MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT ASPEK LEGAL DAN ETIK KEGAWAT DARURATAN Kelompok 2

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT ASPEK LEGAL DAN ETIK KEGAWAT DARURATAN Kelompok 2

LATAR BELAKANG

Profesi kesehatan sering mendapat kritikan-kritikan yang cukup pedas dari berbagai lapisan masyarakat, beberapa media massapun ikut mengangkat berita-berita ini sampai ke permukaan.
Sorotan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan profesi tenaga kesehatan merupakan suatu kritik yang baik terhadap profesi kesehatan, agar para tenaga kesehatan dapat meningkatkan pelayanan profesi kesehatannya terhadap masyarakat.Meningkatnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan disebabkan oleh berbagai perubahan, antara lain adanya kemajuan bidang ilmu dan teknologi kesehatan, perubahan karakteristik masyarakat tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa, dan juga perubahan masyarakat pengguna jasa kesehatan yang lebih sadar akan hak – haknya. Apabila perubahan tersebut tidak disertai dengan peningkatan komunikasi antara tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa dan masyarakat sebagai penerima jasa kesehatan, hal tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi tenaga kesehatan merupakan satu pertanda bahwa pada saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan dan pengabdian profesi tenaga kesehatan terhadap masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya, sebagai pengguna jasa para tenaga kesehatan.Pada umumnya ketidakpuasan para pasien atau keluarganya terhadap pelayanan kesehatan karena harapannya tidak dapat dipenuhi oleh para tenaga kesehatan, atau dengan kata lain terdapat kesenjangan antara harapan pasien dan kenyataan yang diterima. Ketidakpuasan inilah yang memicu terjadinya konflik antara pasien dengan tenaga kesehatan.
Hal konkrit yang sering terjadi berkaitan dengan timbulnya konflik pelayanan kesehatan adalah penanganan pasien gawat darurat. Oleh sebab itu, untuk mencegah dan mengatasi konflik ini tenaga kesehatan harus sangat mengerti tentang aspek legal dan etik dalam kegawatdaruratan.

I. ASPEK LEGAL KEGAWATDARURATAN MEDIS
Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut (UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT).
Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan asuhan keperawatan sementara serta pelayanan pembedahan darurat, bagi pasien yang datang dengan gawat darurat medis. Pelayanan pasien gawat darurat adalah pelayanan yang memerlukan pelayanan segera, yaitu cepat, tepat dan cermat untuk mencegah kematian dan kecacatan. Salah satu indikator mutu pelayanan adalah waktu tanggap (respons time) (Depkes RI, 2006).
Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) dalam mencegah kematian dan cacat ditentukan oleh :
a) kecepatan ditemukan penderita,
b) kecepatan meminta pertolongan, dan
c) kecepatan dalam kualitas pertolongan yang diberikan untuk menyelamatkannya.
Penyebab kematian penderita gawat darurat yaitu 50% meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit dan pada pasien trauma (35 % meninggal dalam 1- 2 jam setelah trauma, disebabkan oleh : trauma kepala berat (hematoma subdural atau ekstradural), trauma toraks (hematoma toraks atau lascriasis hati), fraktur femur atau pelvis dengan perdarahan massif, 15% meninggal setelah beberapa hari atau minggu karena mati otak, gagal organ atau multi organ), 50% meninggal pada saat kejadian atau beberapa menit setelah kejadian (Pusponegoro, 2005).
Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam Pasal 1 butir 6 UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan dapat dilihat dalam Pasal 63 ayat (4) yang menyatakan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
IGD sebagai unit pelayanan yang penting (emergency) diwajibkan untuk melayani pasien 24 jam sehari selama 7 hari dalam 1 minggu secara terus menerus (Depkes RI, 2006). Menurut Herkutanto (2008), ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan adalah syarat yang harus dipenuhi oleh IGD.
Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan.Landasan utama bagi dokter untuk dapat melakukan tindakan medik terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Rumah sakit harus menyiapkan dokter spesialis lain (bedah, penyakit dalam, anak, dan lain-lain) untuk memberikan dukungan tindakan medis spesialistis bagi pasien yang memerlukannya.
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar prikemanusiaan. Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan izin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan.
Menurut pasal 190 UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan menyatakan bahwa Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

II. ASPEK LEGAL DAN ETIK KEGAWATDARURATAN DALAM KEPERAWATAN
Tenaga keperawatan salah satu sumber daya manusia di rumah sakit yang menentukan penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini wajar mengingat perawat adalah bagian dari tenaga paramedik yang memberikan perawatan kepada pasien secara langsung. Sehingga pelayanan keperawatan yang prima secara psikologis merupakan sesuatu yang harus dimiliki dan dikuasai oleh perawat (Kusnanto, 2004).
Menurut Kusnanto (2004) fungsi perawat adalah :
a. Mengkaji kebutuhan pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat serta sumber yang tersedia dan potensial untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
b. Merencanakan tindakan keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat berdasarkan diagnosis keperawatan.
c. Melaksanakan rencana keperawatan meliputi upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan, pemulihan dan pemeliharaan kesehatan termasuk pelayanan pasien dan keadaan terminal.
d. Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan.
e. Mendokumentasikan proses keperawatan.
f. Mengidentifikasi hal-hal yang perlu diteliti atau dipelajari serta merencanakan studi kasus guna meningkatkan pengetahuan dan pengembangan ketrampilan dan praktek keperawatan.
g. Berperan serta dalam melaksanakan penyuluhan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok serta masyarakat.
h. Bekerja sama dengan disiplin ilmu terkait dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, keluarga, kelompok dan masyarakat.
i. Mengelola perawatan pasien dan berperan sebagai ketua tim dalam melaksanakan kegiatan keperawatan
Kinerja profesi keperawatan dinilai tidak hanya berdasarkan konsep keilmuan yang dimiliki tetapi juga berdasarkan pelayanan yang diberikan kepada pasien. Untuk memberikan pelayanan yang prima seorang perawat tidak hanya membutuhkan keahlian medis tetapi harus memiliki empati dan tingkat emosionalitas yang baik (PPNI, 2002).
Dengan berkembangnya keperawatan sebagai suatu profesi, diperlukan penetapan standar praktik keperawatan. Standar praktik sangat penting untuk menjadi pedoman objektif di dalam menilai asuhan keperawatan. Apabila sudah ada standar, klien akan yakin bahwa ia mendapatkan asuhan yang bermutu tinggi. Standar praktik juga sangat penting jika terjadi kesalahan yang terkait dengan hukum (Sitorus, 2006).
Penetapan standar ini juga bertujuan untuk mempertahankan mutu pemberian asuhan keperawatan yang tinggi (PPNI, 2002). Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sudah menetapkan standar praktek keperawatan yang dikembangkan berdasarkan standar praktik keperawatan yang dikeluarkan oleh American Nursing Association/ANA (PPNI, 2002). Standar praktik keperawatan adalah :
• Standar I : Perawat mengumpulkan data tentang kesehatan klien.
• Standar II : Perawat menetapkan diagnosa keperawatan.
• Standar III : Perawat mengidentifikasi hasil yang diharapkan untuk setiap klien.
• Standar IV : Perawat mengembangkan rencana asuhan keperawatan yang berisi rencana tindakan untuk mencapai hasil yang diharapkan.
• Standar V : Perawat mengimplementasikan tindakan yang sudah ditetapkan dalam rencana asuhan keperawatan.
• Standar VI : Perawat mengevaluasi perkembangan klien dalam mencapai hasil akhir yang sudah ditetapkan.
Standar pelayanan keperawatan yang disebutkan di atas merupakan standar umum yang dilakukan oleh seluruh perawat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai perawat. Khusus dalam pelayanan keperawatan gawat darurat, setiap perawat juga melakukan kegiatan: pengelolaan peralatan, kerjasama dengan tenaga kesehatan lain, pasien dan keluarga pasien, serta melakukan rujukan pasien (Kusnanto, 2004).
Mengacu kepada kondisi pelayanan kegawatdarutan, Depkes RI (2006), menyebutkan perawat gawat darurat mempunyai peran dan fungsi:
• fungsi independen, fungsi mandiri berkaitan dengan pemberian asuhan (care),
• fungsi dependen, fungsi yang didelegasikan sepenuhnya atau sebagian dari profesi lain
• fungsi kolaboratif, yaitu melakukan kerjasama saling membantu dalam programkesehatan (perawat sebagai anggota tim kesehatan).
Menurut Hamurwono (2002), untuk dapat melaksanakan peran dan fungsinya, maka perawat gawat darurat harus memiliki kemampuan minimal sebagai berikut:
• mengenal klasifikasi pasien
• mampu mengatasi pasien : syok, gawat nafas, gagal jantung paru dan otak, kejang, koma, perdarahan, kolik, status asthmatikus, nyeri hebat daerah pinggul dan kasus ortopedi
• mampu melaksanakan dokumentasi asuhan keperawatan gawat darurat
• mampu melaksanakan komunikasi eksternal dan internal.
Prinsip-prinsip etik :
• Beneficence : mengerjakan yang baik.
• Nonmaleficence : tidak merugikan orang.
• Otonomi : menghargai penentuan sendiri.
• Kesetiaan : ketulusan hati
• Altruistik : mementingkan klien
Isu legal dalam kegawatdaruratan keperawatan adalah sebagai berikut :
• Negligence
• Malpractice
• Good Samaritan Laws ( status ini melindungi privasi pasien tetapi biasanya tidak berlaku pada situasi gawat darurat biasa)
• Informed consent
• Implied consent
• Kewajiban melaporkan tersangka kejahatan kepada polisi
• Kewajiban mengumpulkan bukti pada investigasi kejahatan, mengerti tentang kebijakan RS dan hukum yang berlaku untuk pengumpulan bukti
Kinerja perawat di Instalasi Gawat Darurat berdasarkan implementasi asuhan keperawatan kegawatdaruratan yaitu preparation, triage, basic life support (khususnya pelaksanaan tahapan ABCD (Airway-Breathing–Circulation–Disability).
1. Preparation
 Pre Hospital
• Sub Sistem Ketenagaan
• Sub Sistem Transportasi
• Sub Sistem Komunikasi
 In Hospital
• Resusitasi & life support
• Rujukan
• Menampung & menangulangi
• Komunikasi
• True & False Emergency
2. Triage
Triage adalah Tindakan memilah-milah korban sesuai dengan tingkat kegawatannya untuk memperoleh prioritas tindakan :
• Gawat darurat – merah
• Gawat tidak darurat – putih
• Tidak gawat, darurat – kuning
• Tidak gawat, tidak darurat – hijau
• Meninggal – hitam
3. Basic Life Support
 Airway
Menilai jalan nafas dan pernafasan, dilakukan dengan memastikan bahwa penderita secara sadar dapat berbicara kalimat panjang.
Pengelolaan jalan nafas dapat dilakukan dengan penghisapan (suction) apabila ada cairan, menjaga jalan nafas secara manual apabila penderita tidak sadar maka lidah dapat dihindarkan jatuh kebelakang dengan melekukan :
(a) angkat kepala-dagu (head tilt-chin manouvre), prosedur ini tidak boleh dipakai bila ada kemungkinan patah tulang leher
(b) angkat rahang (jaw thrust).
 Breathing
Bila airway sudah baik, belum tentu pernafasan akan baik sehingga perlu selalu dilakukan pemeriksaan apakah ada pernafasan penderita sudah adekuat atau belum. Bila penderita sadar, dapat berbicara tetapi tidak dapat berbicara kalimat panjang : airway baik, breathing terganggu, penderita terlihat sesak, sesak nafas dapat terlihat atau mungkin juga tidak.
Tindakan yang dilakukan adalah Pemberian Oksigen melalui :
(a) kanul hidung (nasal canule)
(b) masker oksigen (face mask)
(c) Pernafasan Buatan (artificial ventilation), bila diperlukan, pernafasan buatan dapat diberikan dengan cara mouth to mouth ventilation ( mulut ke mulut ). Dengan cara ini akan dicapai konsentrasi oksigen hanya 18% (konsentrasi udara paru saat ekspirasi).
 Circulation
Kondisi umum dilihat dari:
(a) frekuensi denyut jantung normal adalah 60-80/menit,
(b) penentuan denyut nadi pada orang dewasa dan anak-anak denyut nadi diraba pada a.radialis (lengan bawah, dibelakang ibu jari) atau a.karotis, yakni sisi samping dari jakun,
(c) henti jantung, dengan gejala henti jantung adalah gejala syok yang sangat berat. Penderita mungkin masih akan berusaha menarik nafas satu atau dua kali. Setelah itu akan berhenti nafas dan pada perabaan nadi tidak ditemukan a.karotis yang berdenyut.
 Disability
Bila ditemukan henti jantung maka harus dilakukan masase jantung luar yang merupakan bagian dari Resusitasi Jantung Paru (RJP). RJP hanya menghasilkan 25-30% dari curah jantung (cardiac output) sehingga oksigen tambahan mutlak diperlukan.
Langkah-langkah yang harus diambil pada sebelum memulai RJP :
(a).Tentukan tingkat kesadaran (respon penderita)
(b).Panggil bantuan bila petugas sendiri, maka jangan mulai RJP sebelum memanggil bantuan
(c).Penderita harus dalam keadaan terlentang, bila dalam keadaan telungkup penderita di balikkan.
(d).Periksa pernafasan dengan inspeksi, palpasi dan aiskultasi. Pemeriksan ini paling lama 3-5 detik. Bila penderita bernafas penderita tidak memerlukan RJP
(e).Berikan pernafasan buatan 2 kali. Bila pernafasan buatan pertama tidak berhasil, maka posisi kepala diperbaiki atau mulut lebih dibuka. Bila pernafasan buatan kedua tidak berhasil (karena resistensi/tahanan yang kuat), maka airway harus dibersihkan dari obstruksi (heimlich manouvre, finger sweep)
(f). Periksa pulsasi arteri karotis (5-10 detik). Bila ada pulsasi, dan penderita bernafas, dapat berhenti. Bila ada pulsasi dan penderita tidak bernafas diteruskan nafas buatan. Bila tidak ada pulsasi dilakukan RJP.
Teknik Resusitasi Jantung Paru (Cardiopulmonary Resusitation) dapat dilakukan oleh 1 atau 2 orang, yaitu :
(a) Posisi penderita dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras.
(b) Posisi petugas berada setinggi bahu penderita bila akan melakukan RJP 1 orang, bila penderita dilantai, petugas berlutut seinggi bahu, disisi kanan penderita. Posisi paling ideal sebenernya adalah dengan ‘menunggangi’ penderita, namun sering dapat diterima oleh keluarga penderita.
(c) Tempat kompresi 2 inci diatas prosesus xifoideus pada tengah sternum. Jari-jari kedua tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung dada penderita.
(d) Kompresi dilakukan dengan meluruskan siku, beban pada bahu, bukan pada siku. Kompresi dilakukan sedalam 3-5 cm. cara lain untuk memeriksa pulsasi a, karotis yang seharusnya ada pada setiap kompresi.
(e) Perbandingan Kompresi-Ventilasi. Pada dewasa (2 dan 1 petugas) 15 : 2 anak, maupun bayi, perbandingan kompresi-ventilasi adalah 5:1, ini akan menghasilkan kurang lebih 12 kali ventilasi setiap menitnya, pada dewasa dalam satu menit dilakukan 4 siklus.
(f) Memeriksa pulsasi dan pernafasan. Tanda-tanda keberhasilan tehnik RJP : Nadi karotis mulai berdenyut, pernafasan mulai spontan, kulit yang tadinya berwarna keabu-abuan mulai menjadi merah. Bila denyut karotis sudah timbul teratur, maka kompresi dapat di hentikan tetapi pernafasan buatan tetap diteruskan sampai timbul nafas spontan.
(g) Menghentikan RJP. Bila RJP dilakukan dengan efektif, kematian biologis akan tertunda. RJP harus dihentikan tergantung pada :
– lamanya kematian klinis
– prognosis penderita (ditinjau dari penyebab henti jantung)
– penyebab henti jantung (pada henti jantung karena minimal listrik 1 jam) sebaiknya keputusan menghentikan RJP diserahkan kepada dokter.
(h) Komplikasi RJP
 Patah tulang iga, sering terjadi terutama pada orang tua. RJP tetap diteruskan walaupun terasa ada tulang yang patah. Patah tulang iga mungkin terjadi bila posisi tangan salah
 Perdarahan pada perut, disebabkan karena robekan hati atau limpa
(Basoeki dkk, 2008).

III. KASUS KEGAWATDARURATAN DI KEDOKTERAN GIGI
Kegawatdaruratan gigi adalah suatu keadaan dimana terdapat trauma terhadap mulut yang melibatkan gigi yang tercabut, rahang yang bergeser dan trauma wajah atau fraktur. Selain itu, bisa juga terjadi perlukaan soft tissue seperti bibir, gusi, atau pipi. Perlukaan pada mulut sering menimbulkan sakit yang cukup hebat dan harus dirawat oleh dokter gigi sesegera mungkin. Kegawatdaruratan ini menyangkut rasa sakit, perdarahan, infeksi dan estetika dimana ada keadaan-keadan tertentu yang irreversible bila tidak ditangani dengan cepat. Namun, dalam kedokteran ada satu kondisi kegawatdaruratan yang tidak melibatkan trauma pada rongga mulut dan jaringan sekitarnya yaitu vasodepressor syncope.
Berikut ini adalah contoh kasus kegawatdaruratan dalam kedokteran gigi :
1. Perdarahan
Perdarahan pada mulut sebagian besar disebabkan oleh gingivitis atau trauma, namun apabila berkepanjangan perlu dipertimbangkan adanya kecenderungan perdarahan. Setelah sebuah gigi dicabut atau diekstraksi, soket gigi tersebut mengeluarkan darah secara normal selama beberapa menit, kemudian akan membeku/membentuk clot. Perawatan darurat untuk perdarahan post ekstraksi adalah menyuruh pasien untuk menggigit kapas selama 15-30 menit Perdarahan menetap mungkin memerlukan penutupan soket dengan bahan haemostatik atau penjahitan.
2. Dislokasi atau subluksasi pada mandibula.
Dislokasi biasanya disebabkan oleh pembukaan rahang yang terlalu lebar. Condylus bergeser ke depan atas, anterior dari eminensia dan mulut pasien terbuka terus.
Proses pengembalian posisi dapat dilakukan dengan menghadap wajah pasien dan meletakkan ibu jari tangan kanan dan kiri yang sudah dibalut perban pada gigi molar bawah dan lakukan tekanan ke arah bawah secara bersaman dengan jari lainnya dibawah dagu, dorong dari bawah ke atas.
Apabila otot-otot mengalami spasme, dapat diberikan midazolam i.v. Apabila posisi rahang sudah kembali, hindari pembukaan rahang yang lebar. Dislokasi yang berulang dapat menunjukkan adanya sindrom Ehlers-Danlos dan Sindroma Marfan
3. Fraktur Rahang
Fraktur rahang umumnya terjadi karena trauma dengan kecepatan tinggi seperti kecelakaan lalulintas dan kecelakaan lainnya. Tindakan yang terutama adalah membebaskan jalan nafas. Bebaskan semua trauma pada pasien sepanjang jalan nafas. Masalah lain yang mengancam kehidupan seperti pendarahan intracranial, pendarahan hebat dari organ lain dan kerusakan tulang leher harus segera ditangani. Dalam pengamatan selanjutnya, perhatikan robekan pada kepala dan adanya kebocoran cairan serebrospinal.
Pendarahan yang berhubungan dengan fraktur rahang dapat mempengaruhi jalan nafas. Fraktur rahang sendiri jarang menyebabkan pendarahan yang hebat, kecuali berhubungan dengan palatum yang terpisah atau luka tembak.
Pendarahan dari pecahnya arteri inferior gigi biasanya berhenti dengan sendirinya. Tetapi timbul kembali pada traksi mandibula. Pendarahan maxillofacial yang hebat dapat ditamponade dengan fiksasi craniofacial,. Pendarahan dapat timbul dari fraktur tulang hidung, dimana dibutuhkan fiksasi pada hidung. Jika pendarahan berulang, pembuluh darah yang rusak harus dijahit.
Penatalaksanaan fraktur, walaupun terjadi kerusakan wajah yang parah, bukan merupakan prioritas yang utama. Namun serpihan seperti gigi yang patah, darah, atau air liur harus dibersihkan dari mulut. Dan diperlukan pembebasan jalan nafas orofaringeal.
Intubasi mungkin diperlukan pada cedera kepala, cricotiroidotomy dapat dilakukan apabila intubasi tidak dapat dilakukan, atau keadaan kontraindikasi dari intubasi nasotrakheal. Diagnosa frakturnya dari anamnesa yaitu nyeri, bengkak, memar, pendarahan (biasanya dalam mulut), adanya fragmen yang bergeser (adanya krepitasi), oklusi yang tidak rata, paresthesia dan anesthesia dari saraf yang bersangkutan dan tanda-tanda fraktur pada radiografi.
4. Fraktur mandibula
Hal ini biasanya tidak berhubungan dengan luka atau pendarahan lain yang serius. Jika sympysis mengalami remuk, lidah dapat terdorong ke belakang dan menyumbat jalan nafas, dan ini perlu dicegah. Fraktur sederhana yang tidak bergeser dapat dirawat secara konservatif dengan diet lunak apabila gigi tidak rusak. Jika fragmen bergeser, nyeri cenderung terjadi dan fiksasi dini merupakan penatalaksanaan terbaik. Umumnya fraktur dapat ditangani dengan pembedahan dan fiksasi dengan mini plate.
5. Vasodepresor syncope
Syncope adalah suatu istilah umum yang menggambarkan hilangnya kesadaran seseorang yang terjadi tiba-tiba dan bersifat sementara. Vasodepressor syncope adalah suatu kegawatdaruratan medik yang paling sering dijumpai di tempat praktek dokter gigi, di mana penderita mengalami penurunan atau kehilangan kesadaran secara tiba-tiba dan bersifat sementara akibat tidak adekuatnya cerebral blood flow.Hal ini disebabkan karena terjadinya vasodilatasi dan bradikardi secara mendadak sehingga menimbulkan hipotensi. Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya vasodepressor syncope dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu: faktor-faktor psikogenik dan non-psikogenik. Yang termasuk faktor-faktor psikogenik adalah: rasa takut, tegang, stress emosional, rasa nyeri hebat yang terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga dan rasa ngeri melihat darah atau peralatan kedokteran seperti jarum suntik. Faktor-faktor non-psikogenik meliputi: posisi duduk tegak, rasa lapar, kondisi fisik yang jelek, dan lingkungan yang panas, lembab dan padat.
Vasodepressor syncope dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, tak terkecuali di tempat praktek dokter gigi. Prosedur perawatan gigi sering menyebabkan penderita mengalami stres psikis terutama pada individu yang belum pernah ke dokter gigi atau pada mereka yang mempunyai pengalaman tidak menyenangkan dengan perawatan gigi sebelumnya. Serangan vasodepressor seringkali ditandai dengan hilangnya kesadaran penderita secara mendadak sebelum, selama atau setelah tindakan anestesi lokal. Hilangnya kesadaran penderita dapat menimbulkan kepanikan pada tenaga medis dan paramedis yang terlibat, terutama bila mereka tidak terlatih di dalam penanganan kegawatdaruratan medik. Meskipun pada umumnya berlangsung sementara dan self limiting, tetapi bila penanganannya tidak tepat vasodepressor syncope dapat berlangsung lama dan menimbulkan morbiditas penderita yang tidak ringan.
Vasodepressor syncope yang berhubungan dengan prosedur perawatan gigi sebenarnya dapat dicegah bila kita memahami faktor-faktor predisposisi terjadinya syncope yaitu faktor psikogenik dan non-psikogenik. Oleh karena itu tindakan pencegahan terhadap syncope ditujukan pada usaha-usaha untuk menghilangkan faktor-faktor predisposisi tersebut, yaitu:
(1) penderita dipastikan tidak dalam kondisi lapar untuk menghindarkan hipoglikemia yang dapat memicu serangan syncope,
(2) penderita didudukkan pada posisi semi supine yakni 300 sampai dengan 450, untuk mempertahankan kecukupan cerebral blood flow,
(3) suasana dibuat senyaman mungkin agar perasaan tegang atau takut dapat ditekan semaksimal mungkin,
(4) jangan memperlihatkan jarum suntik dan darah di hadapan penderita, dan
(5) meminimalkan rasa nyeri saat injeksi anestesi lokal.
Pada penderita yang mengalami vasodepressor syncope perlu dimonitor kesadarannya secara berkala dengan melakukan komunikasi verbal dengan penderita. Apabila penderita dapat merespon baik secara verbal maupun non-verbal berarti aspek Airway dan Breathing penderita baik. Aspek Circulation dapat dinilai dengan memonitor nadi arteri radialis dan pengukuran tekanan darah. Tekanan darah sistolik, meskipun turun, pada umumnya masih berada di atas 70 mmHg. Sebaliknya, pada penderita yang mengalami syok tekanan darah dapat menurun secara drastis sampai di bawah 60 mmHg. Pada hipotensi berat semacam itu dapat terjadi hilangnya kesadaran di mana penderita tidak memberikan respon dengan rangsang verbal. Hilangnya kesadaran dapat dipastikan dengan tidak adanya respon motorik terhadap rangsang nyeri, misalnya dengan cubitan, pada ekstremitas atas penderita.

KESIMPULAN

1. Tenaga kesehatan harus paham tentang aspek legal dan etik dalam kegawatdaruratan untuk menghindari ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Hal ini juga bertujuan untuk menghindari terjadinya konflik antara tenaga kesehatan dengan pasien.
2. Tenaga kesehatan terutama tenaga medik dan paramedik harus bertindak dengan cepat dan tepat dalam kondisi gawat darurat untuk mencegah kematian dan kecacatan lebih lanjut pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

UU Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/UU-44-2009RumahSakit.pdf diunduh 28/11/2012
UU Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/UU-36-2009Kesehatan.pdf diunduh 28/11/2012
UU Republik Indonesia No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/UU-29-2004PraktikKedokteran.pdf diunduh 28/11/2012
Kamadjaja, David., 2009, Vasodepressor syncope in dental practice: How to prevent and overcome, 1 : 8-13.
American Nurses Association. 2011. 2001 Approved Provisions: Code of Ethics. Diambil 19 Oktober 2012 dari ANA Web site: (NYU, 2011).
Councils on Ethical Practice, & Human Rights. 2005. Role of the Professional Registered Nurse in Ethical Decision-Making. Diambil 19 Oktober 2012 dari http://www.nysna.org.
Emergency Nurse Association. 2011. Vision/Mission Statements and Code of Ethics. Diambil 19 Oktober 2012 dari ENA Web site: http://www.ena.org.
Stephanie McElroy. 2012. Ethical Consideration in Emergency Nursing. Diambil 19 Oktober 2012 dari ursing.advanceweb.com/Features/Articles/Ethical-Considerations-in-Emergency-Nursing.aspx.