LAHIRNYA TRADISI DEMOKRASI DI BARAT

Tradisi Demokrasi di Eropa Barat lahir dan berkembang sejak jaman Yunani di abad ke 5 sebelum lahirnya Christus, yang mana Plato dan Aristoteles dianggap founding Father sebagai “head of state”
Posisi Dominasi pengaruh kelahiran dari rahim bunda Demokrasi tersebut, di peruntukan bagi seseorang atau kelompok masyarakat yang berambisi untuk berkuasa. Tentu persyaratannya dilatar belakangi oleh antara lain kekuatan politik-ekonomi, motivasi
kepentingannya, kekuatan ‘besi dan parang’nya, kharisma, dukungan dari Rakyatnya dll.
Karena seseorang atau kelompok masyarakat tersebut juga dianggap mempunyai visi dan missi dari paham yang dianutnya serta diberi kepercayaan oleh pengikutnya, pendukungnya dan para simpatisannya. Bahwasanya kemampuan atas perealisasian dari visi dan misinya, perlu di dibuktikan dalam ujud dari sikap dan tindakannya. Dengan begitu kepercayaannya akan terakumulasi dan tercermin dalam perubahan kehidupan masyarakatnya.
Proses pembangunan tradisi Demokrasi mengalami fase pergantian kekuasaan, yang di
awali dengan paham Absolutisme, yang mana diwakili oleh kekuatan Agama dan kekuatan
Royalty sebagai penganut paham Feodalisme. Akan tetapi dalam proses perkembangannya
sampai saat ini, bukan berarti warisan tradisi paham Absolutisme dan Feodalismenya
akan menguap dari hawa dalam ruang & waktu pengaruh karakteristik kehidupannya. Karena, sementara itu perkembangan sistim Birokrasi yang juga khusus mulai dirancang ketika itu, bagaikan “rambut panjang sang perempuan yang terkepang”bersama proses pengolahan melalui wadah lembaga Aparatur pemerintahannya, guna menunjang dan mempertahankan loyalitas para penganut paham Absolut-Feodal ISME.
Dan, struktur bagan sistim hirarki beserta jenjang jabatannya sekaligus berfungsi sebagai “Obat Manjur” guna mengikat serta menjerat para kaum pengikutnya, pendukungnya dan simpatisannya. Misalnya figur Machiavelli yang hidup dalam suasana kelahiran Negara Nasional di “Masa Pembaruan”, masih tetap menganggap perlu untuk mengisi segala kekurangan dari sistim birokrasi yang berfungsi guna melestarikan warisan kekuatan paham Absolutisme dan Feodalismenya. Sehingga pertikaian antara penganut pro dan kontra Royalist menjadi lebih kuat sejak abad 16.
Sementara itu kaum golongan pedagang yang berfungsi sebagai oposisi, yang menganut paham Kapitalisme, juga ikut berperan serta mendominasi sebagai pemberi warna konflik sosial yang muncul ketika itu. Pertikaian antar agama (Katolik-Roma versus Protestan) di jadikan legitimasi konflik antar Agama guna mempertahankan kekuasaan status quo.
Dengan begitu proses perkembangan pergerakan pro dan kontra pun, pada masa perkembangannya semakin menghangat ketika muncul Revolusi Industri di Inggris. Dan,
keberhasilan Revolusi Perancis pun dijadikan sebagai symbol kemenangan Kaum Borjuis
yang mana pemegang piagam warisan dari paham Absolutisme dan Feodalisme dijadikan
sebagai penerus tradisi Demokrasi guna mengembangkan paham baru yang di sebut
Kapitalisme dalam masyarakat modern di Eropa Barat.