat yang cerdas dan berakhlak mulia (berkarakter baik) adalah sistem yang bersifat humanis, yang memposisikan subjek didik sebagai pribadi dan anggota masyarakat yang per lu dibantu dan didorong agar memiliki ke bisaaan efektif, perpaduan antara pengeta huan, keterampilan, dan keinginan (Zuch di, 2009:57).
Perpaduan ketiganya secara harmonis menyebabkan seseorang atau suatu komunitas meninggalkan ketergan tungan (dependence) menuju kemandirian (independence). Kesalingtergantungan sangat diperlukan dalam kehidupan modern se perti sekarang ini karena permasalahan yang kompleks hanya dapat diatasi dengan kerjasama dan kolaborasi yang baik de ngan sesama.
Ada beberapa hal yang harus dimili ki oleh guru sebagai pendidik yang meng integrasikan pendidikan moral dan karak ter pada anak didiknya. Xie dan Zhang (2011) menyatakan bahwa seorang pendi dik harus melakukan (1) Cultivation a noble of mind di mana dia akan memenuhi kewa jiban dan mencintai pekerjaan serta me ngembangkan karakter pribadi yang baik; (2) Improving of teaching ability; (3) study of the theories of education science; (4) partici pation in the scientific research activity; (5) possession of management capability.
Terkait dengan bagaimana integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran, konsep dan alur pikir mengenai hal ini digambarkan secara sistematis dalam kon teks mikro pengembangan pendidikan ka rakter. Konsep ini menjadi panduan dalam kerja praktis di lapangan khususnya di sa tuan pendidikan yang diharapkan dapat melaksanakan proses pembelajaran yang integratifdenganpendidikan karakter.
Metode dalam implementasi pendidik an karakter komprehensif ada empat ma cam, yaitu inkulkasi (inculcation), ketela danan (modeling), fasilitasi (facilitation), dan pengembangan keterampilan (skills build ing) (Zuchdi, 2009:19). Dalam inkulkasi ada beberapa kegiatan yang bisa dilakukan, yaitu: mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya, memperla kukan orang secara adil, menghargai pandangan orang lain, mengemukakan kera guraguan atau perasaan tidak percata di sertai dengan alasan dan sikap hormat, tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan, menciptaan pengalaman sosial dan emo sional mengenai nilainilai yang dikehen daki, membuat aturan, memberikan peng hargaan dan konsekuensi disertai alasan, membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju, memberikan kebebasan bagi perilaku yang berbedabeda.
Keteladanan merupakan nilai di mana pendidik dapat menjadi contoh yang baik bagi peserta didik dan peserta didik dapat meniru hal yang baik dari pendidik. Fasi litasi melatih subjek didik untuk mengatasi masalahmasalah dan memberikan kesem patan kepada peserta didik.
Pengembangan keterampilan meli puti keterampilan akademik dan sosial yang meliputi berpikir kritis, berpikir krea tif, berkomunikasi dengan jelas, menyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi konflik. Melalui penerapan pendekatan ini, proses habituasi penanaman nilai karakter yang baik bagi mahasiswa sebagai calon guru diharapkan dapat terwujud.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia memiliki bendera kebangsaan yaitu bendera merah putih Merah berarti berani, putih berarti suci. Merah melambangkan raga manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan jiwa dan raga manusia untuk membangun Indonesia. Selain itu Indonesia memiliki bahasa kebangsaan yaitu bahasa Indonesia dan lagu kebangsaan yaitu Indonesia Raya yang ditulis oleh Wage Rudolph Soepratman. Butuh perjuangan uuntuk mencetuskan semuanya. Cintailah bangsamu, Indonesia karena tidak mudah untuk mendapatkannnya untuk merdeka.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hj. Wan Mohd. Shaghir. “Karya-Karya Klasik Abad 16: Bukti Bahasa Melayu Bahasa Ilmu,” dalam Jurnal Dewan Bahasa, Februari 1990.
Abdullah, Taufik. dkk. “Perjuangan yang tak kunjung selesai”,” dalam Jurnal Sejarah pemikiran, Rekontruksi, persepsi, Januari 2007.
Dewantara, Ki Hadjar. 2009. Menuju Ma- nusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika.
Floriberta Aning S. dkk “100 Tokoh Ynag mengubah Indonesia,” September 2005: PT BUKU KITA
Groeneboer, Kees. 1995. Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia Belanda 1600-1950. Jakarta: Erasmus Taalcentrum.
Jurnal Racmi. 2002 “Tiga Perempat Abad Perjalanan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya Mempersatukan Bangsa”
Vlekke, Bernard H.M. “Nusantara, Sejarah Indonesia”
Lestyarini, Beniati. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 3, Oktober 2012
Mahayana, Maman S. “Perkembangan
Bahasa Indonesia—Melayu
di Indonesia,” dalam Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan.
Soeharto, Pitut & A. Zainoel Ihsan. 1981. Maju Setapak: Capita Selecta Ketiga. Ja- karta: Aksara Jayasakti.