Komposisi Umum Zooplankton Terumbu

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [431.14 KB]

Komposisi Umum Zooplankton Terumbu

Makalah Tugas Akhir

BIOLOGI LAUT (ITK511)

Heidi Retnoningtyas | C551090131

Dosen: Neviaty P. Zamani, Karen von Juterzenka

ABSTRAK

Zooplankton terumbu atau reef zooplankton merupakan organisme plankton hewani yang
spesifik ditemukan di ekosistem terumbu karang. Secara garis besar, komposisi zooplankton terumbu didominasi oleh meroplankton, atau plankton sementara. Salah satu contoh meroplankton yang banyak ditemukan di terumbu karang adalah larva krustasea. Beberapa penelitian mengulas mengenai karakteristik zooplankton terumbu dengan mencari hubungan kelimpahan zooplankton terhadap paramater berbeda, seperti substrat, musim, waktu pengambilan sampel, fase bulan, dan lainlain.
Makalah ini akan membahas komposisi zooplankton terumbu secara umum serta kaitannya
dengan faktorfaktor
lingkungan, melalui penelusuran jurnal dan artikel ilmiah.
Kata kunci: zooplankton, terumbu karang, komposisi, jurnal
PENDAHULUAN
Ekosistem terumbu karang, oleh Nybakken (2005), diibaratkan seperti oase di antara
lautan yang amat luas. Perairan laut tropis, kecuali di zona upwelling, dikenal sebagai wilayah
perairan yang miskin zat hara, dan dengan demikian, tingkat produktivitas di wilayah perairan ini
juga amat kecil. Namun, kondisi perairan laut tropis ini secara umum ternyata berbanding terbalik
dengan kondisi pada salah satu komponen ekosistemnya, yaitu ekosistem terumbu karang. Pada
ekosistem terumbu karang ditemukan begitu banyak kehidupan sehingga menarik banyak peneliti
untuk mempelajari kehidupan di terumbu karang. Semua penelitian yang berkaitan dengan
produktivitas perairan menunjukkan bukti bahwa produktivitas di ekosistem terumbu karang
memang sangat tinggi. Studi yang dilakukan oleh Atkinson (1992) in Nybakken (2005)
membuktikan bahwa produktivitas di terumbu karang mencapai 1500 hingga 5000 g C/m2/tahun,
sangat jauh diatas produktivitas yang bisa dicapai di laut terbuka, yaitu hanya 18 hingga 50 g
C/m2/tahun. Lebih lanjut Nybakken menjelaskan bahwa tingginya tingkat produktivitas ini bukan
disebabkan oleh kandungan zat hara, karena fluks aliran nutrien (nitrat dan fosfat) di ekosistem ini
cenderung rendah. Meski demikian, Nybakken menyebutkan beberapa alasan mengapa tingkat
produktivitas di terumbu karang tetap tinggi walau tanpa fluks nutrien yang memadai. Pertama,
jumlah jaringan fotosintetik yang ada terumbu karang serta kemampuannya untuk fotosintesis
tergolong sangat besar jika dibandingkan dengan di laut terbuka. Organisme fotosintetik ini
meliputi zooxanthella, simbion prokariotik pada spons, alga koralin krustose, turf algae, makroalga,
lamun, dan fitoplankton. Faktor lain yang menunjang tingginya produktivitas di terumbu karang
adalah hubungan yang erat antara organisme fotosintetik, baik dengan organisme lain maupun
dengan matriks terumbu. Contoh sederhana yang bisa menjelaskan dengan baik hubungan yang
dimaksud misalnya hubungan antara zooxanthella dengan organisme karang, bakteri sian
(cyanobacter) dengan spons, atau alga dengan terumbu yang mengandung kalsium karbonat.
Hubungan yang sangat erat antara dua organisme seperti itu akan memaksimalkan daya hidup
masing‐masing karena keduanya saling mengambil manfaat satu sama lain.
Oleh karena tingginya produktivitas di ekosistem terumbu karang, maka tidak heran jika
ekosistem ini menjadi penyokong berbagai jenis kehidupan biota di laut, baik tumbuhan maupun
hewan. Komponen struktur tropik dari mulai produsen hingga konsumen tingkat pertama
(herbivora) hingga konsumen tingkat akhir (predator/karnivora) tersedia di ekosistem ini,
menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem dengan rantai makanan yang cukup
kompleks.
Sebagai konsumen pertama, tentunya zooplankton memegang peranan yang amat penting
dalam rantai makanan di terumbu karang. Zooplankton, kelompok binatang yang mengapung bebas
di kolom air, merupakan biota yang bersifat heterotrof, artinya dia tidak dapat memproduksi
makanannya sendiri. Oleh sebab itu, zooplankton sangat tergantung pada bahan organik hasil
fotosintesis fitoplankton. Pada ekosistem perairan, zooplankton memiliki peran yang signifikan
sebagai penghubung antara konsumen dan produsen. Meski ada kelompok zooplankton yang
bersifat karnivora, sebagian besar zooplankton merupakan pemangsa herbivora yang langsung
mengonsumsi fitoplankton. Sedangkan selain sebagai pemangsa, zooplankton juga berperan
sebagai mangsa bagi biota karnivora untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Pada perairan terumbu karang, tidak semua zooplankton merupakan plankton sejati.
Penelitian Alldredge and King (2004) menunjukkan komposisi zooplankton di terumbu karang
didominasi oleh kelompok larva krustasea, yang berarti bahwa meski larva yang ditemukan
tersebut sedang dalam fase planktonik, larva tersebut tidak akan selamanya menjadi plankton. Saat
mencapai usia dewasa, larva akan hidup sebagai organisme bentik (menetap di dasar perairan)
ataupun nekton (berenang bebas di kolom air). Jenis zooplankton seperti ini digolongkan sebagai
meroplankton, yang disebut juga sebagai plankton sementara (Romimohtarto dan Juwana, 2004).
Plankton dari golongan ini menjalani kehidupan sebagai plankton hanya pada tahap awal dari daur
hidupnya, yakni pada tahap telur dan larva (Nontji, 2007). Kelompok lain diluar meroplankton
adalah holoplankton, yaitu kelompok plankton yang seluruh hidupnya dijalani sebagai plankton.
Nontji (2007) menyebutkan kelompok‐kelompok plankton yang merupakan holoplankton
diantaranya kopepoda, amfipod, salpa, dan kaetognata, sedangkan dari golongan meroplankton
meliputi karang, larva ikan, larva udang, larva kepiting, dan larva moluska.
(a) (b) (c) (d) (e)
Gambar 1. Berbagai jenis plankton yang tergolong holoplankton: (a) rhizostome jellyfish, (b)
polychaeta, (c) salp‐thaliace, (d) portuguese man‐of‐war, dan (e) chaetognatha (Sumber:
http://beyond.australianmuseum.net.au/)
(a) (b) (c) (d) (e)
Gambar 2. Berbagai jenis plankton yang tergolong meroplankton: (a) larva teripang, (b) larva
gurita, (c) larva kerang konus, (d) larva bintang laut, (e) larva bintang ular
(Sumber: http://beyond.australianmuseum.net.au/)
Meski pada umumnya zooplankton mengapung secara kontinyu di kolom air, Emery (1968)
kemudian menemukan bahwa zooplankton di terumbu karang berasosiasi pula dengan substrat
terumbu. Pengambilan contoh yang dilakukan Emery menunjukkan bahwa zooplankton di terumbu
karang berasal dari substrat terumbu disekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui
bahwa pada waktu tertentu, umumnya saat siang hari, plankton terumbu karang bersembunyi di
atas maupun didalam substrat, dan aktif bermigrasi ke lapisan permukaan pada malam hari. Istilah
demersal zooplankton (Ohlhorst, 1982; Alldredge and King, 1977) kemudian muncul untuk
menyebut kelompok zooplankton yang hidup di ceruk‐ceruk terumbu pada saat hari terang (siang),
dan bermigrasi pada malam hari. Kelompok ini dihuni oleh zooplankton misid, polikaeta, nematoda,
cumacean, amfipod, isopod, kopepod, ostracod, udang, zoea, dan bentuk‐bentuk larva lainnya.
Jumlah mereka yang amat besar jika dibandingkan dengan jumlah plankton di laut terbuka
merupakan sumber makanan, khususnya bagi ikan‐ikan karang pemakan plankton (Porter and
Porter, 1977), krustasea (yang lebih besar), filter feeder yang berasosiasi dengan karang (mussels,
sessile worms), dan karang itu sendiri.. Penelitian lain menyebutkan komposisi utama zooplankton
terumbu terdiri dari cumacea, misid, ostracod, udang, isopod, amfipod, larva krustasea, polikaeta,
foraminifera, decapod, dan kopepod (Alldredge and King, 1977).
Studi mengenai zooplankton yang hidup di terumbu karang semakin banyak dilakukan
berkaitan dengan karakteristiknya yang unik. Bakus (1964) in Emery (1968) menemukan bahwa
organisme di pantai dan lepas pantai berbeda dengan di laguna, dimana persediaan makanan bagi
organisme terumbu karang pemakan plankton disimpan. Penelitian zooplankton terumbu
dilakukan dengan berbagai metode, salah satunya adalah menggunakan emergence trap yang
diletakkan di atas substrat karang yang ingin diteliti. Metode ini digunakan untuk mengetahui
komposisi zooplankton yang menghuni suatu substrat.
(a) (b) (c)
Gambar 3. Contoh emergence trap yang dipasang di atas substrat (a) Porter and Porter, 1977; (b)
Kobervig, 2009; dan (c) Alldredge and King, 2004
Selain menggunakan emergence trap, pengambilan contoh zooplankton di terumbu karang
juga dilakukan dengan cara umum dengan menggunakan plankton net yang ditarik secara vertikal.
Alldredge and King (2004) memodifikasi plankton sampler dari pompa plankton yang didesain oleh
Sebens (1992) untuk mengetahui distribusi zooplankton di kolom air.
Studi Mengenai Komposisi Zooplankton dan Kaitannya dengan Faktor
Beragam cara dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui komposisi zooplankton terumbu
pada kondisi lingkungan yang berbeda. Makalah ini akan mengulas beberapa studi mengenai
zooplankton terumbu berdasarkan parameter lingkungan yang berbeda dengan mengambil satu
atau dua contoh penelitian yang telah dilakukan.
1. Studi komposisi dan kelimpahan zooplankton berdasarkan perbedaan substrat
Kobervig (2009) melakukan penelitian di daerah perlindungan laut Teluk Cook, yang
memiliki tipikal terumbu karang tepi (fringing reef). Kobervig membandingkan kelimpahan
zooplankton yang bermigrasi dari substrat berbeda, yaitu karang bercabang, karang halus, pecahan
karang, dan pasir. Gambar X menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah zooplankton yang
muncul dari tiap substrat, dimana zooplankton lebih banyak muncul dari sampel karang bercabang.
Perbedaan jumlah total zooplankton yang muncul dari tiap substrat adalah sebagai berikut:
Gambar 4. Proporsi setiap taksa yang berasal dari substrat berbeda (Kobervig, 2009)
Terkait dengan preferensi zooplankton terhadap substrat, Kobervig tidak menemukan hasil
yang signifikan. Pengecualian hanya pada kopepod yang lebih banyak muncul dari sampel karang
bercabang dibandingkan karang halus. Hal ini tidak mengejutkan karena kopepod memiliki
mobilitas yang lebih tinggi sehingga kemungkinan untuk memilih substrat juga lebih besar. Selain
itu, karang bercabang menyediakan lebih banyak tempat untuk berlindung dibandingkan karang
halus, sehingga tidak heran bila kopepod lebih menyenangi substrat karang bercabang. Penelitian
lain yang dilakukan Alldredge and King (1977) menyimpulkan bahwa terdapat preferensi
zooplankton terhadap substrat, dimana Ostracod dan Nematoda lebih menyukai pasir, sedangkan
Kopepod dan taksa lainnya lebih memilih substrat karang. Karang, terutama karang bercabang,
membentuk proyeksi tiga dimensi sehingga menyediakan lebih banyak tempat terlindung bagi
zooplankton. Seperti telah disinggung sebelumnya, zooplankton, khususnya zooplankton demersal
yang banyak menghuni terumbu karang merupakan plankton yang lebih aktif di malam hari. Pada
hari terang atau siang hari, mereka mencari substrat yang aman sebagai tempat bersembunyi,
karang bercabang > pecahan karang = pasir > karang halus
dimana salah satu tujuannya adalah untuk menghindari predator. Porter and Porter (1977) jug
amenemukan bahwa plankton yang berasal dari substrat karang lebih melimpah secara
signifikan.berdasarkan penemuan ini disimpulkan bahwa plankter dapat mengontrol posisi
horisontalnya di lingkungan terumbu. Lebih spesifik, Alldredge and King (1977) dan Porter and
Porter (1977) juga menemukan signifikansi kelimpahan zooplankton yang lebih besar dari substrat
karang bercabang. Mengenai mekanisme kontrol tubuh, Nybakken (2005) menjelaskan bahwa
organisme plankton beradaptasi terhadap densitas atau viskositas air laut untuk mengurangi laju
penenggelaman, yaitu dengan cara mengurangi berat tubuh dan meningkatkan hambatan
permukaan.
2. Studi komposisi dan kelimpahan zooplankton berdasarkan perbedaan waktu
Mengenai studi ini, terdapat beberapa parameter waktu yang digunakan untuk
membandingkan komposisi zooplankton, diantaranya adalah perbedaan antara malam dan siang
hari serta perbedaan musim (musim panas‐musim dingin). Ohlhorst (1982) menemukan bahwa
kelimpahan Harpacticoids, Oithona sp., nauplii copepoda, nauplii teritip (barnacle), dan
appendicularia lebih besar pada malam hari dibandingkan pada siang hari. Heidelberg, et.al., (2004)
menyatakan bahwa pengambilan contoh pada malam hari menghasilkan kelimpahan Kopepoda
yang sangat tinggi, dengan rerata 89% dari total zooplankton yang diamati. Jones, et.al., (2007)
membandingkan ukuran zooplankton yang ditemui dan dikaitkan dengan waktu pengambilan
sampel dan berdasarkan hasil yang diperoleh, Jones menyatakan bahwa zooplankton dengan
panjang ≥ 1 mm hanya melimpah pada malam hari, sedangkan pada siang hari sebanyak 96% dari
total sampel yang diamati berupa zooplankton dengan ukuran < 1 mm. Perbandingan komposisi
zooplankton terumbu berdasarkan musim dilakukan oleh Gerber (1981), menghasilkan
kelimpahan zooplankton yang lebih tinggi jika dibandingkan pada saat musim dingin. Sebanyak 56
spesies (mayoritas zooplankton terdiri dari Kopepoda) berada dalam kelimpahan yang lebih tinggi,
pada tingkat probabilitas 0.05, pada musim panas dibandingkan dengan pengambilan contoh di
musim dingin sebelumnya; dan hanya tiga spesies, terdiri dari Kopepod Corycaeus tenuis dan
Temora discaudata serta satu siphonophore Lensia sp. yang hanya muncul pada saat musim panas.
Sebaliknya, empat spesies Kopepod Centropages (copepodites), Clausocalanus furcatus, Euchaeta
rimana dan Undinula (copepodites) lebih melimpah secara signifikan pada saat musim dingin, dan
hanya 31 spesies yang ditemui pada saat musim dingin.
3. Studi komposisi dan kelimpahan zooplankton berdasarkan perbedaan fase bulan
Posisi bulan dan matahari merupakan faktor penting yang menentukan terjadinya pasang
surut. Pasang purnama atau spring tide terjadi saat bulan penuh atau purnama, sedangkan pasang
perbani terjadi pada saat bulan berada pada kuartal pertama dan terakhir (Duxburry et. al., 2002).
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya tarik bulan memberikan pengaruh yang
lebih kuat terhadap terjadinya pasang surut dibandingkan dengan gaya tarik matahari. Jacoby and
Greenwood (1989) menyatakan bahwa banyak biota demersal di Moreton Bay yang naik ke kolom
air pada saat bulan mati. Hal ini berkaitan dengan berkurangnya intensitas pemangsaan oleh
predator, terutama predator yang mengandalkan kemampuan visualnya untuk mencari mangsa,
saat langit gelap karena tidak ada bulan. Namun bagi larva dan zooplankton dewasa yang memiliki
tubuh transparan dan ukuran kecil, fase bulan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan
terhadap kemunculan mereka karena predator tetap sulit mengidentifikasi keberadaan mereka.
Namun pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di Heron Reef, Jacoby and Greenwood (1988)
menyimpulkan bahwa fase bulan berkaitan dengan kemunculan zooplankton, dimana 16 dari 19
taksa melimpah pada fase bulan mati. Namun demikian, Jacoby and Greenwood (1989)
menemukan kemunculan yang signifkan dari 9 dari 14 taksa larva pada saat kuartal pertama dan
bulan purnama.
4. Studi komposisi dan kelimpahan zooplankton terhadap nutrien
Perairan terumbu karang diketahui sebagai perairan yang miskin hara, namun demikian
bukan berarti tidak terdapat hara sama sekali. Penelitian oleh Rissik, et.al., (1997) dilakukan pada
terumbu karang curam di selatan Laut Coral dengan membandingkan distribusi dan kelimpahan
zooplankton pada karakteristik disturbansi perairan yang berbeda, yaitu antara perairan berarus
dengan perairan tanpa arus. Dari analisis setiap lapisan kedalaman, lapisan nutriklin dan
kelimpahan klorofil pada perairan berarus lebih besar 1,4 kali dibandingkan dengan perairan tanpa
arus. Terdapat korelasi yang kuat antara kedalaman lapisan tercampur (mixed layer), kedalaman
maksimum klorofil, dan kedalaman tempat puncak kelimpahan zooplankton dengan ukuran 300 –
1000 μm esd (equivalent spherical diameter; diukur dengan penghitung plankton optik). Rissik,
et.al. menyimpulkan bahwa pengangkatan nutrien ke mintakat fotik pada laut oligotropik tropis
memberikan dampak yang signifikan terhadap struktur ukuran zooplankton.
5. Studi komposisi dan kelimpahan zooplankton dan kaitannya terhadap zonasi perairan
Sale, et.al. (1975) membandingkan hasil tangkapan zooplankton pada perangkap cahaya di
tiga area berbeda di Heron Reef, yaitu di (a) daerah patch reef di laguna Heron, (b) lereng sedalam
delapan meter di selatan Heron Reef, dan (c) daerah sejauh 300 meter dari selatan stasiun (b), pada
perairan terbuka di antara karang Heron dan Wistari. Berdasarkan hasil pengambilan sampel,
ditemui larva decapoda, amfipoda, dan cumacea yang melimpah di area pengambilan contoh dekat
terumbu karang, dan sangat jarang ditemui di perairan terbuka. Roman et.al. (1989), zooplankton
yang memasuki karang dari perairan dangkal di sekitarnya mengalami penurunan kelimpahan jika
dibandingkan dengan kelimpahan di dataran karang (reef flat). Hal ini diperkirakan terjadi karena
tingginya tingkat pemangsaan. Di dalam laguna karang, biomassa zooplankton di kolom air
meningkat dua hingga tiga kali disebabkan oleh kemunculan demersal zooplankton. Secara umum,
kelimpahan zooplankton di zona sekitar terumbu karang memang lebih tinggi dibandingkan di
perairan terbuka, hal ini dikarenakan zona terumbu karang memiliki peran sebagai zona asuhan
(nursing ground) biota laut, sehingga pada terumbu karang ditemukan banyak larva biota, baik
yang hidup di terumbu karang maupun yang hidup di laut lepas.
Hasil penelitian Alldredge and King (2004) di daerah back reef Moorea, French Polynesia,
menunjukkan komposisi zooplankton di terumbu karang didominasi oleh kelompok larva
krustasea. Backreef
merupakan bagian dari zona terumbu karang yang paling dekat ke pantai.
Topografi dari backreef
biasanya miring, dan puncak dari kemiringan tersebut disebut reef crest.
Gambar 5. Zonasi terumbu karang (Sumber: http://static.howstuffworks.com/)
Tingginya kelimpahan larva krustasea dapat diinterpretasikan bahwa jenis zooplankton
yang dominan di area dekat terumbu karang adalah plankton sementara atau meroplankton. Tidak
menutup kemungkinan bahwa plankton yang sebenarnya merupakan larva bentos atau nekton ini
akan menghabiskan fase dewasa‐nya di area di luar terumbu karang. Oleh karena terumbu karang
merupakan tempat yang nyaman untuk berlindung dan mencari makan, tidak heran bila banyak
larva biota yang ditemukan di sekitar terumbu karang.
Penelitian Zooplankton Terumbu di Indonesia
Penelitian mengenai karakteristik zooplankton di terumbu karang mulai banyak dilakukan
sejak tanun 1960‐an, terutama setelah muncul penelitian pendahuluan Emery pada tahun 1968.
Selain lima kelompok studi yang diulas pada makalah ini, masih banyak penelitian lain yang
menggunakan parameter pembanding yang lebih beragam, selain perbandingan alat pengambil
contoh yang berbeda pula. Sayangnya penelitian tersebut banyak dilakukan di luar negeri,
sementara penelitian mengenai zooplankton terumbu di Indonesia masih sangat minim. Penelitian
mengenai zooplankton secara umum memang sudah banyak dilakukan, namun berdasarkan jurnaljurnal
mengenai zooplankton terumbu, karakteristik zooplankton yang hidup di terumbu karang
tidak sama dengan zooplankton di perairan terbuka, muara sungai, maupun zooplankton bahari di
wilayah perairan lainnya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian yang khusus mengkaji
karakteristik zooplankton di zona terumbu karang, terutama mengingat kekayaan ekosistem
terumbu karang di laut Indonesia.
Kelimpahan zooplankton di suatu wilayah perairan tidak hanya memberi gambaran
mengenai kondisi perairan tersebut. Lebih lanjut, kelimpahan zooplankton dapat dipelajari sebagai
dasar pemanfaatan zooplankton untuk kepentingan ekonomi. Saat ini kecenderungan potensi
zooplankton sebagai makanan alami untuk ekosistem laut, khususnya ekosistem terumbu karang
buatan, semakin meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan dan minat masyarakat
terhadap akuarium air laut artifisial. Meskipun artifisial, masyarakat penggemar akuarium air laut
menghendaki agar kondisi air laut di akuariumnya bisa semirip mungkin dengan kondisi alami.
Penelusuran yang dilakukan penulis melalui internet menemukan sebuah situs penjualan
perlengkapan akuarium air laut, lengkap dengan biota dan pakannya, menunjukkan dengan jelas
kecenderungan minat terhadap pakan alami untuk akuarium air laut. Situs ini merupakan situs
penjualan dengan sistem online yang memiliki domain di Hawaii (http://www.ipsf.com/), namun
memiliki cakupan pelayanan yang cukup luas, meliputi Amerika dan 16 negara lain di wilayah Asia
Pasifik.
Sehubungan dengan kegiatan penelitian, peluang pasar tersebut menunjukkan sedikit
gambaran mengenai manfaat lanjutan dari penelitian zooplankton terumbu. Melalui studi‐studi
yang dilakukan, karakteristik zooplankton yang hidup di terumbu karang, khususnya di wilayah
terumbu karang Indonesia, akan dapat diketahui dan dikembangkan untuk tujuan komersil melalui
kegiatan budidaya.
REFERENSI
Alldredge, A.L. and King, J.M. 1977. Distribution abundance and substrate preferences of demersal
reef zooplankton at Lizard Island Lagoon, Great Barrier Reef. Marine Biology Vol. 41, 317‐
333 (1977)
Alldredge, A.L. and King, J.M. 2004. Near‐surface enrichment of zooplankton over a shallow back
reef: implications for coral reef food webs. Coral Reefs: Journal of the International Society
for Reef Studies, 28(4), pp 895‐908.
Duxburry, A.B., Duxburry, A.C. and Sverdrup, K.A. 2002. Fundamentals of oceanography 4th edition.
McGraw Hill Higher Education. New York.
Emery, A.R. 1968. Preliminary observations on coral reef plankton. LimnoI. Oceanogr. 13, 293‐303
Gerber, R.P. 1981. Species composition and abundance of lagoon zooplankton at Enewetak Atoll,
Marshall Islands. The Smithsonian Institutions. Washington DC.
Heidelberg, K.B., Sebens, K.P., Purcell, J.E. 2004. Composition and sources of near reef zooplankton
on a Jamaican forereef along with implications for coral feeding. Coral Reefs Vol. 23, 263‐
276 (2004)
Jacoby, C.A., Greenwood, C.G. 1989. Emergent zooplankton in Moreton Bay, Queensland, Australia:
seasonal, lunar, and die1 patterns in emergence and distribution with respect to substrata.
Marine Ecology Progress Series Vol. 51, 131‐154 (1989).
Jones, B.A., Lei, S., Cech, J.N. 2007. Diel pattern in zooplankton assemblages over a Little Cayman
Island coral reef.
Kobervig, C.P. 2009. Zooplankton of the fringing reef: substrate preference of demersal
zooplankton, non‐demersal zooplankton in the fringing reef environment, and the effects of
the lunar cycle on zooplankton abundance. UC Berkeley: UCB Moorea Class: Biology and
Geomorphology of Tropical Islands. Retrieved from:
http://www.escholarship.org/uc/item/9hs4c5cx
Nontji, A. 2007. Plankton Laut. LIPI Press, Jakarta.
Nybakken. 2005. Marine biology: an ecological approach (6th ed). Pearson Education, Inc.
Ohlhorst, S.L. 1982. Diel migration patterns of demersal reef zooplankton. [J. EXP. MAR. BIOL.
ECOL.]. Vol. 60, no. 1, pp. 1‐15. 1982.
Porter J.W. and Porter K.G. 1977. Quantitative Sampling of Demersal Plankton Migrating from
Different coral Reef Substrates. Limnol. Oceanogr. 22:553‐556.
Rissik, D., Suthers, I.M., Taggart, C.T. 1997. Enhanced zooplankton abundance in the lee of an
isolated reef in the south Coral Sea: the role of flow disturbance. Journal of Plankton
Research Vol. 19, 1347‐1368.
Sale, P.F., McWilliam, P.S., Anderson, D.T. 1976. Composition of the nearreef zooplankton at Heron
Reef, Great Barrier Reef. Marine Biology Vol. 34, 59‐66.
Sebens ,K.P., Maney, E.J., Witting, J. 1992. A portable dive operated plankton sampler for near
substratum use. In: Cahoon, L. (ed). American Academy Underwater Sciences. Am Ace
Underwater Sciences, Costa Mesa, California, pp 167–172.
http://beyond.australianmuseum.net.au/
http://marinebio.org/Oceans/Zooplankton.asp
http://static.howstuffworks.com/gif/coral‐reef‐zones.jpg
http://www.facebook.com/album.php?aid=178361&id=725428884#/album.php?aid=178361&id=
725428884 (hak cipta oleh Dwi Haryanti ©2009)
http://www.ipsf.com/plankton.html
http://www.pac.dfo‐mpo.gc.ca/SCI/osap/projects/plankton/zooplankton/default