Kawasan Dasar Laut Internasional

UMUM
Usaha masyarakat internasional untuk mengatur masalah kelautan melalui Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut yang Ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of the Sea (konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) yang telah ditandatangani oleh 117 (seratus tujuh belas) negara peserta termasuk Indonesia dan 2 satuan bukan negara di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal
10 Desember 1982.
Dibandingkan dengan Konvensi-konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut,Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tersebut mengatur rejim-rejim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh, yang rejim-rejimnya satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan.Ditinjau dari isinya, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tersebut :

a. Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum
laut yang sudah ada, misalnya kebebasan-kebebasan di Laut
Lepas dan hak lintas damai di Laut Teritorial;
b. Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah
ada, misalnya ketentuan mengenai lebar Laut Teritorial menjadi
maksimum 12 mil laut dan kriteria Landas Kontinen Menurut Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut criteria bagi penentuan lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua
ratus meter atau kriteria kemampuan eksploitasi. Kini dasarnya
adalah kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan sesuatu Negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya (Natural
prolongation of its land territory to the outer edge of the
continental margin) atau kriteria jarak 200 mil laut, dihitung
dari garis dasar untuk mengukur lebar laut Teritorial jika
pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut
tersebut;
c. Sebagian melahirkan rejim-rejim hukum baru, seperti asas
Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan
di Dasar Laut Internasional.
Bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia, Konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang selama dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional. Pengakuan resmi asas Negara Kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Yang dimaksud dengan “Negara Kepulauan” menurut Konvensi ini adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Konvensi menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu gugusan pulau-pulau termasuk bagian pulau, perairan diantara gugusan pulau-pulau tersebut dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut merupakan suatu kesatuan geografi dan politik yang hakiki, atau secara histories telah dianggap sebagai satu kesatuan demikian.
Negara Kepulauan dapat menarik garis dasar/pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa :

a. di dalam garis dasar/pangkal demikian termasuk pulau-pulau
utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah
perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu
berbanding satu (1 : 1) dan sembilan berbanding satu (9 : 1);
b. panjang garis dasar/pangkal demikian tidak boleh melebihi 100
mil laut, kecuali bahwa hingga 3 % dari jumlah seluruh garis
dasar/pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat
melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu kepanjangan
maksimum 125 mil laut;
c. penarikan garis dasar/pangkal demikian tidak boleh
menyimpang dari konfigurasi umum Negara Kepulauan.
Negara Kepulauan berkewajiban menetapkan garis-garis dasar/
pangkal kepulauan pada peta dengan skala yang cukup untuk menetapkan posisinya.
Peta atau daftar koordinat geografi demikian harus diumumkan sebagaimana mestinya dan satu salinan dari setiap peta atau daftar demikian harus didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan diakuinya asas Negara Kepulauan, maka perairan yang dahulu merupakan bagian dari Laut Lepas kini menjadi “perairan kepulauan” yang berarti menjadi wilayah perairan Republik Indonesia. Disamping ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksudkan di muka, syarat-syarat yang penting bagi pengakuan internasional atas asas Negara
Kepulauan adalah ketentuan-ketentuan sebagaimana diuraikan di bawah ini. Dalam “perairan kepulauan” berlaku hak lintas damai (right of innocent passage) bagi kapal-kapal negara lain. Namun demikian Negara Kepulauan dapat menangguhkan untuk sementara waktu hak lintas damai tersebut pada bagian-bagian tertentu dari “perairan kepulauannya” apabila di anggap perlu untuk melindungi kepentingan keamanannya.
Negara Kepulauan dapat menetapkan alur laut kepulauan dan rute penerbangan di atas alur laut tersebut. Kapal asing dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut untuk transit dari
suatu bagian Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif ke bagian lain dari Laut Lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif. Alur laut kepulauan dan rute penerbangan tersebut ditetapkan dengan menarik garis poros. Kapal dan pesawat udara asing yang melakukan lintas transit melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut tidak boleh berlayar atau terbang melampaui 25 mil laut sisi kiri dan sisi kanan garis poros tersebut. Sekalipun kapal dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut, namun hal
ini di bidang lain daripada pelayaran dan penerbangan tidak boleh
mengurangi kedaulatan Negara Kepulauan atas air serta ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya dan sumber kekayaan di dalamnya.
Dengan demikian hak lintas alur laut kepulauan melalui rute
penerbangan yang diatur dalam Konvensi ini hanyalah mencakup hak lintas penerbangan melewati udara di atas alur laut tanpa mempengaruhi kedaulatan negara untuk mengatur penerbangan di atas wilayahnya sesuai dengan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil ataupun kedaulatan negara kepulauan atas wilayah udara lainnya di atas perairan Nusantara. Sesuai dengan ketentuan Konvensi, disamping harus menghormati perjanjian-perjanjian internasional yang sudah ada, Negara Kepulauan
berkewajiban pula menghormati hak-hak tradisional penangkapan ikan dan kegiatan lain yang sah dari negara-negara tetangga yang langsung berdampingan, serta kabel laut yang telah ada di bagian tertentu perairan kepulauan yang dahulunya merupakan Laut Lepas. Hak-hak tradisional dan kegiatan lain yang sah tersebut tidak boleh dialihkan kepada atau dibagi dengan negara ketiga atau warganegaranya.